• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Pengaturan Penguasaan Hak Guna Bangunan yang Melampaui Batas Luas Ketentuan Undang-Undang di Indonesia serta

PENGATURAN PENGUASAAN HAK GUNA BANGUNAN YANG MELAMPAUI BATAS LUAS KETENTUAN UNDANG-UNDANG

3.3. Analisis Pengaturan Penguasaan Hak Guna Bangunan yang Melampaui Batas Luas Ketentuan Undang-Undang di Indonesia serta

Perbandingannya dengan Negara Lain.

Penguasaan Hak Guna Bangunan memiliki keterkaitan dengan penatagunaan tanah. Fungsi penatagunaan tanah sangat diperlukan untuk menyesuaikan dengan Global Positioning System (GPS) dan komputerisasi pengolahan dan penyimpanan data terkait berbagai jenis hak-hak atas tanah yang terdapat di dalam ketentuan UUPA.20

Pengaturan terkait dengan berbagai jenis hak-hak atas tanah diatur dalam ketentuan Pasal 16 UUPA dan merupakan bagian dari Hukum Agraria Nasional yang landasan hukumnya bersumber dari ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yaitu: “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Ketentuan ini mengandung tiga prinsip yaitu :

1. Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara;

2. Negara sebagai organisasi kekuasaan dari bangsa indonesia harus menggunakan bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat;

3. Hubungan antar negara dengan bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya merupakan hubungan menguasai.

Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjadi pedoman bagi pembentukan Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Lembaran Negara Republik

20 Santoso, Urip, 2001, Pendaftaran dan Peralihan Hak atas Tanah, Kencana Pranada Media Group, Jakarta, hal.8

Indonesia Tahun 1960 No. 104 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 2043, atau lebih dikenal dengan sebutan UUPA. Pasal 2 UUPA menyatakan bahwa :

(1) Atas dasar ketentuan Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat;

(2) Hak menguasai Negara termaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang untuk :

a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa;

b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa;

c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang angkasa.

(3) Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut pada ayat (2) pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara Hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur;

(4) Hak menguasai dari Negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekadar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan pemerintah.

Hak menguasai Negara untuk mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa dengan mengacu pada Pasal 2 UUPA di atas adalah bersifat abadi dan digunakan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara Hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur.

Pemerintah memiliki peran penting dalam penatagunaan tanah dalam hal penguasaan Hak Guna Bangunan bagi Badan Hukum. Peran pemerintah disini

adalah untuk membuat suatu rencana umum (national planning) yang meliputi seluruh wilayah Indonesia, yang kemudian diperinci menjadi rencana khusus

(regional planing).21 Peran penting pemerintah terkait dengan hal ini dapat diwujudkan dalam bentuk representasinya secara konkrit yang diwakili oleh Badan Pertanahan Nasional dalam pengaturan penguasaan Hak Guna Bangunan bagi Badan Hukum yang dimulai secara nasional dan selanjutnya berlanjut kedaerah-daerah dengan menyesuaikan pada keadaan geografis wilayah.

R. Soeprapto memberikan pendapatnya terkait dengan penataagunaan tanah :

“Tata guna tanah merupakan rangkaian kegiatan penataan peruntukan, penggunaan, dan persediaan tanah secara berencana dan teratur, sehingga diperoleh manfaat yang lestari optimal, seimbang, dan serasi untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.22

Mengutip pendapat dari R. Soeprapto di atas terkait dengan arti penataagunaan tanah dapat dikaji bahwa penatagunaan tanah adalah kegiatan penataan tanah yang dilakukan oleh pemerintah yang digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dengan pemanfaatan persediaan tanah secara teratur dan optimal.

Urip Santoso menjelaskan lebih lanjut tentang tata guna tanah adalah rangkaian kegiatan penataan penyediaan, peruntukan, dan penggunaan tanah secara berencana dalam rangka melaksanakan pembangunan nasional. Dalam tata guna tanah terdapat rangkaian kegiatan berupa penyediaan, peruntukan, dan

21 Urip Santoso I, op.cit, hal. 246

22 R. Soeprapto, 1986, Undang-Undang Pokok Agraria Dalam Praktik, Universitas Indonesia Press, Jakarta, hal. 75.

penggunaan tanah, sedangkan tujuan tata guna tanah adalah untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.23

Pengertian pengelolaan tata guna tanah atau penatagunaan tanah dalam hukum positif dimuat dalam penjelasan Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang jo. Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah yaitu :

Penatagunaan tanah sama dengan pengelolaan tata guna tanah, yang meliputi penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah yang berwujud konsolidasi pemanfaatan tanah melalui pengaturan kelembagaan yang terkait dengan pemanfaatan tanah sebagai satu kesatuan sistem untuk kepentingan masyarakat secara adil.

Penjelasan pasal demi pasalnya adalah cukup jelas.

Mengacu pada Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang jo. Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah, penulis berpandangan bahwa penguasaan Hak Guna Bangunan yang dilakukan oleh Badan Hukum hendaknya melalui pengaturan oleh kelembagaan yang terkait serta pemanfaatan tanah sebagai satu kesatuan sistem untuk kepentingan masyarakat secara adil, tidak saja memberikan keuntungan bagi masyarakat menengah keatas namun juga bagi masyarakat menengah kebawah.

Muchsin dan Imam Koeswahyono menyatakan bahwa ada empat unsur esensial dalam penatagunaan tanah, yaitu:24

1. Adanya serangkaian kegiatan/aktivitas, yaitu pengumpulan data lapangan tentang penggunaan, penguasaan, kemampuan fisik, pembuatan

23 Urip Santoso I, loc.cit

24 Muchsin dan Imam Koeswahyono, 2008, Aspek Kebijaksanaan Hukum Penatagunaan

Tanah Dan Penataan Ruang, Sinar Grafika, Jakarta, (selanjutnya disingkat Muchsin dan Imam

rencana/pola penggunaan tanah, penguasaan, dan keterpaduan yang dilakukan secara integral dan koordinasi dengan instansi lain;

2. Dilakukan secara berencana dalam arti harus sesuai dengan prinsip lestari, optimal, serasi, dan seimbang;

3. Adanya tujuan yang hendak dicapai, yaitu sejalan dengan tujuan pembangunan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat;

4. Harus terkait langsung dengan peletakan proyek pembangunan dengan memerhatikan daftar skala prioritas (dsp).

Pengaturan penguasaan Hak Guna Bangunan hendaknya memperhatikan empat unsur esensial dalam penata gunaan tanah yakni adanya pengumpulan data fisik dan data yuridis lapangan, pembuatan rencana/pola penggunaan tanah, penguasaan, dan keterpaduan yang dilakukan secara integral dan koordinasi de-ngan instansi lain. Dilakukan secara berencana dede-ngan prinsip lestari, optimal, serasi, dan seimbang. Memiliki tujuan yang hendak dicapai sejalan dengan tujuan pembangunan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat dan harus memiliki keterkaitan langsung dengan peletakan proyek pembangunan dengan memerhatikan Daftar Skala Prioritas (DSP) serta mempertimbangkan aspek geografis wilayah.

Pengaturan penguasaan Hak Guna Bangunan oleh Badan Hukum yang melampaui batas luas ketentuan undang-undang sampai saat ini masih terdapat kekosongan hukum. UUPA secara tegas menganut sistem pembatasan pemilikan tanah yang diatur di dalam ketentuan Pasal 7 dan Pasal 17 UUPA kemudian ditindak lanjuti dengan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2013 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah Dan Kegiatan Pendaftaran Tanah. Ketentuan Pasal 7 dan Pasal 17 UUPA menyatakan bahwa :

Untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan.

Dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 7 maka untuk mencapai tujuan yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat 3 diatur luas maksimum dan/atau minimum tanah yang boleh dipunyai dengan sesuatu hak tersebut dalam Pasal 16 oleh satu keluarga atau badan hukum. Penetapan batas maksimum termaksud dalam ayat 1 pasal ini dilakukan dengan peraturan perundangan di dalam waktu yang singkat.Tanah-tanah yang merupakan kelebihan dari batas maksimum termaksud dalam ayat 2 pasal ini diambil oleh Pemerintah dengan ganti kerugian, untuk selanjutnya dibagikan kepada rakyat yang membutuhkan menurut ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah. Tercapainya batas minimum termaksud dalam ayat 1 pasal ini, yang akan ditetapkan dengan peraturan perundangan, dilaksanakan secara berangsur-angsur.

Pasal dan 7 dan Pasal 17 di atas menunjukan adanya prinsip pembatasan tanah yang dianut oleh UUPA. Pembatasan penguasaan dan kepemilikan hak atas tanah lebih lanjut secara sepesifik ketentuannya diatur dalam Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2013 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah Dan Kegiatan Pendaftaran Tanah yang dibawah ini penulis tampilkan dalam bentuk tabel.

No Jenis Hak-Hak Atas Tanah

Pengaturan Pasal

Luas

1. Hak Milik Pasal 7 - Pemberian Hak Milik untuk orang perseorangan atas tanah pertanian yang luasnya lebih dari 50.000 M² (lima puluh ribu meter persegi) dan tidak lebih dari luas batas maksimum kepemilikan tanah pertanian perorangan.

- Pemberian Hak Milik untuk orang perseorangan atas tanah non pertanian yang luasnya lebih dari 3.000 M² (tiga ribu meter persegi) dan tidak lebih dari 10.000 M² (sepuluh ribu meter persegi);

- Pemberian Hak Milik untuk Badan Hukum Keagamaan dan sosial yang telah ditetapkan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963 tentang Penunjukkan Badan-Badan Hukum yang dapat mempunyai Hak Milik atas Tanah, atas tanah non pertanian yang luasnya

lebih dari 50.000 M² (lima puluh ribu meter persegi) dan tidak lebih dari 150.000 M² (seratus lima puluh ribu meter persegi).

Penjelasan pasal demi pasal : Cukup Jelas 2. Hak Guna

Usaha

Pasal 8 Kepala Kanwil Badan Pertanahan Nasional memberi keputusan mengenai pemberian Hak Guna Usaha atas tanah yang luasnya tidak lebih dari 2.000.000 M2 (dua juta meter persegi).

Penjelasan pasal demi pasal : Cukup jelas 3. Hak Guna

Bangunan

Pasal 9 - Pemberian Hak Guna Bangunan untuk orang perseorangan atas tanah yang luasnya lebih dari 3.000 M2 (tiga ribu meter persegi) dan tidak lebih dari 10.000 M² (sepuluh ribu meter persegi);

- Pemberian Hak Guna Bangunan untuk Badan Hukum atas tanah yang luasnya lebih dari 20.000 M2 (dua puluh ribu meter persegi) dan tidak lebih dari 150.000 M2 (seratus lima puluh ribu meter persegi)

Penjelasan pasal demi pasal : Cukup jelas

4. Hak Pakai Pasal 10 - Pemberian Hak Pakai untuk orang perseorangan atas tanah pertanian yang luasnya lebih dari 50.000 m² (lima puluh ribu meter persegi) dan tidak lebih dari 100.000 m² (seratus ribu meter persegi).

- Pemberian Hak Pakai untuk orang perseorangan atas tanah non pertanian yang luasnya lebih dari 3.000 m² (tiga ribu meter persegi) dan tidak lebih dari 10.000 m2 (sepuluh ribu meter persegi);

- Pemberian Hak Pakai untuk badan hukum swasta, BUMN/BUMD atas tanah non pertanian yang luasnya lebih dari 20.000 M² (dua puluh ribu meter persegi) dan tidak lebih dari 150.000 M² (seratus lima puluh ribu meter persegi).

Penjelasan pasal demi pasal: Cukup jelas

Substansi beberapa ketentuan pasal di atas secara tegas telah mengatur pembatasan kepemilikan tanah terkait dengan hak-hak atas tanah yakni Hak

Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai. Dalam relevansinya terhadap permasalahan dalam penelitian ini masih terdapat kekosongan hukum di dalam UUPA dan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2013 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah Dan Kegiatan Pendaftaran Tanah terkait dengan pengaturan penguasaan Hak Guna Bangunan yang melampaui batas luas ketentuan undang-undang.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dalam ketentuan Pasal 5 dinyatakan bahwa dalam membentuk peraturan perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, yang meliputi :

a. Kejelasan tujuan;

b. Kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat; c. Kesesuaian antara jenis, hierarkhi, dan materi muatan; d. Dapat dilaksanakan;

e. Kedayagunaan dan kehasilgunaan; f. Kejelasan rumusan; dan

g. Keterbukaan.

UUPA dan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2013 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah Dan Kegiatan Pendaftaran Tanah belum sepenuhnya mengakomodir apa yang ditentukan di dalam ketentuan Pasal 5 huruf (f) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang kejelasan rumusan terkait dengan pengaturan penguasaan Hak Guna Bangunan oleh Badan Hukum yang melampaui batas luas ketentuan undang-undang.

Hal ini penting adanya agar setiap peraturan perundang-undangan yang dibentuk harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan perundang-undangan yang terdiri dari sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaanya serta memberikan kepastian hukum dalam hal terjadinya pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Subyek Hukum

Penulis dengan mengacu pada Teori Kepastian Hukum terkait kekosongan hukum yang terdapat pada UUPA dalam hal pengaturan penguasaan Hak Guna Bangunan yang melampaui batas luas ketentuan undang-undang dinyatakan bahwa suatu peraturan perundang-undangan yang dibentuk hendaknya memberikan suatu norma yang memiliki nilai kepastian hukum yang di dalamnya terdapat dua substansi penting. Substansi yang pertama adalah adanya ketentuan/aturan yang bersifat umum dapat memberikan pemahaman kepada Subyek Hukum yang terdiri dari Orang atau Badan Hukum untuk mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan. Substansi yang kedua adalah merupakan jaminan perlindungan hukum bagi Subyek Hukum dari kesewenang-wenangan tindakan pemerintah.

Eksistensi adanya ketentuan aturan hukum yang bersifat umum memiliki fungsi bagi Badan Hukum untuk dapat mengetahui dan memahami terkait dengan hal-hal apa saja yang dapat dibebankan atau dilakukan Negara terhadapnya. Secara konkritnya dalam hal ini adalah terkait dengan pengaturan penguasaan Hak Guna Bangunan terhadap Badan Hukum yang melampaui batas luas ketentuan undang-undang. Substansi jaminan perlindungan hukum bagi Subyek Hukum dari

kesewenang-wenangan tindakan pemerintah memberikan arti bahwa dalam hal terjadi pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Badan Hukum dalam hal penguasaan Hak Guna Bangunan yang melampaui batas luas ketentuan undang-undang dalam hal ini sanksinya hanya dapat diberikan atas dasar ketentuan undang-undang yang berlaku. Tidak berdasarkan kesewenang-wenangan pemerintah.

Kepastian hukum bukan hanya berupa pasal-pasal dalam undang-undang melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan hakim antara putusan hakim yang satu dengan putusan hakim lainnya untuk kasus yang serupa yang telah di putuskan.25

Pembentukan norma terkait adanya kokosongan hukum pengaturan penguasaan Hak Guna Bangunan oleh Badan Hukum dengan melebihi batas luas ketentuan undang-undang yang tidak diatur dalam ketentuan UUPA dan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2013 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah Dan Kegiatan Pendaftaran Tanah harus berlandaskan nilai-nilai keadilan di dalamnya.

Aristoteles memformulasikan dalam ruang lingkup Filsafat Hukum bahwa keadilan dibedakan menjadi 2 (dua) hal yaitu keadilan distributif dan keadilan korektif. Hal ini menjadi dasar bagi semua pembahasan teoritis terhadap pokok persoalan keadilan. Keadilan distributif mengacu pada pembagian barang dan jasa kepada setiap orang sesuai dengan kedudukannya dalam masyarakat dan perlakuan yang sama terhadap kesederajatan dihadapan hukum (equality before

25 Peter Mahmud Marzuki, loc.cit

the law).26 Sedangkan keadilan korektif adalah keadilan yang dimaksudkan untuk mengembalikan keseimbangan, ketika keseimbangan yang ada terganggu oleh tindakan yang salah. Keadilan ini bermaksud mengembalikan kondisi atau posisi yang terganggu menjadi seperti sedia kala.27

Keadilan menurut Jhon Rawls dijelaskan lebih lanjut bahwa keadilan tidak saja meliputi konsep moral tentang individunya, tetapi juga mempersoalkan mekanisme dari pencapaian keadilan itu sendiri, termasuk juga bagaimana hukum turut serta dalam mendukung upaya tersebut.28

UUPA dan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2013 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah Dan Kegiatan Pendaftaran Tanah belum memberikan pengaturan yang adil terkait dengan Penguasaan Hak Guna Bangunan oleh Badan Hukum yang melampaui luas ketentuan undang-undang. Mengutip pendapat Jhon Rawls tentang teori keadilannya di atas dapat disebutkan bahwa di dalam membentuk suatu ketentuan peraturan perundang-undangan harus memberikan keadilan dan daya paksa dalam hal apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan yang tidak saja meliputi konsep moral tentang individunya, tetapi juga mempersoalkan tentang perlu adanya kepastian hukum. Kepastian hukum ini harus mencerminkan nilai keadilan dan hukum di dalamnya turut serta dalam mendukung upaya tersebut. Aktualisasi teori keadilan dari Jhon Rawls harus harus benar-benar dilaksanakan oleh para legislator dalam membentuk undang-undang atau peraturan hukum lainnya.

26 Khudzaifah Dimyati, loc.cit 27 Sutarman Yodo, loc.cit

Membentuk suatu undang-undang yang memiliki nilai kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan harus sesuai dengan asas-asas pembentukan peraturan Perundang-undangan yang baik. Teori pembentukan peraturan perundang-undangan dikemukakan oleh Lon Fuller dalam bukunya In The Morality of Law, Fuller identifies eight requirements of the rule of law:

Laws must be general (#1), specifying rules prohibiting or permitting

behavior of certain kinds. Laws must also be widely promulgated (#2), or publicly accessible. Publicity of laws ensures citizens know what the law requires. Laws should be prospective (#3), specifying how individuals ought to be have in the future rather than prohibiting behavior that occurred in the past. Laws must be clear (#4). Citizens should be able to identify what the laws prohibit, permit, or require. Laws must be non-contradictory (#5). One law cannot prohibit what another law permits. Laws must not ask the impossible (#6). Nor should laws change frequently; the demands laws make on citizens should remain relatively constant (#7). Finally, there should be congruence between what written statute declare and how officials enforce those statutes (#8).29

Berdasarkan uraian teori hukum dari Lon Fuller di atas dengan mengartikan secara bebas terhadap apa yang diuraikan dalam teorinya “Principles

Of Legality”, Fuller mengidentifikasi adanya delapan persyaratan dari peraturan

perundang-undangan yaitu:

1. Undang-undang/peraturan hukum harus bersifat umum. Tidak boleh berlaku khusus atau untuk individu tertentu;

2. Peraturan hukum ditetapkan untuk melarang atau mengijinkan berbagai jenis tingkah laku tertentu. Hukum juga harus diumumkan secara luas;

3. Atau dapat diakses oleh publik. Publisitas hukum menjamin warga menjadi tahu tentang yang dipersyaratkan oleh hukum. Undang-undang harus bersifat prospefektif;

4. Undang-undang harus menetapkan bagaimana individu-individu harus berprilaku kedepannya dari pada melarang perilaku yang telah terjadi di massa lalu (hukum tidak boleh berlaku surut). Peraturan hukum harus jelas;

29 Lon Fuller, loc.cit

5. Para warga negara harus mampu mengidentifikasi apa yang dilarang oleh undang-undang, apa yang diijinkan oleh undang-undang, atau apa yang dipersyaratkan oleh undang-undang. Undang-undang tidak boleh bertentangan satu dengan lainnya. (sistem hukum tidak boleh mengandung peraturan yang kontradiktif);

6. Suatu undang-undang tidak bisa melarang tetapi peraturan perundang-undangan yang lainnya mengijinkan. Hukum harus tidak meminta atau menyuruh hal yang tidak mungkin dilakukan. Hukum harus menjangkau kesanggupan warga negara untuk memenuhinya;

7. Undang-undang tidak boleh sering berubah. Apa yang diminta oleh undang-undang terhadap warga harus bersifat relatif tetap;

8. Terahir, disana harus terjadi kesesuaian antara apa yang ditulis dan ditetapkan oleh hukum dan bagaimana cara pemerintah menegakan statuta atau peraturan-peraturan tersebut.30

Pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik guna memberikan adanya kepastian hukum hendaknya dibentuk dengan mengacu pada prinsip-prinsip pembentukan peraturan perundang-undangan yang dikemukakan oleh Lon Fuller di atas. UUPA dan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 2013 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah Dan Kegiatan Pendafataran Tanah tidak mengatur secara normatif tentang pengaturan penguasaan Hak Guna Bangunan bagi Badan Hukum yang melampaui batas luas yang ditentukan undang-undang.

Upaya dalam memberikan kepastian hukum kedepan terkait dengan pengaturan penguasaan Hak Guna Bangunan oleh Badan yang melampaui batas luas ketentuan undang-undang, hendaknya dilakukan dengan mempertimbangkan Teori Principles Of Legality yang terdapat di dalam angka ke-3, 4 dan ke-8 yakni hukum harus memberikan prospek kedepan, hukum harus jelas dan harus terjadi

30 Diterjemahkan melalui transleter Putu Sudana, Dosen Fakultas Sastra Inggris Universitas Udayana Denpasar.

kesesuaian antara apa yang ditulis dan ditetapkan oleh hukum serta bagaimana cara pemerintah menegakan statuta atau peraturan-peraturan tersebut.

Makna hukum harus memberikan prospek kedepan pada angka ke 3 teori

Principles Of Legality di atas memberi penjelasan sabagai suatu konsep pemikiran

bahwa publisitas hukum menjamin subyek hukum menjadi tahu tentang yang dipersyaratkan oleh hukum dan undang-undang harus bersifat prospefektif. Undang-undang yang dibentuk harus memberikan sifat yang prospektif dalam arti menjangkau persoalan-persoalan hukum yang akan terjadi di massa depan dan masyarakat mengetahui tentang apa yang disyaratkan oleh undang-undang.

Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 2013 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah Dan Kegiatan Pendafataran Tanah belum menjangkau hal tersebut karena masih terdapat