• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL PENELITIAN

B. Analisis Data

.1 0 3/µL )

Volume Infark CT-Scan Kepala Stroke Iskemik Akut (mm3)

Y-Values

Y-Values Linear (Y-Values)

Gambar 5: Diagram Tebar Pola Hubungan Jumlah Leukosit Darah Tepi dan Volume Infark Penderita Stroke Iskemik Akut.

B.Analisis Data

Untuk mengetahui apakah di antara variabel volume infark dan jumlah leukosit terdapat hubungan yang signifikan, alat uji asosiasi yang digunakan meliputi korelasi dan regresi. Metode korelasi membahas keeratan hubungan, dalam hal ini keeratan hubungan antara jumlah leukosit dan volume infark stroke iskemik akut, maka metode regresi akan membahas prediksi (peramalan), dalam hal apakah jumlah leukosit di masa datang bisa diramalkan jika volume infark stroke iskemik akut diketahui.

Terdapat beberapa persyaratan yang harus dipenuhi sebelum melakukan uji korelasi: sebaran skor dalam kelompok dari tiap kelompok yang dibandingkan harus sama, dan distribusi populasi yang diperoleh dari sampel harus berbentuk lonceng, normal, atau simetris (Sevilla et al., 1993). Dalam analisis regresi, akan

commit to user

dikembangkan sebuah persamaan regresi, yaitu suatu formula yang mencari nilai leukosit dari nilai volume infark pada stroke iskemik akut yang diketahui.

Uji normalitas yang dipakai di sini adalah uji Shapiro-Wilk karena jumlah sampel data 30 buah. Didapat untuk hasil jumlah leukosit penderita stroke iskemik akut tingkat signifikansi 0,122 pada pria dan 1,0 pada wanita yang berarti lebih besar dari 0,05. Sedangkan untuk volume infark penderita stroke iskemik akut tingkat signifikansi 0,497 pada pria dan 0,058 pada wanita yang berarti juga lebih besar dari 0,05, maka dikatakan distribusi sampel adalah normal (lampiran 8).

Selanjutnya perlu dilakukan uji homogenitas varian untuk melihat apakah sampel mempunyai varians yang sama. Tabel pada lampiran 9 menampilkan uji homogenitas varians dengan uji Levene. Nilai signifikansi mean leukosit dengan uji Levene adalah 0,141, yang berarti lebih besar dari 0,05. Demikian pula jika dasar pengukuran adalah median data, angka kemaknaan sebesar 0,137, yang tetap lebih besar dari 0,05. Sedangkan pada volume infark, nilai signifikansi mean adalah 0,253 dan nilai signifikansi median adalah 0,323, yang tetap lebih besar dari 0,05. Maka dikatakan data berasal dari populasi dengan varians yang sama.

Setelah dilakukan analisis normalitas data dan homogenitas varians, selanjutnya dapat dilakukan uji hipotesis dengan menggunakan regresi sederhana. Besar hubungan antarvariabel leukosit dan volume infark yang dihitung dengan koefisien korelasi adalah 0,944 (lampiran 10). Hal ini menunjukkan hubungan yang sangat erat (mendekati 1). Arah hubungan yang positif (tidak ada tanda negatif pada angka 0,944) menunjukkan semakin besar volume infark akan

commit to user

membuat jumlah hitung leukosit cenderung meningkat, demikian pula sebaliknya, makin kecil volume infark makin kecil pula jumlah hitung leukosit.

Tingkat signifikansi koefisien korelasi satu sisi dari output (diukur dari probabilitas) menghasilkan angka 0,000 Karena probabilitas jauh di bawah 0,05 maka korelasi antar 2 variabel sangat nyata.

Angka R square adalah 0,891 (adalah pengkuadratan dari koefisien korelasi atau 0,944 x 0,944 = 0,891). R square biasa disebut koefisien determinasi, yang dalam hal ini berarti 89,1 % dari variasi hitung leukosit pada penderita stroke iskemik akut bisa dijelaskan oleh volume infarknya. Sedangkan sisanya (100 % -89,1 % = 10,9 %) dijelaskan oleh sebab-sebab lain (lampiran 11).

Standard Error of Estimate adalah 0,62509 atas 0,62509.103/µL (satuan yang dipakai adalah variabel hitung leukosit). Pada analisis sebelumnya, Standar Deviasi leukosit adalah 1,86339.103/µL yang jauh lebih besar dari standard error of estimate. Karena lebih kecil dari standar deviasi leukosit, maka model regresi lebih bagus dalam bertindak sebagai prediktor leukosit daripada rata-rata leukosit itu sendiri.

Dari uji ANOVA atau F test, didapat F hitung adalah 229,705 dengan tingkat signifikansi 0,000. Karena probabilitas jauh lebih kecil dari 0,05 maka model regresi bisa dipakai untuk memprediksi leukosit.

Dari hasil analisis regresi dapat digambarkan persamaan : Y = 5,076 + 0,608 X

X = volume infark

commit to user

Koefisien intercept sebesar 5,076 menyatakan bahwa jika tidak ada volume infark maka leukosit adalah 5,076.103/µL. Koefisien regresi sebesar 0,608 dengan taraf signifikansi 0,000 menyatakan bahwa setiap penambahan (tanda +) 1 mm3 volume infark akan meningkatkan leukosit sebesar 0,608. 103/µL dan sebaliknya. Jadi tanda + menyatakan arah hubungan yang searah, di mana kenaikan atau penurunan variabel independen (X) akan mengakibatkan kenaikan/penurunan variabel dependen (Y).

Uji t untuk menguji signifikansi konstanta dan variabel dependen (leukosit). Persamaan regresi di atas akan diuji apakah memang valid untuk memprediksi variabel dependen. Dengan kata lain, akan dilakukan pengujian apakah volume infark benar-benar bisa memprediksi leukosit.

Ada 2 cara pengambilan keputusan, yakni dengan membandingkan statistik hitung dan statistik tabel dan berdasarkan probabilitas.

1. Membandingkan statistik hitung dengan statistik tabel Hipotesis untuk kasus ini :

Ho = Koefisien regresi tidak signifikan H1 = koefisien regresi signifikan

Jika statistik t hitung < statistik t tabel, maka Ho diterima Jika statistik t hitung > statistik t tabel, maka Ho ditolak

Dari tabel output lampiran 11 terlihat bahwa t hitung adalah 15,156. Prosedur mencari statistik tabel dengan kriteria :

a. Tingkat signifikansi (α) = 10 % untuk uji dua sisi

commit to user

c. Uji dilakukan dua sisi karena ingin mengetahui signifikan tidaknya koefisien regresi.

d. Untuk t tabel dua sisi, didapat angka 2,1604.

Karena statistik hitung > statistik tabel (15,156 > 2,1604), maka

Ho ditolak. 2. Berdasarkan probabilitas

Jika probabilitas > 0,025, maka Ho diterima. Jika probabilitas < 0,025, maka Ho ditolak.

Uji dilakukan dua sisi, sehingga nilai probabilitas = 0,05/2 = 0,025

Terlihat bahwa pada kolom sig/significance adalah 0,000 atau probabilitas jauh di bawah 0,025. Maka Ho ditolak, atau koefisien regresi signifikan, atau hitung jumlah leukosit benar-benar berpengaruh secara signifikan terhadap volume infark stroke iskemik akut.

commit to user

49

BAB V PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan di Unit Rawat Inap Bagian Penyakit Saraf Rumah Sakit Dr. Moewardi pada bulan April-Juli 2011 diperoleh data sebagaimana telah disajikan pada tabel di atas.

Dari sebanyak 30 sampel yang ada, didapatkan jumlah penderita stroke yang berjenis kelamin laki-laki sebanyak 18 orang (60 %) lebih banyak dari yang berjenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 12 orang (40 %) (Tabel 1). Hal ini sesuai dengan penelitian Sacco (2001) yang mendapatkan perbandingan jenis kelamin laki-laki : perempuan penderita stroke adalah 1,3 : 1 dan didapatkan perbandingan yang berbeda sesuai dengan jenis stroke. Pada stroke hemoragik, perbandingan jenis kelamin adalah 3 : 1, lebih tinggi dibandingkan stroke iskemik yaitu 1,8 : 1. Penelitian yang lain di 28 rumah sakit di seluruh Indonesia diperoleh data penderita stroke akut sebanyak 2065 kasus selama periode awal Oktober 1996 sampai dengan akhir Maret 1997 dengan kasus pada pria lebih banyak daripada wanita (Misbach, 2007).

Pada penelitian ini didapatkan distribusi sampel berdasarkan usia yang menunjukkan bahwa penderita stroke terbanyak pada kelompok usia 61-70 tahun sebanyak 14 orang (46,67 %). Menurut Sacco et al., (2001) angka kejadian stroke iskemik meningkat dua kali lipat tiap sepuluh tahun setelah umur 55 tahun. Sebagian besar kasus terjadi pada usia lebih dari 65 tahun. Sedangkan Suroto

commit to user

(2004) menyatakan bahwa risiko stroke meningkat dua kali lipat tiap 10 tahun setelah umur 35 - 44 tahun.

Penelitian lain oleh Misbach (2007) menyatakan bahwa penyakit serebrovaskuler atau stroke menyerang kelompok usia di atas 40 tahun. Kejadian stroke terbanyak pada golongan usia di atas 60 tahun. Menurut Harsono (2004), salah satu faktor risiko stroke yang tidak dapat dimanipulasi adalah usia yang semakin bertambah. Sedangkan studi lain menyatakan salah satu faktor risiko stroke yang terjadi pada usia tua adalah terjadinya arterosklerosis. Semakin tua kecenderungan mengalami arterosklerosis juga semakin meningkat. Setelah usia 30 tahun, lesi arterosklerotik mulai tampak di sana-sini. Setelah usia 50 tahun, tampak ada kecenderungan arteri serebral kecil yang terkena proses arterosklerotik sehingga semakin banyak pembuluh darah yang tersumbat dan akan menyebabkan kurangnya pasokan darah ke daerah otak yang membutuhkan, inilah yang menyebabkan terjadinya stroke (Mahar & Priguna, 2006).

Sampel leukosit darah tepi yang diambil pada penelitian ini direstriksi hanya leukosit 24 - 72 jam post stroke mengingat puncak kenaikan leukosit terjadi pada jam tersebut. Sedangkan volume infark CT-Scan digunakan hasil ≥ 24 jam - 72 jam post stroke. Infark serebri pada sub stage I fase akut (kurang dari 24 jam), pencitraan dengan CT-Scan didapatkan gambaran normal dan setelah periode 72 jam mulai tampak gambaran encephalomalacia (Kalafut et al., 2000).

Data yang diperoleh menunjukkan rerata hitung leukosit darah tepi pada stroke iskemik 8,41.103/µL. Jumlah ini adalah masih dalam rentang nilai normal (range 5000 - 10000/µL) (Gandasoebrata, 2004). Hasil ini tidak sesuai dengan

commit to user

hipotesis di mana terjadi kenaikan leukosit pada fase akut stroke iskemik. Hal ini mungkin terjadi mengingat luas daerah yang mengalami lesi iskemik tidak cukup besar untuk menimbulkan reaksi radang umum yang hebat. Leukosit yang terkerahkan melalui reaksi radang terkumpul di daerah yang mengalami iskemik sehingga leukosit darah tepi berjumlah rendah atau normal (Ritter et al., 2000). Pada stroke iskemik, mediator proinflamasi akan menstimulasi reaksi inflamasi, antara lain dengan peningkatan permeabilitas vaskuler sehingga terjadi migrasi leukosit melalui sawar darah otak yang masih utuh. (Muhibbi, 2004).

Seperti yang telah disebutkan oleh Buck et al., (2008) bahwa peningkatan jumlah leukosit dan pada khususnya neutrofil terjadi setelah onset stroke dengan respon inflamasi yang lebih besar akan meningkatkan jaringan iskemik otak yang lebih besar pula. Hal ini akan terjadi karena infark yang luas akan memicu peningkatan respon stres dan inflamasi sebagai reaksi sekunder pada cedera otak awal. Rekruitmen neutrofil dapat dideteksi seawal mungkin 5 jam setelah onset stroke dan mencapai puncak dalam 24 jam.

Sesuai dengan analisis data yang telah dikemukakan pada Bab sebelumnya maka hipotesis penelitian diterima. Sehingga dapat dikatakan bahwa ada hubungan antara jumlah leukosit dan volume infark pada stroke iskemik akut di Rumah Sakit Dr. Moewardi. Dalam penelitian ini didapatkan koefisien korelasi 0,944, p < 0,05. Sebenarnya tidak ada ketentuan yang tepat mengenai apakah angka korelasi tertentu menunjukkan tingkat korelasi yang tinggi atau lemah. Namun bisa dijadikan pedoman sederhana bahwa angka korelasi di atas 0,5

commit to user

menunjukkan korelasi yang cukup kuat, sedangkan tanda (+) menunjukkan arah hubungan yang sama (Santoso, 2011).

Dari hasil analisis didapatkan koefisien regresi sebesar 0,608 dari persamaan

Y = 5,076 + 0,608 X. Angka ini menunjukkan setiap penambahan 1 mm3 volume

infark akan meningkatkan jumlah leukosit sebesar 0,608 .103 /µL.

Namun apakah persamaan regresi di atas memang valid untuk memprediksi variabel dependen, perlu dilakukan uji signifikansi dengan uji t untuk menguji signifikansi konstanta dan variabel depeden. Hasil uji t menunjukkan nilai signifikansi 0,000 atau probabilitas jauh di bawah 0,05. Hal ini berarti koefisien regresi signifikan (volume infark benar-benar berpengaruh secara signifikan terhadap jumlah leukosit). Kemungkinan terjadi kesalahan dalam uji statistik parametrik telah diantisipasi dengan dilakukannya uji normalitas data dan uji homogenitas varians. Sebaran data yang normal dan varians populasi sampel yang

identik telah dipenuhi, sehingga hasil analisis di atas dapat

dipertanggungjawabkan.

Hal di atas sesuai dengan hasil penelitian Buck et al., (2008), bahwa terdapat hubungan yang jelas antara ukuran lesi infark dan peningkatan marker respon inflamasi sistemik termasuk hitung leukosit, C-reactive protein, suhu tubuh, dan biomarker-biomarker inflamasi lain. Jumlah total leukosit dan neutrofil berhubungan dengan volume lesi infark yang tampak pada DWI MRI mengesankan bahwa respon inflamasi terjadi segera, sebelum meluasnya volume infark atau jaringan nekrotik. Peningkatan jumlah leukosit, khususnya neutrofil terjadi setelah onset stroke dengan konsekuensi respon inflamasi yang lebih besar

commit to user

akan meningkatkan jaringan iskemik otak yang lebih besar pula. Telah diakui bahwa hubungan neutrofil dan volume lesi infark yang diteliti merupakan sebuah epifenomena. Infark yang luas memicu peningkatan respon stres dan inflamasi sebagai reaksi sekunder pada cedera otak awal.

Penelitian ini terdapat beberapa kelemahan yaitu penelitian ini bersifat cross sectional di mana penyebab dan efek antara hitung jumlah leukosit dan volume infark CT-Scan kepala tidak dapat diukur. Untuk mengontrol faktor infeksi premorbid hanya digunakan indikator peningkatan suhu tubuh. Infeksi sistemik dapat saja terjadi tanpa peningkatan suhu tubuh, penelitian selanjutnya seharusnya memasukkan biomarker-biomarker inflamasi untuk mengontrol infeksi. Selain itu ada beberapa variabel luar yang tidak diperhitungkan padahal ikut juga mempengaruhi hasil hitung jumlah leukosit yaitu sub tipe stroke iskemik berdasarkan letak pembuluh darah yang terkena stroke yang terkait dengan mekanisme stroke. Pada penelitian selanjutnya, perlu ditentukan juga batas-batas toleransi waktu pengambilan hitung jumlah leukosit dan waktu pengambilan CT-Scan.

commit to user

54

BAB VI

Dokumen terkait