pasal 3 ayat (1) : setiap negara pihak harus menjamin bahwa setidaknya, aksi dan aktifitas berikut ini, baik yang dilakukan di dalam negeri maupun lintas negara
C. Analisis Penjualan Anak Lintas Negara
Penelitian menunjukan korban kejahatan perdagangan orang berasal dari keluarga miskin dari pedesaan, masyarakat yang patriakal (sistem kemasyarakatan yang menentukan ayah sebagai kepala keluarga) dengan status pendidikan yang rendah.Korban pada umumnya anak dan perempuanyang belia dan muda, belum menikah. Korban juga adalah korban perceraian dalam keluarga serta mereka yang pernah bekerja di pusat kota atau luar negeri. Umumnya sebagian penghasilannya diberikan kepada keluarga.
Pada salah satu kasus yang terjadi di Batam pada Juni 2016,penjualan bayi ke Singapura. Pelaku Ya, Ba, Ea sengaja mengicar keluarga yang kurang mampu sehingga mereka bisa menipu keluarga tersebut.Dengan alasan ingin merawat bayi itu, pelaku dengan mudahnya mengambil bayi yang berusia 2 bulan 3 hari dan orang tua korban dengan rasa percayanya memberikan bayi mereka kepada para pelaku. Orang tua korban sama sekali tidak merasa curiga karena pada dasarnya mereka tidak mampu dan latar pendidikan yang kurang sehingga mereka menyerahkan bayi mereka, jadi menurut orang tua korban daripada anak mereka terlantar sebaiknya mereka menyerahkan anak mereka kepada para pelaku yang di anggap mereka mampu dan sanggup merawat anak mereka dengan baik.
Pada saat para pelaku akan menjual bayi tesebut, polisi setempat datang ke lokasi dimana mereka melakukan transaksi dengan warga Singapur. Bayi tersebut di jual 8 ribu dollar Singapur oleh para pelaku. Sesuai dengan isi pasal 3 Protokol Opsional Konvensi Hak-Hak Anak mengenai Penjualan Anak, Prostitusi Anak, dan Pornografi anak yang berbunyi;
1. Setiap negara pihak harus menjamin bahwa, setidaknya, aksi dan aktifitas berikut ini, baik yang di lakukan di dalam negeri maupun lintas negara atau secara perseorangan atau terorganisir, sepenuhnya diatur dalam hukum pidananya:
a. Dalam konteks penjualan anak sebagaimana dimaksud pasal 2:
i. Penawaran, pengantaran atau penerimaan anak dengan cara apapun untuk tujuan:
a. Eksploitasi seksual anak;
c. Pengikutsertaan anak dalam kerja paksa;
(iii) Memperoleh persetujuan dengan cara-cara yang tidak semestinya, untuk adopsi anak sehingga melanggar instrumen hukum internasional mengenai adopsi anak;
(b) menawarkan, memperoleh, membeli, atau menyediakan seorang anak untuk prostitusi sebagaimana dimaksud pasal 2;
(c) memproduksi, mendistribusikan, menyebarluaskan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, menjual atau memiliki hal-hal untuk tujuan pornografi anak sebagaimana pasal 2;
2. Dengan tunduk pada ketentuan hukum nasional Negara-Negara pihak, hal-hal yang sama harus diterapkan pada upaya percobaan atas pelanggaran tersebut dan pada keterlibatan atau keikutsertaan dalam pelanggaran tersebut.
3. Setiap Negara Pihak harus menjadikan pelanggaran-pelanggaran ini dapat dihukum dengan hukuman yang layak yang mempertimbangkan sifat berat dari pelanggaran tersebut.
4. Dengan tunduk pada ketentuan hukum nasionalnya, setiap negara pihak harus mengambil langkah-langkah, jika dipandang perlu untuk menegakkan hukum bagi pelaku atas pelanggaran-pelanggaran sebagaimana termasuk dalam ayat (1) pasal ini. Dengan menujuk prinsip-prinsip hukum Negara Pihak, penegakkan hukum bagi pelaku dapat secara pidana, perdata, atau administratif.
5. Negara-negara Pihak harus mengambil langkah-langkah hukum dan administratif yang layak untuk memastikan bahwa semua orang yang terlibat dalam adopsi anak bertindak sesuai dengan instrumen hukum internasional yang berlaku.
Begitu juga dengan kasus yang terjadi di Aceh pada Mei 2012, korbannya berjumlah tujuh anak yang perempuan, masih berstatus pejalar yang berusia sekitar 14 hingga 16 tahun. Modus utama pelaku dengan membujuk anak dan remaja Aceh untuk berwisata ke luar negeri untuk kemudian dipaksa menjadi pekerja seks komersial
.
Kepolisian mengatakan kasus ini terhubung dengan sindikat kejahatan internasional.Polisi sampai saat ini baru bertindak sampai tataran menagkap mucikari atau agennya.Pelakunya lokal, dia yang mencari, merekrut dan membujuk korban.Kepala Unit Pelayan Perempuan dan Anak (PPA) Kepolisian Daerah Aceh Ajun Komisaris Polisi (AKP) Elfiana mengatakan, polisi telah melimpahkan ke pihak kejaksaan setempat tersangka berinisial MI dan AY.Keduanya berdomisili di provinsi Aceh dan merupakan tersangka pelaku kejahatan trafficking terhadap beberapa anak asal Aceh.Dari pemeriksaan kedua tersangka MI dan AY, terdapat kemungkinan adanya keterlibatan pelaku dari sindikat internasional. Ketujuh korban telah diamankan polisi dan pelakunya sedang dalam proses hukum.
Sesuai dengan isi pasal 3 Opsional Protokol Konvensi Hak-Hak Anak mengenai Penjualan Anak, Prostitusi Anak, Pornografi Anak. Dalam hukum yang berlaku di Indonesia, pengaturan tentang pemidanaan penjualan anak terdapat dalam Kitab Undang-Undang Pidana (KUHP) dan Undang-Undang no.23 tahun
2002 tentang perlindungan anak dan Undang-Undang no.21 tahun 2007 tentang tindak pidana perdagangan orang. Dalam KUHP, ketentuan mengenai penjualan anak terdapat dalam pasal 297 yang berbunyi: “perdagangan perempuan dan anak laki-laki yang belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun”.
Namun, karena isi pasal 297 KUHP kurang begitu tegas, sehingga jarang digunakan. Sehingga penegak hukum (kepolisian) menggunakan Undang-Undang yang khusus mengatur mengenai penjualan anak, yaitu Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang. Pada Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang perlindungan anak, kasus tersebut terjerat pasal 76F dan pasal 83 yang berbunyi:
Pasal76F :Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan penculikan, penjualan, dan / atau perdagangan anak.
Pasal 83 : Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 76F dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
Dan dalam UU no.21 tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang, tertuang dalam pasal 11 yang berbunyi : “Setiap orang yang merencanakan atau melakukan permufakatanjahat untuk melakukan tindak pidana perdagangan orang,dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku sebagaimanadimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6”.
Dalam pasal 2, 3, 4, 5, dan pasal 6 hukuman pidana yang di jatuhkan berupa pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Perdagangan orang juga terdapat dalam Peraturan Daerah (PERDA) di tempat terjadinya trafficking. Contohnya kasus yang terjadinya di Batam, Perda no.5 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Penanganan Perdagangan Orang. Dalam pasal 6 Perda no.5 tahun 2013, berisi tentang pencegahan perdagangan anak, yang berbunyi :63
(1) Pemerintah Daerah wajib membuat kebijakan, program, kegiatan, dan mengalokasikan anggaran untuk melaksanakan pencegahan dan penanganan masalah perdagangan orang.
(2) Setiap orang dilarang memperdagangkan dan/ atau mempekerjakan serta melibatkan anak pada pekerjaan-pekerjaan terburuk.
(3) Pekerjaan-pekerjaan terburuk, sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi : a. Segala bentuk perbudakan atau praktik sejenis perbudakan seperti penjualan
dan perdagangan anak, kerja ijon, dan penghambaan serta kerja paksa, termasuk pengerahan anak secara paksa;
b. Pemanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk pelacuran, untuk produksi pornografi, atau untuk pertunjukan porno;
c. Pemanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk kegiatan terlarang, khususnya untuk produksi dan perdagangan obat-obatan terlarang, sebagaimana diatur dalam perjanjian internasional;
63
Perda Batam Nomor 5 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Penanganan Perdagangan Orang
d. Pekerjaan yang sifat atau lingkungan tempat pekerjaan dilakukan dapat membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak-anak;
(4) Pemerintah Daerah, instansi terkait dan masyarakat bekerjasama melakukan upaya penanggulangan bentuk-bentuk pekerjaan tidak layak untuk anak berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) Penanggulangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) meliputi serangkaian tindakan baik berupa preemtif, preventif, rehabilitasi dan reintegrasi sosial dalam bentuk bimbingan, penyuluhan, penindakan di tempat-tempat yang potensial menimbulkan bentuk-bentuk pekerjaan tidak layak untuk anak serta pemulihan.
Begitu juga kasus penjualan anak yang terjadi di Aceh, terdapat dalam Qanunno. 11 tahun 2008 tentang Perlindungan Anak. Dalam pasal 29 yang berbunyi:64
(1) Badan dan atau orang dilarang melakukan perdagangan anak.
(2) Badan dan atau orang dilarang melakukan pengangkatan anak dengan cara pengambilan paksa, penipuan dan penculikan dari kekuasaan orang tua/walinya atau keluarga yang menghilangkan hak dasar anak
(3) Pemerintah Aceh/pemerintah kabupaten/kota berkewajiban mencegah terjadinya kekerasan dan perdagangan terhadap anak
Dari segala peraturan yang berlaku di Indonesia,dan bertumpu pada pasal 3 Konvensi Protokol Opsional Hak-Hak Anak mengenai Penjualan Anak, Prostotusi Anak, dan Pornografi. Para pelaku dijatuhi hukuman yang sudah di
64
putuskan oleh undang-undang maupun peraturannya lainnya yang berlaku dan berkaitan dengan perdagangan anak.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Perbuatan perdagangan manusia telah berlansung sejak dahulu kala hingga saat ini. Dari masa kerajaan Jawa yang membentuk landasan bagi perkembangan perdagangan perempuan dengan meletakkan mereka sebagai barang dagangan untuk memenuhi nafsu lelaki dan untuk menunjukkan adanya kekuasaan dan kemakmuran, kegiatan ini berkembang lebih terorganisir pada masa penjajahan Belanda dan Jepang dan bahkan sekarang ini dialami kemerdekaan dan di era globalisasi. Kegiatan tersebut tidak semakin menurun justru semakin marak dan meluas ke berbagai negara.Biasanya yang dijadikan korban adalah anak,alasannya karena anak lemah dan polos sehingga para pelaku bisa dengan mudah menipu korban. Faktor-faktor terjadinya penjualan anak beragam,mulai dari faktor individu,faktor ekonomi, faktor keluarga, faktor pendidikan, faktor lingkungan, faktor budaya, faktor lemahnya penegakan hukum, perkawinan di usia dini, konflik sosial dan perang dan media massa.
2. Konvensi Hak Anak (Convention of the Right of the Child), disahkan oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 20 November 1989 dan mulai berlaku pada 2 September 1990. Konvensi Hak Anak ini merupakan instrumen yang merumuskan prinsip-prinsip universal dan norma hukum mengenai kedudukan anak, dan merupakan sebuah perjanjian internasional hak asasi
3. manusia. Konvensi Hak Anak merupakan hasil konsultasi dan pembicaraan Negara-negara, dan lembaga PBB dan lebih dari 50 organisasi internasional. Ketentuan hukum yang mengatur mengenai pencengahan perdagangan anak termuat dalam konvensi hak anak, yaitu pasal 35 yang memerintah negara-negara untuk mengambil langkah-langkah nasional, bilateral dan multilateral untuk mencengah penculikan, penjualan atau perdagangan anak untuk tujuan apapun. Pasal ini tidak memberikan penjelasan lebih jelas tentang perlindungan anak terhadap perdagangan anak. Konvensi Hak Anak 1989 dilengkapi dengan Protokol Opsional Konvensi Hak-Hak Anak Tentang Penjualan Anak, Prostitusi Anak dan Pornografi Anak yang di tetapkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 25 Mei 2000. Protokol ini bertujuan untuk mencapai tujuan Konvensi tentang hak-hak anak dan penerapan aturan-aturannya lebih lanjut khususnya yang termuat dalam pasal 1, 11, 21, 32, 33, 34, 35, dan pasal 36.
4. Sesuai dengan isi pasal 3 ayat 4 Opsional Protokol Konvensi Hak-Hak Anak mengenai Penjualan Anak, Prostitusi Anak, Pornografi Anak yang berbunyi : “Dengan tunduk pada ketentuan hukum nasionalnya, setiap negara pihak harus mengambil langkah-langkah, jika dipandang perlu untuk menegakkan hukum bagi pelaku atas pelanggaran-pelanggaran sebagaimana termasuk dalam ayat (1) pasal ini. Dengan menujuk prinsip-prinsip hukum Negara Pihak, penegakkan hukum bagi pelaku dapat secara pidana, perdata, atau administratif.” Dalam hukum yang berlaku di Indonesia, pengaturan tentang pemidanaan penjualan anak terdapat dalam
Kitab Undang-Undang Pidana (KUHP) dan Undang-Undang no.35 tahun 2014 tentang perlindungan anak dan Undang-Undang no.21 tahun 2007 tentang tindak pidana perdagangan orang.
B. Saran
1. Sebaiknya Pemerintah Indonesia memberikan perhatian yang lebih kepada anak-anak bangsa. Karena anak-anak merupakanbibit calon penerus bangsa yang harus dipelihara dan dilindungi hak nya. Anak adalah makhluk yang lemah yang bisa dengan mudahnya di tipu oleh orang dewasa (trafficker) hanya dengan di iming-imingi sesuatu yang menggiurkan.Apalagi anak yang berasal dari keluarga yang kurang mampu dan pendidikan yang masih sangat kurang. Mereka tanpa rasa curiga sedikit pun akan ikut kemanapun sang pelaku membawa mereka dan ketika mereka tau bahwa mereka di perdagangkan, mereka tidak bisa berbuat apa-apa dan hanya pasrah.
2. Pemerintah harus extra memberikan perhatian dan perlindungan kepada anak-anak dan nasib anak-anak yang menjadi korban perdagangan anak, dan juga memberikan sosialisasi kepada masyarakat tentang kejahatan manusia terutama perdagangan orang dan khususnya perdagangan anak. 3. Lebih memperketat pada tempat-tempat yang di lakukan sebagai tempat
penyebrangan atau imigrasi, sehingga tidak terjadi penyelundupan manusia dan atau anak yang bertujuan untuk di perdagangkan.