• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis kebijakan pemanfaatan ruang pesisir dan laut dalam kerangka "marine cadastre"(Studi kasus di Wilayah Pulau Bintan, Kabupaten Kepulauan Riau)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis kebijakan pemanfaatan ruang pesisir dan laut dalam kerangka "marine cadastre"(Studi kasus di Wilayah Pulau Bintan, Kabupaten Kepulauan Riau)"

Copied!
372
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS KEBIJAKAN PEMANFAATAN RUANG PESISIR

DAN LAUT DALAM KERANGKA “

MARINE CADASTRE

(STUDI KASUS DI WILAYAH PULAU BINTAN, KABUPATEN KEPULAUAN RIAU)

JOHANES P. TAMTOMO

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa:

Disertasi saya dengan judul: Analisis Kebijakan Pemanfaatan Ruang Pesisir dan Laut Dalam Kerangka “Marine Cadastre” (Studi Kasus di Wilayah Pulau Bintan, Kabupaten Kepulauan Riau) adalah benar-benar asli karya saya dengan arahan komisi pembimbing, dan bukan hasil jiplakan, atau tiruan dari tulisan siapapun serta belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun.

Bogor, 20 Desember 2006

(3)

ABSTRAK

Johanes P. TAMTOMO Analisis Kebijakan Pemanfaatan Ruang Pesisir dan Laut Dalam Kerangka “Marine Cadastre” (Studi Kasus di Wilayah Pulau Bintan, Kabupaten Kepulauan Riau). Dibimbing oleh TRIDOYO KUSUMASTANTO, JACUB RAIS, MARIA S.W. SUMARDJONO dan MENNOFATRIA BOER.

Kata-kata kunci: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut, Analisis Kebijakan Publik, Kadaster Kelautan, Penataan dan Pemanfaatan Ruang Pesisir dan Laut

Konflik kepentingan dalam pemanfaatan ruang pesisir dan laut telah berlangsung setua usia peradaban manusia. Kerusakan ekosistem wilayah pesisir juga telah berlangsung lama akibat tumpahan hampir seluruh limbah aktifitas manusia di daratan, serta tekanan kepadatan penduduk yang bermukim di wilayah ini. Telah banyak penelitian dilakukan dalam konteks pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut terpadu, namun belum banyak yang mengaitkannya dengan sistem tenurial ruang pesisir dan laut. Sebuah sistem tenurial yang disebut “marine cadastre” digunakan dalam penelitian ini sebagai kerangka analisis kebijakan pemanfaatan ruang pesisir dan laut.

Kebijakan pemanfaatan ruang pesisir dan laut di Pulau Bintan saat ini menunjukkan Total Economic Value (TEV) yang negatif pada kurun waktu untuk analisis sepuluh tahun yang akan datang (2005 – 2014). Hasil tersebut dinyatakan dalam NPV (Net Present Value) = – Rp. 682.86; EIRR (Economic Internal Rate of Return) = – 0.86%; dan Net B/C = 0.04. Kemudian skenario penerapan konsep “marine cadastre” diaplikasikan dalam model TEV tersebut, didapatkan hasil-hasil yang positif dan kelayakan pelaksanaan kebijakan sesuai dengan skenario dimaksud. Hasil ini dinyatakan dalam NPV = Rp. 3 084 999; EIRR = 33.31%; dan Net B/C = 5.54. Hasil skenario “marine cadastre” ini menunjukkan hasil yang diinginkan dalam tujuan pembangunan berkelanjutan, yaitu tujuan EES: Ekonomi, Ekologi, dan Sosial.

(4)

ABSTRACT

Johanes P. TAMTOMO. Coastal and Sea Space Use Analysis Within the “Marine Cadastre” Framework (A Case Study in Bintan Island Region, Kepulauan Riau Regency). Dissertation under the direction of TRIDOYO KUSUMASTANTO, JACUB RAIS, MARIA S.W. SUMARDJONO and MENNOFATRIA BOER.

Keywords: Coastal and Ocean Resource Management, Public Policy Analysis, Marine Cadastre, Coastal and Marine Spatial Planning and Use

Conflict of interests in the coastal and sea space use have occurred since as old as the human civilizations. The devastation of coastal and sea ecosystems has also been happened for long time, brought about by almost all the waste of human activities that spill over from the uplands, and the population pressures in the coastal areas as well. There have been many researches conducted in respect to the coastal and sea area integrated management; nevertheless not many have the researches unified to the coastal and sea tenure system. One that is called a “marine cadastre” is used in this research as a coastal and sea space use analysis framework.

Existing policy of coastal and sea space use shows that the Total Economic Value (TEV) is negative for ten years (2005 – 2014) analysis. This finding is stated in the NPV (Net Present Value) = – Rp. 682.86; the EIRR (Economic Internal Rate of Return) = – 0.86%; and the Net B/C = 0.04. After the implementation of a “marine cadastre” concept in the TEV model, it is founded that the scenario results in positive and feasible values of the policy implementation. It is shown in the NPV = Rp. 3 084 999; EIRR = 33.31%; and Net B/C = 5.54. The outcomes of the “marine cadastre” scenario show the desired objectives of the sustainable development, that is the EES objectives: Economical, Ecological, and Social objectives.

(5)

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2006 Hak cipta dilindungi

(6)

ANALISIS KEBIJAKAN PEMANFAATAN RUANG PESISIR

DAN LAUT DALAM KERANGKA “MARINE CADASTRE”

(STUDI KASUS DI WILAYAH PULAU BINTAN, KABUPATEN KEPULAUAN RIAU)

JOHANES P. TAMTOMO

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)

Judul Disertasi : Analisis Kebijakan Pemanfaatan Ruang Pesisir dan Laut dalam Kerangka “Marine Cadastre” (Studi Kasus di Wilayah Pulau Bintan, Kabupaten Kepulauan Riau)

Nama : Johanes P. Tamtomo

NIM : C261020091

Disetujui

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Tridoyo Kusumastanto, M.S. Prof. Dr. Ir. Jacub Rais, M.Sc.

Ketua Anggota

Prof.Dr.Maria S.W. Sumardjono,SH,MCL,MPA Dr.Ir.Mennofatria Boer,DEA Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Dekan Sekolah Pascasarjana Pesisir dan Lautan

Prof.Dr.Ir.Rokhmin Dahuri, M.S. Prof.Dr.Ir.Khairil Anwar Notodiputro,M.S.

(8)

PRAKATA

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa saya panjatkan atas selesainya disertasi ini. Akhir dari karya ini sesungguhnya baru merupakan awal dari proses pertanggungjawaban moral dan keilmuan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bertanah-air Indonesia. Terimakasih kami sampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Tridoyo Kusumastanto, M.S. yang telah memberikan arahan dan bimbingan hingga purnanya penelitian dan penulisan disertasi ini. Demikian pula terimakasih kami sampaikan kepada anggota komisi pembimbing: Prof. Dr. Ir. Jacub Rais, M.Sc., Prof. Dr. Maria S.W. Sumardjono, SH, MCL, MPA., dan Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA. yang telah bersama-sama memberikan arahan dan bimbingan.

Karya ini dihasilkan dari bantuan dan kerjasama pihak-pihak yang tidak mungkin dapat disebutkan satu persatu. Saya mengucapkan terimakasih kepada semua yang telah berkontribusi dalam penyelesaian disertasi ini. Secara khusus saya mengucapkan terimakasih kepada Bapak Joyo Winoto, Ph.D., Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia (BPN-RI), Ir. Wenny Rusmawar Idrus, Deputi Bidang Survei, Pengukuran dan Pemetaan, Ir. Bambang Eko HN, Deputi Bidang Hak Atas Tanah dan Pendaftaran Tanah, dan Ir. Ibnu Wardono, SH, MM, MKn., Direktur Pemetaan Dasar BPN-RI. Terimakasih saya sampaikan kepada Kepala Kantor Pertanahan Kota Tanjungpinang dan Kabupaten Kepulauan Riau berikut seluruh jajarannya. Seiring pula terimakasih kepada seluruh pejabat dan aparat Pemerintah Daerah Kabupaten Kepulauan Riau. Bantuan dari Ir. Chairul Basri Achmad dan Drs. Rolly Akis, M.Eng.Sc., berserta anggota KAPTI (Keluarga Alumni Pendidikan Pertanahan Indonesia) DKI Jakarta juga saya hargai. Tentu saja dukungan keluarga tercinta sangat signifikan terhadap penyelesaian karya ini. Terimakasih saya sampaikan pula kepada Dr. Ir. Budi Mulyanto, M.Sc. yang telah berkenan menjadi “proof-reader” disertasi ini.

Bogor, 20 Desember 2006

(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Prabumulih, Sumatera Selatan pada tanggal 20 Oktober 1954, sebagai anak kelima dari pasangan R. Oetojo (alm.) dan Soetinem. Penulis mengawali pendidikan tinggi di Akademi Agraria Semarang program studi Kadaster, dengan status Ikatan Dinas selesai pada tahun 1977. Penulis menyelesaikan jenjang S1 pada tahun 1985 dengan status Tugas Belajar pada Institut Ilmu Pemerintahan program studi Agraria. Melalui beasiswa dari OTO-BAPPENAS, penulis menyelesaikan jenjang S2 pada Department Geodesy and Geomatics Engineering University of New Brunswick, Fredericton, Canada pada tahun 1993. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada program studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian Bogor (IPB) diperoleh pada tahun 2002.

Penulis bekerja sebagai Direktur Survei Potensi Tanah, Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, Jakarta, sejak tanggal 21 Juni 2006. Penulis telah berkerja pada instansi yang sama sejak tahun 1978 pada Direktorat Agraria Propinsi Kalimantan Timur di Samarinda, Kantor Wilayah BPN Propinsi Jawa Timur di Surabaya pada tahun 1990, dan Kantor Pertanahan Kabupaten Pasuruan pada tahun 1995. Penulis adalah juga Wakil Sekretaris Jenderal II Ikatan Surveyor Indonesia (ISI) periode tahun 2005-2009.

(10)

i

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR GAMBAR ... iii

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

1. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 2

1.3. Hipotesis Penelitian ... 4

1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 4

1.5. Kerangka Pikir Penelitian ... 4

2. TINJAUAN PUSTAKA ... 8

2.1. Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut ... 8

2.2. Kebijakan Pemanfaatan Ruang Pesisir dan Laut ... 11

2.3. Konsep “Marine Cadastre” ... 22

2.4. Relevansi Konsep “Marine Cadastre” dengan Teori ICOZM ... 30

2.5. Sejarah “Marine Cadastre”: Munculnya Filosofi “The Boundary of Tenure” ... 32

2.6. Tujuan dan Manfaat Penyelenggaraan “Marine Cadastre” ... 36

2.7. Aspek Yuridis Dalam Penyelenggaraan “Marine Cadastre” ... 37

2.8. Pemetaan dan Penetapan Hak-Hak di Wilayah Pesisir dan Laut Dalam Kerangka “Marine Cadastre” ... 41

3. METODOLOGI PENELITIAN ... 45

3.1. Metode Penelitian ... 45

3.2. Metode Pengumpulan Data ... 45

3.3. Jenis dan Sumber Data ... 46

3.4. Metode Analisis ... 47

3.4.1 Analisis Data Spasial: Metode Survei Sumberdaya ABC ... 49

3.4.2 Analisis Prioritas Kebijakan Melaui M-AHP ... 52

3.4.3 Analisis Riset Persepsional “Marine Cadastre” ... 56

2.4.1 Analisis Valuasi Ekonomi Total (TEV) Kawasan Dalam Skema DPSIR ... 58

3.4.4 Analisis TEV “Best Use” dan Pemodelan Sistem Dinamik Menggunakan STELLA© ... 63

(11)

ii

4. DESKDRIPSI DAERAH PENELITIAN ... 66

4.1. Wilayah Pesisir dan Laut Pulau Bintan ... 66

4.2. Arah Kebijakan dan Program ... 69

4.3. Gambaran Umum Dampak Kebijakan Terhadap Sumberdaya Alam dan Lingkungan ... 71

4.4. Faktor-faktor Dominan ... 73

5. ANALISIS KEBIJAKAN PEMANFAATAN RUANG ... 75

5.1. Analisis Data Spasial Pemanfaatan Ruang Pesisir dan Laut .... 75

5.2. Analisis Prioritas dan Realisasi Kebijakan dan Program Pemanfaatan Ruang Pesisir dan Laut ... 84

5.3. Analisis Persepsional Konsep “Marine Cadastre” ... 95

5.4. Analisis Ekonomi Eksisting Wilayah Pesisir dan Laut .... 104

5.5. Analisis Retrospektif-Prospektif Kebijakan Pemanfaatan Ruang Pesisir dan Laut ... 119

5.5.1 Kebijakan Eksisting ... 119

5.5.2 Kebijakan Penerapan “Marine Cadastre” ... 128

6. DESAIN KEBIJAKAN PEMANFAATAN RUANG DALAM KONSEP “MARINE CADASTRE” ... 130

6.1. Faktor-faktor Dominan dan Indikator-indikator Penting ... 130

6.2. Desain Kebijakan Pemanfaatan Ruang Dengan Marine Cadastre 133 6.2.1 Aspek Legal dan Kelembagaan ... 133

6.2.2 Aspek Ekonomi ... 137

6.2.3 Aspek Lingkungan ... 145

7. SIMPULAN DAN SARAN ... 147

7.1. Simpulan ... 147

7.2. Saran dan Rekomendasi ... 150

DAFTAR PUSTAKA ... 155

LAMPIRAN-LAMPIRAN ... 162

(12)

iii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Kerangka pikir penelitian dan relevansi topik penelitian dengan teori dasar dan praktik ICOZM, Analisis Kebijakan Publik,

dan Konsep “Marine Cadastre” ... 6

Gambar 2. Interaksi antara pengguna dan aktivitas ruang pesisir dan laut di Laut Mediterania menurut Couper, 1993 dan Valega, 1990 ... 17

Gambar 3. Persil-persil laut: ijin-ijin penambangan pasir di Riau, dan blok- blok penambangan minyak dasar laut (blok Ambalat) di wilayah perbatasan antara Kalimantan Timur dan Sarawak, Malaysia ... 24

Gambar 4. Ilustrasi konsep kadaster ... 25

Gambar 5. Diagram konsepsi “Marine Cadastre” ... 29

Gambar 6. Relevansi konsep “Marine Cadastre” dengan teori dasar dan praksis ICOZM ... 31

Gambar 7. Kerangka hukum pelaksanaan “Marine Cadastre” ... 38

Gambar 8. Peta “Marine Cadastre” di Negara Bagian Victoria, Australia ... 42

Gambar 9. Peta “Marine Cadastre” di Florida Sanctuary, USA ... 43

Gambar 10. Prosedur umum dalam metodologi analisis kebijakan publik yang berorientasi kepada masalah dengan bentuk analisis kebijakan “Ex-PostΘEx-Ante” ... 48

Gambar 11. Metode Survai Sumberdaya ABC (Abiotic-Biotic-Culture) sebagaimana dikemukakan oleh Bastedo, Nelson dan Theberge .... 51

Gambar 12. Hirarki monitoring pelaksanaan kebijakan dan pemanfaatan ruang pesisir dan lautan ... 53

Gambar 13. Hirarki evaluasi keberhasilan program menurut kriteria aspek sosial-ekonomi ... 54

(13)

iv

Gambar 15. Berbagai kegiatan manusia berikut hak-hak atas pesisir dan perairan laut dalam gambaran “persil laut” 3-dimensi,

landasan konsep kadaster 3-dimensi dan “marine cadastre” ... 57

Gambar 16. Analisis multi kriteria dalam skema DPSIR ... 61

Gambar 17. Diagram konsep DPSIR ... 62

Gambar 18. “Model Sistem Generik Wilayah Pesisir” dan

Nilai Total Kawasan” ... 63

Gambar 19. Peta wilayah darat dan laut Pulau Bintan,

Kabupaten Kepulauan Riau ... 68

Gambar 20. Sebaran komponen-komponen non-hayati, hayati dan budidaya (ABC: Abiotic, Biotic, dan Culture) pesisir dan laut di Pulau

Bintan dan sekitarnya ... 81

Gambar 23. Diagram balok distribusi skor tiga kriteria program pemanfaatan ruang pesisir dan laut dari hasil wawancara dan pengisian

kuesioner Kabupaten Kepulauan Riau ... 85

Gambar 22. Diagram balok distribusi kelima skor kriteria aspek sosial-ekonomi program pemanfaatan ruang pesisir dan laut Kabupaten Kepulauan Riau dari hasil wawancara dan pengisian kuesioner ... 89

Gambar 23. Diagram balok distribusi skor ke-empat aspek kriteria konflik sumberdaya dan ekosistem program pemanfaatan ruang

Kabupaten Kepulauan Riau ... 93

Gambar 24. Analisis hirarki untuk perumusan masalah kebijakan pemanfaatan ruang pesisir dan laut berbasis konsep

Marine Cadastre” di Kabupaten Kepulauan Riau ... 96

Gambar 25. Diagram balok persepsi responden tentang aspek administrasi (hak, kewajiban, dan batasan) serta aspek hukum

penyelenggaraan “Marine Cadastre” ... 102

Gambar 26. Diagram balok persepsi responden tentang konsep

“persil laut” penyelenggaraan “Marine Cadastre” ... 103

Gambar 27. Diagram balok persepsi responden tentang peran serta

masyarakat dalam program pemanfaatan ruang pesisir dan laut

berkenaan dengan konsep “Marine Cadastre” ... 104

Gambar 28. Kerusakan alam akibat penambangan pasir darat di sekitar

(14)

v

Gambar 29. Kerusakan mangrove akibat pengalihgunaan lahan

di Kecamatan Bintan Timur ... 111

Gambar 30. Peta KP: Kuasa Penambangan eksplorasi dan KP: Kuasa Penambangan eksploitasi yang juga menggambarkan KP: “Kerusakan Prinsip” pada sumberdaya alam dan

ingkungan laut di sekitar Pulau Bintan ... 114

Gambar 31. Analisis Retrospektif-Prospektif (Ex PostΘEx-Ante)

pada prosedur peramalan dan rekomendasi kebijakan ... 120

Gambar 32. “Residual Plot” dari hubungan PV – TB – TC dan PV -√TB - √TC 123

Gambar 33. Plot Standardized Residuals TB/TC dalam prediksi dampak eksisting kebijakan sepuluh tahun ke depan (2005 – 2015)5

yang menunjukkan pola kuadratik ... 125

Gambar 34. Plot Standardized Residuals TB/TC dalam prediksi dampak eksisting kebijakan sepuluh tahun ke depan (2005 – 2015)

yang menunjukkan pola acak ... 127

Gambar 35. Normality Probability Plot nilai PV dalam prediksi dampak eksisting kebijakan sepuluh tahun ke depan (2005 – 2015)

yang dapat ditarik generalisasi garis lurusnya ... 127

Gambar 36. Grafik balok pendapat responden atas faktor-faktor dominan

Perlunya kebijakan pemanfaatan ruang dengan “marine cadastre” 131

Gambar 37. Faktor dominan dan indikator penting kebijakan pemanfaatan

Ruang dengan “marine cadastre” dalam hubungannya dengan

Tiga tujuan pembangunan berkelanjutan (EES: economical

objectives, ecological objective, social objective) ... 132

Gambar 38. Pemetaan batas-batas persil dan zona penguasaan dan pemanfaatan ruang pesisir dan laut dalam penyelenggraraan “marine cadastre” berikut hak-haknya: asumsi penerapannya

di wilayah Kabupaten Kepulauan Riau ... 134

Gambar 39. Diagram balok pendapat responden tentang lembaga yang

mengelola sistem tenurial dan sumberdaya pesisir dan laut ... 136

Gambar 40. Dekomposisi komponen serta aliran masukan (inflow) dan aliran keluaran (outflow) model TEV kebijakan pemanfaatan

(15)

vi

Gambar 41. Model sistem dinamik analisis ekonomi kebijakan pemanfaatan ruang pesisir dan laut: “ex-post” (eksisting) dan “ex-ante

(Marine Cadastre) ... 141

Gambar 42. Grafik model sistem dinamik analisis ekonomi kebijakan pemanfaatan ruang pesisir dan laut: “ex-post” (eksisting) dan

ex-ante” (Marine Cadastre) untuk nilai NB (Cash Flow) dan PV 142

Gambar 43. Grafik model sistem dinamik analisis ekonomi kebijakan pemanfaatan ruang pesisir dan laut: “ex-post” (eksisting) dan

ex-ante” (Marine Cadastre) untuk nilai NPV dan EIRR ... 143

Gambar 44. Grafik “Sensitivity Analysis” untuk nilai-nilai NPV “Marine

(16)

vii

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Kegagalan kebijakan publik di sektor kelautan dan perikanan ... 21

Tabel 2. Perbedaan dan persamaan antara kadaster pertanahan

(Land Cadastre) dengan kadaster kelautan (Marine Cadastre) ... 27

Tabel 3. Sejarah Batas Laut dan Konsep Awal “Marine Cadastre” ... 34

Tabel 4. Bobot dan prioritas kriteria penyimpangan suatu program

pemanfaatan ruang Kabupaten Kepulauan Riau ... 86

Tabel 5. Distribusi skor tiga kriteria program pemanfaatan ruang pesisir dan laut dari hasil wawancara dan pengisian kuesioner Kabupaten

Kepulauan Riau serta hasil hitungan Descriptive Statistics ... 86

Tabel 6. Hubungan antara prioritas program pemanfaatan ruang dengan

realisasi program pembangunan ... 88

Tabel 7. Bobot dan prioritas aspek kriteria sosial-ekonomi program

pemanfaatan ruang Kabupaten Kepulauan Riau ... 89

Tabel 8. Distribusi kelima skor kriteria aspek sosial-ekonomi program pemanfaatan ruang pesisir dan laut Kabupaten Kepulauan Riau dari hasil wawancara dan pengisian kuesioner berikut hasil

hitungan Descriptive Statistics ... 90

Tabel 9. Relasi antara prioritas kriteria aspek sosial-ekonomi pemanfaatan

ruang pesisir dan laut dengan realisasi program pembangunan .... 91

Tabel 10. Bobot dan priorotasi aspek kriteria konflik sumberdaya dan

ekosistem Kabupaten Kepulauan Riau ... 92

Tabel 11. Distribusi skor ke-empat aspek kriteria konflik sumberdaya dan ekosistem program pemanfaatan ruang berikut Descriptive Statistics untuk masing-masing kriteria di Kabupaten Kepulauan

Riau ... 93

Tabel 12. Relasi antara prioritas kriteria aspek konflik pemanfaatan ruang

dan SDKP dengan realisasi program pembangunan ... 95

Tabel 13. Matriks Ekonomi EksistingSektor Pesisir dan Kelautan

(17)

viii

Tabel 14. Pendapatan Perkapita Kabupaten Kepulauan Riau

Tahun 2000–2004 ... 108

Tabel 15. Analisis TEV Eksisting di wilayah pesisir dan lautan Pulau Bintan,

Kabupaten Kepulauan Riau ... 118

Tabel 16. Distribusi nilai-nilai PV, TB, dan TC dalam hitungan TEV Kebijakan Eksisting berikut nilai-nilai konversinya dalam

berbagai fungsi matematik ... 122

Tabel 17. Matriks korelasi hubungan PV – TB – TC dan PV -√TB - √TC ... 123

Tabel 18. Simulasi Analisis Nilai Ekonomi Total (NET) “Best Use” untuk Analisis Prospektif (Ex-Ante) di wilayah pesisir dan lautan Pulau

Bintan, Kabupaten Kepulauan Riau ... 138

Tabel 19. Perbandingan Analisis Nilai Ekonomi Total (NET) Eksisting (“Ex-Post”) versusBest Use” (“Ex-Ante”) di wilayah pesisir dan

lautan Pulau Bintan, Kabupaten Kepulauan Riau ... 139

Tabel 20. Nilai-nilai kerusakan lingkungan akibat pelaksanaan kebijakan di bidang pemnafaatan sumberdaya pesisir dan laut di Pulau Bintan:

(18)

ix

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Perhitungan Analisis Valuasi Ekonomi "EKSISTING" Wilayah dan Sumberdaya Pesisir dan Kelautan Pulau Bintan, Kabupaten

Kepulauan Riau (Implikasi Kebijakan Eksisting) ... 162

Lampiran 2. Perhitungan Analisis Valuasi Ekonomi "BEST USE" Wilayah dan Sumberdaya Pesisir dan Kelautan Pulau Bintan

Kabupaten Kepulauan Riau (DENGAN PEMANFAATAN RUANG PESISIR DAN LAUT BERBASIS KONSEP

“MARINE CADASTRE”) ... 164

Lampiran 3. Rumus (equation) model sistem dinamik kebijakan pemanfaatan ruang pesisir dan laut melalui konsep “Marine Cadastre

(19)

1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pembangunan kelautan, selama lebih tiga dasa warsa terakhir sejak tahun 1970-an, senantiasa diposisikan sebagai sektor pinggiran. Kondisi ini sangat ironis mengingat hampir 75% wilayah Indonesia merupakan lautan (teritorial dan Zona Ekonomi Ekslusif) dengan potensi ekonomi yang sangat besar serta berada pada posisi geopolitis yang penting di dunia, yaitu pintu gerbang utama antara Lautan Pasifik dan Lautan Hindia (Kusumastanto, 2003a). Sebagai negara kepulauan terbesar, Indonesia terdiri dari sekitar 17.000 pulau dengan garis pantai sepanjang 81 000 kilometer dan luas laut wilayah teritorial sekitar 3.1 juta kilometer persegi (Dahuri, et al. 2001). Dengan potensi dan posisi semacam itu, bidang kelautan sudah seharusnya dijadikan arus utama dalam kebijakan pembangunan ekonomi nasional. Sedikitnya ada 9 (sembilan) sektor ekonomi kelautan yang dapat memajukan dan memakmurkan Indonesia, yaitu: perikanan tangkap, perikanan budidaya, industri bioteknologi kelautan, pertambangan dan energi, pariwisata bahari, transportasi laut, industri jasa dan maritim, pulau-pulau kecil, serta sumberdaya non-konvensional (Dahuri, 2005).

Sehubungan dengan karakteristik wilayah dan sumberdaya pesisir dan lautan yang kompleks, konflik pemanfaatan wilayah pesisir dan laut telah berlangsung setua usia peradaban manusia. Konflik kepentingan di wilayah pesisir terus meningkat. Peningkatan konflik ini dipicu dengan peningkatan jumlah penduduk, intensitas kegiatan manusia yang terkait dengan perkembangan teknologi di wilayah tersebut, yang mengakibatkan kegiatan manusia di wilayah pesisir meningkat serta menjangkau wilayah laut yang lebih luas, khususnya dalam pemanfaatan sumberdaya.

(20)

2

menyebabkan konflik di kawasan pesisir dan laut di Indonesia secara umum adalah:

1) Terjadinya konflik kepentingan dan pemanfaatan sumberdaya dan jasa, akibat: (a) besarnya potensi sumberdaya, (b) terpusatnya mata pencaharian penduduk kepada pemanfaatan sumberdaya dan jasa yang sama, (c) meningkatnya jumlah penduduk, (d) meningkatnya kualitas hidup masyarakat, (e) meningkatnya kepentingan dalam kawasan, (f) perubahan dan kompetisi teknologi, dan (g) proses distribusi pasar;

2) Meningkatnya permintaan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan pesisir yang mengakibatkan peningkatan konflik nilai sumberdaya dan jasa dimaksud, karena: (a) meningkatnya kepentingan, (b) besarnya potensi dan produktivitas, dan (c) tidak diakui berlakunya hukum Adat;

3) Praktek-praktek manajemen yang tidak berkelanjutan;

4) Kendala dalam optimalisasi pemanfaatan rencana tata ruang pesisir dan lautan; 5) Perilaku manusia akibat: (a) ketidaktahuan, (b) rendahnya kesadaran, (c)

kemiskinan, dan (d) keserakahan; 6) Akibat tiga jenis kegagalan, yaitu:

a. kegagalan hak kepemilikan, b. kegagalkan kebijakan, dan c. kegagalan informasi.

Berdasarkan hal tersebut, terdapat alasan yang kuat tentang urgensi penelitian ini dilakukan, sehingga dapat dihasilkan skenario penyelesaian masalah pengelolaan wilayah pesisir dan laut berbasis konsep “marine cadastre”. Skenario berbasis sistem tenurial ini sesuai dengan tujuan ekonomi, ekologi, dan sosial dari pengelolaan wilayah yang berkelanjutan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

1.2. Rumusan Masalah

Indikasi masalah pemanfaatan ruang secara umum sebagaimana diuraikan di atas terdapat pula di wilayah pesisir dan laut pulau Bintan. Dari hasil pra-penelitian, masalah pemanfaatan ruang pesisir dan laut pada lokasi penelitian adalah sebagai berikut:

(21)

3

a. terjadi konflik pemanfaatan ruang akibat tumpang tindih zonasi

peruntukan dan pemanfaatan;

b. terjadi degradasi sumberdaya dan lingkungan yang sangat merugikan akibat kebijakan yang berorientasi kepada keuntungan sesaat, serta kurangnya arahan dan pengawasan dalam pemanfaatan ruang pesisir dan laut, khususnya kerusakan akibat penambangan pasir laut serta kerusakan mangrove dan terumbu karang.

2) Masalah substansi kebijakan:

a. masih bersifat parsial (belum terintegrasi), baik secara spasial (perencanaan masih berorientasi daratan dan belum memadukan perencanaan penataan dan pemanfaatan ruang darat dan laut), maupun secara regional (antara pemerintah daerah yang berbatasan langsung); b. masih lemah legitimasi, kurang transparan dan belum partisipatif, serta

belum ada perlindungan sistem penguasaan atau pemilikan dan pengadministrasian penguasaan ruang pesisir dan laut.

Ekstraksi dari seluruh hakikat konseptual dan empirikal masalah pemanfaatan ruang pesisir dan lautan sebagaimana diuraikan di atas, menunjukkan bahwa:

1) Masalah dan konflik pemanfaatan ruang dan sumberdaya pesisir dan laut berkaitan langsung dengan nilai dan pemanfaatan dari 3 (tiga) komponen utama fakta dan fenomena alam, yaitu komponen ABC: abiotik (a-biotic), komponen biotik (biotic), dan komponen budidaya (culture); Komponen abiotik adalah seluruh struktur dan fungsi fisik lahan (sumberdaya alam), komponen biotik adalah struktur dan fungsi flora dan fauna (sumberdaya hayati), dan komponen budidaya adalah struktur dan fungsi seluruh kegiatan (aktifitas ekonomi, sosial dan budaya) dan hasil-hasil kegiatan manusia di atas lahan yang dimanfaatkannya;

(22)

4

kelautan secara bijaksana untuk kepentingan publik dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat” (Kusumastanto, 2003a: hal. 5).

1.3. Hipotesis Penelitian

Dari hasil perumusan masalah di atas, maka hipotesis penelitian dalam disertasi ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

“Penerapan konsep ‘marine cadastre’ dalam pemanfaatan ruang dan sumberdaya pesisir dan laut meningkatkan manfaat ekonomi dan kepastian hak di wilayah Pulau Bintan, Kabupaten Kepulauan Riau”

1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah melakukan analisis kebijakan serta mendesain pemanfaatan ruang pesisir dan laut berbasis konsep “marine cadastre” sehingga dapat dicapai pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut yang berkelanjutan.

Sejalan dengan tujuan tersebut, maka manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah memberikan kontribusi akademis berupa:

1) Konsep “marine cadastre” sebagai bagian dari teori ilmu Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Secara Terpadu (aspek manajemen sumberdaya), maupun sebagai bagian dari studi lain seperti ilmu Geodesi dan Geomatika (aspek keteknikan) dan ilmu Hukum Agraria (aspek yuridis);

2) Sebagai masukan dalam penyusunan kebijakan pemanfaatan ruang dan

pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut di Pulau Bintan.

1.5. Kerangka Pikir Penelitian

1.5.1. Filosofi Penelitian

Filosofi yang mendasari penelitian ini merujuk kepada 5 (lima) perkembangan atau pergeseran paradigma, yaitu:

(23)

5

2) Adanya pergeseran landasan epistemologi pembangunan kelautan dari konsep pembangunan berkelanjutan Michael Redclif kepada konsep penguatan pengetahuan lokal Feyereban, Friberg dan Hettne; Dengan epistemologi pembangunan yang bercirikan kearifan lokal ini, maka hak kepemilikan komunal atas sumberdaya kelautan diakui, sehingga berkembangnya bahaya moral akibat rezim “open access” atas sumberdaya kelautan dapat dihindari (Kusumastanto, 2003a.);

3) Adanya pergeseran dari paradigma eksklusi sosial (sentralisitik otoriter) kepada paradigma inklusi sosial (masyarakat sebagai pemangku kepentingan utama serta diakuinya pengetahuan lokal) dalam pembangunan sumberdaya pesisir dan laut (Budiharsono, 2001);

4) Adanya kekosongan hukum yang yang berkenaan dengan belum diaturnya hak-hak atas tanah, hak-hak perairan pesisir dan hak-hak di pulau-pulau kecil (UU No. 5 Tahun 1960 juncto Pasal 60 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996);

5) Adanya perubahan paradigma perencanaan pembangunan berdasarkan

kategori tradisi Friedman yang terjadi di Indonesia. Tradisi reformasi sosial telah bergeser kepada tradisi analisis kebijakan publik (Diamar dalam Rais et al., 2004). Demikian pula, kebijakan pembaruan agraria dan pengelolaan sumberdaya alam memilih paradigma penghormatan dan perlindingan hak azasi manusia (HAM), keberlanjutan kapasitas produktif masyarakat, dan pemberdayaan masyarakat melalui pengembangan “good governance”. (Sumardjono, 2003)

1.5.2. Kerangka Penelitian

Dalam rangka memecahkan masalah analisis kebijakan pemanfaatan ruang pesisir dan laut yang dirumuskan, maka dilakukan prosedur analisis kebijakan publik (Dunn, 1994) dalam skema Satu Prosedur Lima Langkah (SPLL). Kerangka pikir penelitian ini mengikuti alur sebagai berikut (Gambar 1).

1) Skema dasar penelitian yang dilandasi oleh latar belakang, masalah, tujuan dan manfaat penelitian, serta landasan filosofi penelitian;

(24)

6

a. Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan sebagai konsep makro teori dasar penelitian;

b. Kajian “Marine Cadastre” sebagai salah satu konsep instrumen ukuran pelaksanaan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut.

Gambar 1. Kerangka pikir penelitian dan relevansi topik penelitian dengan teori dasar dan praksis ICOZM (Integrated Coastal and Ocean Zone Management), analisis kebijakan publik, dan konsep “marine cadastre” (adaptasi dari Dunn, 1994)

ƒ Deskripsi situasi masalah; ƒ HIPOTESIS PENELITIAN Kebijakan Pemanfaatan Ruang Pesisir dan Laut

ELEMEN KERANGKA PIKIR PENELITIAN KOMPONEN INFORMASI KEBIJAKAN ANALISIS KEBIJAKAN “SPLL” SKEMA DASAR: LATAR BELAKANG MASALAH Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Terpadu dan Marine Cadastre Framework

HASIL KEBIJAKAN PEMANTAUAN

1. Analisis ABC Resource Survey Method untuk analisis data spasial eksisting

2. Analisis M-AHP Kebijakan dan Program

3. Riset Persepsional “Marine Cadastre” SKEMA LANDASAN TEORI SERTA LINGKUP DAN RAGAM MASALAH ANALISIS KEBIJAKAN ALTERNATIF KEBIJAKAN DAN AKSI KEBIJAKAN SIMPULAN

ƒ Penilaian “Kinerja Kebijakan” masa lalu

ƒ Pentingnya “Situasi Masalah” ƒ Kebutuhan analisis kebijakan ƒ Definisi Masalah ƒ Pelaku Utama ƒ Tujuan dan Sasaran ƒ Ukuran Efektifitas ƒ Solusi yang tersedia

4. Analisis DPSIRTEV Eksisting EVALUASI PERAMALAN MASALAH KEBIJAKAN SIMPULAN DAN SARAN KINERJA KEBIJAKAN MASALAH KEBIJAKAN MASA DEPAN KEBIJAKAN AKSI KEBIJAKAN Prosedur Analisis Kebijakan

Dalam SPLL:

ƒ Deskripsi alternatif ƒ Perbandingan konsekuensi

kebijakan ƒ Dampak ganda dan

ekternalitas ƒ Hambatan dan fisibilitas

politik

ƒ Solusi yang tersedia

ƒ Kriteriadan deskripsi alternatif rekomendasi yang dipilih ƒ Kerangka strategi implementasi

(25)

7

c. Dalam skema ini dua tahapan dilalui, yaitu:

i. Tinjauan dan penetapan metodologi penelitian, dan ii. Tinjauan kepustakaan;

3) Skema “Analisis Kebijakan Pemanfaatan Ruang Pesisir dan Lautan” melalui prosedur analisis kebijakan publik dalam skema SPLL, yaitu diawali dengan “Deskripsi Daerah Penelitian”, kemudian iterasi langkah-langkah sebagai berikut:

a. Langkah 1: Analisis data spasial obyek penelitian dengan Metode Survei Sumberdaya ABC (Abiotic-Biotic-Culture);

b. Langkah 2: Analisis M-AHP (Modified – Analytical Hierarchy Process) untuk kebijakan dan program pemanfaatan ruang;

c. Langkah 3: Hasil Kuesioner Riset Persepsional “Marine Cadaster”; d. Langkah 4: Penggunaan metode TEV (Total Economic Value) kebijakan

eksisting dalam Skema DPSIR (Driving-force, Pressure, State, Impact, Response); dan

e. Langkah 5: Penggunaan metode TEV “Best Use” dalam Analisis “Ex-Post Θ Ex-Ante” Kebijakan Publik yang kemudian dimodelkan dalam model sistem dinamik menggunakan program STELLA©.

4) Skema Aksi Kebijakan:

Aksi kebijakan diuraikan dalam bentuk desain kebijakan pemanfaatan ruang dalam konsep “marine cadastre” yang berisi faktor-faktor dominan dan indikator-indikator penting, serta tinjauan aspek legal dan kelembagaan, aspek ekonomi, dan aspek lingkungan.

5) Simpulan dan Saran:

(26)

2.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut

ICOZM (Integrated Coastal and Ocean Zone Management) atau sering disingkat ICZM merupakan cabang ilmu baru di Indonesia, bahkan menurut IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) tahun 1994, juga merupakan cabang ilmu baru di dunia. ICZM adalah: “pengelolaan pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di kawasan pesisir; dengan cara melakukan penilaian menyeluruh tentang kawasan pesisir beserta sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di dalamnya, menentukan tujuan dan sasaran pemanfaatan, dan kemudian merencanakan serta mengelola segenap kegiatan pemanfaatnya, guna mencapai pembangunan yang optimal dan berkelanjutan” (Dahuri et al., 2001).

Senada dengan pengertian di atas dinyatakan bahwa ICM:

can be defined as a continuous and dynamic process by which decisions are made for the sustainable use, development, and protection of coastal and marine areas and resources. Integrated coastal management is a process that recognizes the distinctive character of the coastal area - itself a valuable resource - and the importance of conserving it for current and future generations” Cicin-Sain dan Knecht (1998).

Selanjutnya dinyatakan pula bahwa:

The major functions of integrated coastal management are: (1) area planning; (2) promotion of economic development; (3) stewardship of resources; (4) conflict resolution; (5) protection of public safety; dan (6)

proprietorship of public submerged lands and waters”. (Cicin-Sain and Knecht, ibid.)

(27)

9

pertambangan, perumahan dan lain sebagainya menyumbang lebih dari 70 % dari seluruh polusi wilayah pantai dan lautan, mulai dari transpor erosi dan sedimen, material dan bahan-bahan kimia serta bahan beracun lainnya (Collier, 2002).

Mengingat demikian besarnya pengaruh daratan terhadap pesisir, maka konsep pembangunan pesisir tidak hanya bersifat sektoral (melainkan multisektor dan interdisiplin) dan berbasis lautan, namun harus pula berbasis daratan, sehingga merupakan suatu konsep pembangunan wilayah yang integral (Clark, 1995). Hal inilah yang belum banyak (kalau tidak dapat dikatakan belum ada) dilakukan di Indonesia, di mana perencanaan tata ruang dan pembangunan wilayah masih bersifat parsial.

Sumberdaya alam dan sumberdaya manusia serta sumberdaya buatan merupakan obyek-obyek yang dipertimbangkan dalam menentukan kebijakan pengelolaan dan pemanfaatan ruang pesisir dan lautan. Sumberdaya non-hayati dan sumberdaya hayati yang menjadi obyek utama penelitian ini adalah: pasir laut, ekosistem mangrove dan terumbu karang, karena sumberdaya inilah yang mendominasi keberadaannya pada lokasi studi.

1) Ekosistem laut: sebuah contoh kegagalan kebijakan publik panambangan pasir laut

Penambangan pasir laut telah mengakibatkan meningkatnya kekeruhan air laut, perubahan sirkulasi air laut akibat pengerukan dasar laut, rusaknya bagan-bagan ikan dan keramba budidaya ikan nelayan akibat gelombang arus kapal pengangkut pasir, serta bermigrasinya ikan tangkap yang mengakibatkan kerugian nelayan setempat.

(28)

10

2) Ekosistem mangrove: sebuah contoh kegagalan kebijakan publik, khususnya karena lemahnya pengawasan dan penegakan hukum

Kegagalan pengawasan dan penegakan hukum merupakan suatu kegagalan kebijakan publik dalam pengelolaan sumberdaya dan wilayah. Berdasarkan hasil penelitian Global Environment Facility/ United Nations Development Program/International Maritime Organization (GEF/UNDP/IMO) Regional Programme for the Prevention and Management of Marine Pollution in the East Asian Seas di Selat Malaka, termasuk wilayah pesisir dan laut pulau Bintan (Chua, 1999), maka kerusakan wilayah dan sumberdaya mangrove telah mengakibatkan kehilangan (dan dampak lebih besar lagi apabila diukur

dampak berganda dari kerusakan dimaksud), yaitu:

a. Nilai fungsi pemijahan dan pembesaran ikanpada mangrove, b. Nilai fungsi penyaringan karbon pada mangrove,

c. Nilai fungsi pencegahan erosi pada mangrove,

d. Nilai persepsi keberadaan sumberdaya dan ekosistem mangrove, dan e. Nilai manfaat pelestarian sumberdaya dan ekosistem untuk mangrove.

3) Ekosistem terumbu karang: sebuah contoh kegagalan kebijakan publik, khususnya karena lemahnya pengawasan dan penegakan hukum

Demikian pula kegagalan pengawasan dan penegakan hukum merupakan suatu kegagalan kebijakan publik dalam pengelolaan sumberdaya dan wilayah pada ekosistem terumbu karang telah mengakibatkan kehilangan (dan dampak lebih besar lagi apabila diukur dampak berganda dari kerusakan dimaksud), yaitu:

a. Nilai fungsi produksi organik dan penyaringan karbon pada terumbu karang,

b. Nilai fungsi perlindungan garis pantai oleh terumbu karang, c. Nilai keanekaragaman terumbu karang,

d. nilai persepsi keberadaan sumberdaya dan ekosistem pada terumbu karang e. Nilai eko-turisme terumbu karang, dan

(29)

11

2.2. Kebijakan Pemanfaatan Ruang Pesisir dan Laut

Dalam perspektif (definisi) konsepsional, pemanfaatan ruang dalam teori ICOZM adalah merupakan bagian atau sebagai implementasi dari perencanaan tata ruang. Perencanaan adalah seni dalam pengambilan keputusan di bidang sosial secara rasional, suatu aplikasi formulasi dan implementasi program dan kebijakan ke depan, suatu proses di mana masyarakat mengontrol dan mengarahkan diri mereka sendiri, suatu proses rasionalisasi kepentingan publik, atau suatu upaya untuk mengaitkan pengetahuan ilmiah dan teknis kepada proses arahan sosial atau transformasi sosial. Perencanaan yang baik adalah perencanaan yang berbasis (kepentingan) masyarakat.

Apabila tujuan utama dari sistem perencanaan atas tanah adalah untuk mengatur perkembangan dan penggunaan tanah untuk kepentingan publik, maka definisi formal atas perencanaan tata ruang laut sejauh ini belum banyak dikembangkan (Canning and Gilliland, 2003). Dalam bahasa sederhana perencanaan tata ruang laut adalah suatu perencanaan stratejis untuk mengatur, mengelola dan melindungi lingkungan laut dari kompleksnya, kumulatifnya dan sangat potensialnya konflik penggunaan sumberdaya dan ruang laut. Perencanaan tata ruang laut harus dapat memasukkan mekanisme untuk mencapai integrasi dari beberapa sektor yang berbeda. Isu utama dari definisi tersebut adalah elemen-elemen yang dibutuhkan dalam perencanaan tata ruang laut, yaitu yang meliputi: 1) Data dan informasi lingkungan laut;

2) Skala perencaraan ruang;

3) Sektor-sektor kelautan yang disertakan;

4) Penilaian lingkungan stratejis terhadap lingkungan laut secara keseluruhan; 5) Pendapatan dari ijin-ijin kelautan;

6) Pengaturan praktis dalam pengelolaan kegiatan-kegiatan kelautan;

7) Tanggungjawab dalam pembangunan, implementasi, monitoring, dan

penegakan hukum dari rencana tata ruang laut;

8) Meyakinkan keterlibatan para lintas pemangku kepentingan.

Adapun prinsip-prinsip dalam arahan dan pengembangan perencanaan tata ruang laut yang harus dipegang, adalah:

1) Konservasi dan pembangunan berkelanjutan, yang terdiri dari prinsip-prinsip: a. Pembangunan berkelanjutan,

b. Manajemen terpadu,

(30)

12

d. Ilmu pengetahuan yang kuat, e. Prinsip keselamatan,

f. Keterlibatan pemangku kepentingan, dan

g. Prinsip-prinsip “pencemar membayar” dan “pengguna membayar”.

2) Pendekatan ekosistem, yang terdiri dari prinsip-prinsip:

a. Menyediakan dan berkerja di dalam suatu rangkaian tujuan ekosistem yang jelas,

b. Pemanfaatan lebih besar dari penilaian lingkungan dan sosial-ekonomi, c. Penggunaan manajemen strategis yang lebih baik dari aktifitas manusia di

lingkungan laut,

d. Pengambilan keputusan dan aksi manajemen yang mempertimbangkan

keanekaragaman biologi dan memperteguh arah pembangunan yang berkelanjutan,

e. Memanfaatkan pengetahuan ilmiah dalam proses pengambilan keputusan, f. Mengembangkan penelitian dan monitoring yang lebih terfokus, dan g. Melibatkan para lintas pemangku kepentingan secara penuh.

3) Integrasi: diperlukan pemaduan seluruh program dan kepentingan yang ada di sektor kelautan untuk dapat menangulangi masalah-masalah yang berkelanjutan. Langkah-langkah menuju integrasi dalam perancanaan tata ruang laut diawali dari komunikasi, kemudian dilanjutkan dengan kerjasama, koordinasi, harmonisasi dan barulah kemudian integrasi.

Kebijakan penataan ruang laut pada umumnya, dan pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan khususnya dewasa ini masih bersifat parsial, baik ditinjau dari sisi cara pandang sektoralisme parsial: baik sektor kegiatan maupun sektor wilayah (keruangan), pembangunan daratan terpisah dengan pembangunan kelautan (Kusumastanto 2002a), maupun dari sudut pandang pengutamaan strategi tertentu saja (Nikijuluw, 2002). Konsep kebijakan penataan ruang pesisir dan lautan yang berkeadilan mengandung implikasi yang luas.

(31)

13

tersebut, termasuk pula penghargaan atas kearifan lokal dan pengakuan atas hak-hak masyarakat hukum adat atas ruang dan sumberdaya pesisir dan lautan.

Kedua, berkeadilan di sini mempunyai konotasi pula menurut aspek keruangan. Perencanaan ruang dan pembangunan di sektor daratan tidak boleh merugikan atau berdampak merusak ruang dan ekosistem pesisir dan lautan.

Ketiga, berkeadilan di sini harus pula dapat dipandang dari sisi resolusi konflik, yaitu bagaimana perencanaan tata ruang pesisir dan lautan dapat menghindari serta menyelesaikan konflik atas ruang dan penggunaan ruang pesisir dan lautan.

Pengembangkan konsep pembangunan wilayah pesisir dan laut yang berkeadilan harus menggunakan perspektif tata ruang dan ekologi sebagai arus utamanya bersama-sama dengan prinsip keadilan dalam aspek tripartit lintas pemangku kepentingan, aspek keadilan dan kesetaraan kewilayahan, serta aspek keadilan dalam menghindari dan menyelesaikan konflik. Artinya bahwa, konsep perencanaan tata ruang daratan, pesisir, dan lautan harus menjadi satu kesatuan perencanaan dengan memaksimalkan saling menguntungkan serta meminimalkan kerugian dan kerusakan. Untuk itu maka prinsip utama yang harus dipedomani adalah, lakukan sinergi perencanaan dan pembangunan wilayah daratan dan pesisir, melalui prinsip kesetaraan dan kesesuaian tata ruang dan ekologi, sesuai dengan daya dukung lingkungan dan sumberdaya alamnya, dan diselenggarakan dalam rangka untuk mewujudkan sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Konsep “milik bersama” dalam doktrin “mare liberum” (kebebasan di laut) Grotius mengakibatkan “dilema kepemilikan bersama” dan “tragedi kepemilikan bersama” karena menganggap sumberdaya sebagai “res nullius” (tidak dimiliki dan oleh karenanya “akses bebas”). Doktrin ini awalnya lahir dari masalah di wilayah luar landas kontinen (200 mil laut), namun sungguh tidak dapat dibenarkan adanya doktrin “akses bebas” dan terjadinya “tragedi tragedi kepemilikan bersama” di wilayah pesisir, maka doktrin ini berlaku pula di wilayah ini. Namun, sejak terbitnya artikel yang ditulis oleh Garret Hardin pada tahun 1968 yang berjudul “Tragedy of the Commons”, konsep tersebut terus dikritik dan

akhirnya UNCLOS 1982 mematahkan doktrin “mare liberum”, sumberdaya

(32)

14

Faham Grotius yang masih mengilhami banyak orang dewasa ini, yang tidak menyetujui adanya partisi (boundary) atau persil laut, karena menganggap setiap orang berhak dan bebas mengakses, memanfaatkan, dan mengeksploitasi laut sebagai milik bersama. Sedangkan di pihak lain, sebagaimana telah banyak dilakukan dewasa ini, penerapan konsep tentang perlunya partisi atau persil laut justru dilakukan sebagai langkah awal menuju pentadbiran lautan (ocean governance).

Kepemerintahan di lautan dimulai dari perencanaan, pemanfaatan, dan pengelolaan ruang dan sumberdaya laut secara terpadu dan berkelanjutan, melindungi hak-hak bersama, hak privat dan hak masyarakat tertentu, serta melindungi ekosistem, taman-taman laut dan kawasan lindung lainnya.

Praktek masa lalu atas kasus-kasus pengkaplingan laut tertentu yang

melanggar azas “akses publik” dan kelestarian alam dan ekosistemnya, telah menyebabkan pemahaman yang kurang tepat mengenai konsep persil-persil laut. Warisan umat manusia itu seharusnya dijaga (agar tidak terjadi konflik dan tidak melampaui batas daya dukungnya) dan dimanfaatkan bersama untuk dapat memberikan kesejahteraan manusia baik sekarang maupun yang akan datang.

Namun sering terlihat adanya praktek-praktek ‘konsep’ pemilikan oleh negara, perseorangan dan badan hukum atas persil laut dan pesisirnya secara

eksklusif berupa real estat pantai, bangunan dan jasa kelautan, hotel dan resort. Termasuk dalam hal ini adalah berbagai kegiatan pengurukan pantai berbasis legitimasi perijinan (ijin lokasi) atau hak kepemilikan (hak guna bangunan atau hak pakai atas tanah) yang mengejar keuntungan dengan mengabaikan bahkan merusak ekosistem di lokasi pengurukan maupun daerah di sekitarnya.

Pengurukan pantai terlanjur diartikan sebagai reklamasi, suatu penggunaan terminologi yang menyesatkan, karena reklamasi (dari bahasa Inggeris: “reclamation”) berarti: (1) pemulihan kembali tanah tandus (waste land) atau kering melalui irigasi dan pemupukan, atau (2) suatu proses untuk menghasilkan barang yang berguna (useful) dari sisa-sisa produksi (waste products) (Webster’s New World College Dictionary, 1997).

(33)

15

berkebangsaan Belanda) tentang “mare liberum” yaitu kebebasan laut, masih membayangi pola pikir saat ini. Padahal konsep ini telah mengakibatkan

“common property dilemmas” serta melahirkan “tragedy of the commons” di mana-mana. Menimbulkan konflik-konflik maritim, overfishing, kerusakan ekosistem pesisir dan lautan, polusi, dan pembuangan limbah-limbah berbahaya di lautan. Sesungguhnya ide dasar kebebasan laut ini adalah untuk memberikan legitimasi negara-negara kolonial Eropa untuk menguasai samudera, yang pada akhirnya menguasai dunia mengembangkan wilayah-wilayah jajahannya. Motto mereka: “who command the sea, control the world”.Mare liberum” inilah awal dari kolonialisme di negara Asia, Afrika, danAmerika Selatan oleh negara-negara barat dengan teknologi perkapalan jarak jauh.

Doktrin “freedom of the seas” ini sesungguhnya merupakan reaksi atas doktrin “mare clausum” (laut tertutup), yang terkait dengan pernyataan Paus Alexander VI, Inter Caertera 1493, Treaty Tordessillas 1494, dan klaim Portugal serta Spanyol yang memiliki hegemoni atas wilayah lautan di dunia. Hugo Grotius, sebagaimana kebanyakan orang Belanda pada masa itu, perlu menentang doktrin yang memberikan hegemoni wilayah laut dunia kepada Portugal dan Spanyol karena Belanda mempunyai kepentingan yang sangat besar, khususnya bagi perusahaan VOC (Dutch East India Company) atas wilayah lautan Hindia (East Indies). Setelah itu, khususnya sejak akhir Perang Dunia II, muncul doktrin bahwa lautan dan sumberdaya lautan adalah warisan umat manusia, sehingga semua bangsa di dunia ini mempunyai hak yang sama untuk menikmati kekayaan yang berada di lautan, tidak terkecuali, kendatipun negara tersebut tidak memiliki laut. Doktrin “the sea is a common heritage of mankind ” ini semakin menguat sejak “Pacem in Maribus”, sebuah Konferensi Institut Kelautan Internasional yang didirikan pada tahun 1972 (Rais et al., 2004, Cicin-Sain and Knecht, 1998).

Perdebatan lain terus berlangsung antara konsep imperium atau

souvereignity (kedaulatan) dan konsep dominium (kepemilikan). Demikian pula tentang bentuk kedaulatan dan kepemilikan, apakah mutlak, atau bersifat

(34)

16

tegas telah diatur mengenai laut wilayah teritorial, wilayah tambahan, dan Zona Ekonomi Eksklusif suatu negara berikut hak-hak, batasan-batasan serta kewajibannya.

Dengan adanya UNCLOS 1982 maka doktrin “ocean space as a common” tidak berfungsi lagi, karena telah ada perangkat hukum pentadbiran lautan yang telah disepakati tersebut, antara lain tentang penetapan Laut Teritorial, Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), dan landas kontinen suatu negara. Sejak berlakunya Konvensi Hukum Laut Internasional 1982 ini, maka mulailah berkembang konsep “marine cadastre”. Konsep ini mengarah kepada obyek wilayah laut teritorial, tidak dapat diterapkan azas “marine cadastre” di ZEE, karena tidak ada “tenure system” pada zona ini dan bukan merupakan wilayah kedaulatan suatu negara.

Selanjutnya dalam konferensi Pacem in Maribus (PIM) ke XIX di Lisbon pada tanggal 18-21 November 1991 ditetapkan sebuah tema: “Ocean Governance: National, Regional, Global Institutional Mechanisms for Sustainable Development in the Oceans” atau “Pentadbiran Lautan: Mekanisme Kelembagaan Nasional, Regional, dan Global Untuk Pembangunan Berkelanjutan di Lautan” (Rais et al., 2004).

Pertentangan serta kesesuaian kepentingan dan pemanfaatan secara ekonomi, ekologi, dan sosial-politik atas ruang pesisir dan lautan merupakan isu pokok yang telah berkembang selama beberapa abad ini. Meskipun Konvensi PBB tentang Hukum Laut Internasional UNCLOS 1982 telah banyak diratifikasi dan dipedomani oleh sebagian besar negara-negara di dunia, dan bahkan telah dikeluarkan berbagai macam peraturan perundang-undangan untuk wilayah pesisir dan laut teritorial nasional, namun pandangan berdasarkan doktrin-doktrin kelautan di masa lalu (mare liberum dan mare clausum) masih tetap mewarnai cara pandang dan pola pikir serta tindakan para lintas pemangku kepentingan (stakeholders) di wilayah ini. Berkenaan dengan itu diperlukan suatu pemahaman yang benar, agar lautan sebagai warisan seluruh umat manusia dapat dijaga kelestariannya, sehingga pembangunan pesisir dan lautan dapat terus berlangsung dalam siklus berkelanjutan untuk kesejahteraan umat manusia.

(35)

17

[image:35.612.114.504.253.628.2]

kegiatan manusia di wilayah tersebut. Berdasarkan publikasi Vallega pada tahun 1990 dan dari hasil penelitian Couper pada tahun 1993 di Laut Mediterania, maka dari 29 kegiatan dan pemanfaatan perairan pesisir dan apabila masing-masing kegiatan diurutkan dalam suatu matriks kegiatan, maka ditemukan 100 pasang kegiatan yang saling bertentangan bertentangan (konflik) dan 60 pasang kegiatan yang saling membahayakan satu dengan lainnya (Cicin-Sain and Knecht, 1998) (Gambar 2).

Gambar 2. Interaksi antara penggunaan dan aktifitas ruang pesisir dan laut di Laut Mediterania menurut Couper, 1993 dan Vallega, 1990 sebagaimana gambar dan teks aslinya (Cicin-Sain and Knecht, 1998)

Relasi:

▲Saling bertentangan x Saling membahayakan

Membahayakan terhadap kegiatan I

Membahayakan terhadap kegiatan J

Saling menguntungkan

● Menguntungkan terhadap kegiatan I

(36)

18

Telah dikemukakan di atas bahwa penyebab utama dari konflik-konflik tersebut adalah karena tidak adanya aturan yang jelas tentang penataan ruang dan alokasi sumberdaya yang terdapat di kawasan pesisir dan lautan. Pada sisi lain terdapat berbagai kendala dalam optimalisasi pemanfaatan rencana tata ruang yang juga merupakan masalah utama, yaitu:

1) Belum merupakan satu kesatuan dengan produk rencana pembangunan daerah lainnya, seperti Propeda;

2) Sering terlambat terhadap proses pembangunan daerah; 3) Kualitas rencana tata ruang yang masih rendah;

4) Sering kali tidak diperkuat oleh aturan perundangan atau belum ada penegakan hukumnya;

5) Belum tersosialisasi dengan baik terhadap seluruh pelaku pembangunan; dan 6) Kualitas sumberdaya pelaku pembangunan di daerah masih perlu peningkatan

(Kusumastanto, 2001).

Dua tipe utama konflik atas sumberdaya pesisir dan lautan adalah: (1) konflik di antara para pengguna perihal penggunaan atau ketidak-penggunaan wilayah pesisir dan lautan tertentu, dan (2) konflik di antara instansi pemerintah yang menjalankan program pesisir dan lautan (Cicin-Sain and Knecht 1998). “Pengguna” yang dimaksudkan di sini adalah baik pengguna langsung (seperti: operator penambangan dan transportasi minyak dan nelayan), maupun pengguna tak langsung atau pengguna potensial (misalnya kelompok-kelompok lingkungan yang mempromosikan nilai-nilai non-komersil pesisir dan lautan, angota-anggota masyarakat yang tinggal di tempat lain, serta generasi mendatang). Karena sebagian besar sumberdaya kelautan merupakan kekayaan publik, dan terdapat pula kepentingan-kepentingan strategis dari publik dan sosial dalam pengelolaan bagian daratan dari wilayah pesisir, maka hak-hak dan kepentingan-kepentingan para pengguna tak langsung tersebut harus pula diperhitungkan.

(37)

19

tipikal manifestasi konflik di antara para pengguna, yaitu: (1) kompetisi pada ruang pesisir dan lautan; (2) efek bertentangan dari suatu kegiatan (seperti pengeboran minyak), dengan kegiatan lainnya (seperti perikanan); (3) pengaruh yang bertentangan dalam ekosistem; dan (4) pengaruh pada ekosistem pesisir, seperti kompetisi dalam wilayah pelabuhan.

Dalam konteks pembangunan wilayah pesisir dan lautan di Indonesia, Kusumastanto (2001) berpendapat bahwa penyebab utama dari konflik-konflik tersebut adalah karena tidak adanya aturan yang jelas tentang penataan ruang dan alokasi sumberdaya yang terdapat di kawasan pesisir dan lautan. Contoh-contoh “kecil” konflik dimaksud adalah: konflik penggunaan ruang di Pantai Indah Kapuk Jakarta, konflik nelayan tradisional dan nelayan trawl, konflik antara kepentingan konservasi dengan pariwisata di taman laut Kepulauan Seribu, serta kontroversi “pengurukan” pantai Manado.

Berkenaan dengan hal-hal tersebut di atas, diperlukan perencanaan dan pengelolan wilayah pesisir dan lautan secara terpadu, agar pemanfaatn ruang dan sumberdaya pesisir dan lautan dapat berlangsung secara berkelanjutan untuk kesejahteraan masyarakat. Khusus berkaitan dengan resolusi konflik, maka pada intinya perencanaan dan pengelolaan pesisir dan lautan secara terpadu ini tipikal berfungsi sentral untuk mengatasi konflik di antara pengguna dan instansi di pesisir dan lautan (Cicin-Sain and Knecht, 1998). Senada pula dinyatakan bahwa masalah pengelolaan pesisir sesungguhnya pertama-tama harus terpusat kepada isu-isu konflik (Kay and Alder 1999).

Dalam sejarah sistem politik di Indonesia, periodisasi kebijakan umumnya dibagi ke dalam tiga era, yaitu era orde lama, era orde baru dan era reformasi. Namun dalam konteks pembangunan kelautan, dikhotomi tersebut tidak banyak berpengaruh, karena kebijakan kelautan di masa lalu dan masa yang sedang berlangsung saat ini masih berorientasi kepada paradigma lama.

(38)

20

sebagai provider, dan pengambilan keputusan bersifat top-down (Budiharsono 2001).

Konsep mengejar pertumbuhan ekonomi banyak mengabaikan aspek kelestarian dan daya dukung lingkungan dengan cara mengekploitasi secara besar-besaran sumberdaya pesisir dan lautan yang ada. Konsep pembangunan ini pula telah mengabaikan kearifan lokal dalam pengelolaan sumberdaya dan lingkungan, hak-hak masyarakat atas sumberdaya di wilayahnya, serta mengembangkan rezim

open access yang mengakibatkan terjadinya moral hazard (Kusumastanto 2003a). Strategi masa depan perencanaan dan pengelolaan pesisir memerlukan pergeseran landasan epistemologi pembangunan dari konsep pembangunan berkelanjutan Michael Redclif kepada konsep penguatan pengetahuan lokal Feyereban serta Friberg dan Hettne. Kegagalan doktrin pembangunan berkelanjutan dapat menghancurkan sumberdaya alam pulih di negara dunia ketiga, seperti hutan dan sumberdaya perikanan, karena beban biaya yang ditimbulkan ditanggung sendiri oleh negara berkembang, sementara negara maju tetap meningkatkan aktifitas ekonomi dengan merusak lingkungan hidup. Melalui landasasan epistemologi pembangunan yang bercirikan kearifan lokal ini, maka (communal) property rights atas sumberdaya kelautan diakui, sehingga berkembangnya moral hazard akibat rezim open access atas sumberdaya kelautan seperti pada era Orde Baru dapat dihindari (Kusumastanto, 2003a);

Sejalan dengan itu, strategi masa depan perencanaan dan pengelolaan pesisir memerlukan pula pergeseran dari paradigma eksklusi sosial (sentralisitik otoriter) kepada paradigma inklusi sosial (masyarakat sebagai main stakeholder

serta diakuinya indegenous knowledge) dalam pembangunan sumberdaya pesisir dan laut. Dalam konsep ini diperhatikan hak-hak kepemilikan (property right) masyarakat, hak ulayat masyarakat hukum adat, hak-hak perolehan rakyat (entitlement), dan manfaat sosial (social benefit) terbesar diberikan kepada masyarakat (Budiharsono, 2001).

Dengan demikian dapat dirumuskan bahwa strategi masa depan

(39)

21

kewenangan daerah dan kearifan lokal; melibatkan semua lintas pemangku kepentingan; berwawasan kelestarian lingkungan dan sumberdaya alam melalui pendekatan konsep carrying capacity; dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat melalui penyelenggaraan good ocean governance.

Banyak keberhasilan kebijakan publik di sektor kelautan dan perikanan yang dapat dikemukakan. Misalnya di bidang kelembagaan, kebijakan nasional sektor kelautan dan perikanan dapat ditangani oleh suatu lembaga, yaitu Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP). Namun demikian sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel 1, tidak semua kebijakan publik tersebut membuahkan keberhasilan, masih tersisa pula kegagalan yang memerlukan solusi untuk mengatasinya.

Tabel 1. Kegagalan kebijakan publik di sektor kelautan dan perikanan (disarikan dari Kusumastanto, 2003a)

No Isu Pokok Kegagalan Kebijakan Baik Yang Ada Mapun Yang Berpotensi Terjadi (Kebijakan Tidak Memuaskan)

1 Pasir laut dan penambangan laut

Kerusakan lingkungan, eksploitasi ilegal, berkurangnya mata pencaharian nelayan, konflik kepentingan pusat dan daerah, indikasi KKN

2 Perikanan tangkap Pencurian ikan oleh kapal asing, pengawasan yang lemah, konflik nelayan tradisional dengan nelayan modern dan nelayan asing

3 Pulau kecil Rusaknya ekosistem pulau kecil, indikasi terancam tenggelamnya sebanyak 4.000 pulau pada tahun 2012

4 Pariwisata bahari Kerusakan habitat terumbu karang (sekitar 70% dengan estimasi kerugian sekitar US$ 45 juta), rusaknya sebagian besar hutan mangrove

5 Perikanan budidaya Matinya udang, ikan mas, ikan koi di pulau Jawa akibat virus dengan kerugian sekitar Rp. 90 milyar

6 Pelabuhan umum dan perikanan serta lemahnya Armada Laut Nasional

Pendangkalan beberapa pelabuhan tradisional, belum terdesentralisasinya perijinan pelabuhan, daya saing angkutan laut nasional yang rendah

7 Embargo hasil perikanan Adanya ancaman embargo ikan budidaya khususnya dari Singapura dan Jerman, belum dicabutnya embargo udang dari Amerika Serikat, ancaman embargo ikan tuna

8 Sumberdaya manusia kelautan

Rendahnya pengetahuan dan keterampilan nelayan dalam pemanfaatan sumberdaya laut, rendahnya daya saing pelaut Indonesia

9 Degradasi lingkungan pesisir dan laut

Terjadinya pencemaran sumberdaya hayati laut oleh logam berat dan buang limbah yang menghancurkan industri pertambakan, terjadinya abrasi pantai di beberapa daerah

10 Keamanan laut Nelayan merasa tidak aman melakukan penangkapan ikan di laut, perusahaan merasa tidak aman melakukan pengangkutan barang di laut

11 Kelembagaan (retribusi hasil perikanan)

Ketidakjelasan kewenangan untuk memungut retribusi hasil perikanan dalam era otonomi daerah

(40)

22

Masalah kebijakan publik timbul apabila kondisi sumberdaya alam dan lingkungan tidak sama dengan yang diharapkan, atau dengan kata lain ada perbedaan antara harapan dengan kenyataan. Pentingnya peranan analisis kebijakan nampak jelas di sini serta merupakan kebutuhan untuk menuju pencapaian suatu “good ocean governance”.

2.3. Konsep “Marine Cadastre”

Aspek hukum konsep “Marine Cadastre” ke dalam merupakan bagian dari konstitusi dan sistem hukum negara yang bersangkutan, sedangkan keluar merupakan bagian dari pelaksanaan ketentuan-ketentuan internasional yang tertuang di dalam United Nations Convention on Law of the Sea (UNCLOS). Demikian pula, ditinjau dari aspek keilmuan studi “Marine Cadastre”, konsep ini merupakan bagian integral dari dasar teori dan konsep Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Secara Terpadu, atau sering pula disebut Integrated Coastal and Ocean Zone Management (ICOZM), atau Integrated Coastal and Ocean Management (ICOM).

Marine cadastre” belum lama dikenal karena memang masih merupakan konsepsi baru. Demikian pula belum banyak peneliti yang tertarik atau mendalami topik ini. Sudah banyak penelitian yang mendalami bidang pengelolaan dan penataan ruang pesisir dan laut dari berbagai aspek atau pendekatan, namun masih sulit sekali didapatkan penelitian yang mengaitkan bidang ini dengan konsep kadaster, yaitu: hak, batasan, dan kewajiban dalam penguasaan dan pemanfaatan ruang.

(41)

23

Misalnya di Jepang, dokumen tentang hak penguasaan dan hak ulayat laut telah dikenal sejak Era Feodal (1603 – 1867). Formalisasi keberadaan hak ulayat laut pada masa kekaisaran Edo dipercaya didasarkan oleh tradisi yang berlaku sebelumnya. Setelah restorasi Meiji pada tahun 1868, maka pada tahun 1876 pemerintah Jepang mengambil alih seluruh kepemilikan atas perusahaan perikanan, kemudian menerbitkan lisensi dan perijinan perikanan perorangan dengan disertai pajak (Ruddle, 1992).

Filosofi kadaster adalah “the boundary of use” atau “the boundary of tenure”, yaitu batas atau zonasi penguasaan, penggunaan, serta pemilikan lahan. Sejarah dan filosofi kadaster dapat ditarik kembali jauh ke masa sekitar 2.000 tahun sebelum Masehi di tepi Sungai Nil, Mesir, di mana terhampar luas daerah- daerah pertanian yang subur. Penduduk di sekitar sungai ini telah menikmati hidup yang cukup makmur dari hasil pertanian serta perdagangan melalui transportasi sungai. Namun suatu ketika terjadilah banjir besar akibat meluapnya air sungai yang cukup deras arusnya sehingga merusak tanah pertanian, rumah dan bangunan lainnya (permukiman penduduk) di sekitar sungai termasuk merusak batas-batas tanahnya. Pasca kerusakan akibat bencana alam tersebut, penduduk setempat membentuk tim untuk melakukan pengukuran pengembalian (rekonstruksi) batas-batas tanah yang telah hilang. Rekonstruksi batas-batas lahan ini tidak hanya untuk pengembalian batas penggunaan dan pemilikan lahan saja, namun juga dimaksudkan untuk memungut kembali pajak-pajak tanahnya. Sejak itu dikenallah kadaster sebagai suatu kegiatan bahkan institusi yang melakukan pengukuran, pemetaan dan pendaftaran tanah.

(42)

24

[image:42.612.118.509.113.249.2]

Gambar 3. Persil-persil laut: ijin-ijin penambangan pasir laut di Riau (kanan) dan blok-blok penambangan minyak dasar laut (blok Ambalat) di wilayah perbatasan antara Kalimantan Timur dan Sarawak, Malaysia (Rais, 2002a; dan KOMPAS, 1 November 2004)

Isu-isu “mengkapling” laut acapkali dilempar sebagai isu yang berkonotasi negatif tanpa mengindahkan substansi atau pokok masalahnya. Kapling atau zonasi atau persil laut justru sangat diperlukan dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut, baik sebagai jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi pengelolanya, arahan, evaluasi, pemantauan, maupun perencanaan pemanfaatan dan pengelolaan ruang dan sumberdaya pesisir dan laut. Gambar 3 di atas menunjukkan beberapa “fakta” pengkaplingan laut dewasa ini di Indonesia, yaitu kapling ijin-ijin penambangan pasir laut di Riau dan “claim” Pemerintah Indonesia atas “kapling laut” yang diberi nama Blok Ambalat, yang di pihak lain oleh Pemerintah Malaysia diklaim pula sebagai Blok YZ.

Konsep “marine cadastre” merupakan pengembangan dari Kadaster Darat atau “land cadastre”. Federasi Surveyor Internasional (FIG: Federation Internationale des Geometres) memberikan definisi dan ilustarsi kadaster sebagai berikut (Gambar 4):

(43)

[image:43.612.184.455.106.361.2]

25

Gambar 4. Ilustrasi konsep kadaster (FIG, 1995)

Cukup banyak definisi tentang “marine cadastre”, namun beberapa pengertian berikut ini cukup mewakili konsep-konsep dimaksud, yaitu antara lain adalah:

a. U.S. DOC: United States Department of Communication–NOAA: National Oceanic and Atmospheric Administration (2002):

The U.S. Marine Cadastre is an information system, encompassing both nature and spatial extent of interests in property, value and use of marine areas. Marine or maritime boundaries share a common element with their land-based counterparts in that, in order to map a boundary, one must adequately interpret the relevant law and its spatial context. Marine boundaries are delimited, not demarcated, and generally there is no physical evidence of the boundary”.

b. Rais (2002a):

(44)

26

c. Binns (2004):

A Marine Cadastre is a spatial boundary management tool, which describes, visualises, and realises legally defined boundaries and associated rights, restrictions, and responsibilities in marine environment, allowing them to be more effectively assessed, administered and managed”.

Berdasarkan beberapa pengertian tersebut di atas, serta ditambah dengan beberapa referensi konsep dari Universitas Melbourne Australia, Universitas New Brunswick, Canada, dan FIG: International Federation of Surveyors, maka dapatlah dirumuskan suatu definisi operasional “marine cadastre” sehubungan dengan penelitian ini, yaitu:

Marine Cadastre adalah sistem penyelenggaraan administrasi publik yang mengelola dokumen legal dan administratif, baik yang bersifat spasial maupun tekstual, mengenai kepentingan berupa: hak, kewajiban, dan batasannya, termasuk catatan mengenai nilai, pajak, serta hubungan hukum dan perbuatan hukum yang ada dan berkaitan dengan penguasaan dan pemanfaatan ruang perairan pesisir dan laut.

Marine Cadastre” diselenggarakan dalam rangka mewujudkan tertib hukum, tertib administrasi, tertib penggunaan dan tertib pemeliharaan ekosistem laut serta mendukung tertib perencanaan, penataan, dan pengelolaan wilayah laut secara spasial terpadu. Sebagai suatu bagian dari sistem hukum (“legal cadastre”), maka “marine cadastre” ditujukan untuk mengelola dan menyediakan data, informasi, dan dokumen jaminan kepastian hukum atas pemanfaatan ruang pesisir dan laut.

(45)

[image:45.612.98.507.140.725.2]

27

Tabel 2. Perbedaan dan persamaan antara kadaster pertanahan (Land Cadastre) dengan kadaster kelautan (Marine Cadastre) (dari berbagai sumber serta

modifikasi dari BPN – LPPM ITB, 2003)

No Unsur & Aspek “Land Cadastre” “Marine Cadastre” 1 Kepemilikan Dikenal adanya Hak Milik atas (persil)

tanah (Pasal 16 UUPA);

Tidak dikenal hak milik pribadi atas bidang atau persil laut, yang ada adalah pembagian kewenangan pengelolaan wilayah laut, baik diberikan kepada Negara, publik, masyarakat hukum Adat, badan usaha, maupun perseorangan (Rais, 2002.a);

2 Penguasaan & pemanfaatan

Dikenal hak-hak sementara yaitu: HGB, HGU, HP (Pasal 28, 35, dan 41 UUPA);

Hak Membuka Tanah dan Memungut Hasil Hutan (Pasal 46 UUPA);

Dikenal Hak Guna Air, Hak Pemeliharaan dan Penangkapan Ikan (Pasal 47 UUPA); Hak Atas Ruang (UU No.24/1992 jo. PP 69/1996) Lisensi, konsesi dan perijinan eksploitasi sumberdaya laut (undang-undang sektoral);

3 Administrasi Mencatat batas administratif (desa, kabupaten/kota, provinsi) dan batas setiap bidang tanah baik yang ada haknya maupun tidak;

Dikenalnya NIB (Nomor Identifikasi Bidang) tanah, Daftar Tanah, dan Sistem Buku Tanah;

Gambar

Gambar 2.   Interaksi antara penggunaan dan aktifitas ruang pesisir dan laut di
Gambar 3.   Persil-persil laut: ijin-ijin penambangan pasir laut di Riau (kanan) dan blok-blok penambangan minyak dasar laut (blok Ambalat) di wilayah perbatasan antara Kalimantan Timur dan Sarawak, Malaysia  (Rais, 2002a;  dan KOMPAS, 1 November 2004)
Gambar 4.   Ilustrasi konsep kadaster (FIG, 1995)
Tabel 2.  Perbedaan dan persamaan antara kadaster pertanahan (Land Cadastre) dengan kadaster kelautan (Marine Cadastre) (dari berbagai sumber serta modifikasi dari BPN – LPPM ITB, 2003)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Curriculum Analysis aims to analyze the students’ learning behavior of clus ter- ing results for each semester based on the alignment of the courses to curriculum guideline

Kelemahan Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Surakarta saat ini adalah sebagai berikut: (1) pengembangan kampus belum terpadu dan memperhitungkan

Jalan-jalan dalam dunia nyata dapat dimodelkan dalam bentuk graph. Setiap persimpangan jalan dinotasikan sebuah node. Sedangkan ruas jalan yang menhubungkannya direpresentasikan

Untuk menganalisis proses reduksi oksida toksik NOx pada fenomena difusi melalui rekayasa teknologi plasma, akan ditunjukkan terlebih dahulu bagaimana

Bentuk kelembagaan LPP diatur dalam Pasal 14 ayat (1) UU Penyiaran yang mengatakan bahwa LPP merupakan lembaga penyiaran yang berbentuk badan hukum yang

Perbaikan varietas dengan perakitan atau persilangan secara konvensional, menggunakan tetua jenis-jenis lokal terseleksi dari sentra pengembangan dilanjutkan

Untuk mengetahui pengaruh Upah Minimum Provinsi (UMP), pengangguran dan belanja daerah terhadap ketimpangan pendapatan di Pulau Sumatera pada tahun 2007 hingga

Kenaikan Pangkat Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 196, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4OL7) sebagaimana