IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.12 Analisis Pengaruh Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
No. Stratum (Penambahan Populasi Ternak) Rasio jantan dan betina
1. 5-10 Ekor 1: 41
2. 11-15 Ekor 1: 58
3. 16-20 Ekor 1: 137
4. >21 Ekor 1: 86
Sumber: Data Primer Diolah, 2013
Tabel 21 menunjukkan bahwa rata- rata rasio jantan dengan betina adalah 1:80,5 Di peternakan ketapang pada saat ini kekurangan pejantan unggul, sehingga peternak harus melepaskan ternaknya dan tidak melakukan pengontrolan perkawinan ternaknya. Rasio jantan dengan betina yang optimal adalah 1:25 luas Hafez (1993), sementara di Ketapang 1 pada saat ini peternak sudah banyak menjual pejantanya sehingga ternaknya terjadi perkawinan sedarah (in breeding). Pejantan yang di bagi pemerintah ke peternak sudah dijual oleh peternak. Salah satu faktor yang menyebabkan rendahnya penambahan populasi ternak di ketapang kurangya pejantan unggul dan tidak idealnya rasio jantan dengan betina.
4.12. Analisis Pengaruh Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Rendahnya Penambahan Populasi Ternak di Peternakan Ketapang I Kabupaten Aceh Tengah
Penambahan populasi ternak di peternakan Ketapang 1 Kecamatan Linge Kabupaten Aceh Tengah dianalisis dengan menggunakan metode regresi linier berganda. Penambahan populasi ternak per tahun (Y) yang di pengaruhi oleh Hijauan makanan ternak (X1), air, (X2), Calving Interval (X3) Rasio jantan
dengan betina (X4) Mortalitas bibit (X5), Mortalitas anak (X6), dan (X7) Tenaga Kerja dan (X8) manajemen.
4.12.1. Uji Asumsi Klasik
Sebelum di lakukan uji kesesuaian (goodness of fit) model. Sebelum di analisis maka untuk mendeteksi terpenuhinya asumsi dalam analisis regresi linier, model regresi linier jumlah penambahan populasi ternak pertahun disesifikasikan. Hasil pengujian asumsi klasik akan di bahas pada bagian di bawah ini.
1. Uji Asumsi Multikolinieritas
Uji asumsi multikolinieritas adalah untuk melihat nilai toleransi (Tolerance) dengan nilai lebih besar dari 0,1 dan nilai VIF dengan nilai lebih besar dari 5. Bila asumsi ini sesuai maka tidak terjadi multikolinieritas. Nilai toleransi dan VIP di daerah penelitian dapat di lihat pada Tabel 22.
Tabel 22. Hasil uji asumsi multikolonieritas model penambahan populasi ternak di peternakan menggunakan statistik kolonieritas
No. Variabel Bebas Signifikansi Devisiation Tollerance VIF
1. Pakan 0, 526 1,902
2. Air 0, 561 1,783
3. Calving Interval 0, 828 1,208
4. Rasio jantan Dgn Betina 0, 867 1,153
5. Mortalitas Bibit 0, 563 1, 777 6. Mortalitas Anak 0, 793 1, 262
7. Tenaga Kerja 0, 594 1,684
8. Manajemen 0, 474 2.109
Tabel 22 menunjukkan bahwa tidak terjadi multikolinieritas yang mana nilai toleransi lebih besar dari 0,1 kemudian nilai VIF lebih besar dari 5. Sehingga dapat di simpulkan bahwa model regresi linier penambahan populasi ternak terbebas dari masalah multikolonieritas.
2. Uji Asumsi Heteroskedastisitas
Uji asumsi heteroskedastisitas di analisis dengan menggunakan grafik model regresi linier berganda diyatakan terbebas dari masalah heteroskedastisitas yaitu:
1. Titik- titik data menyebar di atas dan di bawah atau di sekitar angka 0
2. Titik data tidak mengumpul pada titik tertentu baik di bawah atas atau samping
3. Penyebaran titik tidak membentuk suatu pola bergelombang atau menyebar
kemudian menyempit dan melebar kembali. 4. Penyebaran titik- titik data tidak berpola.
Bila asumsi diatas tidak di langgar maka pola tersebut dapat di katakan terbebas dari masalah asumsi heteroskedastisita. Heteroskedastisitas analisis penambahan populasi ternak dapat di lihat pada Gambar 2.
Gambar 2 menunjukkan bahwa bahwa titik- titik berada di bawah sekitar angka nol dan tidak membentuk suatu pola, sehingga dapat di katakan bahwa model regresi linier untuk penambahan populasi ternak terbebas dari masalah heteroskedastisitas.
3. Uji Asumsi Normalitas
Uji asumsi normalitas menggunakan grafik normal P-Plot of regresion standardized residual dengan melihat titik-titk pada garis diagonal dan diagram histrogram yang tidak condong ke kiri atau kekanan. Gambar grafik uji asumsi normalitas penambahan populasi ternak di Peternakan Ketapang Kabupaten Aceh Tengah dapat di lihat pada Gambar 3.
Gambar 3 menunjukkan bahwa data terlihat menyebar dan mengikuti garis diagonal diagram, histogram terlihat bahwa tidak condong kekiri dan kekanan, kemudian dapat di lihat bahwa data residual model terdistribusi normal, maka dapat diyatakan bahwa model regresi linier penambahan populasi ternak di peternakan Ketapang I memenuhi asumsi normalitas.
4. Uji Kolmogorov- Smirnov
Uji Uji Kolmogorov- Smirnov adalah untuk melihat nilai hasil uji yang di peroleh lebih besar dari nilai probabilitas kesalahan yang di peroleh yang di tolerir yaitu α 5 % atau 0,05. Bila nilai yang diperoleh diatas 0,05 maka menunjukan bahwa tidak ada perbedaan antara distribusi residual dengan distribusi normal sehingga dapat di simpulkan model memenuhi asumsi normalitas. Hasil nilai analisis uji kolmogrov sumirnov penambahan populasi ternak di Ketapang I dapat di lihat pada Tabel 23.
Tabel 23. Uji asumsi normalitas model penambahan populasi ternak sapi menggunakan uji kolmogorov- smirnov
No. Uraian N Kolmogorov- Smirvov Z Asymp.Sig (2-tailed)
1. Unstandardized Residual 71 0,823 0,508 Penambahan Populsi Ternak
Sumber data Primer 2013
Tabel 23 menunjukkan bahwa nilai signifikansi kolmogorov smirnov Z adalah 0,823 dan nilai asymp. Sig (2-tailed) adalah 0,508. Nilai tersebut diatas lebih tinggi dari nilai probabilitas kesalahan sehingga dapat di simpulkan bahwa model regresi linier penambahan populasi ternak di peternakan Ketapang 1 telah memenuhi asumsi normalitas.
4.12.2.Uji Kesesuaian (Test Goodnes Of Fit) Model dan Uji Hipotesis
Setelah dilakuan uji asumsi dan tidak terjadi pelanggaran dalam asumsi selanjutnya di lakukan uji kesesuaian model dan uji hipotesis. Hasil analisis faktor- faktor yang mempengaruhi rendahnya penambahan populasi ternak di peternakan Ketapang I dengan delapan variabel, Pakan (X1), air, (X2), Selang beranak (X3) Rasio jantan dengan betina (X4) Mortalitas bibit (X5), Mortalitas anak (X6), Tenaga kerja (X7) dan Manajemen (X8)
Hasil analisis regresi dengan SPSS V16, hasil data dan interprestasi data maka di gunakan bentuk persamaan yang berisi kostanta dan koefisien- koefesien regresi yang di dapat dari hasil pengolahan data sebelumnya persamaan regresi
faktor- faktor yang mempengaruhi rendahnya penambahan populasi ternak di ketapang I adalah sebagai berikut:
Y1 = 31,129 + 1.071 X1 + 0,846 X2 + 0,327 X3 + 0,987 X4 + (-0,083 X5) + 0,064 X6 + 0,824 X7 + 5,447 X8.
Pada model regresi diatas nilai konstanta adalah sebesar 31,129 Hal ini menunjukan bahwa besarnya efek rata-rata dari seluruh variabel bebas terhadap variabel terikat (Penambahan populasi ternak di peternakan Ketapang I adalah sebesar 31,129 namun karena variabel bebas pakan, air, selang beranak, rasio jantan dengan betina, mortalitas bibit, mortalitas anak tenaga kerja dan manajemen tidak mungkin bernilai nol atau tidak ada sama sekali maka nilainya di abaikan dalam model regresi ini dapat dilihat pada tabel 24.
Tabel 24. Hasil analisis faktor- faktor yang mempengaruhi rendahnya penambahan populasi ternak di Ketapang I
No. Variabel Bebas Koefisien Thitung
Regresi Sig (Kostanta) 31,129 3,409 0,001 1. Pakan 1,071 3,320 0,002 2. Air 0,846 3,320 0,002 3. Calving Interval 0,327 -1,015 0,314 4. Rasio Jantan dgn Betina 0,985 - 1,668 0,100 5. Mortalitas Bibit -0,083 - 4,980 0,000 6. Mortalitas Anak 0,064 0,639 0,525 7. Tenaga kerja 0,824 0,140 0,889 8. Manajemen 5,447 2,500 0,015 R2 F 0,796 hitung Signifikansi 0,000 30,199
Tabel 24 memunjukkan bahwa nilai (R2
Variabel lain yang tidak masuk ke dalam model ini cukup tinggi hal ini karna penambahan populasi ternak yang di hasilkan oleh peternak pada lokasi peternakan tersebut juga di pengaruhi oleh lokasi peternakan yang kekurangan air dan lahan menjadi gersang sehingga menjadi keterbatasan pakan baik yang di tanami oleh peternak maupun yang ada di lapangan. Sehingga walaupun sarana dan prasarana yang optimal penambahan populasi ternak akan terkendala, di samping faktor lokasi juga dari faktor peternak yang belum menguasai cara beternak yang baik.
) koefisien determinasi yang di peroleh adalah sebesar 0,796 hal ini menunjukan bahwa sebesar 79,60% variasi penambahan populasi ternak di peternakan ketapang I (Y1) telah dapat di jelaskan oleh variabel Pakan (X1), air, (X2), Calving Interval (X3) Rasio jantan dengan betina (X4) Mortalitas bibit (X5), Mortalitas anak (X6), tenaga kerja (X7) dan manajemen (X8). Sedangkan sisanya sebesar 20,40 % dipengaruhi oleh variabel yang belum di masukkan ke dalam model ini.
Untuk mengetahui hipotesis pengujian secara serempak, dilakukan dengan uji F sedangkan uji secara farsial di lakukan dengan uji t, tingkat signifikansi yang di gunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan α 0,5 % atau 0,05 untuk lebih jelas hasil pengujian hipotesis dapat di lihat pada pembahasan berikut.
1. Uji Pengaruh Variabel Secara Serempak
Hasil pengujian variabel secara serempak dengan menggunakan uji F yang dihasilkan dari pengolahan data menunjukan bahwa nilai signifikansi F adalah sebesar 0,000. Nilai yang di peroleh lebih kecil dari nilai tingkat kesalahan yang di tolerir α 0,5 % atau 0,05 hal ini menunjukan bahwa Ho di tolak dan Ha di terima dengan demikian variabel pakan (X1), air, (X2), calving interval (X3) rasio jantan dengan betina (X4) mortalitas bibit (X5), mortalitas anak (X6), tenaga kerja (X7) dan manajemen (X8) secara serempak berpengaruh nyata terhadap variabel terikat yaitu penambahan populasi ternak (Y1).
2. Uji Pengaruh Variabel Secara Parsial 1. Pakan
Hasil analisis secara parsial menunjukkan bahwa pakan memiliki nilai 0,002, nilai yang di peroleh di atas lebih kecil dari probabilitas kesalahan yang di tolerir yaitu α 0,5 % atau 0,05 hal ini menunjukan bahwa H1 diterima dan H0
ditolak yaitu variabel X1 pakan secara parsial berpengaruh terhadap variabel penambahan populasi ternak (Y1). Nilai koefisien regresi sebesar 0,668 menunjukkan bahwa setiap adanya penambahan pakan sebesar 1 kg/hari/ekor maka akan terjadi penambahan populasi ternak sebesar 0,668 ekor/tahun. Sebaliknya jika terjadi penurunan jumlah pakan maka akan menyebabkan turunya penambahan populasi ternak. Jumlah pakan yang di berikan ke ternak sangat terbatas, masih jauh hari harapan kebutuhan ternak pakan yang di berikan per hari 5,70 kg/ hari/ekor sementara kebutuhan yang harus tersedia sebanyak 10 % dari
bedan. Berat badan sapi berkisar antara 200-250 Kg/ ekor sehingga kebutuhan pakan yang harus ada perhari adalah 20-25 Kg.
Pakan yang ada di lokasi peternakan baik HMT yang di tanami oleh peternak dan yang ada di pekarangan belum mampu memenuhi kebutuhan ternak, kondisi lahan HMT sudah rusak sehingga ternak harus mencari tambahan lagi.
2. Pemberian Air
Hasil analisis dari pengolahan data nilai signifikansi t yang di peroleh yaitu 0,002. Nilai yang di peroleh lebih kecil dari probabilitas kesalahan yang di tolerir yaitu α 0,5 % atau 0,05 hal ini menunjukan bahwa H1 diterma dan H0
Air yang di berikan ke ternak/ ekor/ liter/ hari rata-rata berjumlah 5,62. Sementara kebutuhan air seharusnya tersedia secara terus menerus. Hal ini sudah membuat keresahan bagi peternak karna kekurangan air tersebut lebih banyak dari ditolak, yaitu variabel air (X2) secara varsial, berpengaruh nyata terhadap variabel penambahan populasi ternak (Y1). Nilai koefisien regresi sebesar 0,846 menunjukkan bahwa setiap adanya pertambahan air sebesar 1 liter/ekor/hari maka akan terjadi penambahan populasi ternak sebesar 0,846 ekor/ tahun sebaliknya, jika terjadi penurunan jumlah air maka akan menyebabkan turunya penambahan populasi ternak. Hasil penelitian menunjukan bahwa peternak merasakan keterbatasan air. Walaupun prasarana air yang di buat oleh pemerintah baik secara intalasi dan embung pada umumnya tidak berfungsi hanya saat tertentu dapat di gunakan. Air yang tersedia tidak hanya terbatas untuk ternak melainkan juga untuk peternak, rumput dan sanitasi ternak.
pada air yang tersedia. Sementara penentuan lokasi peternakan seharusnya air tersedia 70 % sehingga untuk pembuatan lokasi peternakan yang lebih lanjut perlu memperhatikan sumber air dan kontinyuitasnya sehingga semua yang terkendala akibat air dapat terpenuhi sehingga kesehatan ternak, air minum dan air untuk menyiram hijauan pakan ternak dapat di penuhi. Peternak supaya dapat bekerja sama dan berpartisipasi dengan pemerintah sehingga masalah air yang menjadi kendala utama dapat di atasi bersama.
3. Selang Beranak (Calving Interval).
Hasil analisis variabel calving interval memiliki nilai signifikansi t sebesar 0,314 nilai yang di peroleh lebih besar dari nilai probabilitas kesalahan yang di tolerir yaitu α 0,5 % atau 0,05 hal ini menunjukan bahwa H0 diterima dan H1
Calving interval merupakan selang beranak dari beranak pertama ke beranak selanjutnya. Calving interval di daerah penelitian sangat panjang yaitu 15,60. Biasanya calving interval yang ideal untuk sapi bali adalah 12 bulan per tahun. Kesiapan induk untuk birahi di pengaruhi oleh pakan air minum dan baiknya manajemen pemeliharaan ternak sehingga calving interval dapat di di tolak yaitu variabel calving interval (X3) secara parsial tidak berpengaruh nyata terhadap variabel penambahan populasi ternak (Y1). Nilai koefisien regresi sebesar -0,337 menunjukkan bahwa setiap adanya pengurangan calving interval 0,337 per bulan akan terjadi penambahan populasi ternak 1 ekor/ tahun sebaliknya juka terjadi penambahan calving interval per bulan maka akan meyebabkan penurunan populasi ternak per tahunnya.
perpendek, kemudian mempercepat penyapihan anak sehingga birahi lanjutan dapat di perpendek.
4. Rasio Jantan dan Betina
Hasil analisis data yang menunjukkan bahwa analisis secara parsial dengan uji t nilai yang di peroleh yaitu 0, 100, nilai tersebut di atas nilai batas yang di tolerir yaitu α 5 % atau 0,05 hal ini menunjukkan bahwa hipotesis diterima H0 dan tolak H1
Solusi yang di lakukan peternak adalah dengan melepaskan induk betina dan dibiarkan kawin secara alami sehingga tidak ada pengontrolan dalam perkawinan ternak. Kondisi ternak yang saling berjauhan menyebabkan sering terjadi terlewatkanya masa birahi yang telah datang. Akhirnya menunggu ke birahi selanjutnya yaitu 21-24 hari kedepan. Masa kawin yang panjang ini menyebabkan panjangnya masa beranak. Kemudian di saat birahi datang sering terjadi in breeding atau kawin sedarah. Hal ini akan menyebabkan penurunan terhadap kualitas anak yang di lahirkan. Untuk menyikapi masalah ini para petugas dan pemerintah setempat diharapkan dapat memberikan pengarahan ke peternak dengan sistem pejantan milik pemerintah kemudian di pinjamkan pe peternak yang memerlukan pejantan. Disamping itu pemerintah sudah memakai yaitu variabel rasio jantan dengan betina (X4) tidak berpengaruh terhadap penambahan populasi ternak Y1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa di peternakan ketapang saat ini kekurangan pejantan. Pejantan yang di bagikan ke peternak sudah banyak di jual. Sehingga perbandingan jantan dan betina tidak lagi ideal.
teknologi inseminasi buatan (IB) sehingga kekurangan pejantan dan masalahnya dapat di atasi dan kualitas anak dapat distandarisasikan.
5. Tingkat Mortalitas Bibit
Hasil analisis yang menggukan uji t menunjukkan bahwa variabel mortalitas bibit (X5) memiliki nilai signifikansi t sebesar 0,000. Nilai yang di peroleh lebih kecil dari nilai probabilitas kesalahan yang di tolerir, yaitu α 0,5% atau 0,05. Hal ini menunjukan bahwa hipotesis diterima H1 dan tolak H0
Tingginya tingkat mortalitas bibit yang di bagikan ke petani banyak faktor yang menyebabkan terlalu mudanya bibit yang di bagikan sehingga baru sampai ke peternak bibit tersebut sudah dalam keadaan yang kurang sehat. Umur bibit yang terlalu muda sehingga rendahnya daya adaptasi lingkungan dan stres dalam pengangkutan sehingga banyak ternak yang tidak mampu bertahan hidup dan mati. Pada saat pembagian belum siapnya pakan dan air sehingga kondisinya terbatas sehingga kebutuhan pakan dan air minum menjadi kurang. Para peternak yang merupakan bukan latar belakang peternak dan rendahnya pengalaman beternak yang akhirnya kurang mampu dalam penanganan bibit ternak sehingga ternak banyak mendapat perawatan khusus pada awal pemeliharaan. Kedepan perlu pertimbangan dalam memberikan bibit ke peternak dari segi umur sehingga
yaitu mortalitas bibit (X5) berpengaruh terhadap penambahan populasi ternak (Y1). Nilai koefisien regresi sebesar -0,139 menunjukkan bahwa bila terjadi penambahan populasi ternak ekor/ per tahun maka tingkat mortalitas harus dikurangi sebesar -0,139.
walaupun jumlahnya sedikit tapi ada kemampuan ternak untuk berproduksi optimal dari pada banyak tapi umur pemeliharaan relatip panjang sehingga banyak memerlukan tenaga kerja dan biaya produksi dalam pemeliharaan.
6. Tingkat Mortalitas Anak
Hasil analisis yang menggukan uji t menunjukkan bahwa variabel mortalitas anak (X6) memiliki nilai signifikansi t sebesar 0,525. Nilai yang di peroleh lebih besar dari nilai probabilitas kesalahan yang di tolerir, yaitu α 0,5% atau 0,05. Hal ini menunjukan bahwa hipotesis diterima H0 dan tolak H1
Mortalitas anak sapi bali yang lahir cukup tinggi yaitu mencapai 32,77 %. Tingkat kematian ini di pengaruhi dari manajemen pemeliharaan ternak. Anak sapi merupakan produksi akhir yang di harapkan oleh peternak sehingga memerlukan perawatan dan pemeliharaan yang intensif sehingga tingkat kematian dapat di perkecil. Disamping itu pemeliharaan induk yang baik akan mempengaruhi anak sapi. Ketersediaan pakan, air minum sangat mempengaruhi jumlah kualitas dan kuantitas air susu yang akan di gunakan untuk anak sapi.
yaitu mortalitas anak (X6) tidak berpengaruh terhadap penambahan populasi ternak (Y1). Nilai koefisien regresi sebesar 0,016 menunjukkan bahwa setiap penambahan populasi ternak ekor/ per tahun maka tingkat mortalitas anak akan mengurang penambahan populasi ternak sebesar 0,016 ekor/ tahun.
Tenaga kerja merupakan faktor utama penggerak dalam pemeliharaan ternak. Hasil analisis yang menggukan uji t menunjukkan bahwa variabel tenaga kerja (X7) memiliki nilai signifikansi t sebesar 0,889. Nilai yang di peroleh lebih kecil dari nilai probabilitas kesalahan yang di tolerir, yaitu α 0,5% atau 0,05. Hal ini menunjukan bahwa hipotesis diterima H0 dan tolak H1
Tenaga kerja merupakan faktor utama yang harus mampu dalam mengelola pemeliharaan ternak. Hasil penelitian menyatakan bahwa tenaga kerja yang ada di lapangan belum optimal di gunakan dalam pemeilharaan ternak yang mana banyak peternak yang meninggalkan ternaknya tanpa ada perawatan sampai beberapa hari di lokasi peternakan dan ternak ini mencari makanan dan air sendiri dilepaskan secara bebas. Disamping kemampuan peternak yang rendah juga pencurahan tenaga kerja yang di curahkan untuk ternaknya belum optimal. Lahan yang tersedia untuk ternak dan prasarana lain tidak di manfaatkan peternak untuk memenuhi kebutuhan hidup ternak dan peternak.
yaitu tenaga kerja (X7) tidak berpengaruh terhadap penambahan populasi ternak (Y1). Nilai koefisien regresi sebesar 0,824 menunjukkan bahwa setiap penambahan populasi ternak/10 ekor/ per tahun maka akan terjadi peningkatan tenaga kerja sebesar 0,824 tenaga kerja.
Tenaga kerja yang ada merupakan peternak sendiri tanpa ada menggunakan tenaga kerja dari luar keluarga. Banyak potensi yang bisa di gali tapi masih rendah kesadaran peternak dan rendahnya rasa kepemilikan dan jiwa peternak sehingga peternak banyak mengabaikan proses budidaya yang seharusnya sehingga dampaknya terhadap penambahan populasi ternak. Disisi lain
partisipasi para peternak juga rendah untuk kemajuan bersama, sehingga dalam hal penyuluhan dan para petugas yang ada di ketapang untuk lebih intensif memberikan penyuluhan- penyuluhan ke peternak sehingga adanya perubahan perilaku, sikap dan keteramapilan peternak. Disamping itu pemerintah juga harus membuat akad kerja sama (Memorandum Of Understanding (MoU)) yang jelas antara pemerintah dengan peternak. Kesepakan ini mengarah untuk menguntungkan kedua belah pihak, sehingga adanya keseriusan peternak dalam memelihara ternaknya. Serta keseriusan pemerintah dalam membina peternak dan pemenuhan sarana dan prasarana. Sehingga pembuatan kawasan peternakan ini tidak menjadi suatu proyek yang merugikan baik dari segi pemerintah dan masyarakat, serta mencari solusi- solusi untuk kemajuan peternakan di peternakan ketapang tersebut.
8. Manajemen
Hasil analisis yang menggunakan uji t menunjukkan bahwa variabel manajemen (X8) memiliki nilai signifikansi t sebesar 0,015. Nilai yang di peroleh lebih kecil dari nilai probabilitas kesalahan yang di tolerir, yaitu α 0,5% atau 0,05. Hal ini menunjukan bahwa hipotesis diterima Ha dan tolak Ho yaitu manajemen (X8) berpengaruh terhadap penambahan populasi ternak (Y1). Nilai koefisien regresi sebesar 5,447 menunjukkan bahwa untuk menghasilkan penambahan populasi ternak 1 ekor per tahun maka harus menaikkan manajemen sebesar 5,447.
Manajemen merupakan kemampuan peternak untuk mengkoordinasikan faktor- faktor produksi dalam pemeliharaan sehingga kombinasi ini akan menghasilkan penambahan populasi yang optimal. Manajemen yang baik merupakan penilaian tentang baik buruknya pemeliharaan ternak.