ANALISIS FAKTOR- FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
RENDAHNYA PENAMBAHAN POPULASI TERNAK
SAPI BALI DI PETERNAKAN KETAPANG I
KABUPATEN ACEH TENGAH
TESIS
Oleh
Salman
117039033/MAG
PROGRAM STUDI MEGISTER AGRIBISNIS
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
MEDAN
ANALISIS FAKTOR- FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
RENDAHNYA PENAMBAHAN POPULASI TERNAK
SAPI BALI DI PETERNAKAN KETAPANG I
KABUPATEN ACEH TENGAH
TESIS
Tesis Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Dapat Memperoleh Gelar Master Pertanian Pada Program Studi Magister Agribisnis Fakultas Pertanian
Universitas Sumatra Utara
Medan
Oleh
Salman
117039033/MAG
PROGRAM STUDI MEGISTER AGRIBISNIS
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
MEDAN
Judul : Analisis Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Rendahnya Penambahan Populasi Ternak Sapi Bali di Peternakan Kepatang I Kabupaten Aceh Tengah
Nama : Salman NIM : 117039033
Program Studi : Megister Agribisnis
Menyetujui Komisi Pembimbing,
(Dr. Ir. Tavi Supriana, MS)
Ketua Anggota
(Dr. Ir. Ma’ruf Tafsin, M.Si)
Ketua Program studi, Dekan,
Dr. Ir. Tavi Supriana, MS Prof. Dr. Ir. Darma Bakti, MS
DAFTAR ISI
2.2.6.Regresi Linier Berganda... 27
2.3. Kerangka Pemikiran ... 28
3.5 Definisi dan Batasan Operasional ... 37
4.3. Populasi Ternak ... 47
4.12 Analisis Pengaruh Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Rendahnya Penambahan Populasi Ternak di Peternakan Ketapang I Kabupaten Aceh Tengah ... 59
4.12.2. Uji kesesuaian (tes goodnes of fit) Model dan Uji Hipotesis... 63
DAFTAR TABEL
No Halaman
1. Data, sumber data dan metode penelitian ... 32
2. Jumlah populasi dan sampel di peternakan Ketapang I
Kecamatan Linge Kabupaten Aceh Tengah ... 34
3. Penilaian variabel manajemen dalam pemeliharaan sapi ... 35
4. Sarana dan Prasarana di KTM Ketapang I Linge Kabupaten
Aceh Tengah ... 41
5. Umur peternak pada berbagai tingkat keberhasilan peternak
di peternakan Ketapang I Kabupaten Aceh Tengah ... 42
6. Pendidikan peternak pada berbagai tingkat keberhasilan di
peternakan Ketapang I Kabupaten Aceh Tengah ... 43
7. Jumlah tanggungan peternak pada berbagai tingkat
keberhasilan peternak di peternakan Ketapang I Kabupaten
Aceh Tengah ... 44
8. Pengalaman peternak pada berbagai tingkat keberhasilan
peternak di peternakan Ketapang I Kabupaten Aceh Tengah ... 45
9. Pekerjaan sebelum beternak pada berbagai tingkat
keberhasilan peternak di peternakan Ketapang I Kabupaten
Aceh Tengah ... 46
10. Rata-rata jumlah bibit sapi di peternakan Ketapang I
Kabupaten Aceh Tengah dari Tahun 2005-2013 ... 47
11. Rata- rata penambahan populasi ternak di peternakan
Ketapang I Kabupaten Aceh Tengah dari Tahun 2005-2013 ... 48
12. Jumlah pemberian hijauan pakan ternak/ hari /ekor/kg di
peternakan Ketapang I Kabupaten Aceh Tengah ... 50
13. Jumlah kebutuhan hijauan pakan ternak yang baru tersedia
dan kekurangan pakan di Ketapang I Kabupaten Aceh
14. Jumlah pemberian air/ hari/ ekor/ltr di peternakan Ketapang I
Kabupaten Aceh Tengah ... 52
15. Jumlah kebutuhan air yang baru tersedia dan kekurangan air
di peternakan Ketapang I Kabuapten Aceh Tengah ... 52
16. Tingkat mortalitas bibit sapi di peternakan Ketapang I
Kabupaten Aceh Tengah ... 53
17. Tingkat mortalitas anak sapi di peternakan Ketapang I
Kabupaten Aceh Tengah ... 54
18. Rata- rata selang calving interval sapi di peternakan
Ketapang I Kabupaten Aceh Tengah ... 55
19. Manajemen peternakan sapi di peternakan Ketapang I
Kabupaten Aceh Tengah ... 56
20. Alokasi tenaga kerja pada pemeliharaan sapi di peternakan
Ketapang I Kabupaten Aceh Tengah ... 57
21. Rasio jantan dan betina induk di peternakan Ketapang I
Kabupaten Aceh Tengah ... 59
22. Hasil uji asumsi multikolonieritas model penambahan
populasi ternak di peternakan Ketapang I ... 60
23. Uji asumsi normalitas model penambahan populasi ternak
sapi menggunakan uji kolmogrov- semirnov ... 63
24. Hasil analisis faktor- faktor yang mempengaruhi rendahnya
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Kerangka pemikiran konseptual penelitian ...
2. Grafik uji heteroskedastisitas model penambahan populasi ternak...
3. Grafik asumsi normalitas dan histrogram normalitas model penambahan populasi ternak ...
30
61
62
DAFTAR LAMPIRAN
No Halaman
1. Karakteristik peternak di Ketapang I Kecamatan Linge
Kabupaten Aceh Tengah ... 80
2. Analisis faktor- faktor yang mempengaruhi produksi
penambahan populasi ternak di peternakan Ketapang I
Kecamatan Linge Kabupaten Aceh Tengah ... 83
3. Peta Ketapang I ... 85
ABSTRAK
SALMAN (117039033/MAG) Judul Tesis ANALISIS FAKTOR- FAKTOR YANG MEMPENGARUHI RENDAHNYA PENAMBAHAN POPULASI TERNAK SAPI BALI DI PETERNAKAN KETAPANG I KABUPATEN ACEH TENGAH penelitian ini di lakukan pada tahun 2013 di bawah bimbingan
Dr. Tavi Supriana, MS dan Dr. Ir. Ma’ruf Tafsin, M.Si
Peternakan Ketapang I Aceh Tengah merupakan lokasi peternakan yang sengaja didirikan oleh pemerintah daerah untuk pengembangan kawsan peternakan. Pola pengembangan yang ingin di laksanakan adalah pola pengembangan peternakan dengan cara modern. Penambahan populasi sampai saat ini mencapai 1092 ekor, dari yang seharusnya mencapai 6000-7000 ekor. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendiskripsikan karakteristik peternak dan menganalisis faktor- faktor yang mempengaruhi rendahnya penambahan populasi ternak di Ketapang I Kabupaten Aceh Tengah. Data yang digunakan data primer dengan wawancara langsung dengan peternak dan oservasi dengan menggunakan kuesioner di ketapang I metode penentuan sampel dengan metode sensus dan menggunakan metode analisis deskriptif dan analisis regresi linier berganda.
Berdasarkan hasil analisis diskriptif diperoleh hasil penelitian bahwa Kecenderungan peternak yang berhasil adalah peternak yang memiliki umur lebih muda (30-35 tahun), pendidikan tinggi (SMA), Jumlah tanggungan 3-4 jiwa, pengelaman pekerjaan sebelumnya adalah peternak. Hasil estimasi menunjukkan bahwa variabel pakan, air, mortalitas bibit, dan manajemen berpengaruh secara singnifikan terhadap penambahan populasi. sedangkan selang beranak, rasio jantan dengan betina mortalitas anak dan tenaga kerja tidak berpengaruh secara signifikan terhadap penambahan populasi ternak. Disarankan kepada pemerintah daerah sebelum memasukkan ternak ke lokasi peternakan, bibit ternak merupakan calon induk yang sudah dara, air, hijauan pakan ternak terlebih dahulu dipersiapkan dan peternak sudah diberi pelatihan manajemen pemeliharaan ternak, sedangkan untuk peternak di harapkan untuk meningkatkan kemampuan dalam manajemen pemeliharaan ternak serta meluangkan waktu yang lebih banyak untuk pemeliharaan ternaknya.
ABSTRACT
SALMAN (117039033/MAG). Title of the Thesis: THE ANALYSIS OF THE
FACTORS WHICH INFLUENCE THE LOW INCREASE OF BALI CATTLE POPULATION AT PETERNAKAN KETAPANG 1, ACEH TENGAH DISTRICT. The research was conducted in 2013, under the supervision of Dr. Tavi Supriana, MS and Dr. Ir. Ma’ruf Tafsin, M.Si
Peternakan Ketapang 1, Aceh Tengah, is a location of ranch intentionally established by the local government for developing ranch area. The development pattern which is going to be carried out is a modern ranch development. Up to the present time, the population of the cattle has been 1,092 heads of cattle with the targeted goal of 6000 to 7000 heads of cattle. The objective of the research was to describe the characteristics of cattle raisers and to analyze some factors which influenced the low increase of the population of cattle in Ketapang 1, Aceh Tengah District. The primary data were gathered by conducting in-depth interviews with the cattle raisers and observation by using questionnaires at Ketapang 1. The samples were taken by using census method and analyzed descriptively with multiple linear regression analysis.
Based on the descriptive analysis, it was found that the cattle raisers who were inclined to be successful were those who were young (30 to 35 years old), high school graduates, had three to four dependents, and had previous experience as cattle raisers. The result of the estimation showed that the variables of food, water, seed mortality, and management had significant influence on the increase of the population, while the birth interval, male and female ratio, calf ratio, and manpower did not have any significant influence on the increase of the cattle population. It is recommended that the local government, before taking cattle into the ranch location, should select nubile breeding stock, water, well-prepared green animal food, and cattle raisers who have been trained in the management of cattle raising, and cattle raisers should improve their capacity in the management of cattle raising and spend much of their time in raising the cattle.
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan
Rahmat dan Hidayah-Nya, shalawat beriring salam kita sanjungkan kepada Nabi
Muhammad SAW, sehingga penulis dapat menyelesaikan Tesis ini yang berjudul
“Analisis Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Rendahnya Penambahan Populasi Ternak Sapi Bali di Peternakan Ketapang 1 Kabupaten Aceh Tengah”.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penyusunan Tesis ini tidak akan
mungkin bisa tanpa bantuan, bimbingan serta dorongan dari berbagai pihak.
Tiada kata yang paling indah selain mengucapkan terima kasih kepada Dosen
Pembimbing serta kepada berbagai pihak yang telah membantu dalam mengatasi
kesulitan-kesulitan dalam penelitian ini. Ucapan terima kasih ini penulis haturkan
kepada :
1. Ibu Dr. Ir. Tavi Supriana, MS. Selaku Ketua Pembimbing dan Ketua Program
Studi Magister Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Sumatra Utara telah
membantu dan mendukung dan mengarahkan penulis dalam Penelitian dan
Penulisan Tesis.
2. Bapak Dr. Ir. Ma’ruf Tafsin, M.Si. Selaku Anggota Pembimbing yang telah
membantu dan mendukung penulis dalam pelaksanaan penyusunan Tesis ini
hingga selesai.
3. Ibu Ir. Diana Chalil, M.Si, P.hD selaku Sekretaris Program Studi Magister
Agribinis, Bapak Iskandar Simarmata Seluruh Staf Pengajaran dan karyawan
pada lingkup Program Studi Magister Agribisnis Fakultas Pertanian USU.
4. Prof. Dr. Ir. Darma Bakti, MS selaku Dekan Fakultas Pertanian Universitas
5. Ayahanda Pulih, Ibunda tercinta Sepiah, dan Ibu Mertua Zurmiah beserta
keluarga yang telah ikut serta memberikan dukungan do’a, materi serta
motivasinya hingga selesainya penulisan Tesis ini.
6. Istriku tercinta Maulida dan Anakku Sanny Ulesku yang selalu memotivasi
dukungan dan Do’a hingga selesainya tesis ini.
7. Rekan-rekan Angkatan V MAG Fakultas Pertanian USU, atas segala bantuan dan kerjasamanya dan semua pihak yang telah membantu Penulis dalam menyelesaikan Tesis ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
8. Abdullah, Rusli dan Salmandi Putra atas tim kerjanya dalam pengambilan data
di Ketapang I Kecamatan Linge Kabupaten Aceh Tengah.
9. Bapak, Sukarman, S.P Selaku Kepala UPTD Ketapang Linge dan jajaranya.
10.Kepala Dinas Peternakan Perikanan serta pegawai dan Para peternak di
Ketapang 1 Kecamatan Linge Kabupaten Aceh Tengah.
Penulis menyadari bahwa Tesis ini masih banyak terdapat kekurangan baik
dalam penulisan maupun dalam pembahasannya. Untuk itu kritik dan saran yang
bersifat membangun dan mengarah kepada penyempurnaan karya tulis ini sangat
penulis harapkan sehingga dapat bermanfaat bagi Peternak peternakan Ketapang I.
Akhirnya penulis berharap Tesis ini dapat bermanfaat khususnya bagi
penulis dan para pembaca serta pihak-pihak lain yang memerlukannya . Amin.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.
Medan, 28 Agustus 2013
ABSTRAK
SALMAN (117039033/MAG) Judul Tesis ANALISIS FAKTOR- FAKTOR YANG MEMPENGARUHI RENDAHNYA PENAMBAHAN POPULASI TERNAK SAPI BALI DI PETERNAKAN KETAPANG I KABUPATEN ACEH TENGAH penelitian ini di lakukan pada tahun 2013 di bawah bimbingan
Dr. Tavi Supriana, MS dan Dr. Ir. Ma’ruf Tafsin, M.Si
Peternakan Ketapang I Aceh Tengah merupakan lokasi peternakan yang sengaja didirikan oleh pemerintah daerah untuk pengembangan kawsan peternakan. Pola pengembangan yang ingin di laksanakan adalah pola pengembangan peternakan dengan cara modern. Penambahan populasi sampai saat ini mencapai 1092 ekor, dari yang seharusnya mencapai 6000-7000 ekor. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendiskripsikan karakteristik peternak dan menganalisis faktor- faktor yang mempengaruhi rendahnya penambahan populasi ternak di Ketapang I Kabupaten Aceh Tengah. Data yang digunakan data primer dengan wawancara langsung dengan peternak dan oservasi dengan menggunakan kuesioner di ketapang I metode penentuan sampel dengan metode sensus dan menggunakan metode analisis deskriptif dan analisis regresi linier berganda.
Berdasarkan hasil analisis diskriptif diperoleh hasil penelitian bahwa Kecenderungan peternak yang berhasil adalah peternak yang memiliki umur lebih muda (30-35 tahun), pendidikan tinggi (SMA), Jumlah tanggungan 3-4 jiwa, pengelaman pekerjaan sebelumnya adalah peternak. Hasil estimasi menunjukkan bahwa variabel pakan, air, mortalitas bibit, dan manajemen berpengaruh secara singnifikan terhadap penambahan populasi. sedangkan selang beranak, rasio jantan dengan betina mortalitas anak dan tenaga kerja tidak berpengaruh secara signifikan terhadap penambahan populasi ternak. Disarankan kepada pemerintah daerah sebelum memasukkan ternak ke lokasi peternakan, bibit ternak merupakan calon induk yang sudah dara, air, hijauan pakan ternak terlebih dahulu dipersiapkan dan peternak sudah diberi pelatihan manajemen pemeliharaan ternak, sedangkan untuk peternak di harapkan untuk meningkatkan kemampuan dalam manajemen pemeliharaan ternak serta meluangkan waktu yang lebih banyak untuk pemeliharaan ternaknya.
ABSTRACT
SALMAN (117039033/MAG). Title of the Thesis: THE ANALYSIS OF THE
FACTORS WHICH INFLUENCE THE LOW INCREASE OF BALI CATTLE POPULATION AT PETERNAKAN KETAPANG 1, ACEH TENGAH DISTRICT. The research was conducted in 2013, under the supervision of Dr. Tavi Supriana, MS and Dr. Ir. Ma’ruf Tafsin, M.Si
Peternakan Ketapang 1, Aceh Tengah, is a location of ranch intentionally established by the local government for developing ranch area. The development pattern which is going to be carried out is a modern ranch development. Up to the present time, the population of the cattle has been 1,092 heads of cattle with the targeted goal of 6000 to 7000 heads of cattle. The objective of the research was to describe the characteristics of cattle raisers and to analyze some factors which influenced the low increase of the population of cattle in Ketapang 1, Aceh Tengah District. The primary data were gathered by conducting in-depth interviews with the cattle raisers and observation by using questionnaires at Ketapang 1. The samples were taken by using census method and analyzed descriptively with multiple linear regression analysis.
Based on the descriptive analysis, it was found that the cattle raisers who were inclined to be successful were those who were young (30 to 35 years old), high school graduates, had three to four dependents, and had previous experience as cattle raisers. The result of the estimation showed that the variables of food, water, seed mortality, and management had significant influence on the increase of the population, while the birth interval, male and female ratio, calf ratio, and manpower did not have any significant influence on the increase of the cattle population. It is recommended that the local government, before taking cattle into the ranch location, should select nubile breeding stock, water, well-prepared green animal food, and cattle raisers who have been trained in the management of cattle raising, and cattle raisers should improve their capacity in the management of cattle raising and spend much of their time in raising the cattle.
I.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pemerintah Indonesia melalui Departemen Pertanian di bawah Dirjen
Peternakan Republik Indonesia mengupayakan untuk swasembada daging
Indonesia pada tahun 2014. Pembangunan subsektor peternakan merupakan
bagian dari pembangunan pertanian secara keseluruhan, dimana subsektor ini
memiliki nilai strategis dalam pemenuhan kebutuhan manusia. Kebutuhan daging
terus mengalami peningkatan seiring dengan pertambahan penduduk, peningkatan
pendapatan perkapita serta taraf hidup masyarakat. Pembangunan sub sektor
peternakan pada hakekatnya merupakan suatu kegiatan untuk memanfaatkan dan
mengelola sumberdaya alam berupa lahan, ternak dan pakan dengan faktor
produksi lainnya berupa tenaga kerja dan modal. Semakin meningkatnya
permintaan produk peternakan untuk memenuhi kebutuhan pangan maupun
industri yang diiringi dengan semakin terbatasnya sumberdaya peternakan
menuntut pengelolaan sumberdaya tersebut secara efisien.
Pembangunan peternakan dan kesehatan hewan, sebagai bagian integral
pembangunan pertanian akan mempunyai peran penting dalam pencapaian empat
target sukses kementan utamanya pencapaian swasembada kedelai, gula, dan
daging sapi dan swasembada berkelanjutan untuk padi dan jagung. Pencapaian
swasembada daging sapi sebagai kerangka pencapaian empat sukses kementerian
pertanian diperlukan beberapa pembenahan untuk menjawab permasalahan
antara lain : (1). Belum optimalnya sistem perbibitan nasional; (2) Terbatasnya
infrastruktur peternakan dan kesehatan hewan; (3) Terbatasnya akses terhadap
permodalan dan masih tingginya suku bunga usaha ternak; (4) Masih lemahnya
kelembagaan dan penyuluh; (5). Kurangnya penciptaan sistem pasar yang
menguntungkan ; dan (6). Belum optimalnya pengembangan kapasitas pelaku
agribisnis.
Kabupaten Aceh Tengah adalah salah satu daerah yang berpotensi untuk
pengembangan peternakan sapi potong, saat ini pemda sudah berupaya untuk
mendukung kegiatan swasembada daging pada tahun 2014 tersebut dengan
memadukan program pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Kabupaten
Aceh Tengah telah mendirikan lokasi peternakan yang mengarah pada peternakan
yang mandiri serta adanya kemampuan peternaknya untuk mampu mengusahakan
ternak secara intensif sehingga meningkatnya pendapatan peternak dan
bertambahnya populasi ternak di Kabupaten Aceh Tengah sehingga dapat
memenuhi kebutuhan daging sapi di kabupaten tersebut.
Melalui Keputusan Bupati Aceh Tengah nomor 119 tahun 2004 tentang
penetapan lokasi pengembanagan peternakan terpadu Ketapang Kampung Owaq
Kecamatan Linge Kabupaten Aceh Tengah, pemerintah ingin ikut serta dalam
mewujudkan pencapain swasembada daging 2014. Tujuan lain yang ingin dicapai
Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah adalah: 1, Menyeimbangkan pembangunan
2, Pemerataan jumlah penduduk 3, Meningkatkan pendapatan masyarakat di
kawasan tersebut.4, Membuka peluang investasi swasta dan 5, Meningkatkan
Pola pengembanagan yang ingin di laksanakan adalah pola
pengembangan peternakan dengan cara modern. Metode yang di gunakan adalah
dengan sistem mini ranch dan kreman (penggemukan). Masing- masing kepala
keluarga di berikan 2 ha lahan dimana dalam lahan tersebut di bangun tempat
tinggal, bak penampung air, pagar, kandang, lahan penanaman pakan ternak dan
lahan pengembalaan. Kandang yang di rencanakan terbuat dari papan atap seng
dan lantai semen dengan ukuran 1.5 x 2 m dilengkapi dengan tempat pakan dan
air minum. (Bapeda Aceh Tengah, 2010).
Peternakan Ketapang merupakan areal peternakan yang di dirikan oleh
Pemda Kabupaten Aceh Tengah untuk pengembangan sapi potong. Peternakan
tersebut merupakan untuk memberdayakan petani yang mempunyai motivasi
untuk beternak. Peternak yang memenuhi syarat dengan memehuni kreteria dari
karakteristik calon peternak yang dapat menjadi calon peternak yang masuk
kepeternakan ketapang. Adapun peternak yang boleh menjadi calon peternak
meliputi umur, pendidikan, jumlah tanggungan, pengalaman beternak dan
merupakan masyarakat yang kreteria sudah di tentukan oleh Pemda Kabupaten
Aceh Tengah.
Pemerintah Daerah Kabupaten Aceh Tengah melalui bapeda melakukan
seleksi terhadap para peternak yang akan masuk ke peternakan Ketapang I,
tahapannya seleksi karakteristik dan kemampuan peternak dari kampung,
kemudian dilanjutkan ke kecamatan dan trakhir di kabupaten, sehingga peternak
yang masuk ini betul betul dapat terjaring dan terseleksi sehingga di harapkan
ternak seperti harapan pemerintah kabupaten dan pemerintah pusat dalam
memenuhi kekeurangan daging.
Tahun 2005 peternak yang sudah menempati lokasi peternakan yang di
bangun oleh pemerintah daerah dengan bantuan dana dari provinsi maupun pusat
dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan petani, menciptakan lapangan
kerja, meningkatkan produksi daging sapi secara lokal.
Jumlah petani yang menempati lokasi peternakan Ketapang 1 adalah
sebanyak 100 orang dengan luas areal 200 Ha, dengan fasilitas yang di bantu
pemerintah meliputi: 1, Kandang, 2. Calon induk ternak sapi potong 15 ekor
dengan jumlah ternak betina sebayak 14 ekor dan jantan 1 ekor per petani, 3,
Rumah peternak, 4. Lahan hijauan pakan ternak dan pengembalaan 5. Biaya hidup
(jadup) mulai dari tahun 2005 s/d tahun 2013, 6. Prasarana pengairan 7.
Pelayanan kesehatan hewan 8. Penyuluhan Peternakan dan 9 listrik. Jumlah
penambahan populasi ternak sampai pada saat ini adalah 1092 ekor dengan
rincian anak lahir 481 ekor, di jual 155 ekor, bagi hasil 77 ekor dan jumlah induk
379 ekor, (Sumber: Dinas Peternakan dan Prikanan Kabupaten Aceh Tengah,
2013). Penambahan populasi tersebut masih jauh dari harapan sebab, Induk
ternak yang produktif mulai berproduksi pada umur 2,5 tahun, sehingga dengan
jumlah induk betina keseluruhan peternak sebanyak 1300 ekor di diprediksikan
1.2. Perumusan Masalah
Rumusan masalah penelitian yang dapat diidentifikasikan adalah sebagai
berikut :
1. Bagaimana karakteristik peternak sapi potong di peternakan Ketapang I
Kabupaten Aceh Tengah saat ini ?
2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi rendahnya penambahan populasi
ternak sapi potong di peternakan Ketapang I Kabupaten Aceh Tengah?
1.3. Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah :
1. Mendiskripsikan karakteristik peternak sapi potong di peternakan Ketapang I
Kabupaten Aceh Tengah
2. Menganalisis faktor-faktor yang menyebabkan rendahnya penambahan
populasi ternak sapi potong di peternakan Ketapang I Kabupaten Aceh
Tengah
1.4. Kegunaan Penelitian
1. Memberikan sumbangan pemikiran bagi pemerintah daerah terutama Dinas
Peternakan dalam meningkatan populasi ternak bagi peternakan sapi potong
memenuhi produksi daging terutama daging sapi dalam memenuhi konsumsi
protein hewani.
2. Sebagai bahan pertimbangan bagi peternak untuk meningkatkan populasi
ternak sapi potong di Peternakan Kepatang Kabupaten Aceh Tengah.
3. Sebagai referensi penelitian lebih lanjut bagi pengembangan usaha
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Penelitian Terdahulu
Penelitian yang dilakukan oleh Trinil Susilawati dan Lukman Affandy
(2004) tentang tantangan dan peluang peningkatan produktivitas sapi potong
melalui teknologi reproduksi, maka disimpulkan bila dilakukan industrialisasi sapi
potong maka IB merupakan hal yang penting. Untuk mendapatkan keberhasilan
yang tinggi dalam pelayanan inseminasi buatan diperlukan pelayanan teknis dan
perencanaan yang baik dalam hal ini melibatkan perencanaan dan pembiayaan
yang memadai dari pengusaha selain itu perlu di inventarisasi data tentang
lamanya birahi pada sapi hasil persilanagan.
Penelitian yang di lakukan oleh Fikri Ardhani (2006) tentang prospek
dan analisa usaha penggemukan sapi potong di Kalimantan Timur ditinjau dari
sosial ekonomi dengan kesimpulan agar usaha ternak sapi potong dapat lebih
menguntungkan maka diperlukan sumber daya manusia petani peternak yang
senantiasa meningkatkan pengetahuan dan keterampilan tentang manajemen
perkembangbiakan, manajemen kesehatan, manajemen pakan, manajemen
perkandangan dan manajemen sosial ekonomi.
Penelitian yang di lakukan oleh Agustina Abdullah (2012) tentang
kinerja penyuluhan dalam meningkatkan adopsi teknologi pakan mendukung
pengembangan sapi potong dengan kesimpulan, kinerja penyuluhan pertanian
dalam meningkatkan adopsi teknologi pakan adalah rendah pada aspek
peningkatan adopsi teknologi pakan sapi potong diperlukan adanya perbaikan dan
penyempurnaan dalam kinerja penyuluhan terutama dalam aspek responsivitas
dan responsibilitas penyuluhan dalam melakukan program penyuluhan di
peternak.
Penelitian yang di lakukan oleh Lukman Affandhy A. dan H.N Krishna
(2010) tentang pengaruh perbaikan manajemen pemeliharaan pedet sapi potong
terhadap kinerja reproduksi induk pasca beranak (studi kasus pada sapi induk PO
di usaha peternakan rakyat Kabupaten Pati Jawa Tengah dengan kesimpulan
bahwa dengan perlakukan pembatasan menyusui pedet pada induk pasca beranak
pada sapi potong yang di sertai suplementasi akan memperpendek onestrus post
partus (APP) days open (DO) dan jarak beranak dengan tidak berpengaruh negatif
terhadap terhadap pertambahan badan harian pedet prasapih.
Penelitian yang di lakukan oleh Hamdi Mayulu dkk (2010) tentang
kebijakan pengembangan peternakan sapi potong di Indonesia. Dengan
kesimpulan isu penting dalam pengembanagan usaha ternak sapi potong adalah
penurunan populasi ternak yang terus berlanjut dari tahun ke tahun. Rendahnya
produktivitas ternak serta kompleknya masalah dalam sistem usaha ternak sapi
potong merupakan tantangan sekaligus peluang dalam pengembangan usaha
ternak sumber pedaging tersebut. Solusi yang dijangkau adalah mengintegrasikan
usaha sapi potong dengan sumber pakan. Sumber pakan yang belum
termanfaatkan limbah pertanian dan perkebunan yang selama ini belum di
Keberhasilan pengembangan usaha ternak sapi potong ditentukan oleh
dukungan kebijakan yang strategis yang mencakup tiga dimensi utama agribisnis
yaitu kebijakan input, budidaya, serta pemasaran dan perdagangan yang
melibatkan pemerintah, swasta, dan masyarakat peternak. Dari ketiga dimensi
tersebut kebijakan pemasaran (perdagangan) memegang peranan kunci.
Keberhasilan kebijakan pasar output akan berdampak langsung terhadap bagian
harga dan pendapatan yang di terima pelaku agribisnis. Kondisi ini akan
mendapatkan proses adopsi teknologi, peningkatan produktivitas dan pada
akhirnya menjamin keberlanjutan investasi.
Penelitian yang di lakukan oleh Endang Romjali dan Ainur Rayid dengan
judul keragaan reproduksi sapi bali pada kondisi peternakan rakyat di Kabupaten
Tabanan Bali (2007) menyimpulkan keragaan reproduksi sapi bali di Kecamatan
Margan dan Panebel Kebupaten Tabanan Provinsi Bali dipengaruhi oleh faktor
ketersediaan pakan dan manajemen. Induk sapi bali yang memiliki rata-rata bobot
badan di atas 250 kg memiliki jarak beranak lebih pendek. Jarak beranak pada
sapi yang lebih panjang akibat kegagalan dalam perkawinan dapat di perbaiki
dengan sistem perkawinan secara alam dengan menggunakan pejantan.
Penelitian Peni Wahyu Prihandini, D Pamungkas dan D.B Wijono
dengan judul kemampuan mengelola usaha peternakan dalam usaha ternak sapi
potong (studi kasus di Kelompok Tani Makmur Desa Tempel Lemahbang
Kecamatan Jepon, Blora (2005) dengan kesimpulan berdasarkan potensi wilayah
dinamika kelompok dan status manajerial skill peternak responden, maka dapat
kelompok usaha pembibitan menunjukan peningkatan cukup bagus dan ditunjang
oleh peningkatan karakteristik pengetahuan asli (indigenus knowledge) petani
terhadap aspek managerial, yaitu: bibit, pakan, perkandangan, reproduksi, dan
pemasaran. 2, guna mencapai sasaran dan tujuan jangka panjang diperlukan
perubahan pola pikir peternak untuk berjiwa agribisnis melalui sistem komunikasi
yang lebih terbuka dalam suatu wadah kelompok.
Penelitian Matheus Sariubang, A. Nurhayu dan A. Sainap dengan judul
pengkajian pembibitan sapi bali pada perternak rakyat di Kabupaten Takalar
(2009), dengan kesimpulan ; 1. Tingkat kelahiran dan pendapatan pada
pemeliharaan induk sapi bali secara intensif lebih tinggi dibanding pemeliharaan
secara tradisional (ekstensif): 2. Induk sapi yang sudah melahirkan akan kembali
estrus yang disertai kebuntingan lebih tinggi pada pemeliharaan secara intensif
lebih tingi dari pada pemeliharaan secara tradisional.
Penelitian Eniza Saleh dkk, tentang analisis pendapatan peternak sapi
potong di Kecamatan Hamparan Perak Kabupaten Deli Serdang (2006) dengan
hasil penelitian dari segi manajemen pemeliharaan ternak, peternak dengan
pengalaman beternak tinggi lebih menguasai tatalaksana beternak dengan baik
seperti pemberian pakan, perawatan kebersihan kandang dan ternak, perawatan
kesehatan, dan penanganan penyakit. Namun dilapangan diperoleh tidak terjadi
pengaruh seperti yang di harapkan. Hal ini dapat di sebabkan karena peternak sapi
potong di daerah ini sebagian tidak melakukan perubahan – perubahan positif
dalam usaha peningkatan pendapatan menurut pengetahuan yang diperoleh
pengalaman yang memadai namun masih mengelola usaha tersebut dengan
kebiasaan – kebiasaan lama yang sama dengan waktu mereka mengawali
usahanya sampai sekarang. Menurut Abidin dan Simanjuntak (1977), faktor
penghambat berkembangnya peternakan pada suatu daerah dapat berasal dari
faktor–faktor topografi iklim, keadaan sosial, tersedianya bahan –bahan makanan
rerumputan atau penguat. Di samping itu, faktor pengetahuan yang di miliki
masyarakat sangat menentukan pula perkembangan peternakan di daerah itu.
Demikian juga menurut Sudrajat (2005) bahwa tanpa ada motivasi dari diri
sendiri jelas merupakan tipe orang yang sulit untuk di ajak bekerja atau berusaha.
Jadi, orang-orang yang demikian perlu di berikan motivasi atau dorongan
sehinggga timbul niat untuk mau berkerja.
2.2. Landasan Teori 2.2.1. Sapi Potong
Sapi potong merupakan salah satu sumber daya penghasil daging yang
memiliki nilai ekonomi tinggi, dan penting artinya di dalam kehidupan
masyarakat. Seekor ternak sapi bisa menghasilkan berbagai macam kebutuhan
terutama sebagai bahan makanan berupa daging di samping hasil ikutan lainya
seperti pupuk kandang, kulit dan tulang. Daging sangat besar manfaatnya bagi
pemenuhan gizi berupa protein hewani. Sapi sebagai salah satu hewan pemakan
rumput sangat berperan sebagai pengumpul bahan bergizi rendah yang di ubah
menjadi bahan bergizi tinggi kemudian di teruskan kepada manusia dalam bentuk
Sapi bali merupakan salah satu jenis sapi asal Indonesia yang mempunyai
potensi untuk di kembangkan. Sapi bali mudah untuk beradaptasi dengan
lingkungan baru sehingga sering di sebut dengan ternak perintis Astuti (2009) .
Sapi bali di jumpai di Indonesia yang telah didomistikasi dari sapi liar
masih di jumpai di Ujung Kulon di sebut banteng (bos sundaicus). Jantan sapi bali berwarna coklat tua pada umur 1,5 tahun, dan betina coklat muda. Kehidupan sapi
bali di pulau Bali daily-gain atau pertambahan berat hidup mencapai 0,6-0,7
kg/hari/ekor, sedangkan si betina dapat beranak setiap 1,5-2 tahun/sekali. Apabila
si pejantan dikebiri warnanya kembali seperti warna si betina Sitepoe (1996).
2.2.2. Sapi Bali
Sapi bali adalah keturunan sapi liar yaitu banteng yang telah mengalami
proses penjinakan selain itu sapi bali banyak mempunyai keunggulan sama halnya
menurut
1. Subur (cepat berkembang biak/ fertilitas tinggi)
2. Mudah beradaptasi dengan lingkungannya,
3. Dapat hidup di lahan kritis.
4. Mempunyai daya cerna yang baik terhadap pakan.
5. Persentase karkas yang tinggi.
6. Harga yang stabil dan bahkan setiap tahunnya cenderung meningkat.
7. Khusus sapi bali Nusa Penida, selain bebas empat macam penyakit, yaitu
jembrana, penyakit mulut dan kuku, antraks, serta MCF (Malignant Catarrhal
8. Kandungan lemak karkas rendah.
9. Keempukan daging tidak kalah dengan daging impor.
10.Fertilitas sapi bali berkisar 83 - 86 %, lebih tinggi dibandingkan sapi eropa
yang 60 %.
11.Karakteristik reproduktif antara lain : periode kehamilan 280 - 294 hari,
rata-rata persentase kebuntingan 86,56 %, tingkat kematian kelahiran anak sapi
hanya 3,65 %, persentase kelahiran 83,4 %, dan interval penyapihan antara
15,48 - 16,28 bulan.
2.2.3 Karakteristik Peternak
Hasil penelitian Yanti (1997) menemukan bahwa karakteristik peternak
dapat menggambarkan keadaan peternak yang berhubungan dengan
keterlibatannya dalam mengelola usaha ternak. Karakteristik peternak bisa
mempengaruhi dalam hal mengadopsi suatu inovasi.
Karakteristik peternak sebagai individu yang perlu diperhatikan untuk
melihat apakah faktor-faktor ini akan mempengaruhi respon peternak terhadap
inovasi yang diperkenalkan Sumarwan (2004). Simamora (2002) juga mengatakan
bahwa karakteristik seseorang mempengaruhi cara dan kemampuan yang berbeda
dalam bentuk persepsi, informasi apa yang diinginkan, bagaimana
Karakteristik individu adalah bagian dari pribadi dan melekat pada diri
seseorang. Karakteristik ini mendasari tingkah laku seseorang dalam situasi kerja
maupun situasi yang lainnya Rogers dan Shoemaker, (1971) dalam Rini Sri
Damihartini at All.( 2004). dalam Rini Sri Damihartini dan Amri Jahi, (2005).
2.2.3.1. Umur
Klausmeir dan Goodwin (1966) dalam Haryadi (1997) berpendapat
bahwa umur pengajar maupun pelajar merupakan salah satu karakteristik penting
yang berkaitan dengan efektivitas belajar dimana kapasitas belajar seseorang tidak
merata, tetapi menurut perkembangan umurnya. Kapasitas belajar akan naik
sampai usia dewasa kemudian menurun dengan bertambahnya umur.
Dahama dan Bhatnagar (1980) dalam Haryadi (1997) juga menyatakan
bahwa kapasitas belajar akan terus menaik sejak anak mengenal lingkungan
dimana kenaikan tersebut berakhir pada awal dewasa yaitu umur 25 tahun sampai
28 tahun, kemudian menurun secara drastis setelah umur 50 tahun.
Umur seseorang pada umumnya dapat mempengaruhi aktivitas petani
dalam mengelola usahataninya, dalam hal ini mempengaruhi kondisi fisik dan
kemampuan berpikir. Makin muda umur petani, cenderung memiliki fisik yang
kuat dan dinamis dalam mengelola usahataninya, sehingga mampu bekerja lebih
kuat dari petani yang umurnya tua. Selain itu petani yang lebih muda mempunyai
keberanian untuk menanggung resiko dalam mencoba inovasi baru demi
kemajuan usahataninya (Syafrudin 2003).
Menurut Wiraatmadja (1977) pendidikan merupakan upaya untuk
mengadakan perubahan perilaku berdasarkan ilmu-ilmu dan pengalaman yang
sudah diakui dan direstui oleh masyarakat, lebih lanjut Slamet dalam penelitian
Haryadi (1977) menyatakan bahwa tingkat pendidikan seseorang mempengaruhi
tingkat pemahamannya terhadap sesuatu yang dipelajarinya.
Muhibinsyah (1995) dalam Kasup (1998) menyatakan bahwa pendidikan
adalah suatu proses menumbuh kembangkan seluruh kemampuan dan perilaku
manusia melalui pengajaran, tingkat pendidikan merupakan salah satu faktor yang
penting diperhatikan dalam melakukan suatu kegiatan, karena melalui
pendidikanlah pengetahuan dan keterampilan serta perubahan sikap dapat
dilakukan.
Mardikanto (1990) menyatakan bahwa pendidikan petani umumnya
mempengaruhi cara dan pola pikir petani dalam mengelola usahatani. Pendidikan
yang relatif tinggi menyebabkan petani lebih dinamis dalam Rini Sri Damihartini
at all. (2004). dalam Rini Sri Damihartini dan Amri Jahi, 2005.
Suhardiyono (1995) dalam Kasup (1998), juga menyatakan bahwa para
ahli pendidikan mengenal tiga sumber utama pengetahuan bagi setiap orang yaitu:
(1) pendidikan informal, yaitu proses pendidikan yang panjang yang diperoleh dan
dikumpulkan seseorang berupa pengetahuan, keterampilan, sikap hidup dan segala
sesuatu yang diperoleh dari pengalaman pribadi sehari-hari dari kehidupan di
dalam masyarakat; (2) pendidikan formal, yaitu struktur dari sistem
pendidikan/pengajaran yang kronologis dan berjenjang lembaga pendidikan mulai
pengajaran sistematis yang diorganisir dari luar pendidikan formal bagi
sekelompok orang untuk memenuhi keperluan khusus seperti penyuluhan
pertanian.
2.2.3.3. Jumlah Tanggungan Keluarga
Menurut Syafrudin (2003) jumlah tanggungan keluarga merupakan salah
satu sumberdaya manusia yang dimiliki peternak, terutama yang berusia produktif
dan ikut membantu usaha ternaknya tanggungan keluarga juga bisa menjadi beban
keluarga jika tidak aktif bekerja.
2.2.3.4. Pengalam Peternak dan Jumlah Ternak
Pengalaman beternaknya cukup lama akan lebih mudah diberi
pengertiannya (Margono dan Asngari, 1969). Jumlah ternak sapi yaitu ternak
utama yang diusahakan peternak sebagai mata pencaharian utama oleh peternak,
dihitung dalam satuan ternak (ST).
Lahan merupakan sarana produksi bagi usahatani, termasuk salah satu
faktor produksi dan pabrik hasil pertanian. Lahan adalah sumberdaya alam fisik
yang mempunyai peranan sangat penting bagi petani (Mosher, 1965). dalam Rini
Sri Damihartini at all. (2004). dalam Rini Sri damihartini dan Amri Jahi (2005).
Padmowihardjo (1994), mengemukakan bahwa pengalaman baik yang
menyenangkan maupun mengecewakan berpengaruh pada proses belajar
seseorang. Motivasi berusahatani motivasi merupakan usaha yang dilakukan oleh
Motivasi dapat menjelaskan alasan seseorang melakukan sesuatu tindakan
(Padmowihardjo, 2002) dalam Rini Sri Damihartini at all. (2004).
2.2.3.5. Ketersediaan Modal Usahatani
Modal adalah faktor penunjang utama dalam kegiatan berusahatani. Hal
ini dikarenakan tanpa modal usahatani niscaya petani akan sulit mengembangkan
usahatani yang dilakukan (Wolf, 1985). dalam Rini Sri Damihartini at all. (2004).
2.2.4. Manajemen Pemeliharaan Sapi Potong 2.2.4.1. Pakan
Makanan hijauan adalah semua bahan makanan yang berasal dari tanaman
dalam bentuk daun daunan. Termaksud kelompok makanan hijauan ini adalah
bangsa rumput, (grmaninae), legominosa, dan hijauan dari tumbuh tumbuhan lain.
Kebutuhan hijauan makanan pada setiap jenis hewan berbeda –beda. Hewan
hewan ternak seperti sapi, kerbau dan kambing memerlukan jumlah hijauan lebih
banyak dari pada hewan hewan seperti babi dan bangsa unggas. Perbedaan ini
terutama pasa sistem alat pencernaan yang berlainan.(AAK, 1983).
Hewan- hewan ternak yang tergolong memiliki sistem alat pencernaan ini
makanan pokok hewan ini adalah hijauan. Sedangkan kebutuhan akan makanan
penguat sekedar makanan tambahan saja. Pada umumnya jumlah hijauan yang di
di berikan 1 % saja. Sapi potong memerlukan hijauan hijauan hampir 80 % dari
seluruh makanan yang di perlukan (AKK, 1983). Menurut (Anonim, 2008) bahan
dibagi menjadi dua bagian yaitu bahan pakan konvensional dan bahan pakan
subtitusi, yaitu:
1. Bahan pakan konvensional adalah bahan baku yang sering digunakan dalam
pakan yang biasanya mempunyai kandungan nutrisi yang cukup (misalnya
Protein) dan disukai ternak.
2. Bahan pakan konvensional merupakan bahan makro seperti jagung, bungkil
kedelai, gandum, tepung ikan dan bahan lainnya.
Ternak ruminansia membutuhkan sejumlah serat kasar dalam ransumnya
agar proses pencernaanya berlansung secara optimal. Sumber utama serat kasar
adalah hijauan. Oleh karena itu, ada batasan minimal pemberian hijauan dalam
komponen ternak ruminansia. Untuk penggemukan ternak ruminansia misalnya,
kebutuhan minimal hijauan berkisar antara 0,5-0,8 % bahan kering dari bobot
badan ternak yang di gemukkan. Apabila usaha penggemukan ternak ruminansia
dilakukan dalam waktu relatif singkat maka di perlukan konsentrat yang banyak
dalam komponen ransumnya. Namun perlu diketahui bahwa pemberian konsentrat
yang lebih dari 60% dalam komponen ransumnya tidak akan ekonomis lagi
walaupun harganya murah. (Kenneth dkk, 1960 dalam Sori Basya Siregar, 1996).
2.2.4.2. Manfaat Air dalam Usaha Ternak
Menurut Abidin, Zaenal (2002), air juga berfungsi untuk memandikan
daki dari keringatnya sendiri atau dari kotoran sapi sendiri, agar selalu bersih,
sebaiknya sapi di mandikan sekali sehari, caranya kulit sapi di gosok- gosok
dengan sikat, spon, atau bahan lain sehingga bersih.
Air minum yang di berikan pada sapi sebaiknya harus bersih dan tersedia
setiap saat, tempat air minum di buat permanen berupa bak semen dan letaknya
lebih tinggi dari pada permukaan lantai untuk mempermudah sapi minum,
kebutuhan air minum pada sapi mencapai 70 liter / ekor / hari (Sasroamidjojo
1975).
Ketersediaan air minum perlu di perhitungkan terlebih dahulu sebelum
suatu usaha pemeliharaan sapi di mulai karena air mutlak dibutuhkan.
Ketersediaan air di perlukan untuk mencukupi kebutuhan air minum, pembersihan
kandang atau halaman. Distribusi air kesetiap lapang ternak atau halaman
pengelolaan harus terjamin, banyaknya air yang tersedia sangat penting sekali
terutama pada ladang ternak (ranch). Ladang ternak yang menampung 180 ekor sapi dan ternak minum 2 kali sehari akan memerlukan bak air minum dengan
volume tidak kurang dari 4.500 liter (Parhan A.P 1969).
2.2.4.3. Selang Beranak (Calving Interval)
Lama kebuntingan adalah priode dari mulai terjadinya fertilasi sampai
terjadinya kelahiran normal (Jainudeen dan Hafez, 2000). Lama kebuntingan ini
berbeda dari satu bangsa ternak ke bangsa ternak lainnya. Lama kebuntingan sapi
pada penelitian ini adalah 284,4 + 5, 7 hari dengan kisaran 278,8 sampai 290,1
(1973) melaporkan lama kebuntingan sapi bali adalah 287 + 0,7 hari ; dengan
kisaran 276 -295 hari (Lubis dan Sitepu, 1998).lamanya kebuntingan di pengaruhi
oleh jenis sapi, jenis kelamin dan jumlah anak yang dikandung dan faktor lain
seperti umur induk, musim, sifat genetik dan letak giografis
Lama kebuntingan pada sapi bali sekitar 280-294 hari (Davendra et
al,1973), lama kebuntingan tersebut di pengaruhi oleh jenis kelamin, iklim,
kondisi makanan dan umur induk (Diagra et al 1979 ), selanjutnya di tambahkan oleh Jainudeen dan Hafez (2000) bahwa pertumbuhan dan perkembangan fetus
juga di pengaruhi oleh faktor genetik (spesies, bangsa ukuran tubuh dan genotip),
faktor lingkungan (industri dan plasenta) serta faktor hormonal, sementara Fane
(1990) menyatakan bahwa kisaran bobot lahir sapi bali adalah 13-18 kg atau 9-20
kg (Anonimus ,1979). Bobot lahir anak ditemukan oleh bangsa industri, umur atau
aripitas induk dan makanan induk sewaktu mengandung (Sutan,1988).
Jarak beranak kerbau rata- rata 2-3 Tahun (Guntoro et al ,2001), di bandingkan dengan sapi bali yang selang beratnya berkisar 350-589 hari
(Darmadja,1981).dalam Suprio Guntoro dan M. Rai Yasa (2002)
Tanari (2011) menyebutkan bahwa perkembangan sapi bali sangat cepat di
banding lainya karena tingkat kesuburanya yang tinggi, persentase beranak dapat mencapai 80% dengan bobot lahir berkisar antara 9-20 kg (Anomimus ,1979),
( Jainudeen dan Hafez, 2000). Pada penelitian ini, dari sejumlah 799
Kelahiran ternyata lama kebuntingan pada sapi bali antara anak jantan dan anak
betina tidak menunjukkan perbedaan signifikan. Lama kebuntingan pada induk
mengandung anak jantan adalah 284,9 ± 5,7 hari, dan induk yang mengandung
anak betina hampir sama yaitu 283,9 ± 5,6 hari.
Performans reproduktivitas yang tinggi pada sapi bali ditandai dengan
aktivitas ovarium dan perkawinan kembali kurang dari 2 bulan sesudah
melahirkan (Talib et al., 2001), sehingga memberikan tingkat efisiensi reproduksi yang lebih baik dibading dengan sapi PO (Putu et al.,1998). Aktivitas ovarium pada sapi betina biasanya muncul beberapa minggu setelah melahirkan,
tergantung oleh kondisi tubuh induk selama menyusui (laktasi). Talib et al. (1998) menyatakan bahwa sapi bali rela mengorbankan anaknya dengan cara
meminimkan produksi susunya agar aktivitas reproduksinya (siklus birahi) segera
aktif kembali setelah melahirkan, sedangkan sapi potong lainnya kebalikannnya
yaitu menghentikan aktivitas reproduksinya dan terfokus pada pembesaran
anaknya. (dalam Endang Ramjali dan Ainur Rasyid 2007).
Ball dan Peters (2004) menyatakan dalam produksi sapi potong,
reproduksi yang baik sangat penting untuk efisiensi manajemen dan keseluruhan
produksi. Reproduksi terbaik adalah seekor induk menghasilkan satu anak setiap
tahun.
2.2.4.4. Rasio Pejantan dan Betina
Salah satu kesuksesan untuk mendapatkan anak sapi melalui kawin alam
adalah kemampuan mengenal kekuatan lingkungan yang mendukung, dan bangsa
ternak lokal yang telah terbukti adaftip pada lingkungan. Untuk sapi potong,
adalah secara alam (O'marry dan Dyer, 1978; Hafez, 1993). Teknik perkawinan
dengan inseminasi buatan (IB) pada sistim penggembalaan dilaporkan pada
beberapa peternakan dan hasil kebuntingan yang didapat cukup tinggi, yaitu
berkisar 74-84% pada IB pertama (Wiltbank, 1970). Beberapa faktor yang perlu
mendapat perhatian antara lain: (1) pemilihan pejantan dan (2) perbandingan
pejantan dan betina .(Dalam Polmer Situmorang dan I Putu Gede)
1. Pemilihan Pejantan
Pemilihan pejantan yang unggul secara genetik menjadi sangat penting
untuk meningkatkan produksi ternak baik secara kuantitas maupun kualitas.
Pengaruh bangsa ternak terhadap pertumbuhan anaknya telah dilaporkan oleh
Baker (1996). Disamping pemilihan bangsa pejantan, penilaian performa pejantan
yang bersangkutan juga diperlukan antara lain : kondisi kaki, testes, penis, internal
genitalia melalui palpasi rektal, kualitas semen dan cacat. Testes yang kecil dan
lunak merupakan indikasi produksi semen yang rendah. Hubungan antara luas
testes dan kualitas semen sudah ditunjukan oleh Reddy et al. (1996). Faktor lain yang perlu dilakukan adalah menyiapkan kondisi pejantan yang prima karena
disamping memproduksi semen juga harus mempunyai libido yang tinggi dan
fisik yang memungkinkan untuk mendeteksi birahi dan mengawini betina
(Chenoweth, 1981). Pemberian pakan yang baik, sehinggga total konsumsi
mencapai 12-16 TDN, 1,32-2,37 protein tercerna, 35-45.000 IU carotein dan
18-20 mg phosphor per hari selama 90-100 hari sebelum penyatuan pejantan dengan
kelompok betina, dapat meningkatkan persentase kebuntingan dan produksi anak
2. Perbandingan Pejantan dan Betina
Disamping kualitas genetik pejantan perbandingan pejantan, dengan betina
sangat mempengaruhi produktivitas. Penentuan perbandingan antara jantan dan
betina dipengaruhi banyak faktor, antara lain keadaan topografi padang
penggembalaan, umur pejantan, kondisi pastura, pakan dan sumber air yang
tersedia dan lama perkawinan. Topografi yang jelek, keadaan pastura dan air yang
terbatas, memerlukan jumlah pejantan yang lebih banyak. Perbandingan jantan
dan betina antara 30-60 telah dipraktekkan secara luas (Hafez, 1993), dan nisbah
yang lebih kecil yaitu 1: 25 untuk waktu perkawinan yang lebih singkat, yaitu
60-90 hari (O'marry and Dyer 1978). Disamping perbandingan jantan betina, jumlah
pejantan per satu kelompok perkawinan juga dapat dilakukan untuk meningkatkan
daya kompetisi pejantan untuk mengawini ternak betina ataupun sistim rotasi
dimana selalu satu ekor pejantan per satuan jangka waktu tertentu. Kedua sistim
perkawinan alam ini mempunyai kelebihan dan kekurangan. Kelebihan sistim
rotasi dapat mengoptimalkan performans pejantan yang digunakan dimana
pejantan mendapat kesempatan untuk istirahat, pemulihan kondisi dengan
suplementasi makanan dan peningkatan produksi dan deposito semen.
Kekurangannya adalah memerlukan extra tenaga kerja, dan penanganan pejantan
selama pengeluaran dari kelompok yang tidak sempurna dapat merupakan stress
2.2.4.5. Perkawinan Model Padang Pengembalaan (Angonan).
Bahan dan alat berupa padang pengembalaan yang pada umumnya dekat
hutan/perkebunan maupun di ladang sendiri yang dilengkapi dengan kandang
kecil berupa gubuk untuk memperoleh pakan tambahan atau air minum terutama
pada saat musim kemarau yang banyak diperoleh di dekat hutan atau Indonesia
Bagian Timur (Aryogi 2006 dalam Lukman Affandhy dkk 2007). Model ini
kotoran sapi dan dapat langsung jatuh di ladang milik sendiri atau milik petani
lain yang berfungsi menambah kesuburan tanah ketika musim tanam. Kapasitas
areal angonan sangat luas dan dapat diangon hingga ratusan ekor betina dan
beberapa pejantan, yakni hingga 60-100 ekor induk dengan 2-3 pejantan (rasio
betina : pejantan 100:3 dengan memperoleh hijauan pakan rumput atau tanaman
hutan). Manajemen perkawinan dengan cara angon dapat dilakukan oleh petani
atau kemitraan antara kelompok perbibitan sapi potong rakyat dengan perkebunan
atau kehutanan seperti di Sumatera, Sulawesi dan Kalimantan dengan tahapan
sebagai berikut:
1. Induk bunting tua maupun setelah beranak tetap langsung diangon bersama
pedetnya.
2. Bila ada sapi yang terlihat gejala birahi langsung dipisah untuk diamati
keadaan birahinya. Selanjutnya setelah diketahui bahwa sapi tersebut birahi
benar, maka langsung dapat dikawinkan dengan pejantan terpilih dan ditaruh
dikandang dekat rumah.
3. Setelah dua hari dikawinkan selanjutnya dapat dilepaskan kembali ke hutan
4. Pergantian pejantan dapat dilakukan selama tiga kali beranak guna
menghindari kawin keluarga.
5. Sapi induk yang positif bunting tua (akan beranak) sebaiknya dipisah dari
kelompok angonan hingga beranak dan diletakkan di pekarangan yang dekat
dengan rumah atau dikandangkan dengan diberikan pakan tambahan berupa
konsentrat atau jamu tradisional terutama pada sapi induk pasca beranak.
Perbandingan anak jantan dan betina yang lahir pada kedua musim
tidak menunjukkan adanya pengaruh musim tersebut. Jumlah anak yang lahir
pada musim hujan sebanyak 40 ekor dengan sex ratio 60% jantan dan 40%
betina sedangkan pada musim kemarau jumlah anak yang lahir sebanyak 30
ekor dengan 18 ekor jantan dan 12 ekor betina (60 : 40). Angka kematian
antara umur 0 sampai dengan 5 bulan pada musim kemarau lebih tinggi jika di
bandingkan dengan angka kematian anak yang lahir dan hidup pada musim
hujan. Masing- masing jumlah anak yang lahir dan yang mati selama priode
musim kemarau dan hujan dalam (Lukman Affandhy dkk 2007)
2.2.4.6. Reproduksi
(Suryana 2009) Produksi daging sapi dalam negeri yang belum mampu
memenuhi permintaan tersebut terkait dengan adanya berbagai permasalahan
dalam pengembangan sapi potong beberapa permasalahan tersebut adalah: 1)
usaha bakalan atau calf-cow operation kurang diminati oleh pemilik modal karena
secara ekonomis kurang menguntungkan dan di butuhkan waktu pemeliharaan
peternak, 3) ketersediaan pakan tidak kontinyu dan kualitasnya rendah terutama
di musim kemarau, 4) pemanfaatan limbah pertanian dan angroindustri pertanian
sebagai bahan pakan belum optimal, 5) efisiensi reproduksi ternak rendah dengan
jarak beranak (calving interval) yang panjang.
2.2.5. Produksi
Meskipun banyak keunggulan dari sapi bali, tetapi ditinjau dari
pengembangannya terutama usaha peternakan rakyat masih sering muncul
beberapa permasalahan diantaranya pola perkawinan yang kurang benar (sering
terjadi inbreeding/ perkawinan sedarah), minimnya pengetahuan tentang deteksi
berahi sehingga terjadi perkawinan dengan waktu yang tidak tepat, hal ini juga
dapat mempengaruhi pruduksi ternak sapi menurun drastis (Reksohadiprojo, S.
1984).
Rendahnya produksi dikarenakan angka kebuntingan sehingga
menyebabkan jarak beranak (calving interval) yang terlalu panjang lebih dari 18
bulan yang berdampak terhadap rendahnya perkembangan populasi sapi pertahun
dan Akibatnya terjadi penurunan income petani dalam usaha ternaknya, dan
dikurangnya pengetahuan peternak tentang teknologi tepat guna (Sudono, A
,1969).
Faktor produksi usahatani ternak pada dasarnya adalah tanah dan alam
sekitarnya, tenaga kerja, modal serta peralatan. Namun demikian, ada beberapa
pendapat yang memasukan manajemen sebagai faktor produksi ke empat
Ternak sapi potong sebagai salah satu sumber makanan berupa daging,
produktivitasnya masih sangat memperhatikan karena volumenya masih jauh dari
target yang di perlukan konsumen, hasil ini di sebabkan oleh produksi daging
masih rendah (Anwar 2002).
Beberapa faktor yang menyebapkan produksi rendah, yaitu :
1. Populasi rendah
Rendahnya populasi ternak sapi karena umumnya sebagian besar ternak sapi
potong yang di pelihara oleh peternak masih dalam skala kecil, dengan lahan
dan modal yang sangat terbatas.
2. Produksi rendah
Tingkat produksi rendah akibat faktor tujuan pemeliharaan dan penggunaan
bibit belum memadai, serta pakan yang masih rendah.
• Faktor bibit
• Faktor pakan tersedia terbatas
Menurut Guntoro (2008), sapi bali mulai berproduksi antara 2,5 sampai 3
tahun selama 1 tahun sekali. Hal ini juga sangat bergantung pada pakan dan
pemeliharaan yang baik dengan berat bakalan bekisar antara 200-300 kg dengan
kisaran umur 1-2 tahun.
2.2.6. Regresi Linier Berganda
Analisis regresi menjelaskan hubungan dua atau lebih dari variabel sebab
akibat. Artinya variabel yang satu akan di pengaruhi variabel lainya. Besarnya
pengaruh variabel ini dapat diduga dengan besar yang ditunjukkan oleh koefisien
dimana Y= variabel yang di jelaskan (dependent variabel)
X = variabel yang menjelaskan (Indevenden variabel)
Hubungan Y dan X adalah searah, dimana X akan selalu mempengaruhi Y,
dan tidak mungkin terjadi hal yang sebaliknya. Oleh karena itu dalam nodel
development, maka pemilihan variabel Y dan X harus cermat dan benar
(Soekartawi, 2002)
Analisis Regresi Linier Berganda merupakan sala satu metode regresi untuk
mengetimasi α dan β yang disebut dengan metode ordinary least squares method
(OLS), dengan regresi linier berganda dapat mengidentifikasikan
hubungan-hubungan yang terjadi antara peubah-peubah bebas dengan peubah tetap. Analisis
ini juga dapat mengetahui seberapa besar pengaruh yang diberikan oleh peubah
bebas tertentu terhadap peubah tetapnya. Dalam penelitian ekonomi dan bisnis,
banyak hal yang tidak bisa dikendalikan sehingga regresi berganda sering
dibutuhkan untuk menduga pengaruh yang diberikan oleh berbagai peubah secara
simultan Newbold, et.al. 2003 dalam Daslina 2006. Model umum regresi linear berganda adalah :
Yi = α+ βX1i +β2X2i + …+ βnXni + ε
dengan α merupakan intercept/constanta, β
i
1, β2,……βn koefisien regresi yang
menggambarkan pengaruh yang diberikan oleh peubah bebas (X1, X2, …Xn)
terhadap peubah tak bebas (Y), dan ε merupakan galat model yang
Menurut Lains 2003 dalam dalam Daslina 2006 asumsi dasar OLS sering
dilanggar dalam melakukan estimasi sebuah model sehingga parameter yang
diperoleh menjadi bias, tidak konsisten dan tidak efisien. Asumsi dasar OLS yang
harus dipenuhi menurut Gauss dalam Lains 2003 dalam Daslina 2006 diantaranya adalah tidak terdapat kolinearitas ganda (multikolineraitas) berderajat tinggi yang
akan menghasilkan koefisien regresi yang tidak efisien. Yang dimaksud dengan
multicollinearity adalah situasi yang menjelaskan adanya interkorelasi yang tinggi antara variabel penduga Maddala, 1989 dalam dalam Daslina 2006. Selanjutnya
disebutkan untuk mengetahui adanya multikolinearitas tersebut dapat diukur
dengan nilai variance inflation factor (VIF) dengan rumus sebagai berikut : 1
VIF (βi
1 – R
) =
i2
Dimana Ri 2 adalah koefisien korelasi antara variabel Xi dengan variabel penjelas
lainnya. Dan Mechling (1997 dalam Daslina 2006 menambahkan bahwa nilai VIF
yang lebih besar dari 10 memberikan indikasi adanya multikolinearitas.
2.3. Kerangka Pemikiran
Dalam rangka pengembangan kawasan peternakan Ketapang 1 Kabupaten
Aceh Tengah , maka perlu di ketahui masalah yang menyebabkan rendahnya
penambahan populasi ternak sehingga dapat dicarikan langkah-langkah strategis
pengembangan peternakan terutama sapi potong dalam upaya pemberdayaan
mempengaruhi keberhasilan suatu usaha peternakan seperti yang datang dari
manusianya atau peternak yang meliputi; umur, pendidikan, pengalaman, jumlah
tanggungan, dan pekerjaan sebelum beternak. Faktor faktor yang lainya yang
bersumber dari dalam manajemen pemeliharaan ternak tersebut yang perlu di
ketahui sehingga masalah yang timbul dari proses peternakan tersebut dapat
perkecil. Dalam pemeliharaan ternak, ketersediaan hijauan pakan ternak akan
mempengaruhi penambahan populasi ternak, semakin tersedia hijauan secara
optimal dan bervariasi maka akan semakin baik pertumbuhan dan penambahan
populasi ternak. Setelah pakan air adalah hal utama dalam pertumbuhan ternak, 70
% dari pertumbuhan ternak bersumber dari air, disamping untuk kebutuhan air
minum, air untuk penyiraman hijauan makanan ternak, air untuk sanitasi dan
lainya sehingga air ini harus tersedia secara terus menerus. Selang beranak
(calving interval) merupakan selang beranak induk dari beranak I ke beranak
seterusnya semakin pendek selang beranak maka penambahan populasi ternak
semakin baik. Rasio jantan dengan betina merupakan perbandingan jumlah jantan
dengan betina semakin banyak pejantan unggul yang siap untuk mengawini induk
betina maka semakin baik. Mortalitas bibit dan mortalitas anak merupakan tingkat
kematian bibit dan anak, semakin kecil nilai persentase kematian maka akan
semakin baik. Pencurahan tenaga kerja merupakan ketersediaan waktu peternak
dalam mengurusi ternaknya, semakin banyak waktu yang di luangkan peternak
maka peternak akan lebih mengetahui permasalahan ternaknya dan solusinya
merupakan kemampuan peternak dalam mengkombinasikan dan menangani
ternaknya secara baik dan efisien sehingga pemeliharaan dapat lebih baik.
Konsep kerangka pemikiran dapat di lihat pada Gambar 1.
Kerangka Pemikiran
Upaya yang di lakukan untuk penambahan populasi
Gambar 1. Kerangka Pemikiran
2.4. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan uraian di atas maka dapat dirumuskan hipotesis penelitian sebagai
berikut:
1. Faktor- faktor manajemen pemeliharaan ternak sapi bali (Jumlah hijauan
makan ternak, air, selang beranak, rasio jantan dengan betina, tingkat
mortalitas bibit, tingkat mortalitas anak, pencurahan tenaga kerja dan
manajemen) berpengaruh terhadap penambahan populasi ternak di peternakan
III. METODE PENELITIAN
3.1. Lokasi dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan di peternakan Ketapang I yang berada di
Kampung Owaq Kecamatan Linge Kabupaten Aceh Tengah Propinsi Aceh
yang dilakukan mulai April sampai dengan bulan Juni 2013. Pemilihan lokasi
penelitian ditentukan secara purposiv sesuai dengan tujuan penelitian bahwa
Kabupaten Aceh Tengah merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Aceh yang
mempunyai kawasan budidaya pengembangan sapi potong yang sengaja di dirikan
oleh pemerintah daerah dengan sumber dana APBD, APBK dan APBN.
3.2. Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan
Tabel 1. Data, sumber data dan metode Penelitian
No. Data Sumber Metode
a. Sekunder
1. Populasi Ternak Dinas peternakan
2. Perencanaan Bapeda
3. Jumlah Penduduk Dinas Kependudukan
4. Sarana dan Prasarana Dinas Pekerjaan Umum
5. Sarana Prairan PDAM
6. Penyuluhan Badan Penyuluhan
b. Primer
1. Karakteristik Peternak Peternak Wawancara dan Observasi
2. Ketersediaan pakan Peternak Wawancara dan Observasi
3. Ketersediaan Air Peternak Wawancara dan Observasi
4. Calving Interval Peternak Wawancara dan Observasi
5. Sex rasio Peternak Wawancara dan Observasi
6. Mortalitas Bibit Ternak Peternak Wawancara dan Observasi
7. Mortalitas Anak Peternak Wawancara dan Observasi
8. Tenaga Kerja Peternak Wawancara dan Observasi
9. Manajemen Peternak Wawancara dan Observasi
- Metode wawancara, yaitu melakukan wawancara terstuktur dengan
menggunakan kuesioner yang telah dibuat sebelumnya sesuai dengan
masalah dan tujuan penelitian. Wawancara dilakukan terhadap responden
yaitu peternak sapi potong
- Metode observasi, yaitu pengumpulan data dengan pengamatan langsung di
lokasi penelitian yang meliputi peternak selaku objek penelitian dan melihat
penambahan populasi ternak setiap tahunnya , manajemen pemeliharaan .
3.3. Teknik Pengambilan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh peternak sapi potong yang
terdapat pada kawasan pengembangan sapi potong di peternakan Ketapang I
peternak, sementara peternak yang aktip di lokasi peternakan tinggal 71 peternak,
sisanya hanya pada saat tertentu saja datang ke lokasi peternakan dan ada yang
sudah meninggalkan Ketapang I sehingga jumlah sampel hanya 71 peternak.
Teknik pengambilan sampel untuk responden peternak dilakukan dengan
teknik sensus yaitu bila semua anggota populasi di jadikan sampel (Sugiyono
1999). Lebih lanjut menurut Arikunto Suharsimi apabila subjeknya kurang dari
100 lebih baik diambil semua sehingga penelitian ini merupakan penelitian
populasi. Tetapi, jika jumlah subjeknya besar dapat di ambil antara 10-15 % atau
20-25 % atau lebih tergantung setidak-tidaknya dari:
a. Kemampuan peneliti dilihat dari waktu tenaga dan dana.
b. Sempit luasnya wilayah pengamatan dari setiap subjek, karna hal ini
menyangkut banyak sedikitnya data.
c. Besar kecilnya resiko yang di tanggung peneliti. Untuk penelitian yang
resikonya besar tentu saja jika sampel besar, hasilnya akan lebih baik.
Dari sebanyak 71 orang peternak jumlah populasi dan sampel ternak
berdasarkan stratumnya di peternakan Ketapang Kecamatan Linge Kabupaten
Tabel 2. Jumlah populasi dan sampel di peternakan Ketapang I Kecamatan Linge Kabupaten Aceh Tengah
No. Stratum Jumlah Populasi Jumlah Sampel
1. Startum A (5-10 Ekor) 12 12
2. Stratum B (11-15 Ekor) 25 25
3. Stratum C (16-20 Ekor ) 22 22
4. Stratum D ( > 20 Ekor) 12 12
Jumlah 71 71
Sumber: data diolah, 2013.
Tabel 2 menunjukkan bahwa jumlah populasinya adalah 71 peternak dan
sampelnya adalah 71 sehingga metode pengambilan sampel penelitian ini
merupakan sampel sensus yang di bagi atas 4 stratum.
3.4. Teknik Pengolahan dan Analisis Data
Analisis yang dilakukan meliputi : (1) Analisis deskriptif; (2) Analisis
Faktor yang mempengaruhi rendahnya produksi peternakan sapi potong dengan
Regresi linier Berganda.
Dalam pengolahan data tahapan pertama yang di lakukan adalah analisi
diskriftif yang meliputi : (1) Pengeditan hasil kuesioner yang telah terhimpun, (2)
Tabulasi data, (3), Pengolahan data (4) Interpretasi dari hasil output secara
deskriptif.
Kemudian untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi rendahnya
produksi suatu usaha peternakan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
hijauan pakan ternak (2) air (3) selang beranak (calving interval) (4) rasio jantan
dengan betina (Sex Rasio) (5) tingkat mortalitas bibit (6) tingkat mortalitas anak
(7) pencurahan tenaga kerja dan (8) manajemen. Penambahan populasi ternak
sapi potong yang dikelola oleh peternak di Ketapang 1 dengan melihat
penambahan populasi ternak selama proses budidaya yang di lakukan oleh
peternak. Untuk manajemen indikator yang di amati dapat di lihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Penilaian variabel manajemen dalam pemeliharaan sapi
No. Kegiatan Penilaian manajemen/ Kegiatan Standar
Metode yang digunakan untuk menganalisis faktor-faktor yang diduga
mempengaruhi rendahnya penambahan populasi ternak sapi potong adalah
persamaan regresi linear berganda dengan rumus :
X5 = Tingkat mortalitas bibit (%)
X6 = Tingkat mortalitas Anak (%)
X7= Pencurahan tenaga kerja (HOK)
D8= Manajemen (variabel dummy 1 =baik dan 0 = buruk) α = Konstanta/Intercept
β = Koefisien regresi ε = Error (galat)
Pengujian hipotesis dengan cara :
1. Uji kesesuaian (test of goodnees of fit)
a. Koefesien determinasi (R2)
b. Uji tingkat penting (test of significant) c. Uji persial (uji statistik)
d. Uji serempak (uji statistik)
2. Uji asumsi klasik pada regredresi linier berganda
a. Uji normalitas
b. Uji multikolinieritas c. Uji heteroskedastisitas
Untuk membantu pengolahan data faktor yang mempengaruhi
keberhasilan usaha ternak sapi potong, digunakan bantuan program SPSS 16 for window. Agar variabel yang diduga berpengaruh tersebut dapat dianalisis dengan baik, maka perlu mendefinisikan masing-masing peubah dan pengukurannya.
3.5. Definisi dan Batasan Operasional
1. Kawasan peternakan adalah komplek peternakan yang di buat oleh
pemerintah yang di lengkapi fasilitas- fasilitas pendukung dalam peternakan
tersebut.
2. Peternak adalah masyarakat atau penduduk yang tinggal pada kawasan