• Tidak ada hasil yang ditemukan

5. PEMBAHASAN

5.2 Analisis Parameter Kerentanan Lingkungan

5.2.3. Analisis Parameter Kapasitas Adaptif ( adaptive

 

penggunaan sumberdaya (Mimura et al. 2007). Perubahan muka laut dan berbagai peristiwa alam memiliki konsekuensi serius terhadap penggunaan lahan.

5.2.3. Analisis Parameter Kapasitas Adaptif (adaptive capacity)

Ekosistem mangrove, terumbu karang, padang lamun adalah habitat pesisir yang umum dijumpai di pulau-pulau kecil. Ketiga ekosistem ini merupakan satu kesatuan ekologi yang memiliki peran dan fungsi yang saling terkait. Hamparan ketiga ekosistem ini akan membentuk suatu habitat yang disebut dengan habitat pesisir. Habitat pesisir dan ketiga ekosistem pulau-pulau kecil ini memiliki kemampuan adaptasi terhadap berbagai gangguan dari luar. Selain itu, konservasi laut juga mampu meningkatkan kapasitas adaptif pulau-pulau kecil sebagaimana yang dikemukakan McClanahan et al. (2008). Dalam konteks pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil, kapasitas adaptif diartikan sebagai kemampuan dari suatu kelompok untuk mengantisipasi dan merespon terhadap perubahan yang terjadi pada ekosistem pesisir (mangrove, terumbu karang dan lamun) untuk meminimalisasi dan memulihkan dari berbagai konsekuensi (McClanahan et al. 2008). Semakin luas ekosistem pesisir di pulau-pulau kecil, semakin besar kapasitas adaptif dari pulau tersebut.

Secara umum, ketiga pulau memiliki kesamaan dalam hal keberadaan habitat pesisir, dimana habitat pesisir lebih luas dibandingkan wilayah daratan. Peran habitat pesisir cukup besar dalam hal perlindungan terhadap daratan pulau. Habitat pesisir Pulau Kasu didominasi oleh vegetasi mangrove dan padang lamun. Kedua jenis habitat pesisir ini berkembang dengan baik di pesisir Pulau Kasu. Keberadaan kedua ekosistem ini berperan penting dalam perlindungan daratan Pulau Kasu. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan Mazda et al. (2007), bahwa ekosistem mangrove memiliki peran dalam perlindungan pantai dari gelombang, badai dan erosi pantai. Sebagai pencegah erosi, habitat pesisir juga memiliki peran dalam menjaga stabilitas sedimen di sekitar pantai, sebagaimana yang dikemukakan Victor et al. (2006) bahwa dalam proses sedimentasi sekitar 40 % dari sedimen yang mengalir ke kawasan mangrove terperangkap dalam ekosistem mangrove.

Peran ekosistem mangrove dikemukakan Othman (1994) yang menyebutkan bahwa ekosistem mangrove berperan dalam mereduksi energi

   

gelombang, perangkap sedimen dan memperlambat proses-proses erosi pantai. Mazda et al. (2007) menambahkan peran mangrove sebagai pelindung dari tsunami. Perlindungan mangrove terhadap tsunami juga dikemukakan Kathiresan dan Rajendran (2005) di sepanjang pantai Parangipettai, Tamil Nadu, India. Ekosistem mangrove yang cukup rapat di Pulau Kasu dan Pulau Saonek memiliki kemampuan adaptasi yang tinggi terhadap gangguan atau hempasan ombak sebagaimana yang dikemukakan Alongi (2008). Semakin tinggi kerapatan pohon mangrove semakin besar kemampuannya mereduksi energi gelombang dan tsunami (Hiraishi dan Harada 2003). Kemampuan mangrove melindungi daratan pulau dari tsunami dan berbagai bencana dari laut sangat dipengaruhi oleh lebar mangrove, kemiringan, diameter pohon dan densitas atau kerapatan (Alongi 2008).

Dalam kaitannya dengan kenaikan muka laut, ekosistem mangrove mampu beradaptasi terhadap perubahan muka laut yang terjadi. Gilman et al. (2008) menyebutkan terdapat 3 cara mangrove beradaptasi terhadap kenaikan muka laut, yaitu pada saat kenaikan muka laut stabil, maka kondisi mangrove juga akan berada pada posisi stabil. Apabila muka air laut mengalami penurunan, maka ekosistem mangrove akan berkembang ke arah laut (seaward) untuk menjaga kondisi agar tetap sesuai dengan kebutuhan pertumbuhan. Pada saat muka laut mengalami kenaikan maka mangrove akan berkembang ke arah darat (landward). Kemampuan mangrove dalam memitigasi dampak dari luar seperti tsunami dikemukakan Kathiresan dan Rajendran (2005); Vermat dan Thampanya (2006).

Habitat pesisir di Pulau Barrang Lompo dan Saonek didominasi oleh ekosistem terumbu karang. Berbeda dengan Pulau Kasu yang merupakan pulau petabah, Pulau Barrang Lompo dan Saonek merupakan pulau karang. Meskipun Saonek dan Barrang Lompo memiliki ekosistem terumbu karang yang cukup luas, namun karena aktivitas penambangan karang pernah dilakukan di pulau ini, maka dampak dari kerusakan karang terhadap pantai Pulau Saonek dan Barrang Lompo mulai dirasakan oleh masyarakat, yaitu adanya erosi pantai. Rusaknya ekosistem terumbu karang ini, menyebabkan berkurangnya fungsi pelindung dari habitat pesisir terhadap pantai. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan Moberg dan Folke (1999) yang menyebutkan bahwa hilangnya perlindungan terumbu

   

karang terhadap pantai dari arus, gelombang dan badai menyebabkan hilangnya daratan pulau karena erosi pantai. Hal ini disebakan karena berkurangnya peran terumbu karang sebagai peredam gelombang yang mencapai pantai.

Peran kapasitas adaptif di Pulau Barrang Lompo dan Saonek ini lebih didominasi oleh terumbu karang. Terumbu karang merupakan salah satu pemeran dari ketahanan fisik dan sangat penting untuk memahami perilaku garis pantai yang dihadapkan pada permasalahan perubahan iklim dan kenaikan muka laut. Oleh karena itu, pengelolaan terbaik untuk meningkatkan ketahanan dari sistem pulau-pulau kecil dan mereduksi kerentanan lingkungan dan sosial (Mimura 1999).

Konservasi laut di ketiga lokasi belum dilakukan secara formal. Pulau Saonek sudah mengembangkan Daerah Perlindungan Laut (DPL) tetapi berada pada daerah secara fisik tidak termasuk dalam habitat pesisir Pulau Saonek. Demikian juga ekosistem mangrove belum ditetapkan secara formal dengan suatu aturan baik oleh masyarakat maupun oleh pemerintah daerah. Meskipun demikian, kesadaran masyarakat yang tinggi tentang peran perlindungan ekosistem mangrove terhadap pulau sangat tinggi, sehingga secara sadar mereka tidak melakukan kegiatan yang merusak ekosistem tersebut. Hal yang sama juga sudah mulai dilakukan untuk terumbu karang, kegiatan penambangan yang pernah dilakukan oleh masyarakat sudah mulai dihentikan. Berbeda dengan Pulau Barrang Lompo, kegiatan penambangan karang masih terus dilakukan. Hal ini disebabkan karena belum adanya aturan yang tegas melarang masyarakat untuk menambang karang. Sebagian masyarakat yang tidak menyadari akan dampak kerusakan karang terhadap keberadaan daratan pulau masih terus melakukan penambangan karang. Masyarakat Pulau Kasu, memiliki kesamaan dengan masyarakat Pulau Saonek. Meskipun secara formal, ekosistem mangrove belum ditetapkan sebagai kawasan konservasi laut, namun karena masyarakat menyadari arti penting ekosistem ini, maka aktivitas pemanfaatan yang merusak tidak dilakukan. Hal ini berdampak positif terhadap peran habitat pesisir sebagai pelindungan pantai. Untuk mencegah kemungkinan terjadinya kerusakan ekosistem ini, perlu penetapan kawasan mangrove sebagai kawasan konservasi laut secara formal.

   

Karakteristik masing-masing pulau dilihat dari parameter kerentanan juga dapat dilihat dari hasil analisis Priciple Component Analisys (PCA) atau analisis komponen utama terhadap parameter kerentanan pulau-pulau kecil. Dari hasil analisis PCA diperoleh beberapa parameter utama yang mencirikan masing-masing pulau kecil. Seperti terlihat pada Gambar 36, Pulau Saonek dan Pulau Barrang Lompo dicirikan oleh kesamaan parameter laju pertumbuhan penduduk (PD), elevasi pulau (EL) dan penggunaan lahan (PL). Sebaliknya Pulau Kasu dicirikan oleh beberapa parameter sebagai pembeda dari Pulau Saonek dan Barrang Lompo, yaitu tipologi pemukiman (PP), habitat pesisir (HP), ekosistem lamun (LM), kemiringan (SL), dan gelombang (GL). Parameter lainnya tidak secara spesifik mencirikan keterkaitannya dengan ketiga pulau kecil yang ditetiti.

Gambar 36. Biplot parameter kerentanan dengan lokasi penelitian (pulau-pulau kecil) SR GL PS ER TS PD KP TP EL SL PL PP HP TK MR LM KL Kasu B. Lompo Saonek ‐6 ‐4 ‐2 0 2 4 ‐8 ‐6 ‐4 ‐2 0 2 4 6 F2   (28,22   %) F1 (64,21 %) Biplot (axes F1 and F2: 92,43 %)