• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis pemberlakuan ACFTA terhadap Neraca Perdagangan Sektor Pertanian Indonesia-Cina

BAB III : Bab ini akan memaparkan mengenai variabel-variabel yang akan di deskripsikan yaitu mengenai ACFTA yang meliput

4.7 Analisis pemberlakuan ACFTA terhadap Neraca Perdagangan Sektor Pertanian Indonesia-Cina

Berdasarkan pada data yang telah diuraikan sebelumnya maka kondisi neraca perdagangan sektor pertanian antara Indonesia-Cina yang diurut berdasarkan tahun dari tahun 2006 hingga 2010, masih mengalami surplus bahkan mengalami kecenderungan peningkatan yaitu mulai tahun 2006 dengan nilai 1,3 milyar USD, tahun 2007 meningkat menjadi 1,5 milyar USD, tahun 2008 meningkat menjadi 2,3 milyar USD, terjadi penurunan nilai surplus tahun 2009 menjadi 2 milyar USD dan kembali meningkat tajam pada tahun 2010 dengan capaian nilai 2,8 milyar USD. Berangkat dari hal tersebut, dapat diartikan bahwa telah terjadi kecenderungan kenaikan dari nilai surplus komoditas pertanian Indonesia terhadap Cina dimana bahwasannya poin penting dari ACFTA adalah dengan adanya penghapusan hambatan tarif telah memberikan cukup ruang yang lebih luas bagi keluar masuknya arus produk-produk pertanian antara Indonesia dan Cina sehingga dengan begitu produk-produk unggulan sektor pertanian Indonesia juga akan jauh lebih mudah untuk masuk ke dalam pasar Cina.

Hal ini mengindikasikan bahwa sejak efektif berlakunya ACFTA pada awal tahun 2010 untuk Indonesia dan Cina, perkembangan perdagangan baik ekspor maupun impor pada umumnya masing-masing memang mengalami kenaikan. Namun, di sisi lain bahwa dengan berlakunya ACFTA maka tentunya hambatan tarif sudah tentunya dihilangkan sehingga memberikan cukup kelonggaran masuknya produk-produk pertanian Indonesia ke Cina.

Pada semester I tahun tahun 2010 yaitu tahun setelah efektif berlakunya ACFTA terjadi surplus yang mencapai nilai total 931 juta USD. Kemudian, pada periode semester I tahun 2011 terjadi peningkatan nilai surplus yang tinggi, yaitu dengan mencapai nilai total 1,8 milyar USD, apabila dibandingkan dengan periode semester I tahun 2010, maka dapat diartikan bahwa sejak efektif berjalannya ACFTA hingga periode semester I tahun 2011, telah efektif dalam mempengaruhi devisa Indonesia dari sektor pertanian yang diindikasikan dengan peningkatan pertumbuhan (Growth Rate) yang cukup tinggi terhadap nilai surplus yang diperoleh pada semester tersebut, dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Hal ini dapat diartikan bahwa dengan berlakunya ACFTA akan lebih membuka peluang pasar yang lebih besar lagi dari Indonesia terhadap Cina, disamping hal tersebut juga akan lebih mendorong dari segi pertumbuhan volume perdagangan bagi komoditas pertanian Indonesia.

Ini memperlihatkan bahwa dengan pemberlakuan ACFTA produk-produk pertanian Indonesia masih memiliki daya saing yang cukup baik di pasar internasional, terutama untuk produk-produk perkebunan yang mempunyai penetrasi yang cukup besar ke dalam pasar Cina. Sehingga bahwasannya, hal

tersebut telah mengindikasikan bahwa dengan berlakunya ACFTA telah efektif memberikan dampak yang cukup positif bagi laju pertumbuhan perdagangan sektor pertanian Indonesia dan juga tentunya hal tersebut mempunyai korelasi yang positif pula dengan seberapa besar perolehan devisa Indonesia dari sektor pertanian. Sehingga, apabila sektor ini mampu dikelola dan dioptimalkan secara lebih baik lagi maka hasil yang didapatkan Indonesia jauh akan lebih optimal pula guna mendorong terciptanya peningkatan perolehan devisa Indonesia dari sektor ini.

103 5.1 Kesimpulan

Dengan efektif berlakunya ACFTA pada awal tahun 2010, maka negara ASEAN 6 dan Cina telah mengurangi seluruh hambatan tarifnya menjadi 0%, termasuk komoditas pertanian Indonesia. Terdapat tiga tahapan skema pengurangan tarif, yaitu yang pertama adalah program EHP, dimana di dalam perjanjian ini para pihak sepakat untuk mengurangi hambatan tarif pada kategori produk Chapter 01 hingga Chapter 08, program ini mulai diiplementasikan pada tahun 2003 dan berakhir pada tahun 2006 untuk ASEAN 6 dan Cina, sedangkan berakhir pada tahun 2010 untuk negara Kamboja, Laos, Vietnam dan Myanmar. Tujuan dari program ini adalah untuk mempercepat terealisasinya ACFTA.

Kedua, adalah skema Normal Track yang mulai diimplementasikan sejak tahun 2005 dan pada tahun 2010 negara ASEAN 6 dan Cina sudah mengurangi seluruh hambatan tarif pada 100% komoditas yang ada pada Normal Track menjadi 0%. Ketiga, adalah Sensitive Track yang terbagi kedalam dua kategori, yaitu Sesitive List dan Highly Sensitive List.

Ada beberapa hal yang menjadi kendala dalam penerapan ACFTA di Indonesia, hal tersebut sangat erat kaitannya dengan kondisi intern dari sendi- sendi perekonomian Indonesia, yaitu pertama, di Indonesia para usaha masih didominasi oleh usaha yang sifatnya UMKM, serta dikarenakan adanya keterbatasan-keterbatasan dari bentuk usaha semacam ini, baik keterbatasan dari

hal kemampuan, permodalan, produktivitas, manajemen usaha, sampai pada pemasaran. Kedua, infrastruktur yang kurang memadai, dimana hal ini erat kaitannya dengan aksesbilitas, konektivitas, dan hal lainnya yang berfungsi untuk memperlancar proses produksi dan distribusi suatu komoditas.

Ketiga, masih adanya hambatan dalam regulasi pemerintah dalam pendirian suatu usaha serta birokrasi yang berbelit-belit. Dan keempat adalah bunga kredit usaha yang masih relatif tinggi, rendahnya kualitas SDM Indonesia serta masih rendahnya tingkat inovasi produk Indonesia.

Berangkat dari permasalahan serta kendala yang dihadapi, maka pemerintah telah melakukan beberapa upaya untuk mengatasi berbagai kendala dari pemberlakuan ACFTA di Indonesia, yaitu seperti melakukan pengamanan pasar dalam negeri, standarisasi mutu, perlindungan konsumen dan lainnya. Kemudian, peningkatan pengawasan terhadap ekspor dan impor, termasuk pengawasan terhadap dokumen SKA (Surat Keterangan Asal) baik ekspor maupun impor.

Penguatan pasar ekspor, yaitu dengan cara promosi-promosi produk- produk Indonesia yang tentunya harus juga didukung oleh penanganan yang baik bagi produk tersebut, termasuk penciptaan keunikan dari suatu produk. Dan penanganan isu-isu domestik lainnya dalam hal usaha, termasuk akses pembiayaan, layanan publik, infrastruktur dan lainnya.

Tantangan yang dihadapi oleh sektor pertanian Indonesia diantaranya adalah seperti dalam hal penerapan pengolahan dan penerapan teknologi dalam pengelolaan pertanian, hal ini terkait dengan Technology Transfer termasuk Bio-

Technology yang tercantum di salah satu butir dalam penrjanjian ACFTA, sehingga dapat lebih membuka peluang bagi Indonesia dalam adopsi teknologi yang lebih baik bagi pertanian Indonesia. Dengan adopsi teknologi dan penanganan terhadap komoditas pertanian yang baik maka permintaan yang menuntut kualitas tinggi, kuantitas besar, ukuran seragam, ramah lingkungan, dan kontinuitas produk jauh lebih akan mudah untuk dipenuhi.

Untuk mengetahui perkembangan preferensi pasar (permintaan konsumen), trend konsumen yang akan datang termasuk meningkatnya tuntutan konsumen akan informasi nutrisi serta jaminan kesehatan dan keamanan produk- produk pertanian maka perlu adanya jaringan komunikasi yang baik, hal ini berkaitan erat dengan adanya pengembangan terhadap bidang teknologi informasi (IT) yang tertuang dalam ACFTA.

Dengan adanya ACFTA maka dalam hal ini akan lebih mendorong Indonesia untuk mengoptimalkan potensi-potensi yang ada terutama pada produk-produk pertanian, sehingga kecenderungan pemberlakuan non-tariff barrier dan tariff escalation sebagai persyaratan impor oleh negara-negara maju yang kuat bagi produk tersebut dapat diminimalisir.

Adanya kepedulian dalam hal pengembangan terhadap lingkungan hidup di dalam ACFTA maka akan lebih mendorong sektor pertanian dalam melakukan produksi baik dari hulu hingga hilir dengan pertimbangan akan kelestarian alam dan lingkungan demi menciptakan produk yang berbasiskan pada ”green products”. Lalu, pentingnya penciptaan suatu produk pertanian yang mempunyai suatu keunikan tersendiri sehingga menciptakan diferensiasi terhadap suatu

produk yang tentunya akan sulit untuk ditiru, dalam hal ini erat kaitannya dengan bagaimana pengembangan Bio-Technology terhadap produk-produk tersebut.

Kita dapat melihat sejauh mana efektifitas dari pemberlakuan ACFTA terhadap perdagangan produk pertanian Indonesia dengan Cina, dimana indikatornya dalam hal ini ialah dilihat dari sudut pandang kondisi neraca perdagangan (Trade Balance) sebelum efektif ACFTA berlaku hingga setelah efektif berlakunya ACFTA. Melalui model perbandingan pada semester pertama tahun 2009, tahun 2010 dan tahun 2011, maka dapat disimpulkan bahwa setelah efektif berjalannya ACFTA pada awal tahun 2010 hingga 2011 dimana pada saat tersebut seluruh produk sudah dikurangi tarifnya hingga 0% termasuk seluruh produk berbasis pertanian, kondisi perdagangan antara Indonesia dengan Cina memperlihatkan peningkatan nilai surplus yang cukup tinggi, terutama pada periode semester pertama tahun 2011.

Maka dengan hal tersebut dapat diartikan bahwa ACFTA telah memberikan pengaruh serta kontribusi yang cukup besar bagi devisa Indonesia yang dihasilkan dari kegiatan ekspor dan impor komoditas pertanian Indonesia terhadap Cina. Adanya korelasi yang positif antara pengelolaan sektor pertanian dengan pendapatan negara yang dihasilkan dari perdagangan komoditas sektor ini, yaitu apabila sektor ini dapat dikelola secara lebih optimal lagi maka akan dapat menghasilkan nilai pendapatan negara yang lebih besar disamping juga perlun adanya dukungan dalam hal intern pada sektor pertanian Indonesia, seperti peningkatan terhadap kapasitas pengetahuan terhadap pertanian, penerapan

teknologi dan metodologi yang tepat serta peran serta masyarakat dalam menciptakan kondisi ideal bagi tumbuh kembangnya sektor ini.

Hal lainnya adalah Bagi ASEAN terutama Indonesia, ACFTA berguna untuk mengurangi ancaman pertumbuhan perekonomian China yang sangat pesat. Melalui ACFTA, negara-negara ASEAN memiliki akses untuk dapat masuk ke pasar domestik China yang begitu besar dan luas, memberikan peluang peningkatan ekspor dengan tingkat tarif yang lebih rendah, disamping juga peningkatan kerjasama antara pelaku bisnis melalui pembentukan ‘Aliansi Strategis’, akses pasar jasa, regional production base, pasar regional sekaligus global, arus investasi, dan terbukanya transfer teknologi.

Berdasarkan Hipotesis yang telah diuraikan sebelumnya bahwasannya

pemberlakuan ACFTA ini yang berupa penghapusan hambatan tarif memberikan dampak terhadap pendapatan devisa Indonesia dari sektor pertanian, hal ini terlihat dari meningkatnya nilai surplus komoditas pertanian Indonesia terhadap Cina.

5.2 Saran

Untuk meningkatkan perolehan devisa, maka pertama-tama dalam hal ini Indonesia harus mempersiapkan lingkungan yang ideal bagi pertumbuhan sektor pertanian. Pemerintah dapat berlaku sebagai penyedia atau yang memfasilitasi terciptanya hal tersebut, seperti misalnya dalam hal peningkatan daya saing terhadap produk, pengelolaan dalam pemasaran hasil pertanian, penerapan teknologi dan metodologi pertanian yang tepat dan lain sebagainya. Serta perlunya

sektor pertanian untuk mendapatkan perhatian yang lebih lagi dibandingkan dengan sektor-sektor ekonomi lainnya, karena sektor pertanian sendiri adalah sektor induk yang mempu menciptakan kontribusi bagi sektor-sektor ekonomi lainnya. Utamanya adalah dalam peningkatan daya saing, ekspor serta nilai tambah.

Kemudian, langkah re-focusing terhadap sektor ini harus benar-benar dijalankan dengan serius, terutama pada subsektor perkebunan dan holtikultura, baik dalam hal pengolahannya serta penerapan ilmu pengetahuan dan teknologinya. Khususnya terhadap produk subsektor tersebut, sedangkan pada umumnya untuk produk subsektor lainnya. Dalam hal lainnya, terutama dalam hal usaha untuk para petani di dalam negeri, pemerintah harus lebih support dalam menciptakan iklim usaha yang ideal bagi para petani lokal, termasuk juga mengurangi atau bahkan menghilangkan biaya ekonomi yang tinggi, pungutan liar serta birokrasi yang sulit.

Terhadap masyarakat, perlunya lebih digalakkan program cinta produk dalam negeri, hal ini juga sedikit banyaknya akan dapat memberikan efek terhadap pengurangan permintaan akan produk-produk pertanian impor oleh Indonesia, tentunya hal tersebut juga harus didukung dengan peningkatan kualitas dari produk-produk pertanian di dalam negeri. Hal ini kembali lagi kepada kecenderungan bagaimana lifestyle dari masyarakat itu sendiri.

Lalu, untuk hal perdagangan internasional terutama dalam ACFTA, Indonesia harus benar-benar mampu untuk memberdayakan suatu regulasi atau peraturan dalam hal mutu dan standarisasi produk-produk pertanian baik untuk

ekspor maupun impor. Untuk ekspor, Indonesia harus benar-benar mampu untuk memenuhi kondisi atau syarat-syarat tertentu yang diajukan oleh pengimpor agar dapat diterima oleh masyarakat internasional, kemudian dalam hal impor, Indonesia harus dapat mengendalikan laju impor dengan menggunakan instrumen regulasi terhadap barang-barang yang masuk ke Indonesia, terkait dengan hal ini terutama yang perlu diwaspadai adalah produk-produk yang berasal dari Cina, baik olahan maupun non-olahan.

Regulasi tersebut misalnya dapat berupa adanya sertifikasi kelayakan produk atau sertifikasi halal terutama bagi produk-produk dari hewani dimana yang telah kita ketahui bahwa penduduk Indonesia adalah mayoritas muslim, sehingga perlu adanya pendekatan seperti ini. Sehingga dengan begitu maka diharapkan akan lebih mampu mendorong pertumbuhan sektor pertanian Indonesia baik secara domestik maupun dalam skala internasional.

108

Dokumen terkait