• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Permintaan Daging Sapi di Sumatera Utara

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.4 Analisis Permintaan Daging Sapi di Sumatera Utara

Berdasarkan perhitungan SPSS 18 for Windows (Lampiran 3 - Tabel Correlations) terdapat hubungan yang kuat antara permintaan daging dengan harga daging (0.947); antara permintaan daging dengan harga ayam (0,881); permintaan daging dengan harga telur (0.878); permintaan daging dengan pendapatan per kapita (0.937); permintaan daging dengan jumlah penduduk (0.960). Hanya variabel harga ikan yang tidak mempunyai pengaruh dengan jumlah permintaan daging (0.500). Santoso (2010) menyatakan bahwa besarnya hubungan (koefisien korelasi) tersebut berkisar antara -1 sampai dengan 1, dimana nilai 1 dan -1 memiliki hubungan yang sempurna. Dengan demikian urutan keeratan dari tertinggi hingga terendah adalah: jumlah penduduk, harga daging,

pendapatan per kapita, harga telur dan harga ayam. Lampiran 3 - Tabel

Corelations memperlihatkan bahwa tingkat signikansi (sig2-tailed) koefisien korelasi dua sisi (diukur dari probabilitas) menghasilkan angka 0.000 atau praktis 0 (nol). Karena probabilitas jauh diangka 0.01 maka terbukti korelasi sangat nyata (**). Berdasarkan hasil

Summary), diketahui bahwa permintaan daging secara simultan dapat dijelaskan hampir secara sempurna = 97.9 persen (R square = .979) oleh jumlah penduduk, harga daging, pendapatan per kapita, harga telur, harga ayam dan harga ikan. Sedangkan sisanya 2.1 persen ditentukan oleh varibel lain yang tidak termasuk dalam perhitungan.

Lampiran 3-Tabel Model Summary memperlihatkan bahwa Standar Error of the Estamet

dari variabel permintaan daging (QDt) adalah 727.328, lebih kecil dari Standard Deviation-nya yaitu 2916.944 (Lampiran 2 - Tabel Descriptive Statistics). Karena lebih kecil dari standard deviasi maka model regresi yang dihasilkan lebih bagus dalam bertindak sebagai prediktor permintaan daging dari pada rata-rata permintaan daging itu

sendiri (Santoso,2010). Uji Anova atau F test (Lampiran 3 - Tabel

Anova) didapat bahwa nilai F adalah 23.626 dengan tingkat signifikansi 0,013. Karena probabilitas (0,013) lebih kecil dari 0,05 maka model regresi ganda bisa dipakai untuk memprediksi permintaan daging. Atau bisa dikatakan bahwa variabel harga daging sapi; harga ayam; harga telur; pendapatan per kapita; jumlah penduduk ; dan harga ikan secara bersama-sama berpengaruh terhadap variabel jumlah permintaan daging sapi.

Lampiran 3 - Tabel Cofficients, memperlihatkan bahwa model persamaan linier

permintaan daging (QD) adalah :

QD = – 275803.858 – 0.660HD + 0.323HA – 13.860HT + 1.477HI – 0.001PK + 0.025JP

Dimana : QD

= Jumlah permintaan daging (Ton) HD = Harga

daging sapi (Rp/kg) HA = Harga daging ayam

(Rp/kg) HT = Harga telur (Rp/butir)

HI = Harga Ikan (Rp/kg)

PK = Pendapatan per kapita (Rp)

JP = Jumlah penduduk (Jiwa)

Koefisien dari harga daging sapi (HD) pada taraf nyata P=20% adalah –0,660. Hal ini berarti apabila harga daging sapi naik Rp.1.000 per kg maka jumlah permintaan daging sapi akan turun 660 ton, demikian sebaliknya. Hal ini dasar teorinya sesuai dengan Hukum Permintaan (law of demand) menyebutkan bahwa, jika semua hal dibiarkan sama, ketika harga suatu barang meningkat maka jumlah permintaannya akan menurun, dan ketika harganya turun maka jumlah permintaannya akan naik. Jadi dapat dikatakan bahwa

jumlah permintaan berhubungan secara negatif terhadap harga. Koefisien dari harga

per kg maka permintaan akan daging sapi akan naik sebesar 323 ton, demikian sebaliknya. Dalam hal ini dapat dikatakan daging ayam merupakan barang subitusi (substitutes) atau pengganti dari daging sapi. Hal ini berarti ada kecenderungan masyarakat akan beralih dari mengkonsumsi daging sapi ke mengkonsumsi daging ayam apabila harga daging sapi naik atau harga daging ayam turun. Hal ini berbeda dengan hasil penelitian Kariyasa (2005) menyebutkan bahwa, daging ayam merupakan barang komplementer (pelengkap) dari daging sapi, sementara komoditas ikan, telur dan daging kambing merupakan barang subsitusi dari daging sapi. Sifat subsitusi dan komplementer ini berbeda-beda disetiap daerah dan sangat tergantung dari spesifikasi lokasi sesuai pengamatan (Sudayanto et al.

1995) Koefisien harga telur (HT) adalah –13,860, hal ini

berarti meningkatnya harga telur sebesar Rp. 100 per butir maka akan menurunkan permintaan daging sebesar 1.386 ton. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa telur merupakan barang pelengkap (complementer) dari daging sapi. Hal ini berbeda dengan hasil penelitian Kariyasa (2005) menyebutkan bahwa, daging ayam merupakan barang komplementer dari daging sapi, sementara komoditas ikan, telur dan daging kambing merupakan barang subsitusi dari daging sapi. Sifat subsitusi dan komplementer ini berbeda-beda disetiap daerah dan sangat tergantung dari spesifikasi lokasi sesuai

pengamatan (Sudaryanto et al. 1995). Koefisien harga ikan (HI)

adalah 1,477 , hal ini berarti apabila harga ikan naik Rp.1.000 per kg maka permintaan daging sapi akan naik 1.477 ton, demikian sebalikya. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa ikan merupakan barang subsitusi (substitutes) atau pengganti dari daging sapi. Artinya apabila harga daging sapi meningkat maka sebagian masyarakat akan beralih mengkonsumsi ikan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Kariyasa (2005) yang menyatakan bahwa komoditas ikan, telur dan daging kambing merupakan barang subsitusi dari daging sapi. Kondisi ini dikarenakan beberapa kabupaten/kota di Sumatera Utara merupakan penghasil ikan laut yang tinggi. Daerah penghasil ikan di pesisir pantai Barat adalah kota Sibolga (Kabupaten Tapanuli Tengah) dan daerah penghasil ikan di pantai Timur adalah kota Tanjung Balai (Kabupaten Asahan).

Koefisien dari pendapatan per kapita (PK) adalah –0,001, hal ini berarti bahwa apabila pendapatan per kapita naik Rp. 1.000.000 maka permintaan daging sapi akan turun sebesar 1.000 ton, demikian pula sebaliknya. Seharusnya secara teori dengan

meningkatnya pendapatan perkapita, maka akan meningkatkan jumlah konsumsi. Hal tersebut menunjukkan bahwa daging sapi merupakan barang inferior (inferior good), artinya kenaikan pendapatan masyarakat tidak secara otomatis meningkatkan konsumsi. Daging sapi belumlah merupakan komoditas utama bagi sebagian besar masyarakat, tetapi masih merupakan barang mewah sehingga belum banyak dikonsumsi masyarakat secara umum. Hal ini sejalan hasil penelitian Soedjana (1994) yang menyimpulkan bahwa secara umum semakin tinggi pendapatan, permintaan terhadap daging sapi semakin tidak responsif. Dengan kata lain bahwa proporsi pengeluaran konsumsi daging sapi cenderung menurun dengan meningkatnya pendapatan. Hasil penelitian Sudaryanto et al. (1955) melaporkan bahwa untuk kasus di Propinsi Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah, daging sapi masih merupakan barang mewah. Dimana pendapatan per kapita penduduk masih relatif rendah, sehingga perubahan pendapatan yang relatif rendah tersebut belum mampu meningkatkan permintaan masyarakat terhadap daging sapi. Permintaan daging sapi hanya mengalami peningkatan pada waktu-waktu tertentu saja seperti pada saat hari Raya Idul Fitri, Idul Adha, Natal dan

Tahun Baru. Koefisien

jumlah penduduk (JP) adalah 0,025, hal ini berarti meningkatnya jumlah penduduk sebesar 1.000 jiwa maka akan meningkatkan permintaan akan daging sebesar 25 ton. Hal sesuai dengan teori ekonomi bahwa pertambahan jumlah penduduk berpengaruh positif terhadap permintaan, dengan kata lain peningkatan jumlah penduduk akan mengakibatkan semakin banyak masyarakat yang mengkonsumsi daging sehingga akan meningkatkan permintaan akan daging. Hal ini sejalan dengan pendapat Putong (2005) yang menyebutkan bahwa, dalam jangka panjang konsumsi produk dari sektor pertanian (termasuk peternakan) bertambah secara alami, artinya pertambahan itu bukan karena semakin tingginya daya beli masyarakat melainkan karena pertambahan jumlah penduduk.

Tabel 9. Hubungan antara Variabel dan Tanda Koefisien dari Model Permintaan Daging di Sumatera Utara

Variabel Notasi Parameter Analisis Sig

Dugaan Regresi Ganda

Permintaan Daging Sapi QDt

1 Harga Daging Sapi HDt a1 - n

2 Harga Daging Ayam HAt a2 + tn

4 Harga Ikan HIt a4 + n

5 Pendapatan Per Kapita PKt a5 - tn

6 Jumlah Penduduk JPt a6 + n

Keterangan : + = Nilai > 0 – = Nilai <

0 n = nyata pada taraf

20% tn = tidak nyata pada taraf 20%

Hasil penelitian Priyanto (2003) yang menggunakan data agregat (nasional) juga menghasilkan kesimpulan yang sama. Dimana peningkatan penduduk 1 persen mampu meningkatkan permintaan daging 4.12 persen dalam jangka pendek, 3.27 persen dalam jangka panjang. Kondisi demikian terjadi karena sampai saat ini konsumsi per kapita protein masyarakat Indonesia masih jauh dari target yang diharapkan.

Secara ringkas pada Tabel 9 akan diberikan hubungan antara variabel dan tanda koefisien model permintaan daging di Sumatera Utara. Taraf signifikansi (significance levels

Lampiran 3-Tabel Coefficients memperlihatkan bahwa kita melakukan Uji t untuk menguji sigfikansi konstanta dan variabel terikat permintaan daging sapi. Dari tabel tersebut terlihat nilai sig ada diatas 0.05. Hal ini berarti tak satupun varibel bebas dapat secara individu dapat mempengaruhi secara signifikan jumlah permintaan daging.

) menunjukkan angka 20%, artinya hasil penelitian ini ada kemungkinan sebanyak 0.20 (=20%) secara kebetulan benar. Jadi, jika ada 100 data, maka ada 20 data hanya secara kebetulan saja benar. Atau taraf kepercayaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah 80% yang bisa diyakini. Dalam penelitian sosial dan ekonomi para ahli sepakat bahwa taraf kepercayaan 80% masih dapat digunakan.

Dokumen terkait