• Tidak ada hasil yang ditemukan

Objek penelitian dalam penelitian ini adalah Kabupaten/Kota di Jawa Tengah. Berikut adalah tabel yang menunjukan ringkasan dari data murni yang digunakan. Tabel 4.1 menunjukkan data statistik bidang pendidikan.

Tabel 4.1

Data Statistik Bidang Pendidikan

Tahun Minimal Maksimal Rata - rata Standar Deviasi Realisasi

Sumber: Data Sekunder yang diolah, 2016

Realisasi anggaran minimal pada tahun 2009 dimiliki oleh Kabupaten Sragen, sedangkan untuk tahun 2010 sampai 2012 dimiliki oleh Kota Salatiga.

Hal tersebut menandakan bahwa Kabupaten Sragen dan Kota Salatiga tidak banyak menggunakan dana di bidang pendidikan jika dibandingkan dengan daerah-daerah lainnya di Jawa Tengah. Jika dilihat dari Data Realisasi APBD Bidang Pendidikan Tahun 2009 untuk Kabupaten Sragen memang tidak ada

14 program yang sedang dijalankan oleh pemerintah, sehingga tidak banyak menggunakan dana dalam bidang pendidikan. Untuk Kota Salatiga, menggunakan dana lebih sedikit daripada daerah yang lain dikarenakan luas wilayah Kota Salatiga hanya 52.96 km2, yang mana Kota Salatiga menempati urutan ke-5 dengan luas wilayah paling kecil di Jawa Tengah. Realisasi anggaran tertinggi untuk periode 2009-2011 dimiliki oleh Kabupaten Klaten, dan untuk periode 2012 dimiliki oleh Kabupaten Banyumas. Hal itu menandakan bahwa Kabupaten Klaten dan Kabupaten Banyumas menggunakan dana cukup besar untuk bidang pendidikan bila dibandingkan dengan kabupaten/kota yang lain di Jawa Tengah.

Pada tahun 2009 terdapat 4 daerah yang memiliki jumlah realisasi anggaran diatas rata-rata. Sedangkan tahun 2010 dan 2011 terdapat 10 daerah yang memiliki realisasi anggaran diatas rata-rata. Dan untuk tahun 2012, terdapat 9 daerah yang memiliki jumlah realisasi anggara diatas rata-rata. Dari tabel 4.1 juga dapat dilihat standar deviasi realisasi anggaran untuk setiap periode dari 2009 sampai 2012. Tahun 2009 mempunyai angka standar deviasi paling tinggi, hal tersebut mempunyai arti bahwa data realisasi anggaran pada tahun 2009 sangat beragam yang dapat dilihat juga dengan menghitung range data dengan mengurangkan nilai maksimal dengan nilai minimal yang menghasilkan angka sebesar Rp 613,401,109,883,00. Standar deviasi terendah dimiliki oleh tahun 2010 yang artinya keberagaman data pada tahun tersebut tidak sebesar tahun 2009, yang mana range datanya hanya sebesar Rp 509,731,544,581,00.

Jika kita analisa lebih jauh, tahun 2009 hanya mempunyai 4 daerah yang mempunyai angka realisasi anggaran diatas rata-rata. Hal tersebut mungkin disebabkan karena range data nya yang tinggi yang mana mengakibatkan rata-ratanya menjadi kecil. Daerah dengan realisasi anggaran paling tinggi adalah Kabupaten Klaten dan daerah dengan realisasi anggaran paling rendah adalah Kabupaten Sragen. Apabila dilihat dalam Laporan Realisasi Anggaran (LRA) Kabupaten Klaten, belanja paling tinggi adalah belanja pegawai. Salah satu belanja yang diklasifikasikan dalam belanja pegawai adalah belanja gaji dan tunjangan pegawai negeri termasuk Pegawai Negeri Sipil (PNS). Wahyu Daniel dalam detik.com menuliskan bahwa pada tahun 2009 pemerintah pusat

15 meningkatkan gaji PNS sebesar 15% dari tahun 2008. Dan dari data yang didapat dari BPS Klaten, jumlah sekolah negeri yang terdapat di Kabupaten Klaten pada tahun 2009 memang paling tinggi yaitu 847 sekolah, jika dibandingkan dengan tahun-tahun berikutnya yaitu hanya berkisar pada angka 808 sampai 839 sekolah.

Angka Partisipasi Sekolah (APS) minimal pada tahun 2009, 2011, dan 2012 dimiliki oleh Kabupaten Banjarnegara, dan untuk tahun 2010 dimiliki oleh Kabupaten Wonosobo. Sedangkan APS maksimal dimiliki oleh Kota Surakarta untuk tahun 2009 dan 2011, dan Kota Salatiga untuk tahun 2010 dan 2012. Pada tahun 2009, terdapat 11 daerah yang mempunyai APS lebih tinggi dari rata-rata dan 9 daerah yang mempunyai APS lebih rendah dari rata-rata. Tahun 2010 dan 2011, daerah dengan APS diatas dan dibawah rata-rata jumlahnya berimbang, yaitu 10 daerah. Dan untuk tahun 2012, terdapat 8 daerah dengan APS diatas rata-rata, dan 12 daerah yang mempunyai APS dibawah rata-rata. Ada sejumlah daerah yang mempunyai APS diatas rata-rata pada empat periode berturut-turut yaitu Kabupaten Klaten, Kabupaten Wonogiri, Kabupaten Sragen, Kota Surakarta, dan Kota Salatiga. Namun, ada juga daerah yang mempunyai APS dibawah rata-rata untuk 4 periode berturut-turut, yaitu Kabupaten Banjarnegara, Kabupaten Wonosobo, Kabupaten Kudus, Kabupaten Pekalongan, dan Kabupaten Pemalang.

APS dengan nominal yang tinggi menandakan hal yang baik karena angka tersebut menunjukkan seberapa besar partisipasi masyarakat untuk bersekolah pada jenjang usia tertentu. Oleh karena itu, untuk daerah yang mempunyai APS diatas rata-rata bisa dikatakan lebih berhasil dalam hal pembangunan pendidikan bila dibandingkan dengan daerah-daerah dengan APS dibawah rata-rata. Sedikit berbeda dengan realisasi anggaran, standar deviasi pada APS tidak terpaut jauh antar tahunnya, hal tersebut dikarenakan heterogenitas data APS untuk tahun 2009 sampai 2012 tidak terlalu tinggi.

Angka Partisipasi Murni (APM) minimal sebesar 60.87 pada tahun 2009 dimiliki oleh Kabupaten Wonosobo dan untuk tahun 2010 dimiliki oleh Kabupaten Pekalongan. Sedangkan untuk tahun 2011 dan 2012 APM terendah dimiliki oleh Kabupaten Banjarnegara. APM tertinggi pada tahun 2009 dan 2010 dimiliki oleh Kota Surakarta, sedangkan untuk tahun 2011 dimiliki oleh

16 Kabupaten Wonogiri, dan untuk tahun 2012 APM paling tinggi dimiliki oleh Kabupaten Kebumen. Dari 20 kabupaten/kota di Jawa Tengah yang digunakan sebagai objek penelitian, terdapat 10 kabupaten/kota yang mempunyai APM diatas rata-rata pada tahun 2009. Sedangkan untuk tahun 2010, 2011, dan 2012 jumlahnya berimbang antara daerah yang mempunyai APM diatas dan dibawah rata-rata, yaitu 10 daerah. Tidak jauh berbeda dengan konsep APS, semakin besar angka APM menandakan hal yang baik, karena APM menunjukkan seberapa besar penduduk usia sekolah yang sudah dapat memanfaatkan fasilitas pendidikan pada jenjang pendidikan tertentu. Seperti halnya APS, standar deviasi untuk APMpun hanya berkisar pada angka 4 sampai 5, dikarenakan heterogenitas data APM untuk tahun 2009 sampai 2012 tidak terlalu tinggi.

Tabel 4.2

Data Murni Bidang Pendidikan Kabupaten Banjarnegara Tahun 2011 dan 2012

Tahun Realisasi Anggaran APS APM

2011 Rp 537,832,655,691 70.59 61.16 2012 Rp 595,323,084,199 71.67 61.54 Sumber: Data dari DJPK dan BPS

Hal menarik lainnya adalah data pada Kabupaten Banjarnegara yang dapat dilihat pada tabel 4.2. Realisasi anggaran Kabupaten Banjarnegara pada tahun 2011 dan 2012 meningkat dari Rp 537.832.655.691,00 menjadi Rp 595.323.084.199,00. Partisipasi masyarakat Kabupaten Banjarnegara dibidang pendidikan yang bisa kita lihat dari APS dan APM meningkat dari 70.59%

menjadi 71.67% untuk APS dan 61.16% menjadi 61.54% untuk APM. Dengan kata lain, variabel input dan variabel output meningkat tetapi pada tahun yang bersangkutan Kabupaten Banjarnegara justru menjadi kabupaten dengan angka efisiensi terendah. Bersamaan dengan informasi tersebut, terdapat kasus yang terjadi di Kabupaten Banjarnegara yaitu adanya penyalahgunaan dana oleh pemerintah Kabupaten Banjarnegara. Seperti yang dimuat oleh beberapa media berita bahwa telah terjadi kasus korupsi terhadap dana pendidikan yang dilakukan

17 oleh pemerintah Kabupaten Banjarnegara seperti Kompas.com yang memuat adanya korupsi pengadaan alat peraga pendidikan dan sarana pembelajaran sekolah dasar (SD) di Banjarnegara dan detik.com yang menuliskan bahwa Kepala Dinas Pendidikan dan Olahraga (Dindikpora) Kabupaten Banjarnegara yang bernama Muhdi, ditetapkan menjadi tersangka korupsi karena telah menggelapkan dana APBD tahun 2012 yang seharusnya untuk rehab kurang lebih 97 Sekolah Dasar di Kabupaten Banjarnegara.

Selain bidang pendidikan ada juga bidang kesehatan dan berikut adalah data statistik untuk bidang kesehatan.

Sumber: Data Sekunder yang diolah, 2016

Realisasi anggaran terendah untuk tahun 2009 dimiliki oleh Kabupaten Wonosobo, sedangkan untuk tahun 2010 dan 2012 dimiliki oleh Kota Surakarta, dan untuk tahun 2011 dimiliki oleh Kabupaten Klaten. Hal itu menandakan bahwa daerah-daerah tersebut menggunakan dana untuk bidang kesehatan tidak sebanyak daerah-daerah lainnya. Untuk tahun 2009 realisasi anggaran paling tinggi di Jawa Tengah adalah Kabupaten Pati, sedangkan untuk tahun 2010 sampai 2012 realisasi anggaran paling tinggi dimiliki oleh Kabupaten Banyumas. Hal ini menandakan bahwa Kabupaten Pati dan Kabupaten Banyumas menggunakan dana di bidang kesehatan paling tinggi bila dibandingkan dengan daerah-daerah yang lainnya.

18 Mengingat bahwa dari 35 Kabupaten/Kota di Jawa Tengah, Kabupaten Pati menempati urutan ke-6 dengan luas wilayah terbesar di Jawa Tengah dan Kabupaten Banyumas menempati urutan ke-7. Sehingga wajar jika daerah-daerah ini menggunakan dana lebih besar dari daerah-daerah lain.

Jika dibandingkan dengan rata-ratanya, terdapat 9 daerah yang mempunyai angka realisasi anggaran lebih besar pada tahun 2009 dan 2010. Untuk tahun 2009 daerah-daerah yang mempunyai realisasi anggaran lebih besar daripada rata-rata adalah Kabupaten Banyumas, Kabupaten Banjarnegara, Kabupaten Magelang, Kabupaten Boyolali, Kabupaten Wonogiri, Kabupaten Sragen, Kabupaten Blora, Kabupaten Rembang, dan Kabupaten Pati. Dan untuk tahun 2010 daerah-daerah yang mempunyai realisasi anggaran lebih besar daripada rata-rata adalah Kabupaten Banyumas, Kabupaten Banjarnegara, Kabupaten Kebumen, Kabupaten Boyolali, Kabupaten Pati, Kabupaten Kudus, Kabupaten Pekalongan, Kabupaten Pemalang, dan Kabupaten Tegal. Pada tahun 2011, hanya terdapat 8 daerah yang mempunyai realisasi anggaran diatas rata-rata, yaitu Kabupaten Banyumas, Kabupaten Boyolali, Kabupaten Sragen, Kabupaten Grobogan, Kabupaten Pati, Kabupaten Kudus, Kabupaten Pekalongan, dan Kabupaten Tegal. Dan pada tahun 2012, terdapat 9 daerah yang mempunyai angka realisasi lebih tinggi dari rata-rata, daerah-daerah tersebut adalah Kabupaten Banyumas, Kabupaten Magelang, Kabupaten Boyolali, Kabupaten Klaten, Kabupaten Sragen, Kabupaten Grobogan, Kabupaten Rembang, Kabupaten Pati, dan Kabupaten Tegal. Bila dilihat dari standar deviasi untuk ke empat periode, tahun 2009 memiliki angka standar deviasi paling tinggi. Hal tersebut menandakan bahwa heterogenitas data pada periode tersebut paling tinggi dari periode-periode yang lain. Jika kita lihat untuk tahun 2010 sampai 2012, range data hanya berkisaran pada angka 111,212,147,505 sampai 145,621,867,803. Sedangkan untuk tahun 2009 range datanya mencapai 517,489,150,869.

Angka Kematian Bayi (AKB) menunjukan seberapa besar kematian bayi usia dibawah 1 tahun pada daerah tertentu, oleh karena itu daerah dengan AKB rendah lebih baik jika dibandingkan dengan daerah dengan AKB tinggi. AKB minimal untuk periode 2009 sampai 2012 dimiliki oleh Kota Salatiga. Sedangkan

19 untuk AKB tertinggi untuk tahun 2009 dan 2012 dimiliki oleh Kabupaten Banjarnegara, dan untuk tahun 2010 dan 2011 dimiliki oleh Kabupaten Klaten dan Kabupaten Pemalang. Jumlah daerah yang mempunyai AKB diatas rata-rata untuk tahun 2009 sampai 2012 adalah 8 daerah, 10 daerah, 12 daerah, dan 11 daerah.

Dari data tersebut dapat dilihat bahwa tren AKB diatas rata-rata cenderung naik.

Bahkan dalam detik.com tertulis bahwa Provinsi Jawa Tengah termasuk dalam 5 provinsi penyumbang AKI dan AKB terbanyak, dimana selain Jawa Tengah ada juga Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatera Utara, dan Banten. Menurut Dr dr Slamet Riyadi selaku Direktur Bina Gizi Kesehatan Ibu dan Anak Kemenkes, penyebab tingginya AKB di 5 provinsi tersebut adalah masalah neonatal seperti afiksi (sesak napas), berat badan lahir rendah, dan prematur. Standar deviasi untuk AKB berkisar antara 66.04 sampai 74.77, dimana bisa dikatakan keberagaman datanya cukup tinggi yang dapat kita lihat dari range datanya, yaitu 293, 254, 313, dan 277 untuk tahun 2009, 2010, 2011, dam 2012.

Angka Harapan Hidup (AHH) menunjukkan rata-rata tahun hidup yang masih harus dijalani oleh seseorang. Daerah dengan AHH yang tinggi menandakan hal yang lebih baik jika dibandingkan dengan daerah dengan AHH yang rendah. AHH terendah untuk keempat periode dimiliki oleh Kabupaten Pemalang, sedangkan AHH tetinggi untuk keempat periode dimiliki oleh Kabupaten Pati. Jumlah daerah dengan AHH diatas rata-rata untuk periode 2009 menunjukkan angka 8 dan untuk periode 2010 sampai 2012 menunjukan angka yang sama yaitu 7 daerah. Standar deviasi AHH untuk tahun 2009 sampai 2012 tidak lebih dari 1.5, hal tersebut menandakan bahwa keberagaman data pada AHH rendah.

Hasil Penelitian

Nilai efisiensi diperoleh dengan bantuan software OSDEA dengan menggunakan model Variable Return to Scale, karena jika dana dari pemerintah meningkat belum tentu output juga meningkat atau akan menjadi efisien. Peneliti juga menggunakan asumsi Output Oriented karena unit yang tidak efisien bisa menjadi efisien bukan karena input yang berubah tetapi karena jumlah output

20 yang berubah. Berikut merupakan nilai efisiensi belanja pendidikan dan kesehatan dari 19 Kabupaten/Kota di Jawa Tengah.

Dari tabel 4.4 terlihat bahwa pada tahun 2009 terdapat 3 kabupaten/kota yang mencapai angka 100%, yaitu Kabupaten Sragen, Kota Surakarta, dan Kota Salatiga. Sedangkan daerah dengan angka efisiensi paling rendah adalah Kabupaten Banjarnegara dengan 77.29%. Pada tahun 2010, terdapat 2 kota yang mempunyai angka efisiensi 100% yaitu Kota Surakarta dan Kota Salatiga. Dan daerah dengan angka efisiensi paling rendah adalah Kabupaten Pekalongan. Pada tahun 2011, 3 kabupaten/kota mencapai angka efisiensi 100%, yaitu Kabupaten Wonogiri, Kota Surakarta, dan Kota Salatiga. Tahun 2012, terdapat 2 kabupaten/kota yang memiliki angka efisiensi 100% yaitu Kabupaten Kebumen dan Kota Salatiga. Kabupaten Banjarnegara memiliki angka efisiensi terendah di 2011 dan 2012 yaitu sebesar 79.53% dan 77.35%.

Jika dibandingkan dengan rata-ratanya terdapat 10 daerah yang angka efisiensinya melebihi rata-rata untuk tahun 2009, sedangkan untuk tahun 2010, 2011, dan 2012 hanya terdapat 9 daerah yang mempunyai angka efisiensi diatas rata-rata. Terdapat 5 daerah yang angka efisiensinya melebihi rata-rata selama 4 periode berturut-turut, yaitu Kabupaten Klaten, Kabupaten Wonogiri, Kabupaten Sragen, Kota Surakarta, dan Kota Salatiga. Namun, ada juga beberapa daerah yang angka efisiensinya lebih rendah dari rata-rata selama 4 periode berturut-turut, yaitu Kabupaten Wonosobo, Kabupaten Magelang, dan Kabupaten Pemalang.

Apabila dilihat secara keseluruhan, terdapat 3 daerah yang mencapai angka efisiensi 100% hanya pada 1 periode saja, yaitu Kabupaten Kebumen, Kabupaten Wonogiri, dan Kabupaten Sragen. Dan terdapat 1 daerah yang mempunyai angka efisiensi sebanyak 3 periode berturut-turut yaitu Kota Surakarta. Namun, hanya ada 1 daerah yang berhasil mencapai angka efisiensi 100% pada 4 periode berturut-turut, yaitu Kota Salatiga.

21 Tabel 4.4

Hasil Perhitungan Efisiensi Dengan Metode DEA Bidang Pendidikan Tahun 2009 – 2012

Nama Kabupaten/Kota 2009 2010 2011 2012

Kabupaten Banyumas 90.89% 91.27% 89.60% 89.62%

Kabupaten Banjarnegara 77.29% 79.11% 79.53% 77.35%

Kabupaten Kebumen 88.46% 94.21% 96.53% 100%

Kabupaten Wonosobo 80.60% 80.53% 81.34% 82.29%

Kabupaten Magelang 89.16% 85.77% 90.20% 87.81%

Kabupaten Boyolali 96.03% 99.03% 95.99% 88.20%

Kabupaten Klaten 97.12% 98.07% 95.14% 98.08%

Kabupaten Wonogiri 94.27% 90.54% 100% 94.41%

Kabupaten Sragen 100% 95.49% 95.12% 95.92%

Kabupaten Grobogan 86.89% 83.86% 89.95% 91.74%

Kabupaten Blora 88.98% 89.52% 86.51% 93.22%

Kabupaten Rembang 92.82% 86.47% 93.60% 89.07%

Kabupaten Pati 92.14% 89.51% 89.89% 90.53%

Kabupaten Kudus 90.58% 87.99% 89.54% 88.53%

Kabupaten Pekalongan 78.32% 78.62% 86.98% 83.17%

Kabupaten Pemalang 84.22% 85.77% 83.15% 83.02%

Kabupaten Tegal 83.81% 84.84% 91.96% 89.63%

Kota Surakarta 100% 100% 100% 95.57%

Kota Salatiga 100% 100% 100% 100%

Rata - Rata 90.08% 89.51% 91.32% 90.43%

Sumber: Data Sekunder yang diolah, 2016

Tabel 4.5 adalah tabel yang menunjukkan perbandingan antara rata-rata realisasi anggaran Jawa Tengah, rata-rata APS Jawa Tengah, rata-rata APM Jawa Tengah dengan realisasi anggaran Kota Salatiga, APS Kota Salatiga, dan APM Kota Salatiga. Hal menarik lainnya yang bisa kita lihat pada tabel 4.5 diatas adalah Kota Salatiga dapat mencapai angka efisiensi 100% dalam 4 periode berturut-turut, padahal realisasi anggaran yang diperoleh Kota Salatiga cenderung lebih rendah bila dibandingkan dengan rata – rata realisasi anggaran, meskipun pada tahun 2009 realisasi anggaran Kota Salatiga sempat lebih tinggi dari rata – rata realisasi anggaran. Namun meski dana yang diperoleh cenderung lebih

22 rendah, angka output bidang pendidikan Kota Salatiga semuanya diatas rata – rata dikedua variabel output baik APS maupun APM.

Tabel 4.5

Perbandingan Rata – Rata Realisasi Anggaran dan Realisasi Anggaran, Rata – Rata APS dan APS, serta Rata – Rata APM dan APM

Kota Salatiga Tahun 2009 – 2012

Tahun

Sumber: Data Sekunder yang diolah, 2016

Selain bidang pendidikan, ada juga bidang kesehatan. Berikut adalah tabel yang menunjukkan angka efisiensi kabupaten/kota yang ada di Jawa Tengah periode 2009-2012, yang diolah menggunakan metode DEA. Dari tabel 4.6 dapat dilihat bahwa pada tahun 2009 terdapat 4 daerah yang mencapai angka efisiensi 100%, yaitu Kabupaten Wonosobo, Kabupaten Pati, Kota Surakarta, dan Kota Salatiga. Pada tahun 2010 dan 2012 mempunyai 4 daerah yang sama dengan angka efisiensi 100%, yaitu Kabupaten Sragen, Kabupaten Pati, Kota Surakarta, dan Kota Salatiga. Keempat daerah ini juga menjadi daerah dengan angka efisiensi 100% pada tahun 2011 ditambah dengan Kabupaten Klaten. Pada bidang kesehatan, daerah dengan angka efisiensi terendah untuk keempat periode adalah sama yaitu Kabupaten Pemalang. Jika dibandingkan dengan rata-ratanya, terdapat 9 daerah yang mempunyai angka efisiensi lebih besar untuk tahun 2009, sedangkan untuk tahun-tahun berikutnya hanya terdapat 7 daerah saja.

23 Tabel 4.6

Hasil Perhitungan Efisiensi Dengan Metode DEA Bidang Kesehatan Tahun 2009 – 2012

Nama Kabupaten/Kota 2009 2010 2011 2012

Kabupaten Banyumas 96.35% 95.88% 95.73% 95.72%

Kabupaten Banjarnegara 95.25% 95.10% 95.40% 95.61%

Kabupaten Kebumen 97.61% 95.49% 95.48% 95.58%

Kabupaten Wonosobo 100% 96.74% 96.98% 96.89%

Kabupaten Magelang 96.95% 96.66% 96.65% 96.64%

Kabupaten Boyolali 97.19% 96.92% 96.78% 96.66%

Kabupaten Klaten 98.85% 98.95% 100% 98.57%

Kabupaten Wonogiri 99.46% 99.78% 99.69% 99.85%

Kabupaten Sragen 99.75% 100% 100% 100%

Kabupaten Grobogan 96.49% 96.09% 96.07% 96.13%

Kabupaten Blora 98.40% 98.58% 98.61% 98.41%

Kabupaten Rembang 96.79% 96.74% 96.85% 96.65%

Kabupaten Pati 100% 100% 100% 100%

Kabupaten Kudus 96.55% 96.54% 96.24% 96.21%

Kabupaten Pekalongan 95.35% 95.02% 95.49% 95.68%

Kabupaten Pemalang 93.91% 93.24% 93.56% 93.59%

Kabupaten Tegal 95.31% 94.93% 94.89% 95.11%

Kota Surakarta 100% 100% 100% 100%

Kota Salatiga 100% 100% 100% 100%

Rata - Rata 97.59% 97.19% 97.29% 97.23%

Sumber: Data Sekunder yang diolah, 2016

Berikut adalah grafik yang menunjukkan tren efisiensi teknis bidang pendidikan dan kesehatan untuk kabupaten/kota di Jawa Tengah pada periode 2009 sampai 2012. Pada grafik 4.1 menunjukan angka rata-rata efisiensi teknis di Jawa Tengah pada bidang pendidikan dan bidang kesehatan. Dapat kita lihat bahwa rata-rata efisiensi pada bidang pendidikan lebih rendah bila dibandingkan dengan bidang kesehatan. Angka efisiensi pada bidang pendidikan berkisar pada angka 89% hingga 91%, sedangkan pada bidang kesehatan berkisar pada angka yang lebih tinggi yaitu 97%. Dan juga dapat dilihat pada grafik diatas bahwa pada kedua bidang memiliki tren yang cenderung datar atau stabil, sehingga selama tahun 2009 sampai 2012 belum ada perbaikan atau peningkatan yang signifikan dari pemerintah.

24 Grafik 4.1

Tren Efisiensi Teknis Bidang Pendidikan dan Kesehatan Tahun 2009-2012

Pada dasarnya, penggunaan belanja yang mana diukur dan diakui berdasarkan akuntansi berbasis kas tidak terlalu baik bila digunakan sebagai alat untuk mengevaluasi kinerja, karena penerimaan dari pemerintah pada tahun x tidak selalu berdampak langsung pada tahun yang bersangkutan, bisa jadi berdampak pada tahun x+1 atau bahkan x+2. Apalagi berkaitan dengan program pemerintah, misalnya saja perbaikan sekolah atau rumah sakit yang rusak.

Perbaikan bangunan seperti sekolah dan rumah sakit pasti membutuhkan waktu yang tidak singkat. Hal-hal seperti itu yang bisa menimbulkan adanya bias pada angka efisiensi pada tabel 4.4 dan tabel 4.6. Oleh sebab itu, peneliti menghitung juga angka efisiensi dengan lag 1 tahun dan 2 tahun, dan hasilnya dapat dilihat pada tabel 4.7, tabel 4.8 dibawah ini.

Tabel 4.7 menunjukkan hasil perhitungan efisiensi dengan lag 1 tahun pada bidang pendidikan dan bidang kesehatan. Jika dilihat pada rata-rata efisiensinya dan dibandingkan dengan rata-rata efisiensi tanpa lag pada bidang pendidikan hasilnya menunjukkan angka yang tidak jauh berbeda, namun nilai terendah dan tertingginya meningkat dari 89.51% menjadi 90.47% dan 91.32%

menjadi 91.87%. Pada bidang kesehatan terdapat 1 kolom yang kosong yaitu input 2009 output 2010, hal tersebut disebabkan karena pada saat mengolah data

2009 2010 2011 2012

Dokumen terkait