• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Perbandingan Hukum antara KHI dan Fiqih Mengenai Urgensi Saksi dalam Talak dan Rujuk

KEDUDUKAN SAKSI DALAM TALAK DAN RUJUK

A. Analisis Perbandingan Hukum antara KHI dan Fiqih Mengenai Urgensi Saksi dalam Talak dan Rujuk

Dari beberapa penjelasan pada beberapa bab sebelumnya, menunjukkan ada beberapa perbedaan dan juga persamaan dari apa yang diutarakan oleh para ulama fiqih mengenai saksi dalam rujuk dan apa yang telah dituliskan dalam KHI.

Jumhur ulama fiqih berpendapat bahwa talak bisa jatuh tanpa adanya saksi, karena talak merupakan hak seorang suami terhadap istrinya. Mereka berdalih bahwa tidak ada aturan dari Rasulullah saw. dan dari para sahabat mengenai harus adanya saksi dalam talak. Dalam hal ini surat Al Ahzab yang menjadi dasar hukum mereka. Selain para jumhur ulama tersebut, ulama Syiah Imamiyah memberikan pendapat yang sangat bertentangan dengan pendapat para jumhur ulama. Mereka mengatakan bahwa sekalipun persyaratan talak sudah terpenuhi semua tetapi tidak ada dua orang saksi yang adil, maka perceraian tetap tidak terjadi. Surat At Thalaq lah yang menjadi dasar hukum mereka. Imam Syafi’I pun mensyaratkan adanya saksi tetapi sebatas sebagai tujuan untuk menghindari terjadinya pertengkaran bukan sebagai syarat sahnya talak.

Beberapa pendapat di atas merupakan beberapa perwakilan dari hukum fiqih mengenai saksi dalam talak. Menurut penulis, ketidakseragaman pendapat

Penulis pun berpendapat bahwa apa yang diutarakan oleh imam Syafi’i, Malik, Abu Hanifah dan pengikutnya mengenai sahnya talak walau dalam keadaan main-main atau bercanda itu cukup merepotkan apabila diterapkan dalam kehidupan masyarakat sekarang. Walaupun mungkin maksud para fuqaha tersebut baik agar para suami berpikir dua kali kalau ingin mentalak istrinya. Karena jangankan serius, bercandanya pun bisa menyebabkan jatuhnya talak. Tetapi seperti pendapat penulis sebelumnya, bahwa hal ini akan banyak menimbulkan kemadharatan, bahkan bisa jadi banyak pasangan suami istri yang masih terus melanjutkan ikatan pernikahannya padahal suami pernah bercanda dan bermain-main dalam mengucapkan talak. Dan kalau talak itu sah, maka mereka sedang

melakukan perbuatan yang dilarang agama, yaitu berkumpul dan bisa jadi berhubungan layaknya suami istri, padahal sudah jatuh talaknya.

Sedangkan dalam KHI sendiri, tidak dijelaskan tentang harus adanya saksi dalam talak, akan tetapi dengan mensyaratkan bahwa perceraian hanya dapat dilaksanakan di depan sidang Pengadilan Agama dan dengan segala macam proses persidangannya – yang salah satu prosesnya yaitu alat bukti saksi – maka itu sudah cukup memberikan penjelasan bahwa dalam KHI diharuskan adanya saksi dalam talak.

Pengadilan Agama (PA) bukan merupakan kantor perceraian, yang bertugas untuk menceraikan pasangan suami istri. Akan tetapi di PA para hakim akan berusaha sekuat tenaga untuk mencoba mendamaikan kedua belah pihak yang berperkara, tentunya dengan melihat sejauh mana manfaat dan madharatnya, perdamaian atau perceraian untuk keduanya. Oleh sebab itulah para hakim menggunakan KHI sebagai salah satu rujukan hukum dalam memutuskan perkara, karena di dalam KHI sendiri terdapat beberapa aturan yang cukup ketat dalam proses perceraian.

Eksistensi PA sebagai lembaga atau wadah bagi mereka yang berperkara dalam masalah keluarga, khususnya dalam hal ini perceraian tidak dijelaskan dalam dalil apapun baik dalam Al quran dan sunnah, akan tetapi keberadaan PA bisa jadi masuk ke dalam salah satu metode ijtihad yaitu Al maslahah Al mursalah (suatu kemaslahatan yang tidak mempunyai dasar dalil, tetapi juga tidak ada pembatalannya). Jika terdapat suatu kejadian yang tidak ada ketentuan syariat dan

tidak ada illat yang keluar dari syara’ yang menentukan kejelasan hukum kejadian tersebut, kemudian ditemukan sesuatu yang sesuai dengan hukum syara’, yakni suatu ketentuan yang berdasarkan pemeliharaan atau untuk menyatakan suatu manfaat, maka itulah yang disebut Al mashlahah Al mursalah.

Bercerai di Pengadilan Agama tidak disyariatkan, namun demikian kemaslahatan dan menghindari kesewenang-wenangan yang berujung kemadharatan membuat hal tersebut menjadi harus dan bisa jadi wajib hukumnya menurut penulis. Sehingga konsekwensinya ialah perceraian yang dilakukan di luar sidang pengadilan itu tidak sah.

Bagaimana dengan keberadaan saksi di dalam rujuk? Seperti yang telah dijelaskan dalam bab sebelumnya bahwa ulama mazhab berbeda pendapat mengenai hal ini. Ada yang mengatakan bahwa saksi dalam rujuk hukumnya sunnah dan ada pula yang mengatakan wajib hukumnya, bahkan ada pula yang mengatakan bahwa rujuk sah hukumnya walau hanya dengan menjima’ istrinya. Hal itu menunjukkkan sebuah hak penuh bagi suami untuk merujuk istri tanpa melihat bagaimana perasaan hati istri. Berbeda dengan apa yang dituliskan di dalam KHI, pasal 164, dan 169. Dalam pasal tersebut dikatakan bahwa rujuk harus dilaksanakan dengan dua orang saksi dan di hadapan pengawai pencatat nikah. Selain itu rujuk pun harus atas persetujuan bekas istri, karena tanpa persetujuan bekas istri rujuk itu dikatakan tidak sah.

Dari dua pendapat di atas, penulis bisa membandingkan bahwa KHI akan lebih membawa kemaslahatan dan manfaat, ini dapat dilihat dari aturan hukum

dan tata cara rujuk yang dijelaskan di dalamnya. Kelihatannya KHI tidak memihak kepada salah satunya saja, artinya KHI benar-benar berusaha agar ikatan perkawinan yang sudah terbina tetap terjaga (khususnya dalam masalah talak), dan memberikan hak kepada bekas istri untuk menentukan sang suami boleh merujuknya atau tidak dengan mempertimbangkan perasaan dan kondisi kejiwaan bekas istri pasca dicerai oleh suaminya.

Pada dasarnya antara fiqih dan KHI memiliki semangat yang sama, yaitu menjalankan hukum Allah yang tertulis dalam firman-firmanNya. Hanya saja interpretasi terhadap ayat-ayat itulah yang menjadi perbedaan. Akan tetapi menurut penulis alangkah baiknya apabila kita selaku umat Islam di Indonesia ini menggunakan aturan-aturan yang termaktub di dalam KHI dalam penyelesaian permasalahan keluarga, khususnya perceraian dan rujuk.

Dokumen terkait