• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Usaha Pengolahan Gula Kelapa di Kecamatan Cilongok Kelapa dijuluki sebagai pohon kehidupan dikarenakan setiap bagian tanamannya dapat dimanfaatkan seperti berikut: (1) sabut kelapa: coir fiber, keset, sapu, matras, bahan pembuat spring bed; (2) tempurung: charcoal, carbon aktif dan kerajinan tangan; (3) daging buah: VCO, minyak kelapa, coconut cream, santan, kelapa parutan kering (desiccated coconut); (4) air kelapa: cuka, nata de coco; (5) batang kelapa: bahan bangunan untuk kerangka atau atap; (6) daun kelapa: lidi untuk sapu, barang anyaman (daun kelapa muda atau janur untuk dekorasi pesta pernikahan); nira kelapa: gula merah. Begitu banyak produk yang dihasilkan dari tanaman kelapa, akan tetapi selama ini keragaman produk olahan kelapa yang dihasilkan masih terbatas. Penganekaragaman produk-produk olahan kelapa merupakan upaya dlam meningkatkan nilai ekonomi kelapa sehingga dapat lebih memberikan kesejateraan bagi pengrain kelapa. Melalui pengolahan kelapa secara

23,772 49,167 57,400 59,360 60,245 62,009 62,789 - 10,000 20,000 30,000 40,000 50,000 60,000 70,000 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 P ro d u k si ( T o n ) Tahun

terpadu akan dihasilkan produ-produk yang diharapkan dapat emningkatkan nilai tambah kelapa.

Kabupaten Banyumas, khususnya di Kecamatan Cilongok hasil salah satu output derivasi tanamana kelapa yang dihasilkan berbasis pada bunga, yaitu produk gula merah atau gula kelapa. Bagian penting Bungan kelapa yang bernilai ekonomis yaitu mayang. Mayang merupakan Bungan kelapa yang belum terbuka, sedangkan bila telagh mekar atau pecah disebut manggar. Minarti (2007) menjelaskan bahwa nira kelapa adalah cairan yang keluar (eksudat) yang berasal dari mayang pohon kelapa. Gula kelapa atau biasa dikenal dengan gula merah dibuat dari nira yang didapatkan dari hasil sadapan mayang kelapa, kemudian diproses melalui pemasakan dan dicetak untuk menghasilkan gula cetak ataupun dihaluskan untuk menghasilkan gula semut (gula kristal). Pengrajin gula kelapa dalam memperoleh nira adalah dengan cara menderes atau melukai mayang.

Hamzah dan Jatnika (1990) dalam Siahaan (1992) dalam penelitiannya mengenai kelapa di Kabupaten Pacitan mengasumsikan apabila tanaman kelapa mampu menghasilkan nira sebanyak 30.9 liter per mayang dan dalam satu pohon kelapa dapat menghasilkan 14 mayang per tahun, maka akan diperoleh nira sebanyak 432.6 liter per pohon per tahun. Mayang yang telah dideres atau dilukai untuk diambil niranya sampai habis maka tidak akan menghasilkan buah. Sehingga dalam hal ini terdapat kemungkinan untuk memperoleh nira dan buah dari mayang yang sama, oleh karena itu pengrajin gula kelapa harus memilih salah satu dari kemungkinan tersebut agar mendapatkan nira kelapa dengan nilai ekonomis yang optimal.

Dalam usaha pengolahan gula kelapa, analisis perhitungan usaha dilakukan untuk memberikan gambaran mengenai produksi dan harga jual yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap pendapatan yang di terima pengrajin gula kelapa dalam usaha pengolahan gula kelapa. Berdasarkan Soekartawi (2002), usaha pengolahan adalah suatu jenis kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat dalam suatu wilayah tertentu dengan mengkombinasikan faktor alam, tenaga kerja, modal dan pengelolaan yang ditujukan kepada peningkatan produksi. Dalam usaha pengolahan ini tentunya terdapat sejumlah biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi output yang dihasilkan. Biaya merupakan pengorbanan yang dikeluarkan pada usaha pengolahan gula kelapa. Biaya terdiri dari biaya tunai dan biaya tidak tunai. Biaya tunai adalahg biaya yang langsung dikeluarkan, misalnya upah tenaga kerja. Biaya tidak tunai adalah biaya yang tidak dibayarkan secara tidak langsung, misalnya biaya tenaga kerja keluarga yang ikut serta. Berdasarkan konsep biaya dalam ilmu ekonomi terbagi atas:

1. Biaya tetap adalah sejumlah biaya yang perubahan biayanya bukan ditentukan atau dipengaruhi oleh besarnya aktivitas operasional suatu kegitan produksi. 2. Biaya variabel adalah sejumlah biaya yang perubahan biayanya ditentukan atau

dipengaruhi oleh besarnya aktivitas operasional suati kegiatan produksi. 3. Biaya total adalah biaya yang merupakan jumlah dari biaya tetap dan biaya

variabel.

4. Biaya variabel rata-rata adalah biaya yang berubah total untuk memproduksi sejumlah output tertentu dibagi dengan jumlah produksi.

5. Biaya total rerata adalah biaya total untuk memproduksi sejumlah output tertentu dibagi dengan jumlah produksi.

6. Biaya marginal adalah kenaikan biaya produksi yang dikeluarkan untuk menambah produksi sebanyak satu unit.

Usaha pengolahan gula kelapa tentunya mengunakan beberapa peralatan produksi, adapun peralatan yang digunakan dalam usaha pengolahan gula kelapa di Kecamatan Cilongok dapat dilihat pada Tabel 12.

Tabel 12. Jenis Peralatan yang digunakan dalam Produksi Gula Kelapa.

No Jenis Alat Rata-rata Harga Satuan

(Rp) Umur Ekonomis (tahun) 1 Pongkor 1,300 2 2 Tungku 300,000 4 3 Wajan 180,000 5 4 Pengaduk 6,000 3 5 Soled 8,000 2 6 Irus 15,000 3 7 Saringan/Ayakan 15,000 2 8 Tatakan 20,000 10 9 Sabit 70,000 5 10 Pengguser 3,000 3 11 Sengkang (cetakan) 1,000 5

Sumber: Data Primer diolah, 2013

Berdasarkan Tabel 12, peralatan yang paling banyak digunakan untuk produksi gula cetak adalah pongkor (bumbung) dan sengkang (cetakan) karena jumlah pongkor rata-rata empat kali lipat dari jumlah pohon yang diambil niranya, sedangkan jumlah cetakan membutuhkan jumlah yang banyak agar gula yang belum dicetak tidak mengeras. Pongkor dan cetakan ini biasanya terbuat dari bamboo, tetapi seiring berkembangan waktu, pengrajin gula kelapa lebih banyak menggunakan tempat plastik untuk pongkor dikarenakan harga bambu yang cukup tinggi sehingga dapat menambah biaya produksi gula kelapa. Berbeda apabila pengrajin gula kelapa menggunaan pongkor plastik, pengrajin bisa mendapatkan pongkor plastik ini dari hasil barang-barang yang tidak terpakai, seperti botol aqua bekas, botol oli bekas maupun barang-rang loakan lainnya yang tidak terpakai. Produksi gula semut yang paling banyak dibutuhkan hanyalah pongkor, karena setelah gula masak gula diaduk-aduk sampai mengental dan dibiarkan sebentar sampai agak mengeras setelah itu gula di haluskan dengan menggunakan pengguser lalu diayak agar ukuran gula semut seragam.

Jumlah produksi gula yang dihasilkan oleh pengrajin gula kelapa cetak rata- rata per bulan sebesar 309.88 kg sedangkan pengrajin gula semut rata-rata menghasilkan sebesar 268.29 kg. Jumlah produksi ini berdasarkan data produksi harian yang diperoleh pada saat pengambilan data. Meskipun jumlah gula rata-rata yang dihasilkan pengrajin gula cetak lebih besar dibandingkan dengan gula semut akan tetapi pendapatan yang diterima oleh pengrajin gula semut lebih besar dibandingkan pengrajin gula kelapa cetak. Pendapatan pengrajin gula kelapa cetak dan gula semut secara berturut-turut sebesar Rp 2,349,765 per bulan dan Rp 3,418,727 per bulan, selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 13.

Tabel 13. Analisis Finansial Usaha Pengolahan Gula Kelapa Cetak dan Gula Semut di Daerah Penelitian.

Uraian Gula Cetak Gula Semut

Nilai Rata- rata (per bln) Persen (%) Nilai Rata- rata (per bln) Persen (%) A. Pendapatan Gula (Kg) 2,349,764.94 3,418,726.53 B. Biaya B1. Biaya Tunai (B1) Nira (lt) 1,115,562.86 49.30 965,828.57 41.47 Kapur (kg) 29,120.00 1.29 30,000.00 1.29 Cangkang Manggis (kg) 7,114.29 0.31 7,350.00 0.32 Bahan Bakar (m3) 208,285.71 9.21 79,714.29 3.42 Kemasan (unit/10 kg) 3,098.79 0.14 2,682.86 0.12 B2. Biaya Tidak Tunai (B2)

Tenaga Kerja Dalam Keluarga 771,981.43 34.12 1,115,755.10 47.91 Penyusutan 124,325.36 5.49 121,053.18 5.20 Minyak Goreng 3,098.79 0.14 - - Parutan Kelapa - - 6,600.00 0.28

Total Biaya Tunai (B1) 1,363,181.64 1,085,575.71

Total Biaya Tidak Tunai (B2) 899,405.57 1,243,408.29

Total Biaya (B1+B2) 2,262,587.21 2,328,984.00

Keuntungan atas Biaya Tunai (A-B1)

986,583.30 2,333,150.82

Keuntungan atas Total Biaya (A-(B1+B2))

87,177.72 1,089,742.53

R/C atas Biaya Tunai (A/B1) 1.72 3.15

R/C atas Biaya Total (A/C) 1.04 1.47

Keterangan: Nilai rata-rata 25 pohon yang disadap oleh pengrajin dalam 1 bulan.

Perbedaan pendapat yang diterima oleh pengrajin gula cetak dan gula semut ini disebabkan oleh perbedaan harga yang di terima oleh pengrajin. Harga rata-rata gula kelapa cetak dipasar pada saat dilakukan penelitian ini sebesar Rp 7,554 sedangkan gula semut sebesar Rp 12,943. Beberapa faktor yang mempengaruhi perbedaan harga yang diterima oleh pengrajin gula cetak dan gula semut antara lain yaitu, pasar tujuan gula kelapa, sertifikat organik dan kualitas gula. Gula semut dapat disimpan lebih lama jika dibandingkan dengan gula cetak. Selain itu gula semut biasanya digunakan oleh industri-industri makanan dan masyarakat kelas menengah ke atas dikarenakan berkembangnya preferensi masyarakat seiring berjalannya waktu. Masyarakat kelas menengah keatas mempertimbangkan aspek kesehatan yang lebih baik jika menggunakan pemanis gula kelapa (gula semut) selain rasa yang lebih enak. Nira kelapa yang bisa digunakan dalam pembentukan gula semut haruslah nira kelapa dengan kualitas super dan segar, sedangkan dalam pembuatan gula cetak jika nira kelapa yang dihasilkan perharinya sedikit biasanya pengrajin gula hanya memasak nira sampai mendidh dan keesokan harinya mencampurkan dengan nira yang baru kemudian memasaknya hingga menjadi gula kelapa cetak.

Berdasarkan struktur biaya-biaya produksi gula kelapa cetak dan gula semut, biaya nira kelapa. Nira kelapa adalah bahan utama dalam pembuatan gula kelapa, hal inilah yang menjadi penyebab persentase biaya nira adalah yang terbesar berdasarkan data dari Disperindagkop Kabupaten Banyumas, 1 liter nira kelapa seharga Rp 600, akan tetapi situasi yang terjadi dilapangan adalah pengrajin gula kelapa yang tidak penah membeli nira per liter. Pengrajin gula kelapa di Kecamatan Cilongok menggunakan system bagi hasil, dimana bila seseorang menderes pohon milik orang lain maka 5 hari pertama hasil deresan nira adalah untuk pemilik pohon dan 5 hari kemudian untuk penderes pohon. Selain nira kelapa, struktur biaya yang mempunyai persentase besar adalah tenaga kerja. Usaha pengolahan gula kelapa cetak dan gula semut di Kecamatan Cilongok masih diusahakan secara tradisonal, yang semua prosesnya tanpa menggunakan mesin. Kegiatan pengolahan gula cetak merupakan kegiatan rutin yang dilakukan sebagian besar masyarakat di Kecamatan Cilongok. Upah tenaga kerja dalam kegiatan ini adalah tenaga kerja dalam keluarga dan perajin tidak memperhitungkan upah tenaga kerja. Tenaga kerja yang digunakan adalah tenaga kerja pria dan tenaga kerja wanita. Tenaga kerja pria digunakan untuk kegiatan penyadapan/menderes pohon kelapa sedangkan tenaga kerja wanita digunakan untuk kegiatan pemasakan nira sampai dengan pengemasan gula kelapa.

Sedangkan komponen biaya kapur dan kulit manggis merupakan komponen biaya yang paling sedikit dikarenakan kulit manggis dan kapur merupakan bahan penolong yang digunakan sebagai laru untuk campuran nira dan penggunaannya sangat sedikit. Penggunaan kulit manggis untuk satu kilogram gula kelapa organik adalah kurang lebih 5 gram, sedangkan penggunaan kapur untuk satu kilogram gula kelapa organik adalah kurang lebih 7.5 gram. Penambahan kulit manggis digunakan untuk mencegah kerusakan nira akibat aktivitas bakteri sedangkan penambahan kapur berfungsi untuk mempertahankan pH nira supaya tidak asam.

Berdasarkan Tabel 13 juga diketahui bahwa usaha pengolahan gula kelapa cetak dan gula semut di Kecamatan Cilongok layak secara finansial untuk diusahakan karena memiliki nilai RC > 1.

Analisis Fungsi Produksi Stochastic Frontier Usaha Gula Kelapa

Model fungsi produksi stochasticfrontier yang digunakan dalam analisis ini adalah model fungsi Cobb Douglas. Model stochastic frontier digunakan dalam penelitian ini dengan metode pendugaan Maximum Likelihood Estimation (MLE) yang dilakukan dalam dua tahapan. Tahap pertama menggunakan metode OLS (Ordinary Least Square) dan selajutnya pada tahap kedua menggunakan metode MLE. Dalam proses membangun model, dibedakan antara fungsi produksi gula kelapa cetak dan gula kelapa kristal (gula semut). Variabel input yang diduga berpengaruh terhadap usaha gula kelapa cetak maupun gula semut meliputi jumlah pohon (X1), curahan jam kerja (X2) dan bahan bakar (X3). Hasil dugan fungsi produksi Cobb Douglas gula kelapa cetak dapat dilihat pada Tabel 14.

Tabel 14. Hasil Dugaan Fungsi Produksi Cobb Douglas Gula Kelapa Cetak dengan Menggunakan Metode OLS.

Variabel Input Parameter Dugaan t Value Pr > [t] VIF

Konstanta 3.78 1.98 0.05 0

Jumlah Pohon (X1) 0.64 5.89a 0.00 1.24

Curahan Jam Kerja (X2) 0.42 2.77a 0.01 1.30

Bahan Bakar (X3) 0.14 2.32a 0.02 1.15

R-Sq 0.58

F-hitung 30.24

Durbin Watson 1.83

Keteranganμ a, b nyata pada α 0.05 dan 0.10

Hasil dugaan model produksi Cobb-Douglas metode OLS pada Tabel 14 dan Lampiran 8 menunjukkan bahwa koefisien determinasi (R2) sebesar 0.58, artinya 58% variabel input yang digunakan dalam model tersebut dapat menjelaskan variasi produksi usaha gula kelapa cetak di Kabupaten Banyumas. Sedangkan 42% dijelaskan diluar model tersebut. Hasil pendugaan model produksi Cobb-Douglas gula kelapa cetak metode OLS adalah sebagai berikut:

Ygula kelapa cetak = 3.78X10.64 X20.42 X30.14 ... (5.1) Seluruh variabel input berpengaruh positif terhadap produksi gula kelapa cetak sesuai dengan yang diharapkan. Jumlah pohon (X1), curahan jam kerja (X2) dan bahan bakar (X3) berpengaruh nyata pada α=5%. Nilai parameter dugaan pada model produksi gula kelapa cetak Cobb-Douglas juga merupakan nilai elastisitasnya. Jumlah pohon yang dideres memiliki elastisitas paling tinggi sebesar 0.64, artinya jika penderes menambah jumlah pohon kelapa untuk diambil niranya (dideres) sebesar 10% dengan input lain tetap akan meningkatkan produksi gula kelapa cetak sebesar 6.40%. Hal ini menunjukkan petani rasional jika menambah jumlah pohon yang dideres untuk meningkatkan produksi. Nilai elastisitas terkecil adalah variabel bahan bakar sebesar 0.14, artinya penambahan bahan bakar sebesar 10% dengan input lain tetap hanya meningkatkan produksi gula kelapa sebesar 1.40%.

Model produksi gula kelapa cetak terdistribusi normal (Lampiran 4), homoskedastis (Lampiran 5) tidak terjadi multikoliniearitas dengan nilai VIF<10 (Tabel 14) dan tidak terjadi autokorelasi dengan nilai DW= 1.83. Uji multikoliniearitas penting dilakukan karena adanya multikoliniearitas dapat mengakibatkan penaksiran-penaksiran kuadrat terkecil menjadi tidak efisien, sehingga salah satu akibatnya adalah koefisiensi determinasi (R2) tinggi, akan tetapi uji statistik t (t rasio) menunjukkan bahwa parameter dugaan sedikit berpengaruh nyata (Gujarati, 1978). Berdasarkan Manurung et al (2005) menyatakan bahwa nilai

Variance Inflation Factor (VIF) yang tinggi merupakan indikasi terjadinya multikoliniearitas antar variable independen pada suatu model. Beberapa referensi menyatakan bahwa multikoliniearitas yang serius terjadi jika nilai VIF pada model liniear berganda lebih besar dari 10 dan multikoliniearitas tidak serius jika nilai VIF kurang dari 10.

Hasil pendugaan selanjutnya adalah pendugaan terhadap fungsi produksi gula semut. Variabel input yang diduga berpengaruh pada produksi gula semut sama dengan gula kelapa cetak meliputi jumlah pohon (X1), curahan jam kerja (X2)

dan bahan bakar (X3). Hal yang membedakan produksi gula cetak dan gula semut adalah pada proses pengerjaan yang lebih rumit dan kedisiplinan. Untuk menghasilkan gula semut pembuat gula kelapa harus lebih bersih dalam pengerjaannya. Adapun hasil pendugaan fungsi produksi Cobb Douglas gula semut dapat dilihat pada Tabel 15.

Tabel 15. Hasil Dugaan Fungsi Produksi Cobb Douglas Gula Semut dengan Menggunakan Metode OLS.

Variabel Input Parameter Dugaan t Value Pr > [t] VIF

Konstanta 0.51 -0.61 0.55 0.00

Jumlah Pohon (X1) 0.30 1.69b 0.10 2.43

Curahan Jam Kerja (X2) 0.66 2.29a 0.03 2.51

Bahan Bakar (X3) 0.35 2.62a 0.01 2.116

R-Sq 0.72

F-hitung 26.98

Durbin Watson 1.79

Keteranganμ a, b nyata pada α 0.05 dan 0.10

Hasil dugaan model produksi Cobb-Douglas metode OLS pada Tabel 15 dan Lampiran 9 menunjukkan bahwa koefisien determinasi (R2) sebesar 0.72, artinya 72% variabel input yang digunakan dalam model tersebut dapat menjelaskan variasi produksi usaha gula semut di Kabupaten Banyumas. Sedangkan 18% dijelaskan diluar model tersebut. Hasil pendugaan model produksi Cobb-Douglas gula semut metode OLS adalah sebagai berikut:

Ygula semut = 0.51X10.30 X20.66 X30.35 ... (5.2)

Seluruh variabel input berpengaruh positif terhadap produksi gula kelapa cetak sesuai dengan yang diharapkan. Jumlah pohon (X1) berpengaruh nyata pada α=10%, sedangkan curahan jam kerja (X2) dan bahan bakar (X3) berpengaruh nyata pada α=5%. Nilai parameter dugaan pada model produksi gula kelapa cetak Cobb- Douglas juga merupakan nilai elastisitasnya. Curahan jam kerja memiliki elastisitas paling tinggi sebesar 0.66, artinya penambahan waktu kerja sebesar 10% dengan input lain tetap akan meningkatkan produksi gula semut sebesar 6.62%. Nilai elastisitas terkecil adalah variabel jumlah pohon sebesar 0.30, artinya penambahan bahan bakar sebesar 10% dengan input lain tetap hanya meningkatkan produksi gula cetak sebesar 3.03%. Koefisien konstanta pada Tabel 15 bernilai 0.51 ini berarti apabila penggunaan faktor-faktor lain bernilai nol maka produksi gula semut akan bernilai -0.61. Akan tetapi nilai konstanta ini tidak signifkan secara statistik negatif. Hal ini berarti tidak semua produksi pengrajin gula semut sebanyak -0.61 pada saat faktor lainnya bernilai nol. Variabel input lainnya menunjukkan pengaruh yang positif terhadap produksi gula semut sesuai dengan yang diharapkan

dan seluruh variabel input berpengaruh nyata pada tingkat α yang ditetapkan. Model produksi gula semut terdistribusi normal (Lampiran 6), homoskedastis (Lampiran 7) tidak terjadi multikoliniearitas dengan nilai VIF<10 (Tabel 15) dan tidak terjadi autokorelasi dengan nilai DW= 1.79.

Pendugaan fungsi produksi stochastic frontier dilakukan dengan menggunakan metode MLE. Hasil pendugaan menggambarkan kinerja terbaik (best practice) dari pengrajin gula responden pada tingkat teknologi yang ada.

Selanjutnya hasil dari pendugaan fungsi produksi stochastic frontier dijadikan dasar untuk mengukur efisiensi alokatif dan efisiensi ekonomis dengan menurunkan dari fungsi biaya dual. Tabel 16 Menunjukkan hasil pendugaan fungsi produksi

stochastic frontier dengan menggunakan variabel input.

Tabel 16. Analisis Fungsi Produksi Stochastic Frontier Gula Kelapa Cetak dan Gula Semut.

Variabel Gula Kelapa Cetak Gula Semut

Parameter Dugaan t-ratio Parameter Dugaan t-ratio

Konstanta 5.26 2.93 1.20 0.86

Jumlah Pohon (X1) 0.75 7.44a 0.29 2.04a

Curahan Jam Kerja (X2) 0.30 2.08a 0.62 3.05a

Bahan Bakar (X3) 0.15 2.84a 0.21 4.11a

Log likehood function OLS 13.79 30.02

Log likehood function MLE 16.66 36.47

LR test of the one-sided eror 5.73 12.90

Keterangan: a, b, nyata pada 0.05 dan 0.10 Sumber: Analisis Data Primer, 2013

Fungsi produksi stochastic frontier usaha pengolahan gula kelapa cetak dan gula semut dianalisis menggunakan metode MLE dengan frontier 4.1. Hasil pendugaan model produksi stochastic frontier dijadikan dasar untuk mengukur efisiensi alokatif dan efisiensi ekonomi dengan menurunkan fungsi produksi menjadi fungsi biaya dual. Hasil pendugaan model produksi frontier usaha gula kelapa cetak dan gula semut di Kabupaten Banyumas adalah sebagai berikut: YGKC= 5.26X10.75 X20.30 X30.15

YGKS= 1.20X10.29 X20.62 X30.21

Variabel-variabel yang nyata berpengaruh terhadap produksi batas (frontier) gula kelapa cetak dan gula semut seluruhnya sama dengan variabel yang nyata pada produksi rata-rata gula kelapa cetak dan gula semut, hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 16, Lampiran 12 dan Lampiran 13.

Fungsi produksi gula cetak, hasil pendugaan pada Tabel 16 menunjukkan bahwa variabel jumlah pohon (X1) berpengaruh nyata terhadap produksi batas pada α 5% dengan nilai elastisitas sebesar 0,75. Nilai elastisitas tersebut menunjukkan

bahwa penambahan input sebesar 10% dengan input lain tetap akan meningkatkan produksi batas pengrajin contoh di daerah penelitian sebesar 7.5%. Elastisitas produksi jumlah pohon (X1) pada fungsi produksi stochastic frontier lebih besar dari elastisitas produksi jumlah pohon (X1) pada produksi rata-rata yang bernilai 0.64. Pada gula fungsi produksi gula semut, variabel jumlah pohon (X1) berpengaruh nyata pada produksi batas pada α 5% dengan nilai elastisitas sebesar 0.29. Nilai elastisitas tersebut menunjukkan bahwa penambahan input sebesar 10% dengan input lainnya tetap akan meningkatkan produksi batas pengrajin contoh di daerah penelitian sebesar 2.90%. Nilai elastisitas fungsi produksi stochastic frontier

lebih kecil dari elastisitas produksi jumlah prohon (X1) pada fungsi produksi rata- rata yang memiliki nilai elastisitas 0,10. Hasil ini menunjukkan bahwa jumlah pohon (X1) lebih elastis. Dalam hal ini, pengrajin masih rasional untuk menambah banyak pohon yang dapat diambil niranya guna meningkatkan produksi. Dalam satu

hari penderes di Kecamatan Cilongok dapat menderes pohon kelapa sebanyak 28 pohon dengan rata-rata gula yang diperoleh dari hasil penyadapan nira 5-9 kg per hari. Apabila pengrajin gula kelapa di Kecamatan Cilongok ingin meningkatkan pendapatan yang diperolehnya makan harus semakin banyak pula pohon yang dideres untuk diambil niranya. Akan tetapi permasalah yang terjadi di lokasi penelitian (Kecamatan Cilongok), banyaknya nira yang dihasilkan pohon kelapa tidak berbanding dengan hasil gula yang dihasilkan setelah dimasak. Hal ini terjadi dikarenakan pohon kelapa deres pada lokasi penelitian rata-rata sudah berumur tua (30-55 tahun) dan pada saat penelitian dilakukan cuaca didaerah penelitian sedang peralihan dari musim penghujan ke musim panas. Disamping itu tanaman kelapa juga tidak ditanaman pada areal khusus melainkan di sekitar pekarang rumah serta tidak ada perlakuan khusus untuk meningkatkan produktivitas tanaman kelapa deres seperti pemupukan.

Variabel curahan jam kerja (X2) pada produksi gula cetak sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 16 berpengaruh nyata terhadap fungsi batas pada α 5% dengan nilai elastisitas sebesar 0.30. Nilai elastisitas tersebut menunjukkan bahwa penambahan input sebesar 10 persen dengan input lainnya tetap akan meningkat produksi batas pengrajin contoh di daerah penelitian sebesar 3%. Nilai ini lebih kecil dibandingkan nilai elastisitas pada fungsi produksi rata-rata yaitu sebesar 0.64. Hasil ini menunjukkan bahwa penggunaan tenaga kerja pada produksi batas kurang elastis dibandingkan dengan fungsi produksi rata-ratanya. Variabel curahan jam kerja (X2) pada produksi gula semut juga memiliki nilai elastisitas fungsi produksi batas yang lebih kecil dari produksi rat-ratanya yaitu sebesar 0.62. Artinya bahwa penambahan 10 persen input dan input lain tetap, maka akan meningkatkan produksi batas sebesar 6.23%. Nilai elastisitas pada fungsi produksi batas ini juga lebih kecil dari nilai elastisitas pada fungsi produksi rata-ratanya yaitu 0,66. Artinya sudah tidak rasional pengajin gula kelapa untuk menambah waktu kerjanya. Curahan jam kerja adalah waktu yang dicurahkan oleh tenaga kerja dalam kegiatan pengelolaan usaha pembuatan gula per hari per tenaga kerja, dalam hal ini adalah waktu yang dicurahkan perajin gula kelapa di Kecamatan Cilongok untuk bekerja sebagai perajin per hari per tenaga kerja. Curahan jam kerja para perajin gula kelapa organik dapat diketahui dengan menghitung jam kerja per hari yang digunakan perajin gula kelapa organik untuk bekerja sebagai perajin.

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan pada pengrajin contoh, diketahui bahwa rata-rata jam kerjanya sebanyak 7,6 jam per hari untuk pengrajin gula cetak dan sebanyak 8,2 jam per hari untuk pengrajin gula semut. Hal ini berarti perajin gula kelapa dapat dikatakan telah bekerja secara penuh untuk memproduksi gula kelapa, mengingat konsep curahan jam kerja yang menyatakan bahwa tenaga kerja dapat dikatakan telah bekerja secara penuh pada suatu pekerjaan apabila dia bekerja lebih besar atau sama dengan 5 jam per hari. Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan pada lokasi penelitian, diketahui rata-rata tenaga kerja yang dibutuhkan untuk memproduksi gula kelapa semuanya berasal dari keluarga sendiri

Dokumen terkait