• Tidak ada hasil yang ditemukan

5. PEMBAHASAN

5.2 Analisis Parameter Kerentanan Lingkungan

5.2.2. Analisis Parameter Sensitivitas (Sensitivity)

 

Saonek sebanyak 2 kali, sedangkan untuk Pulau Kasu tidak terdapat rekaman kejadian tsunami. Perbedaan kejadian tsunami ini lebih dikarenakan posisi ketiga pulau terhadap karakteristik geologi berbeda. Dengan demikian, Pulau Barrang Lompo memiliki resiko yang tinggi terhadap kemungkinan dampak tsunami pada masa yang akan datang, lebih-lebih lagi karena pulau ini merupakan pulau datar yang memiliki resiko dari kenaikan muka laut. Ketiadaan vegetasi pantai di Pulau Barrang Lompo menjadikan daratan pulau ini sangat rentan terhadap kejadian tsunami dan juga hantaman gelombang pada musim tertentu (pada bulan Desember-Januari).

Pertumbuhan penduduk ditentukan oleh 2 faktor, yaitu (1) natalitas dan mortalitas (kelahiran dan kematian), dan (2) migrasi (keluar-masuknya) penduduk dari suatu daerah. Perbedaan laju pertumbuhan penduduk ketiga pulau ini disebabkan oleh faktor-faktor tersebut di atas. Laju pertumbuhan penduduk yang lebih besar di Pulau Barrang Lompo dan Pulau Saonek disebabkan oleh kedua faktor pertumbuhan di atas. Sebaliknya, pertumbuhan penduduk di Pulau Kasu hanya dipengaruhi oleh faktor kelahiran dan kematian. Implikasi dari laju pertumbuhan penduduk tersebut adalah tingkat kepadatan penduduk juga akan tinggi, manakala luas areal yang tersedia untuk kawasan pemukiman terbatas dan jumlah penduduk yang besar. Dalam kasus Pulau Barrang Lompo dan Saonek, meskipun tingkat pertumbuhan penduduk sama-sama tinggi dan luas daratan pulau yang tidak terlalu berbeda, namun karena jumlah penduduk di kedua pulau tersebut jauh berbeda menyebabkan tingkat kepadatan penduduk berbeda di kedua pulau tersebut. Hal sebaliknya terjadi pada Pulau Kasu, meskipun jumlah penduduk besar, namun karena luas areal daratan pulau yang jauh lebih besar dibandingkan Pulau Barrang Lompo, maka tingkat kepadatan penduduknya rendah.

5.2.2. Analisis Parameter Sensitivitas (Sensitivity)

Nilai parameter sensitivity yang dipaparkan pada Sub-bab 4.4.2, menunjukkan perbedaan antara ketiga pulau. Ketinggian atau elevasi sebagaimana dipaparkan pada Sub-bab 4.2, memperlihatkan bahwa ketiga pulau memiliki elevasi yang berbeda. Pulau Barrang Lompo memiliki elevasi yang paling rendah, dimana sekitar 98.93 % dari luas daratan pulau berada pada

   

ketinggian kurang dari 100 cm. Sementara itu, daratan Pulau Saonek yang berada pada elevasi kurang dari 100 cm sekitar 71.54 %, sedangkan Pulau Kasu hanya sekitar 15.52 %. Perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan tipologi ketiga pulau. Pulau Barrang Lompo dan Pulau Saonek pada prinsipnya memiliki tipologi pulau relatif sama sebagai pulau karang, dimana umumnya memiliki elevasi yang rendah (Woodroffe 2008). Pulau Kasu memiliki tipologi yang berbeda dengan Pulau Barrang Lompo dan Saonek, dimana Pulau Kasu adalah pulau petabah yang umumnya merupakan pulau berbukit (Bengen dan Retraubun 2006). Pulau Saonek dan Barrang Lompo memiliki sensitivity yang tinggi terhadap kemungkinan perendaman sebagaimana banyak terjadi pada pulau-pulau karang di kawasan Pasifik (Woodroffe 2008). Jika dilihat dari kemiringan, Pulau Barrang Lompo memiliki areal yang paling luas berada pada kemiringan yang paling sensitif (0-8 %), yaitu seluas 20.06 ha atau sekitar 97.02 %. Luas daratan Pulau Saonek yang berada pada kemiringan 0-8 % adalah 15.18 ha atau sekitar 84.38 %. Adapun daratan Pulau Kasu yang berada pada kemiringan 0-8 % seluas 17.34 ha atau sekitar 37.37 %.

Tipologi pantai dari ketiga pulau juga memiliki perbedaan. Sebagaimana yang dipaparkan pada Tabel 19 sebelumnya, terlihat bahwa Pulau Saonek memiliki tingkat sensitivitas yang tinggi dibandingkan dengan 2 pulau lainnya. Hal ini disebabkan karena tipologi pantai berpasir cukup dominan di Pulau Saonek. Hal yang sama sebenarnya juga terjadi di Pulau Barrang Lompo, hampir seluruh pantai Pulau Barrang Lompo merupakan pantai berpasir, hanya saja lebih dari setengah pantai pulau ini telah dibangun bangunan pelindung pantai, yang kemudian dikategorikan sebagai pantai berbatu. Pulau Kasu memiliki pantai dengan tingkat sensitivitas yang paling rendah. Meskipun pulau ini memiliki pantai berlumpur yang merupakan pantai paling sensitif terhadap kemungkinan terjadinya erosi pantai, namun sebagian besar pantainya merupakan pantai bervegetasi. Perbedaan tipologi pantai ketiga pulau tersebut, memiliki hubungan yang erat dengan jenis pulau, dimana pulau-pulau karang umumnya memiliki pantai berpasir dan berbatu, sedangkan pulau petabah memiliki pantai bervegetasi dan berlumpur. Keberadaan ekosistem mangrove, terumbu karang dan lamun di ketiga pulau tersebut terkait erat dengan jenis pulau (Asriningrum 2009).

   

Tipologi penggunaan lahan ketiga pulau juga berbeda. Seperti tersaji pada Tabel 19 sebelumnya, Pulau Barrang Lompo memiliki tingkat sensitivitas yang paling tinggi terkait dengan penggunaan lahan, disusul oleh Pulau Saonek dan Pulau Kasu. Perbedaan tipologi penggunaan lahan ini secara tidak langsung memiliki keterkaitan dengan tingkat kepadatan penduduk. Seperti telah diuraikan sebelumnya, bahwa kepadatan penduduk yang tinggi di Pulau Barrang Lompo berimplikasi terhadap kebutuhan lahan untuk pemukiman sangat besar, sementara ketersediaan lahan sangat terbatas. Dengan pertumbuhan penduduk yang tinggi, menyebabkan konversi lahan menjadi kawasan pemukiman juga semakin tinggi. Hal sebaliknya terjadi pada Pulau Kasu, ketersediaan lahan daratan yang lebih besar dibandingkan dengan kebutuhan penduduk untuk kawasan pemukiman, sehingga lahan-lahan yang ada dapat diperuntukkan bagi pemanfaatan lain yang memiliki tingkat sensitivitas yang lebih rendah (lahan tidak termanfaatkan dan lahan pertanian/perkebunan).

Sensitivitas pemukiman ditentukan dua hal, yaitu letak pemukiman dari garis pantai (jarak dari pantai), dan letak pemukiman dilihat dari ketinggian dari permukaan laut. Sebagaimana telah diulas pada Sub-bab 4.4, letak pemukiman penduduk di Pulau Barrang Lompo dan Saonek relatif sama, yaitu berada di sekitar pantai. Sebaliknya pemukiman penduduk di Pulau Kasu berada di atas perairan. Jika dilihat dari letak pemukiman ini, maka pemukiman yang dibangun di atas perairan lebih sensitif dibandingkan dengan yang berada di sekitar pantai (sempadan pantai). Semakin jauh letak pemukiman dari pantai semakin rendah tingkat sensitivitasnya terhadap kemungkinan gangguan alam seperti badai. Dampak yang dialami oleh pemukiman di atas perairan seperti pada kasus Pulau Kasu adalah kenaikan muka laut yang mencapai lantai rumah penduduk. Sementara untuk permukiman penduduk yang berada di sekitar pantai mengalami ancaman hempasan gelombang yang kadang-kadang mencapai dinding rumah, sebagaimana terjadi pada sebagian rumah penduduk di Pulau Barrang Lompo. Pertumbuhan penduduk di suatu pulau dan perpindahan internal penduduk menjadi faktor pendukung terhadap tekanan berupa peningkatan kebutuhan pemukiman penduduk di wilayah pantai/pesisir kebutuhan utilitas, dan

   

penggunaan sumberdaya (Mimura et al. 2007). Perubahan muka laut dan berbagai peristiwa alam memiliki konsekuensi serius terhadap penggunaan lahan.