• Tidak ada hasil yang ditemukan

Contoh Kasus Kedudukan Saksi dalam Talak dan Rujuk

KEDUDUKAN SAKSI DALAM TALAK DAN RUJUK

B. Contoh Kasus Kedudukan Saksi dalam Talak dan Rujuk

Sebagai salah satu Objek Penelitian yang digunakan dalam skripsi ini maka dalam kesempatan kali ini penulis sengaja menyantumkan sebuah Putusan Pengadilan Agama tentang Permohonan Cerai sebagai sebuah contoh kasus yang terjadi di masyarakat. Sehingga diharapkan dengan adanya contoh kasusu tersebut dapat menjadi penguat analisis yang telah penulis ungkapkan sebelumnya.

Dalam perkara permohonan cerai ini, dapat diketahui dengan jelas tentang apa yang menjadi sebab mengapa suami memohon cerai dari istrinya, yaitu karena mereka belum dikaruniai anak selama masa perkawinannya.

Dalam sidang tersebut termohon tidak pernah hadir selama persidangan walaupun sudah dipanggil secara patut. Hal ini mengakibatkan hakim menjatuhkan putusan dalam persidangan yang ke tiga. Putusan yang dijatuhkan hakim merupakan putusan verstek. Putusan verstek bisa dijatuhkan apabila tergugat atau termohon dalam hal ini tidak hadir karena ia dinilai ta’azzuz, atau

tawari, atau ghaib.1 Verstek diatur dalam HIR pasal 125, yang mengatakan bahwa

“Jika tergugat tidak datang pada hari perkara itu akan diperiksa, lagi pula ia tidak menyuruh orang lain menghadap sebagai wakilnya meskipun ia dipangggil dengan patut, maka tuntutan itu diterima dengan putusan tak hadir, kecuali kalau nyata pengadilan negeri bahwa tuntutan itu melawan hak atau tidak beralasan”.2

Selain ketidakhadiran termohon yang menjadikan hakim menjatuhkan putusan dalam perkara tersebut, adanya dua orang saksi laki-laki yang berada di pihak pemohon juga dapat menyebabkan hal yang sama. Keterangan-keterangan mereka menunjukkkan bahwa sepertinya rumah tangga pemohon dan termohon tidak bisa lagi dipertahankan, sehingga bisa jadi keputusan cerai oleh hakim dapat membawa kebaikan bagi kedua belah pihak.

Kasus perceraian yang disebabkan karena kedua pasangan belum atau tidak dikaruniai keturunan, memang tidak dijelaskan secara tersurat dalam KHI, hanya saja persoalan inilah yang menjadi pemicu terjadinya ketidakharmonisan

1

H. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. 85.

2

dalam keluarga. Hal inilah yang dengan jelas dituliskan dalam KHI, yaitu pada pasal 116 poin “f”, yang berbunyi:

“Antara suami istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.”

Sebenarnya keterangan saksi dalam kasus tersebut mengenai apakah kedua pasangan sering terdengar bertengkar atau ribut tidaklah cukup membantu para hakim, karena jawaban dari salah satu saksi itu: “tidak pernah mendengar” dan saksi yang satu lagi mengatakan, “Pernah mendengar, tapi hanya satu kali saja”. Penulis berpendapat bahwa hal tersebut belum cukup untuk hakim menjatuhkan talak. Namun, yang disayangkan adalah ketidakhadiran termohon selama dalam persidangan, sehingga keterangan kedua saksi menjadi satu-satunya referensi hakim dalam memutuskan perkara.

Dalam hukum Islam sendiri kasus perceraian seperti ini bisa dimasukkan ke dalam permasalahan fasakh. Fasakh berarti “mencabut” atau “menghapus”.3 Maksudnya ialah perceraian yang disebabkan timbulnya hal-hal yang dianggap berat oleh suami atau istri ataupun keduanya sehingga menyebabkan mereka tidak sanggup untuk melaksanakan kehidupan suami istri dalam mencapai tujuannya.

Dasar pokok dan hukum fasakh ialah seorang atau kedua suami-istri merasa dirugikan oleh pihak lain dalam perkawinannya karena ia tidak memperoleh hak-hak yang telah ditentukan oleh syara’ sebagai seorang suami

3

Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), h. 212.

atau istri. Fasakh merupakan perceraian dengan proses peradilan, hakimlah yang memberi keputusan tentang kelangsungan perkawinan atau terjadinya perceraian. Oleh karena itu pihak penggugat yang dalam kasus tersebut di atas disebut pemohon, haruslah mempunyai alat-alat bukti yang lengkap dan dapat menimbulkan keyakinan bagi hakim yang mengadilinya. Keputusan hakim didasarkan kepada kebenaran alat-alat bukti tersebut.

Dibandingkan dengan perceraian dengan proses pengadilan yang lain, maka alat-alat bukti dalam perkara fasakh sifatnya lebih nyata dan jelas. Misalnya dalam hal seorang dari suami atau istri yang impotent, maka surat keterangan dari dokter dapat dijadikan salah satu dari alat-alat bukti yang diajukan. Karena salah satu syarat terjadinya fasakh adalah cacat atau penyakit.4 Dan dalam hal tidak dapat memiliki keturunan, fasakh bisa terjadi, walaupun para ahli fiqih berbeda pendapat mengenai cacat itu sendiri. Namun, menurut penulis pada dasarnya yang menjadi tolak ukur putusan hakim dalam kasus di atas adalah bahwa kedua belah pihak tidak akan mampu lagi untuk mempertahankan ikatan perkawinannya, dan apabila dipaksakan terus untuk tidak bercerai, dikhawatirkan akan menambah kemadharatan bagi keduanya.

Akhirnya, dapat diambil kesimpulan bahwa dalam kasus tersebut keberadaan saksi menjadi alat bukti yang cukup kuat bahkan bisa jadi satu-satunya. Karena dalam kasus ini, surat keterangan dari dokter akan menjadi alat bukti yang menerangkan apakah salah satu dari mereka itu impotent. Selain itu

4

pula ketidakhadiran termohon dalam tiap persidangan dan tidak pula mengirimkan wakilnya, maka keputusan hakim mengenai jatuhnya talak secara otomatis terlaksana dan sesuai dengan hukum yang berlaku.

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis pada bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Aturan yang terdapat dalam KHI mengenai saksi dalam talak dan rujuk sangat bersesuaian dengan salah satu tujuan adanya hukum Islam, yaitu mashlahah dan manfaat. Selain itu KHI pun mampu menjadikan Pengadilan Agama sebagai tempat untuk penyelesaian masalah berdasarkan musyawarah demi untuk mencapai keadilan dan kemaslahatan bersama tanpa kesewenang-wenangan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa dalam KHI menghendaki atau boleh dikatakan bahwa saksi merupakan syarat syah dalam talak dan rujuk. 2. Secara umum dikalangan ulama madzhab fiqih sepertinya terdapa dua kubu

besar yang saling bertolak belakng mengenai hukum saksi dalam talak dan rujuk. Yang pertama ialah ulama Sunni, mereka sepakat mengatakan bahwa talak bisa jatuh tanpa adanya saksi, walaupun dalam masalah rujuk mereka berbeda pendapat, ada yang mengatakan tidak perlu saksi dan ada yang mengatakan perlu adanya saksi sebagai kiasan dari rukun nikah. Yang kedua ulama Syi’ah, mereka sepakat mewajibkan adanya dua orang saksi yang adil baik dalam talak ataupun rujuk, bahkan mereka berpendapat seandainya pun

smua syarat talak sudah terpenuhi semua tapi tidak ada dua orang saksi yang adil, maka talak tetap tidak syah.

3. KHI lebih cocok dipergunakan di kalangan masyarakat Indonesia, khususnya di Pengadilan Agama sebagai lembaga hukum yang sah untuk dijadikan sebagai salah satu rujukkan hukum dalam memutuskan perkara.

B. Saran-saran

Setelah penulis mengambil beberapa kesmpulan tersebut di atas, maka perlu kiranya saran-saran sebagai berikut:

1. Perceraian merupakan sesuatu yang Allah benci, tetapi seandainya hal itu sudah menjadi jalan terbaik, maka selesaikanlah permasalahan itu di Pengadilan Agama, jangan kemudian menjadikan ayat dalam Al quran Sebagai dalil satu-satunya untuk mengesahkan perceraian di luar PA tanpa pertimbangan lain.

2. Rujuk merupakan perbuatan yang sangat mulia karena ia merupakan jalan untuk menyambungkan kembali tali pernikahan yang telah terputus. Akan tetapi lakukanlah rujuk itu dengan prosedur hukum yang berlaku, yaitu di depan Pegawai Pencatat Nikah dengan dihadiri dua orang saksi. Hal ini sebagai tanda bahwa Islam memiliki aturan hukum yang sangat rapi demi mencapai kemaslahatan umat.

3. Sebagai warga negara yang patuh terhadap hukum, maka patuhilah aturan-aturan hukum yang ada di negara ini. Karena hanya dengan mematuhi hukum yang berlaku maka kehidupan akan terasa lebih indah.

Abi Bakar Al-Syuyuthi, Jalaluddin Abdurahman, Al Ashbah wa al Nadzâir fil Furû, Semarang: Maktabah wa Matba’ah karya Toha Putra.

Abu Bakar bin Muhammad Ikhsan, Kifâyah al Akhyâr fî Halli Ghôyah al Ikhtisôr, Surabaya: Daar Al Ilmu.

al Ghozi, Ibnu Qôsim, Hâsyiah Al-Syeikh Ibrôhîm Al Baijûrî.

al Mari Bari, Zainudin, Fath al Mu’în, Semarang: Maktabah Wa Mat Ba’ah Toha Putra,t.th

al-Mahalli, Jalaluddin, Al-Syuyuthi, Jalaluddin, Tafsir Jalâlain, Kudus: Maktabah Menara Kudus.

A-Rahman, Drs. Bakri, Sukarja, Hukum Perkawinan Menurut Islam UU Perkawinan

dan BW, Jakarta : PT. Hidakarya Agung, 1981.

Djalil, A. Basiq, Pernikahan Lintas Agama dalam Perspektif Fiqih dan Kompilasi

Hukum Islam, Jakarta: Qolbun Salim, 2005.

Hosen, Ibrahim, Fiqih Perbandingan Masalah Pernikahan, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003.

Ibnu Hijaj, Abi Al Husain Muslim, Sohîh Muslim, Dâr Al Fikri. Rasyid, Sulaiman, Fiqih Islam, Bandung: Sinar Baru,1987.

Rusdi, Ibnu, Bidayâh Al-Mujtahîd, wa Nihâyah al Muqtasîd, Semarang: Karya Toha Putra,t.th.

Sudirman Abbas, Ahmad, Sejarah Qawaid Fiqhiyah, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, Anglo Media, 2003.

Suja, Abu, Fath al Qorîb al Mujîb, Semarang: Maktabah Wa Mat Ba’ah Toha Putra,t.th.

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI-Press, 1986, Cet. ke-3. Artmanda, Frista, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Jombang: Lintas Media,2000.

Progresif, 2002, Cet. ke-25.

Sabiq, Sayyid, Fiqih Sunnah, Bairut: Dar al-Kutub al-Arab,t.th.

Umar, Abdurahman, Kedudukan Saksi Dalam Peradilan Menurut Hukum Islam, Jakarta: Pustaka al-Husna, 1986.

Muhammad al-Husaini, Abu Bakar bin, Imam Taqiyyudin, Kifâyah al-Akhyâr terj. Anwar, Syarifuddin, dan Musthafa, Misbah, Surabaya: Bina Iman, 1993. Mugniyah, Muhammad Jawad, Fiqh Lima Madzhab, Jakarta: Lentera Basritama,

1996, Cet. ke-2.

Mas’ud, Ibnu, dan Abidin S., Zainal, Fiqih Mazhab Syafi’i.,Edisi lengkap Muamalat, Munakahat, Jinayat, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000, Cet. ke-1.

Sabiq, Sayyid Fiqih Sunnah, Mesir: Daar al-Fath, t.th.

Zuhaili, Wahbah, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Damaskus: Daar al-Fikr, 2000. Rusyd, Ibnu, Bidâyah al-Mujtahîd, Semarang: Toha Putra, t.th.

Muslim, Imam, ShahîhMuslim , terj, Daud, Ma’mun, Jakarta: Widjaya, 1984, Cet. ke-1.

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli Saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang Saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli Saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka Saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Aziz Maulana

Dokumen terkait