• Tidak ada hasil yang ditemukan

Untuk memberikan jawaban terhadap permasalahan yang ada maka data tersebut perlu dianalisis. Pada penelitian ini data dianalisis secara deskriftif. Cara analisis ini adalah dengan memberikan uraian atau menjabarkannya dengan kalimat-kalimat, kemudian disusun suatu simpulan secara deduktif terhadap gejala dan kenyataan yang ditemukan.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Dasar Hukum dalam Melakukan Penyadapan Telepon untuk Keperluan Penyelidikan.

Dasar hukum yang memperbolehkan aparat penegak hukum melakukan penyadapan telepon untuk keperluan penyelidikan antara lain :

1. Pasal 55 huruf b dan c Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika menentukan bahwa Polisi Negara Republik Indonesia dapat :

b. membuka atau memeriksa setiap barang kiriman melalui pos atau alat-alat perhubungan lainnya yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang menyangkut psikotropika yang sedang dalam penyidikan ;

c. menyadap pembicaraan melalui telepon dan atau alat telekomunikasi elektronika lainnya yang dilakukan oleh orang yang dicurigai atau diduga keras membicarakan masalah yang berhubungan dengan tindak pidana psikotropika. Jangka waktu penyadapan berlangsung untuk paling lama 30 (tiga puluh) hari.

Undang-undang ini menentukan bahwa Polisi Negara Republik Indonesia boleh melakukan penyadapan telepon terkait tindak pidana yang masih dalam penyidikan saja, dan mempunyai batasan- batasan yaitu hanya perkara yang terkait dengan tindak pidana Pisikotropika, dan mempunyai batas waktu maksimal 30 hari terhitung dari mulainya proses penyadapan tersebut berlangsung. Menurut penulis dalam hal

kerahasiaan informasi, tidak di jelaskan dalam Pasal ini hal ini sama saja merupakan pelanggaran hak atas privasi sesorang.

2. Pasal 66 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika menentukan bahwa, Pejabat Polisi Negara RI yang diberi tugas melakukan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana narkotika, berwenang untuk menyadap melalui telepon atau alat telekomunikasi lain, pembicaraan yang dilakukan oleh orang yang diduga keras membicarakan masalah yang berhubungan dengan tindak pidana narkotika

Dalam Pasal ini menentukan bahwa Polisi Negara Republik Indonesia boleh melakukan penyadapan telepon yang berkaitan dengan tindak pidana narkotika saja, selain dari narkotika tidak di perkenankan, termasuk untuk keperluan pribadi. Dalam hal kerahasiaan informasi serta kerahasiaan permasalahan yang bersifat pribadi, tidak di jelaskan dalam Pasal ini. Menurut penulis hal tersebut membuat anggapan bahwa Kepolisi Negara Republik Indonesia, tidak bertanggung jawab atas kerahasiaan informasi yang di dapatkan.

3. Pasal 30 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menentukan bahwa, Penyidik berhak membuka, memeriksa, dan menyita surat dan kiriman melalui pos, telekomunikasi, atau alat lainnya yang dicurigai mempunyai hubungan dengan perkara tindak pidana korupsi yang sedang diperiksa. Aktivitas tersebut dapat dilakukan setelah mendapat izin dari Ketua Pengadilan Negeri setempat.

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999. Pasal 12 Ayat 1 Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi berisi:

(1) Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang :

c. melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan;

Pasal ini menentukan bahhwa Penyidik boleh melakukan penyadapan yang terkait dengan tindak pidana korupsi dan harus atas izin dari Ketua Pengadilan Negeri setempat, dan apabila tidak dapat izin dari ketua pengadilan negeri tersebut penyadapan telepon tidak bisa dilakukan.

4. Pasal 43 Ayat (1), (2), Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Trasnsaksi Elektronik yang isinya adalah :

(1) Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan tugas dan tanggung jawabnya di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik di beri wewenang khusus sebagai penyidik sebagai mana di maksud dalam undang-undang tentang Hukum Acara pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik.

(2) Penyelidik di bidang teknologi informasi dan transaksi elektronik sebagai mana di maksud pada ayat (1) di lakukan dengan memperhatikan perlindungan terhadap privasi, kerahasiaan, kelancaran layanan publik, integritas data, atau ke utauhan data sesuai dengan ketentuan peraturan Perundang-undangan.

Peraturan perundang-undangan dan kelembagaan yang berhubungan dengan pemanfaatan Teknologi Informasi yang tidak bertentangan dengan undang-undang ini dinyatakan tetap berlaku. Semua perbuatan yang dilarang ditentukan dalam

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Trasnsaksi Elektronik Bab VII Pasal 27 sampai dengan Pasal 37, tetapi yang terkait dengan Penyadapan telepon yang dilakukan untuk kepentingan penegakan hukum ditentukan dalam Pasal 31 Ayat (1) sampai Ayat (4) :

Pasal 31

(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atau penyadapan atas Informasi Elektronik dan atau Dokumen Elektronik dalam suatu Komputer dan atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain.

(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atas transmisi Informasi Elektronik dan atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik dari, ke, dan di dalam suatu Komputer dan atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain, baik yang tidak menyebabkan perubahan apa pun maupun yang menyebabkan adanya perubahan, penghilangan, dan atau penghentian Informasi Elektronik dan atau Dokumen Elektronik yang sedang ditransmisikan.

(3) Kecuali intersepsi sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dan Ayat (2), intersepsi yang dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

5. Pasal 42 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi menentukan bahwa, untuk keperluan proses peradilan pidana, penyelenggara jasa telekomunikasi dapat merekam informasi yang dikirim dan atau diterima oleh penyelenggara jasa telekomunikasi serta dapat memberikan informasi yang diperlukan atas:

a. Permintaan tertulis Jaksa Agung dan atau Kepala Kepolisian Republik Indonesia untuk tindak pidana tertentu.

b. Permintaan penyidik untuk tindak pidana tertentu sesuai dengan Undang-undang yang berlaku. Undang-undang Nomor 36 tahun 1999 diundangkan tanggal 08 September 1999, dan dinyatakan mulai berlaku tanggal 8 September 2000.

Undang-undang ini menetukan proses perekaman telepon dalam penyelenggaraan jasa telekomunikasi di perbolehkan atas permintaan tertulis aparat penegak hukum untuk keperluan proses peradilan pidana.

6. Pasal 26 a Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi menentukan bahwa, alat bukti dalam hubungannya dengan Pasal 188 Ayat (2) KUHAP :

(2) petunjuk sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) hanya dapat diperoleh dari :

a. keterangan saksi b. surat

khusus untuk tindak pidana korupsi juga dapat diperoleh dari : Pasal 26 a

Alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, khusus untuk tindak pidana korupsi juga dapat diperoleh dari :

a. Alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu.

b. Dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.

Undang-undang ini menetukan bahwa alat bukti berupa informasi diperbolehkan di jadikan alat bukti. Menurut penulis, sebenarnya di dalam KUHAP Penyadapan telepon sebagai alat bukti belum di atur, sehingga ke sahhanya masih di pertanyakan.

7. Perpu Nomor 1 Tahun 2002 tentang anti terorisme, memperkenankan penyidik untuk melakukan penyadapan. Isinya adalah : berdasarkan bukti permulaan yang cukup, penyidik berhak menyadap pembicaraan melalui telepon atau alat komunikasi lain yang diduga digunakan untuk mempersiapkan, merencanakan, dan melakukan tindak pidana terorisme.

Penyidik berhak melakukan penyadapan telepon harus berdasarkan bukti-bukti yang jelas sehingga apabila bukti-bukti tersebut dinyatakan tidak sah, maka penyadapan tidak boleh di lakukan. Menurut penulis Pasal ini tidak memberikan penjelasan

mengenai kerahasiaan pembicaraan seseorang yang bersifat pribadi, apakah di rahasiakan atau tidaknya.

8. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang mengatur tentang penyadapan telepon oleh seseorang yang diduga melakukan tindak pidana korupsi, mulai dari tingkat penyelidikan, penyidikan, hingga penuntutan.

Undang-undang ini menetukan bahwa KPK hanya boleh melakukan penyadapan telepon dalam kasus tindak pidana korupsi saja, diluar korupsi penyadapan telepon tidak boleh di lakukan, sehingga terlihat jelas bahwa KPK tidak berwenang melakukan penyadapan telepon apabila di luar tindak pidana korupsi.

Penyadapan telepon yang dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang, tata caranya akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Ini berarti bahwa sebelum ada Peraturan Pemerintah yang mengatur, maka peraturan yang lama tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Penyadapan dimungkinkan dalam penyelidikan, namun kewenangan seharusnya diberikan kepada penyidik, bukan lembaga KPK. Jika tidak maka bertentangan dengan due process of law (proses pengadilan). Penyadapan berhubungan dengan

privacy seseorang sehingga dalam undang-undang semestinya diberi batasan sampai

kewenangan diberikan kepada lembaga yaitu KPK, dan aturan itu tidak dirinci lebih lanjut. Contohnya Undang-undang Nomor 2 Tahun 1997 tentang Narkotika, di sana ada aturan tentang penyadapan.

(http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2006/bulan/10/tgl/11/time/13 3354/idnews/693405/idkanal/10).

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mempunyai satu mekanisme penyelidikan atau penyidikan yang sangat istimewa yakni penyadapan. Cara ini sebenarnya sudah lama dipakai dunia hukum dalam usaha mendapatkan bukti yang cukup dengan cara mencari tahu pembicaraan seseorang, Hanya saja mekanisme penyadapan tidak mendapatkan pengaturan yang cukup jelas dalam produk perundang-undangan di Indonesia.

Pada penggeledahan atau cara penyidikan lainnya, petugas akan sangat dipersulit dengan teknis prosedural yang harus dilewati sebelum melakukan tugasnya. Misalnya, untuk penggeledahan diperlukan surat dan disaksikan oleh beberapa saksi (Pasal 33 Hukum Acara Pidana (HAP). Hal ini sering menjadi kelemahan sehingga menyebabkan tindak pidana sudah tidak dapat terdeteksi lagi, sedangkan penyadapan lebih dapat dilakukan dengan kewenangan yang penuh dan dilakukan secara bertanggung jawab. Sifat kerahasiaan informasi menjadikan tindakan ini begitu efektif. Alasan penggunaan tindakan ini sebenarnya dikarenakan kesulitan pembuktian dari penyidik atau penuntut untuk mencari barang bukti dan membuktikannya di sidang pengadilan. Penyidik akan sulit untuk menangkap pelaku karena belum ada bukti yang didapatkan. Penuntut umum juga akan mengalami

kesulitan dalam proses pembuktian dikarenakan barang bukti yang tidak cukup mendukung ditambah dengan kemungkinan mudah berkelitnya tersangka.

Sejak awal reformasi, agenda besar nasional mewujudkan pemerintahan yang bersih dari KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) sehingga diperlukan instrumen hukum untuk menjaganya. Pada kasus korupsi, tersangkanya adalah pejabat negara yang memiliki kekuasaan besar. Untuk menangkap para pejabat yang terkait korupsi, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 memberikan kepada KPK suatu kewenangan monitoring (Pasal 6 huruf e) dan melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan ke pengadilan Tipikor.

KPK merupakan suatu lembaga yang di bentuk untuk mewakili tugas pemerintah dalam menanggulangi dan menindak kejahatan korupsi. KPK berfungsi sebagai pengawas, penyelidik, penyidik sekaligus penuntut tindak pidana korupsi mewakili negara. Artinya, KPK tidak berada dibawah pejabat kepolisian (Pasal 38 Ayat 1). Sebagai wakil negara dalam menegakkan hukum, KPK mempunyai wewenang melakukan segala upaya untuk menangkap pejabat yang diduga melakukan korupsi.

Tindakan penyadapan pun merupakan satu tindakan yang sah manakala dilakukan dengan tujuan untuk membuktikan dan menemukan bukti kuat adanya tindakan korupsi. Tindakan penyadapan yang dilakukan tidak melanggar HAM, karena hanya sesorang tertentu yang di curigai atau diduga melakukan tindak pidana.

Setiap tindakan yang dibuat oleh penyidik harus memiliki dasar hukum dan pertimbangan yang dapat dipertanggung jawabkan. Tindakan penyadapan,

mempunyai beberapa dasar hukum dan pertimbangan, antara lain Pasal 12 huruf (a) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 mengatur tindakan penyadapan sebagai bagian dari tindakan yang boleh dilakukan oleh Tim KPK dalam melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan. Secara legalitas formal, KPK sangat berwenang untuk melakukan tindakan ini guna melakukan pengawasan, menemukan bukti dan membuktikan adanya dugaan korupsi dan menuntutnya ke pengadilan.

Pertimbangan lain dilakukannya penyadapan adalah sudah adanya dugaan kuat yang diperoleh dari laporan hasil pengawasan (indikasi) dan bukti permulaan yang cukup, walau pun KPK secara legalitas formal mempunyai wewenang untuk melakukan penyadapan, tidak berarti KPK dapat sewenang-wenang dalam penggunaannya, harus terdapat prosedur yang dapat dipertanggung jawabkan sebelum melakukan penyadapan. Di dalam undang-undang KPK, hanya KPK yang boleh melakukan penyadapan telepon dan perekaman pembicaraan dalam mengungkap dugaan suatu kasus korupsi tanpa pengawasan dari siapa pun dan tanpa dibatasi jangka waktu, Hal ini bersifat dilematis karena kewenangan penyadapan telepon dan perekaman pembicaraan oleh KPK bersifat lebih cenderung melanggar hak asasi manusia. Di satu sisi lain penyadapan telepon tersebut dapat disalah gunakan oleh oknum-oknum tertentu di KPK, sedangkan di sisi lain, instrumen yang bersifat khusus ini diperlukan dalam mengungkap kasus-kasus korupsi yang sudah amat akut di Indonesia. Prosedur untuk melakukan penyadapan dan perekaman pembicaraan oleh KPK harus diatur secara tegas paling tidak untuk dua hal :

1. Penyadapan telepon dan perekaman pembicaraan tidak memerlukan izin dari siapa pun, tetapi harus melapor kepada ketua pengadilan negeri setempat dengan catatan pemberitahuan itu bersifat rahasia.

2. harus ada jangka waktu berapa lama KPK boleh melakukan penyadapan telepon dan perekaman pembicaraan dalam mengungkapkan kasus korupsi. ( http://cubby.ngeblogs.com/category/uncategorized/) 3 : 2010

Menurut Iskandar Sonhaji pakar praktisi hukum, mekanisme penyadapan harus diatur dalam sebuah undang-undang, bukan dalam bentuk Peraturan Pemerintah. Hal itu jelas disebutkan dalam Putusan MK pada 2009 soal permohonan Uji Materiil Undang-undang KPK. Artinya, pemerintah tidak boleh membuat suatu regulasi yang bertentangan dengan putusan MK sebagai salah satu lembaga kekusaaan kehakiman. Jika pemerintah menyatakan bahwa RPP Penyadapan tidak mempersempit kewenangan KPK, pemerintah dapat dinilai telah melakukan kebohongan publik. Karena faktanya RPP membatasi atau mempersempit ruang KPK dalam melakukan penyadapan misalnya hanya pada saat proses penyidikan.

Menurut Erry Riyana mantan Pimpinan KPK memaparkan mekanisme penyadapan di KPK sangat ketat dan memiliki internal check yang juga ketat, bahkan lebih dari 50 persen keberhasilan penangangan kasus korupsi oleh KPK berasal dari proses penyadapan. Menurut dia, pemerintah nampaknya tidak paham bahwa KPK berwenangan melakukan penyadapan dari proses penyelidikan. Alasan menghindari saling sadap antar institusi bukan alasan yang tepat, bukan suatu masalah jika antar

aparat penegak hukum saling menyadap, Koridornya harus jelas yaitu penegakan hukum (http://www.radarlampung.co.id/web/opini/2537-penyadapan-kemajuan-atau-kemunduran.html) 3: 2010.

Menurut Audy Murfi, Kepala Bidang Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia, Kementerian Hukum dan HAM RI : bahwa penyadapan yang dilakukan oleh KPK tersebut adalah berdasarkan hukum dan sah untuk dilakukan karena perbuatan korupsi adalah dikategorikan sebagai hal yang luar biasa (extraordinary

crime). Oleh karena itu, sesuai dengan komitmen Pemerintah dalam memberantas

korupsi penyadapan yang dilakukan oleh KPK tersebut dapat dibenarkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, namun pengaturan tentang penyadapan hendaknya diatur melalui suatu undang-undang karena berkaitan dengan pembatasan terhadap hak kebebasan seseorang sesuai dengan yang diatur dalam Pasal 28 J Undang-Undang Dasar 1945 dan Pasal 32 Undang-Undang

Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

(http://www.balitbangham.go.id/index/index.option=com_content&view=article&id= 79:penyadapan-pemberantasan-korupsi-dan-hak-asasi manusia&catid=3:newsflash) 3: 2010

Menurut penulis, Sejauh ini hanya undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik saja yang mengatur tentang penyadapan, sedangkan dalam KUHAP penyadapan belum di atur. Penyadapan, sebenarnya dapat mengganggu hak asasi seseorang, khususnya terkait kebebasan pribadi. Namun, di sisi lain, penyadapan dalam rangka penegakan hukum juga terkait dengan hak asasi orang dalam arti

umum, mengingat penyadapan umumnya dilakukan terkait proses hukum pidana. Penyadapan pembicaraan melalui telepon atau alat telekomunikasi yang lain sebenarnya dilarang, kecuali dilakukan terhadap pembicaraan yang terkait dengan tindak pidana yang tidak dapat diungkap jika tidak dilakukan penyadapan telepon. Penyadapan telepon yang dilakukan, bukanlah terhadap semua orang yang berkomunikasi, tetapi hanya beberapa orang yang dicurigai atau di duga melakukan perbuatan melanggar hukum seperti terorisme, korupsi dan Tindak pidana lainnya yang sulit di ungkapkan apabila tidak di lakukan penyadapan.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (HAP) hanya mengatur macam-macam tindakan penyidikan antara lain penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan surat (Bab V Hukum Acara Pidana). Tindakan penyadapan baru muncul di Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 sebagai salah satu cara penyidikan atau penyelidikan tindak pidana korupsi (Tipikor).

B. Analisis Penyadapan Telepon dalam Penyelidikan Tindak Pidana di Tinjau dari Hak Asasi Manusia

Intersepsi atau Penyadapan adalah kegiatan untuk mendengarkan, merekam, membelokkan, mengubah, menghambat, dan atau mencatat transmisi Informasi Elektronik dan atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik, baik menggunakan jaringan kabel komunikasi maupun jaringan nirkabel, seperti pancaran elektromagnetis atau radio (penjelasan Pasal 31 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008).

Pengertian penyadapan juga di atur dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 36 tahun 1999 tentang telekomunikasi. yang di maksud dengan penyadapan dalam pasal ini adalah kegiatan memasang alat atau perangkat tambahan pada jaringan telekomunikasi untuk tujuan mendapatkan informasi dengan cara tidak sah. Pada dasarnya informasi yang di miliki oleh seseorang adalah hak pribadi yang harus di lindungi sehingga penyadapan harus di larang (Penjelasan Pasal 40 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999).

Penyadapan Telepon atau alat Telekomunikasi sebetulnya dilarang karena melanggar hak privasi seseorang dan merupakan pelanggaran HAM, kecuali Aparat penegak hukum yang melakukan penyadapan, yang dilakukan terhadap pembicaraan yang terkait dengan tindak pidana yang tidak dapat diungkap jika tidak dilakukan penyadapan telepon.

Penyadapan telepon yang di lakukan aparat penegak hukum bukanlah terhadap semua orang yang berkomunikasi, tetapi hanya beberapa orang saja yang dicurigai atau di duga melakukan perbuatan melanggar hukum. Teknik itu juga sangat bersentuhan dengan hak-hak asasi seorang tersangka yang seharusnya diperlakukan layaknya seorang yang tidak bersalah sebelum diputus oleh pengadilan, termasuk ke dalam perkara hak asasi yang bersentuhan dengan kedua teknik tersebut adalah hak-hak pribadi seperti hak-hak memiliki kerahasiaan-baik mengenai pekerjaan, keluarga, atau harta kekayaan. Hal ini sangat diperlukan ketika kedua teknik tersebut akan digunakan tapi pihak berwajib belum memiliki alat bukti cukup, bahwa yang bersangkutan diduga kuat telah atau sedang berencana melakukan suatu kejahatan.

Kedua teknik di atas lazimnya hanya ditujukan terhadap mereka yang telah memiliki

track record yang buruk di kepolisian.Terhadap mereka yang masih bersih dari arsip

kepolisian, sudah tentu penggunaan kedua teknik itu wajib dipertanggung jawabkan di muka sidang pengadilan. Berangkat dari masalah ini dan menguatnya perjuangan hak asasi manusia, maka penerapan kedua teknik tersebut dihadapkan kepada prinsip

due process of law. Proses beracara pidana, termasuk dalam menemukan bukti-bukti

yang cukup dan baik, harus menjunjung tinggi dan sesuai dengan standar hak asasi manusia.

Pihak-pihak yang tidak setuju menyimpulkan terjadinya pelanggaran atas hak mereka sebagai warga negara untuk memperoleh pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum ( Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 ) dan memperoleh perlindungan atas diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang berada dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu (Pasal 28G ayat (1) UUD 1945). Di lain pihak mereka lupa bahwa masih ada Pasal 28J Ayat (2) UUD 1945 yang menentukan bahwa, dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

Peraturan Pemeritah belum ada yang mengatur tentang penyadapan telepon sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) , maka penyadapan telepon tetap dapat dilakukan berdasarkan peraturan yang sudah ada, sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) Sesuai dengan Pasal 28F UUD 1945 yang menyatakan "Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia".

Pasal 14 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia menyatakan, "Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi yang diperlukan untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya. Setiap

Dokumen terkait