• Tidak ada hasil yang ditemukan

5. ANALISIS KEBIJAKAN PEMANFAATAN RUANG

5.3. Analisis Persepsional Konsep “ Marine Cadastre ”

Pembuatan kuesioner “riset persepsional” konsep “marine cadastre” ini dimaksudkan untuk menjajaki tingkat pengetahuan, pemahaman, dan pandangan masyarakat (dalam hal ini responden) mengenai konsep ini. Tentu saja kuesioner ini tidak lepas dari aspek-aspek tujuan dan manfaat penyelenggaraan “Marine cadastre” oleh suatu negara (lihat bab tinjauan pustaka).

Konsep “marine cadastre” berkaitan erat pula dengan tahapan berikutnya dari analisis kebijakan pemanfaatan ruang pesisir dan laut, yaitu tahapan “perumusan masalah kebijakan”. Sebagaimana telah dikemukakan dalam bab

96

pendahuluan serta sesuai dengan ketersediaan dan karakteristik data hasil pendataan lapangan, maka dalam penelitian ini digunakan metode analisis hirarki, yakni sebuah teknik untuk mengidentifikasi sebab-sebab yang mungkin dari suatu situasi masalah. Analisis hirarki membantu para analis untuk mengidentifikasi tiga macam sebab, yakni sebab yang mungkin, sebab yang masuk akal, dan sebab yang dapat ditindaklanjuti Dunn (1994).

Gambar 24. Analisis hirarki untuk perumusan masalah kebijakan pemanfaatan ruang pesisir dan laut berbasis konsep “Marine cadastre” di Kabupaten Kepulauan Riau.

MASALAH KEBIJAKAN SUBSTANSI KEBIJAKAN IMPLEMENTASI KEBIJAKAN Masalah Substansi Masalah Legal Masalah Administrasi dan Keteknikan Orientasi Pembangunan Keterpaduan Kebijakan Transparansi Partisipasi Legitimasi RTRW Masih Orientasi Daratan Belum Nyata Sustainable Belum Integrasi Tataruang Darat-Laut Belum Ada Rencana Detil Pesisir-Laut Belum Transparan Belum Melibatkan Masyarakat Belum Jadi PERDA Belum Ada Administrasi “3R” Belum Ada Pengelola 3R Belum Ada Custodian Data Spasial Penganggaran Konsistensi Tidak Muncul Program Khusus Revisi Setiap Tahun Tidak Ada Pengendalian dan Law

97

Berdasarkan data yang diperoleh melalui wawancara, kuesioner, serta laporan pertanggungjawaban kepala daerah, maka dilakukan pemetaan hirarki tentang masalah yang ada atau dihadapi dalam kebijakan pemanfaatan ruang pesisir dan laut pada lokasi penelitian (periksa Gambar 24).

Masalah-masalah kebijakan tersebut tersebut adalah:

1) Masalah substansi kebijakan:

a. Perihal orientasi pembangunan: rencana tata ruang wilayah Kabupaten Kepulauan Riau masih berorientasi pembangunan wilayah daratan; Rencana tata ruang kelautan baru tertuang dalam rencana untuk tahun 2006 – 2015, namun dalam pelaksanaannya tidak secara nyata komitmen terhadap “sustainable” atau berwawasan lingkungan;

b. Perihal keterpaduan: Belum ada keterpaduan rencana tata ruang, baik ditinjau dari aspek keterpaduan rencana tata ruang darat-laut, maupun ditinjau dari aspek keterpaduan antara wilayah Kota Tanjungpinang maupun wilayah Kabupaten Kepulauan Riau; Padahal Pulau Bintan merupakan satu kesatuan geografis dan ekosistem di mana kedua pemerintahan daerah berada dan melaksanakan kegiatan-kegiatannya; Pemanfaatan ruang pesisir dan laut oleh suatu daerah dapat mengakibatkan kerugian bagi daerah lainnya, apalagi mengingat sifat laut yang merupakan benda fluida berupa air dan arus maupun gelombang;

c. Perihal transparansi dan partisipasi dalam penyusunan rencana tata ruang wilayah: Belum ada transparansi dan partisipasi dalam penyusunan rencana tata ruang wilayah, masyarakat belum terlibat sebagaimana seharusnya dan mereka hanya mengikuti “sosialisasi” RTRW secara parsial yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah masing-masing; d. Perihal legitimasi rencana tata ruang wilayah: Sejak tahun 1992, yaitu

sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, maka setiap kali penyusunan rencana tata ruang wilayah senantiasa stagnant dalam bentuk Buku Rencana yang diterbitkan oleh Bappeda dan belum pernah dituangkan dalam bentuk Peraturan Daerah (PERDA) sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 22 Ayat (6) undang- undang dimaksud;

98

e. Perihal pengadministrasian setiap kepentingan (3R) di wilayah pesisir dan lautan: Belum ada instansi yang mengelola administrasi hak, kewajiban, dan batasan pemanfaatan ruang, demikian pula pemegang “custodian” data dan informasi spasial wilayah pesisir dan laut;

2) Masalah implementasi kebijakan:

a. Perihal penganggaran program dan kegiatan pemanfaatan ruang pesisir dan laut: Belum muncul baik secara eksplisit maupun implisit dalam penganggaran program dan kegiatan pembangunan dalam APBD masing- masing daerah, sehingga sulit sekali mendapatkan tolak ukur keberhasilan rencana stratejik kebijakan pemanfaatan ruang pesisir dan laut, baik kriteria maupun periodisasinya;

b. Perihal konsistensi program pemanfaatan ruang pesisir dan laut: Perencanaan tata ruang maupun pemanfaatan ruang senantiasa direvisi setiap tahun sehingga tidak ada pedoman yang pasti, padahal menurut ketentuan Pasal 22 Ayat (5) UU No. 24 Tahun 1992 jangka waktu RTRW Kabupaten/Kota adalah 10 (sepuluh) tahun;

c. Perihal pengendalian dan penegakkan hukum atas pemanfaatan ruang pesisir dan lautan: Masih sangat lemah, terbukti masih terus berlangsung degradasi lingkungan baik di darat (penambangan pasir illegal maupun legal), serta laju kerusakan ekosistem mangrove (2.43% setiap tahun) dan ekosistem terumbu karang (2.47% setiap tahun).

Dalam rangka menjajaki tingkat pengetahuan, pemahaman, dan pandangan para responden mengenai masalah kebijakan sebagaimana dirumuskan di atas berkaitan dengan konsep “marine cadastre”, maka perlu dilakukan suatu “riset persepsional” terhadap masalah dan konsep ini dalam bentuk kuesioner yang telah disiapkan sebelumnya. Kuesioner disusun dalam bentuk tabulasi dan hasil-hasilnya adalah sebagai berikut:

3) Marine Cadastre” sebagai kerangka administrasi untuk 3R (Right, Responsibility, Restriction):

a. Seluruh responden (100%) berpendapat perlu adanya ketegasan (peraturan perundang-undangan) tentang hak-hak, batasan-batasan, dan kewajiban-

99

kewajiban masyarakat (baik perseorangan maupun badan) atas penguasaan dan pemanfaatan ruang dan sumberdaya laut tertentu tersebut sebagai landasan hukum bagi pelaksanaan “marine cadastre” (Gambar 25); Pendapat ini didasari oleh berbagai hal, yaitu bahwa para responden menyadari perkembangan kebutuhan masyarakat, pemerintah dan dunia usaha serta investor tidak hanya sebatas kebutuhan akan lahan daratan (tanah), namun sudah berkembang kepada kebutuhan akan ruang laut, yaitu ruang di atas dan di bawah laut (yang merupakan ruang kolom- kolom laut yang umumnya dalam perspektif tiga dimensi), serta lahan yang tertutup oleh air laut.

a.1. Sumber hukum yang mendukung pendapat para responden:

• Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menetapkan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Pasal ini secara khusus memberikan dasar bagi lahirnya kewenangan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1960 (UUPA) kepada negara c.q. lembaga pemerintah yang bertanggung- jawab atas pertanahan.

Kewenangan yang dimaksud adalah:

1) Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan,

persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa;

2) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara

orang-orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa;

3) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara

orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang angkasa;

a.2. Sumber hukum hak atas ruang pesisir dan laut

• Pasal 1 ayat (4) dan (5) UUPA dengan tegas menyatakan bahwa: dalam pengertian bumi, selain permukaan bumi, termasuk pula tubuh bumi di bawahnya serta yang berada di bawah air; dan dalam pengertian air termasuk baik perairan pedalaman maupun laut wilayah Indonesia. Dengan demikian jelaslah bahwa kewenangan yang lair dari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 juncto Pasal 2 ayat (2) UUPA yang diberikan kepada negara c.q. pemerintah, meliputi pula kewenangan pengelolaan lahan di wilayah perairan pesisir dan laut, yang kemudian dikenal sebagai “marine cadastre” atau Kadaster Kelautan; dan

• Pasal 4 Huruf C UU No. 24 Tahun 1992 juncto Pasal 1 Angka 12 PP No. 69 Tahun 1996 tentang Hak Atas Ruang, yaitu ak-hak yang diberikan atas pemanfaatan ruang daratan, ruang lautan, dan ruang

100

udara, serta Hak Atas Pemanfaatan Ruang Lautan, yakni hak untuk memiliki, menempati, melakukan kegiatan dalam satuan ruang, misalnya rumah terapung, kota terapung dan atau di dalam laut, ruang pariwisata bahari, taman laut, ruang angkutan laut, eksploitasi sumberdaya laut, perikanan tangkap, penambangan lepas pantai, dan sebagainya;

• Hak Guna Air, Hak Pemeliharaan dan Penangkapan Ikan,

sebagaimana diatur dalamPasal 16 ayat (2); Pasal 47 dan Pasal 48

UUPA 1960 dan Hak Guna Perairan sebagaimana telah disebut

dalam Perpres No. 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional

Penggunaan ruang perairan pesisir dan laut yang dikenal saat ini telah berkembang dalam berbagai bentuk, misalnya untuk penggunaan sebagai: terowongan bawah laut, lintasan kabel bawah laut, jembatan, budi daya sumberdaya perikanan seperti keramba ikan dan bagan ikan, pengeboran minyak lepas pantai (rig), restoran terapung, rumah-rumah di atas laut dangkal, dan lain sebagainya termasuk penggunaan ruang laut untuk zona atau kawasan lindung laut, zona terumbu karang, zona perikanan tangkap, dan zona hak ulayat laut masyarakat adat nelayan. Bahkan zonasi lintasan-lintasan kapal dalam areal pelabuhan juga termasuk dalam rezim penggunaan ruang laut.

Semua penggunaan ruang perairan pesisir dan laut sebagaimana disebutkan di atas perlu pengaturan yang jelas serta perlu jaminan kepastian hukum dan dan perlindungan hukum atas hak guna ruangnya, yaitu dalam kerangka pelaksanaan konsep “marine cadastre”.

Sebagaimana telah dikemukana dalam bab tinjauan pustaka, obyek “marine cadastre” dalam perspektif hukum agraria Indonesia harus dapat dibedakan antara ruang (lahan) perairan pesisir dan ruang laut. Perlunya pemilahan kedua wilayah ini secara spesifik karena adanya perbedaan substansial di antara keduanya, meskipun keduanya merupakan satu wilayah yang tidak terpisahkan. Perbedaan dimaksud adalah:

• Ruang perairan pesisir merupakan wilayah yang sangat rentan

(fragile), baik ditinjau dari aspek fisik dan ekosistem (merupakan wilayah “tumpahan” seluruh dampak aktivitas di daratan yang terbuang atau mengalir ke laut), maupun ditinjau dari aspek hukum dansosial-ekonomi, yaitu sangat berhubungan erat dengan penguasaan,

101

pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah (land tenureships) daratan pesisir;

• Ruang perairan pesisir merupakan wilayah perairan laut dangkal, termasuk wilayah yang pada saat air laut surut nampak sebagai ruang daratan, dan oleh karena itu tenureship system lahan ini dapat dicirikan oleh tipologi atau karakteristik tenureships daratan (land- based tenure) maupun ruang laut (sea-based tenure) secara seimbang; Berkenaan dengan hal-hal tersebut di atas, maka jenis-jenis hak yang dapat dipunyai oleh perseorangan serta badan hukum publik dan privat, adalah hak-hak menurut UUPA,yaitu:

o Hak Milik (HM) dan Hak Guna Bangunan (HGB): untuk rumah

dan permukiman (contoh rumah-rumah pelantar di Kota Tanjungpinang, Kota Balikpapan, dan sebagainya), hotel dan resort, jasa-jasa pesisir dan kelautan seperti: pelabuhan, dermaga, tempat pelelangan ikan (TPI), dan lain sebagainya;

o Hak Pengelolaan (HPL) untuk Pemerintah dan Daerah;

o Hak Ulayat Laut (HUL) untuk masyarakat hukum adat di wilayah pesisir;

o Hak Guna Usaha (HGU) untuk perseorangan serta badan hukum publik dan privat (perlu redefinisi HGU untuk tidak hanya atas tanah namun juga atas ruang perairan pesisir dan laut, mengingat definisi “pertanian” dalam arti luas meliputi juga pertanian laut, yaitu perikanan budidaya dan akuakultur lainnya);

o Hak Pakai (HP) untuk perseorangan serta badan hukum publik dan privat.

• Ruang laut, yaitu ruang laut teritorial, di lain pihak, umumnya tidak berkaitan langsung dengan tenureship system di daratan; Hak-hak yang sesuai di wilayah ini adalah Hak Guna Perairan, kecuali untuk konstruksi pengeboran minyak lepas pantai (rigs) dan bagan-bagan ikan dapat diberikan dengan Hak Guna Bangunan.

b. Sebanyak 75% responden berpendapat bahwa peraturan perundang-

undangan dimaksud pada butir (a) belum ada, sementara 20% menjawab tidak tahu, sedangkan 5% menjawab sudah ada peraturannya, yaitu UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah;

c. Peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan itu adalah: undang- undang (40%), peraturan pemerintah (40%), dan peraturan daerah (20%);

d. Konsep “persil” laut:

Seluruh responden (100%) setuju dengan adanya konsep “persil laut”. Isu tentang konsep ini sangat “crucial” karena berkenaan langsung

102

dengan filosofi kadaster, yaitu “the boundary of tenure” serta isu negatif perihal “pengkalingan laut” (yang telah diuraikan dalam bab pendahuluan sebagai akibat praktik kebijakan yang melanggar hukum). Berkenaan dengan itu, maka sistem batas tenureships dalam konsep “marine cadastre” dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yakni:

• Sistem batas tenureships di wilayah perairan pesisir: menggunakan tanda batas nyata dan atau imajiner dalam bentuk nilai koordinat titik- titik batas dalam sistem koordinat dan sistem proyeksi peta tertentu; Penggunaan batas nyata dimungkinkan karena ruang perairan pesisir merupakan wilayah perairan laut dangkal, termasuk wilayah yang pada saat air laut surut nampak sebagai ruang daratan, dan atau di mana dapat dipancangkan fondasi dan tiang-tiang bangunan maupun tanda batas;

• Sistem batas tenureships di wilayah perairan laut teritorial: menggunakan tanda imajiner dalam bentuk nilai koordinat titik-titik batas dalam sistem koordinat dan sistem proyeksi peta tertentu;

0 20 40 60 80 100

Adm.3R Perlu UU MC Sdh Ada UU MC?

Setuju/Ada Tidak Tahu

Tidak Setuju/Tidak Ada

Gambar 25. Diagram balok persepsi responden tentang aspek administrasi (hak, kewajiban, dan batasan) serta aspek hukum penyelenggaraan “marine cadastre

e. Instansi pengelola administrasi sistem tenurial wilayah pesisir dan laut:

Sebanyak 45% responden berpendapat bahwa instansi pemerintah yang berwenang mengelola adminsitrasi penguasaan dan pemanfaatan ruang pesisir dan laut adalah BPN, sementara 10% setuju dikelola oleh DKP, selebihnya 45% berpendapat sebaiknya dikelola oleh instansi lain,

103

seperti: Pemda, Badan Kelautan Nasional, BPN bersama DKP, BPN

bersama Pemda;

f. Tanda buktipenguasaan“persil laut”:

Akhirnya, sebanyak 95% responden berpendapat perlunya diterbitkan semacam “sertipikat” baik berupa “ijin” atau “lisensi” pemanfaatan, eksplorasi, eksploitasi maupun untuk pemanfaatan atau penggunaan ruang laut bagi jalur trasportasi, tempat berlabuh, lokasi budidaya perikanan dan jasa kelautan, dan lain sebagainya (Gambar 26).

0 20 40 60 80 100 Konsep Persil Laut Instansi MC: BPN, DKP, Lainnya Perlu Sosialisasi Perlu Bukti Penguasaan Setuju Tidak Tahu Tidak Setuju

Gambar 26. Diagram balok persepsi responden tentang konsep “persil laut” penyelenggaraan “marine cadastre

Berkaitan dengan program pemanfaatan ruang pesisir dan laut serta berkenaan dengan konsep “Marine cadastre”, maka di dalam penelitian ini juga dilakukan penelitian tentang aspek legalitas dan proses perencanaan tata ruang.

Adapun hasil-hasilnya adalah sebagai berikut:

a. Seluruh responden (100%) menjawab bahwa RTRW belum pernah dituangkan dalam Peraturan Daerah sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 22 ayat 6 Undang-Undang No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang;

b. Seluruh responden (100%) menjawab tidak mengetahui adanya “Hak Atas Ruang”, yaitu hak-hak yang diberikan atas pemanfaatan ruang daratan, lautan, dan ruang udara, sesuai bunyi Pasal 1 Butir 12 Peraturan Pemerintah No. 69 Tahun 1996, yaitu peraturan pelaksanaan UU No. 24 Tahun 1992 tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban serta Bentuk dan Tata Cara Peran Serta Masyarakat Dalam Penataan Ruang;

104

c. Sebanyak 75% responden menjawab bahwa masyarakat belum berperan serta dalam proses penyusunan RTRW bersama dengan Pemda, demikian pula sebanyak 75% responded menjawab bahwa Pemda belum mengumumkan dan

menyebarluaskan RTRW yang telah ditetapkan, 25% menjawab telah

dilakukan “sosialisasi” RTRW secara sporadik dan terbatas; dan

d. Seluruh responden (100%) berkeyakinan bahwa masyarakat belum berperan serta dalam pemanfaatan ruang serta pengendalian pemanfaatan ruang wilayah (Gambar 27). 0 20 40 60 80 100 Perda Tata Ruang

Hak Atas Ruang Part. Masy. Penyusunan Part. Masy. Pemanfaatan Sudah Tidak Tahu Belum

Gambar 27. Diagram balok persepsi responden tentang peran serta

masyarakat dalam program pemanfaatan ruang pesisir dan laut berkenaan dengan konsep “Marine cadastre

Dokumen terkait