• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Perbedaan Harga, Volume Penjualan, Biaya Produksi Dan Pendapatan

5.1.2. Analisis Perbandingan Volume Penjualan PTPN III PTPN III

t-hitung < t-tabel, keputusannya adalah H1 ditolak dan H0 diterima. Sehingga secara statistik dapat dinyatakan tidak ada perbedaan nyata pada harga riil PTPN III dan PTPN II dari tahun 2005-2009.

Tabel 15. Hasil Analisis Uji Beda Rata-Rata Harga Riil Penjualan Lokal PTPN III dan PTPN II Tahun 2010-Agustus 2011

Uraian PTPN III PTPN II t-hitung t-tabel Sig

Mean Harga Riil

(US$/Ton) 80.65 78.275 0.255 4.303 0.822

Sumber: Analisis Data, 2005-2009 (Lampiran 18)

Dari Tabel 15 dapat dilihat bahwa rata-rata harga riil pada PTPN III dan

PTPN II tidak terdapat perbedaan nyata pada α = 0.05, nilai t-hitung = 0.255 dan t-tabel = 2.306. Pada rata-rata harga riil dapat dilihat bahwa rata-rata harga riil

PTPN III lebih besar daripada rata-rata harga riil PTPN II. Maka sesuai kaidah t-hitung < t-tabel, keputusannya adalah H1 ditolak dan H0 diterima. Sehingga secara statistik dapat dinyatakan tidak ada perbedaan nyata pada harga riil PTPN III dan PTPN II dari tahun 2010-Agustus 2011.

5.1.2. Analisis Perbandingan Volume Penjualan PTPN III

PTPN III merupakan perusahaan perkebunan BUMN pertama di Indonesia yang memperoleh sertifikat RSPO yang berada di Sumatera Utara. Untuk melihat pendapatan yang diperoleh oleh PTPN III maka terlebih dahulu dilihat penerimaan yang diperoleh dalam penjualan CPO ke luar negeri. Penerimaan yang diperoleh oleh PTPN III sebagai hasil kegiatan ekspor CPO dapat dilihat pada Gambar 8.

44

Sumber: PTPN III, 2005-Agustus 2011 (Lampiran 4, 7 dan 8)

Gambar 8: Total Revenue (Penerimaan) Penjualan CPO PTPN III Tahun 2005-Agustus 2011

Dari Gambar 8 dapat dilihat bahwa perkembangan penerimaan PTPN III mengalami kenaikan dan penurunan yang tidak stabil. Penerimaan tertinggi yang diterima PTPN III yakni pada tahun 2010 sedangkan penerimaan terendah terjadi pada tahun 2007 (sebenarnya terjadi pada tahun 2011 jika dilihat pada grafik namun pada tahun 2011 hanya pada sampai bulan Agustus). Hal ini dikarenakan volume penjualan pada tahun 2007 merupakan tahun dengan volume penjualan terendah namun tahun 2010 bukan merupakan tahun dengan volume penjualan tertinggi melainkan di tahun 2005 terjadi volume penjualan tertinggi sepanjang tahun 2005-Agustus 2011. Data volume penjualan yang diperoleh hanya sampai pada bulan Agustus 2011, namun melalui proyeksi dapat diramalkan volume penjualan yang terjadi di bulan September sampai dengan Desember 2011. Proyeksi dilakukan dengan melihat perkembangan volume penjualan di tahun 2011. Hal ini dikarenakan tidak adanya suatu trend dalam perkembangan penjualan dari tahun 2005-2010 sehingga proyeksi yang dilakukan tidak

berdasarkan volume penjualan yang terjadi pada tahun sebelum tahun 2011 yakni tahun 2005-2010. Proyeksi volume penjualan juga dilakukan untuk PTPN II. Perkembangan volume penjualan CPO PTPN III dapat dilihat pada Gambar 9.

Sumber: PTPN III, 2005-Agustus 2011 (Lampiran 4 dan 6)

Gambar 9: Volume Penjualan CPO PTPN III tahun 2005- 2011

Seperti telah diuraikan pada bab sebelumnya bahwa PTPN III selain melakukan penjualan ekspor juga melakukan penjualan lokal (domestik). Namun rata-rata proporsi untuk penjualan lokal (domestik) lebih besar dibandingkan proporsi untuk penjualan ekspor. Namun terdapat juga tahun yang memiliki proporsi ekspor yang lebih tinggi yakni di tahun 2005. Secara rinci perkembangan persentase perbandingan penjualan ekspor dan lokal PTPN III dapat dilihat pada Gambar 10. Dari Gambar 10 dilihat bahwa tahun 2009 terjadi penjualan ekspor yang terendah. Hal ini dikarenakan adanya bea ekspor yang cukup tinggi. Sebaliknya persentase penjualan lokal terendah ada di tahun 2005 dengan demikian terjadi penjualan ekspor tertinggi di tahun 2005 karena permintaan dari negara-negara seperti India, China, negara- negara Uni Eropa, Singapore, Tanzania dan Bangladesh meningkat (Lampiran 4 ). Dapat dilihat juga bahwa

46

terjadi peningkatan ekspor setelah PTPN III bersertifikat RSPO dengan demikian salah satu profit bagi perusahaan bersertifikat RSPO adalah terjadinya peningkatan volume penjualan ekspor.

Sumber: PTPN III, 2005-Agustus 2011 (Lampiran 4 dan 7)

Gambar 10: Persentase Perbandingan Penjualan Ekspor dan Lokal CPO PTPN III tahun 2005-Agustus 2011

Volume penjualan yang akan dilihat adalah volume penjualan dengan Negara tujuan Uni Eropa. Hal ini dikarenakan pasar dari Negara Uni Eropa yang awalnya menginginkan CPO dari perusahaan perkebunan bersertifikat RSPO. Persentase penjualan CPO ke Negara-negara Uni Eropa dapat dilihat pada Gambar 11.

Sumber: PTPN III, 2005-Agustus 2011 (Lampiran 4 dan 7)

Gambar 11: Persentase Perbandingan Ekspor CPO Ke Uni Eropa Terhadap Total Ekspor CPO PTPN III Tahun 2005-Agustus 2011

Dari Gambar 11 dapat dilihat bahwa pada rentang tahun 2005-2009 yakni pada saat PTPN belum bersertifikat RSPO, persentase penjualan CPO ke Negara-negara Uni Eropa tidak stabil. Di tahun 2006 dan 2008 penjualan ke Negara- negara-negara Uni Eropa mengalami penurunan. Setelah bersertifikat RSPO yakni di tahun 2010 malah terjadi penurunan yang sangat tajam yang hanya 13.34% dari total ekspor CPO. Pada tahun 2010, CPO PTPN III lebih banyak diserap oleh pasar China dan India. Namun di tahun berikutnya, yakni di tahun 2011 terjadi peningkatan yang besar, ekspor CPO ke negara-negara Uni Eropa meningkat menjadi 44.10%. hal ini berarti hampir dari setengah dari ekspor CPO PTPN III diserap oleh pasar Negara Uni Eropa sisanya diserap oleh Negara India. Setelah bersertifikat RSPO rata-rata volume penjualan PTPN III juga semakin besar dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, CPO dari PTPN III yang telah memiliki sertifikat RSPO banyak diminati oleh pasar luar negeri khususnya Negara-negara Uni Eropa. Sehingga dapat

48

disimpulkan bahwa terdapat peningkatan penjualan ekspor CPO ke negara Uni Eropa walaupun tidak diikuti oleh adanya harga premium dari CPO yang dihasilkan PTPN III yang bersertifikat RSPO.

PTPN II

PTPN II selaku perusahaan perkebunan BUMN merupakan satu-satunya perusahaan perkebunan yang belum memperoleh sertifikat RSPO di Sumatera Utara. Untuk melihat pendapatan yang diperoleh oleh PTPN II maka terlebih dahulu dilihat penerimaan yang diperoleh dalam penjualan CPO ke luar negeri. Penerimaan yang diperoleh oleh PTPN II sebagai hasil kegiatan ekspor CPO dapat dilihat pada Gambar 12.

Sumber: PTPN II, 2005-Agustus 2011 (Lampiran 5, 7 dan 8)

Gambar 12: Total Revenue (Penerimaan) Penjualan CPO PTPN II Tahun 2005-Agustus 2011

Dari Gambar 12 dapat dilihat bahwa perkembangan penerimaan PTPN II mengalami kenaikan dan penurunan yang tidak stabil. Penerimaan tertinggi yang diterima PTPN II yakni pada tahun 2010 sedangkan penerimaan terendah terjadi pada tahun 2008. Hal ini dikarenakan volume penjualan pada tahun 2008

merupakan tahun dengan volume penjualan terendah namun tahun 2010 bukan merupakan tahun dengan volume penjualan tertinggi melainkan di tahun 2005 terjadi volume penjualan tertinggi sepanjang tahun 2005-Agustus 2011. Perkembangan volume penjualan CPO PTPN II dapat dilihat pada Gambar 13.

Sumber: PTPN II, 2005-Agustus 2011 (Lampiran 5 dan 6)

Gambar 13: Volume Penjualan CPO PTPN II tahun 2005- 2011

Seperti telah diuraikan pada bab sebelumnya bahwa PTPN II selain melakukan penjualan ekspor juga melakukan penjualan lokal (domestik). Namun proporsi untuk penjualan lokal (domestik) lebih besar dibandingkan proporsi untuk penjualan ekspor. Secara rinci perkembangan persentase perbandingan penjualn ekspor dan lokal PTPN II dapat dilihat pada Gambar 14. Dari Gambar 14 dilihat bahwa persentase penjualan lokal tertinggi ada di tahun 2008 sehingga di tahun 2008 terjadi penjualan ekspor yang terendah. Hal ini dikarenakan pada tahun tersebut CPO PTPN II lebih diminati oleh pasar dalam negeri dan karena adanya bea ekspor yang cukup tinggi. Persentase penjualan lokal terendah ada di tahun 2007 dengan demikian di tahun 2007 terjadi penjualan ekspor tertinggi di

50

tahun 2007. Hal ini dikarenakan banyaknya permintaan dari negara India akan produk CPO dari PTPN II.

Sumber: PTPN II, 2005-Agustus 2011 (Lampiran 5 dan 7 )

Gambar 14: Persentase Perbandingan Penjualan Ekspor dan Lokal CPO PTPN II tahun 2005-Agustus 2011

PTPN II selaku perusahaan perkebunan yang belum memperoleh sertifikat RSPO juga melakukan penjualan ke Negara-negara Uni Eropa. Namun, target penjualan CPO bukanlah pasar luar negeri melainkan masih pasar dalam negeri. Untuk mengetahui persentase penjualan CPO PTPN II ke Negara Uni Eropa dapat dilihat pada Gambar 15.

Sumber: PTPN II, 2005-Agustus 2011 (Lampiran 5 dan 7)

Gambar 15: Persentase Perbandingan Ekspor CPO Ke Uni Eropa Terhadap Total Ekspor CPO PTPN II Tahun 2005-Agustus 2011

Dari Gambar 15 dapat dilihat bahwa sebelum RSPO berlaku di Indonesia yakni pada tahun 2005-2009, persentase penjualan CPO dari PTPN II juga tidak stabil. Penurunan yang cukup signifikan terjadi pada tahun 2006, hanya ada 9.37 % dari total ekspor dengan Negara tujuan negara-negara Uni Eropa. Selainnya diserap oleh Negara India, Pakistan, Singapore dan Sri Lanka. Hal ini terjadi karena terjadi permintaan yang cukup besar dari Negara India. Namun juga terjadi peningkatan yang juga cukup signifikan di tahun 2008, sekitar 66,44% dari total ekspor CPO menuju ke negara-negara Uni Eropa sisanya diserap oleh Negara India. Namun di tahun tersebut hanya terjadi 2 (dua) kegiatan ekspor yakni untuk Negara Uni Eropa dan India sehingga persentase penjualan CPO dilihat cukup besar. Namun di tahun berikutnya yakni tahun 2009, terjadi penurunan menjadi 10.96%. Hanya 10,96% CPO dari PTPN II diminati oleh pembeli yang berasal dari Negara Uni Eropa sedangkan sisanya diminati oleh Singapore, India dan Malaysia. Setelah Negara Uni Eropa mengatakan bahwa

52

CPO yang akan dibeli oleh Negara tersebut hanyalah CPO yang berasal dari perusahaan perkebunan bersertifikat RSPO dan setelah adanya perusahaan perkebunan yang telah memiliki sertifikat RSPO yakni PTPN III maka di tahun 2010 sampai dengan Agustus 2011, persentase ekspor PTPN II ke negara-negara Uni Eropa adalah 0%. Hanya Negara India, Malaysia dan Singapore yang membeli CPO dari PTPN II. Walaupun demikian total ekspor CPO dari PTPN II tidaklah menurun, masih ada negara-negara selain Negara Uni Eropa yang masih meminati CPO yang berasal dari PTPN II. Namun, PTPN II juga sebaiknya lebih melihat kondisi pasar, Negara Uni Eropa merupakan negara yang banyak menyerap CPO yang berasal dari Indonesia setelah China dan India. Maka dari itu perlu dipertimbangkan untuk kembali memasuki pasar Uni Eropa.

Untuk melihat perbedaan volume penjualan antara PT Perkebunan Nusantara III dengan PT Perkebunan Nusantara II maka dilakukan analisis uji beda rata-rata seperti yang tersaji pada Tabel 16.

Tabel 16. Hasil Analisis Uji Beda Rata-Rata Volume Penjualan PTPN III dengan PTPN II tahun 2005-2009

Uraian PTPN III PTPN II t-hitung t-tabel Sig

Mean Volume Penjualan

(Jutaan Ton) 125.14 17.03 4.349 2.306 0.020

Sumber: Analisis Data, 2005-2009 (Lampiran 19)

Dari Tabel 16 dapat dilihat bahwa rata-rata volume penjualan pada PTPN

III dan PTPN II terdapat perbedaan nyata pada α = 0.05, nilai t-hitung = 4.349 dan t-tabel = 2.306. Pada rata-rata volume penjualan dapat dilihat bahwa rata-rata

volume penjualan PTPN III lebih besar daripada rata-rata volume penjualan PTPN II. Maka sesuai dengan kaidah t-hitung > t-tabel maka keputusannya adalah H0

ditolak dan H1 diterima. Sehingga secara statistik dapat dinyatakan ada perbedaan nyata pada volume penjualan PTPN III dan PTPN II dari tahun 2005-2009.

Tabel 17. Hasil Analisis Uji Beda Rata-Rata Volume Penjualan PTPN III dengan PTPN II tahun 2010-2011

Uraian PTPN III PTPN II t-hitung t-tabel Sig

Mean Volume Penjualan

(Jutaan Ton) 18.26 107.32 1.659 4.302 0.239

Sumber: Analisis Data, 2010-2011 (Lampiran 20)

Dari Tabel 17 dapat dilihat bahwa rata-rata volume penjualan pada PTPN

III dan PTPN II tidak terdapat perbedaan nyata pada α = 0.05, nilai t-hitung = 1.659 dan t-tabel = 4.302. Pada rata-rata volume penjualan dapat dilihat bahwa rata-rata volume penjualan PTPN III lebih besar daripada rata-rata volume penjualan PTPN II. Maka sesuai kaidah t-hitung < t-tabel, keputusannya adalah H1 ditolak dan H0 diterima. Sehingga secara statistik dapat dinyatakan tidak ada perbedaan nyata pada volume penjualan PTPN III dan PTPN II dari tahun 2010-2011. Sehingga disimpulkan bahwa, sertifikat RSPO tidak berpengaruh untuk meningkatkan permintaan untuk perusahaan perkebunan pemegang sertifikat RSPO.

Dokumen terkait