• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Pertimbangan Hakim

Dalam dokumen UNIVERSITAS INDONESIA (Halaman 28-33)

a. Hakim menimbang bahwa terbukti antara Penggugat dan Tergugat telah terikat perkawinan yang sah sejak tanggal 2 Nopember 2008. Penulis setuju dengan pertimbangan hakim mengenai hal ini karena penulis sudah menganalisis pada poin 4.2 tentang perkawinan antara Penggugat dan Tergugat. Berdasarkan analisis penulis, benar telah terjadi perkawinan yang sah secara hukum Islam antara Penggugat dan Tergugat.

b. Hakim menimbang bahwa alasan penggugat membatalkan perkawinannya dengan Tergugat adalah karena Tergugat mempunyai kelainan seksual yakni menyukai sesama jenis. Dalam hal ini Tergugat tidak memberitahukan kepada Pengugat

sebelum perkawinan ini dilangsungkan. Bukti yang menguatkan atas kelainan seksual yang diderita Tergugat adalah Tergugat sendiri mengakui bahwa dirinya mengalami kelainan seksual yaitu menyukai sesama jenis. Selanjutnya berdasarkan surat keterangan dokter ahli terbukti bahwa Tergugat mengalami kelainan seksual. Penulis setuju dengan pertimbangan hakim mengenai alasan pembatalan perkawinan antara Endar dan Dwi yaitu karena menyukai sesama jenis (kelainan seksual). Dalam kasus ini artinya telah terjadi salah sangka dalam diri Tergugat. Pengertian salah sangka disini adalah Tergugat tidak menyukai lawan jenis melainkan lebih menyukai sesama jenis. Dengan demikian Pasal 27 ayat (2) UU Perkawinan dapat dikenakan dalam kasus ini. Selanjutnya dalam kasus ini juga terjadi penipuan mengenai ‘diri’ yang menurut Pasal 72 ayat (2) KHI dapat dijadikan alasan untuk melangsungkan pembatalan perkawinan. Penipuan mengenai ‘diri’ jelas terlihat dimana Tergugat menipu Penggugat karena Tergugat mempunyai kelainan seksual berupa menyukai sesama jenis. Akibat dari kelainan seksual yang diderita Tergugat, Tergugat tidak bisa memberikan nafkah batin kepada Penggugat.

c. Hakim juga menimbang bahwa Pasal 27 ayat (2) UU Perkawinan dan Pasal 72 ayat (2) KHI adalah alasan pembatalan perkawinan antara Endar dan Bayu. Berdasarkan pasal ini juga, maka perkawinan antara Endar dan Bayu dinyatakan batal demi hukum atau tidak mempunyai kekuatan hukum lagi. Penulis juga setuju mengenai pertimbangan hakim dalam hal ini. Hal ini dikarenakan berdasarkan analisis penulis pada poin 4.3, kedua pasal ini sangat tepat untuk dikenakan dalam kasus ini. Sehingga memang benar jalan keluar terhadap kasus ini adalah dilakukannya pembatalan perkawinan. Karena pada kenyataannya dalam kasus ini tujuan perkawinan itu sendiri tidak dapat terpenuhi. Tujuan perkawinan adalah untuk kekalnya kehidupan keluarga bersangkutan. 27 Sedangkan dalam kasus ini, bagaimana kehidupan rumah tangga Endar dan Dwi bisa kekal dan memiliki keturunan apabila Endar tidak bisa memberikan nafkah batin kepada Dwi. Selanjutnya mengingat pendapat Sayuti Thalib dalam bukunya seperti yang sudah dijelaskan pada bab 2, sudah selayaknya perkawinan ini

dibatalkan karena perkawinan disini berubah hukumnya menjadi haram. Dalam kasus ini, Endar memang tidak menganiaya Dwi, tetapi terkesan seperti meperolok-olok pernikahan. Dapat dilihat bahwa akibat perbuatan Endar yang tidak memberitahu kepada Dwi bahwa dirinya mengalami kelainan seksual adalah membuat kerugian immateril bagi Dwi. Sudah jelas juga dengan kelainan seksual yang diderita Endar, maka Endar tidak dapat memberikan nafkah batin kepada Dwi. Sehingga sudah selayaknya dan sepantasnya pernikahan antara Dwi dan Endar dibatalkan. Menurut penulis seharusnya Majelis Hakim juga memberikan pertimbangan akibat hukum dari pembatalan perkawinan antara Penggugat dan Tergugat terhadap harta kekayaan mereka serta menjatuhkan sanksi kepada Tergugat atas kerugian yang dialami Penggugat.

BAB 3 PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan pokok permasalahan yang penulis telah uraikan di atas, maka penulis menarik kesimpulan sebagai berikut.

1. Perkawinan menurut Undang – undang nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Apabila dilihat dari hukum Islam, maka perkawinan tersebut harus sesuai dengan ketentuan – ketentuan syariat Islam. 2. Pembatalan perkawinan menurut Undang – undang nomor 1 tahun 1974 dan

Kompilasi Hukum Islam adalah tindakan pengadilan berupa keputusan yang menyatakan perkawinan yang dilakukan itu dinyatakan tidak sah, dan sesuatu yang dinyatakan tidak sah itu dianggap tidak pernah ada. Sehingga setiap perkawinan yang dibatalkan akan menjadi batal demi hukum. Akibat hukum dari pembatalan perkawinan itu sendiri yaitu bisa terhadap anak yang lahir dari perkawinan, suami istri itu sendiri, dan harta kekayaan.

3. Pertimbangan hakim dalam Putusan No. 0294/Pdt.G/2009/PAJS telah memenuhi ketentuan pembatalan perkawinan yang diatur dalam UU Perkawinan dan KHI. Penggunaan Pasal 27 ayat (2) UU Perkawinan dan Pasal 72 ayat (2) KHI juga sudah tepat. Alasan kelainan seksual dapat diterima sebagai salah satu bentuk penipuan yang dilakukan Tergugat kepada Penggugat. Akibat dari kelainan seksual ini membuat tujuan perkawinan itu sendiri tidak dapat terpenuhi yaitu menghasilkan keturunan. Maka dari itu perkawinan antara Penggugat dan Tergugat memang harus dibatalkan dan dinyatakan tidak sah. Dengan demikian keputusan majelis hakim dalam kasus ini sudah tepat dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

5.2 Saran

Setelah penulis mengadakan pembahasan secara keseluruhan, maka dapat diberikan beberapa saran sebagai berikut.

1. Hendaknya setiap pasangan yang akan melangsungkan pernikahan untuk lebih terbuka dan mengenal kondisi setiap pasangannya. Hal ini dikarenakan mengingat tujuan perkawinan itu sendiri baik menurut UU Perkawinan dan KHI yaitu untuk menciptakan keluarga yang bahagia dan kekal. Sikap terbuka disini maksudnya mau menceritakan kondisi psikis dari masing-masing pasangan dan menceritakan latar belakang setiap pasangan. Dengan demikian untuk kedepannya kasus seperti ini tidak terulang lagi.

2. Hendaknya majelis Hakim memberikan pertimbangan yang lebih lengkap dalam mengambil keputusan. Misalnya dalam kasus ini, majelis hakim tidak memberikan pertimbangan terhadap akibat hukum dan sanksi dari pembatalan perkawinan itu sendiri. Maka dari itu penulis menyarankan agar majelis hakim melengkapi setiap pertimbangan dalam pengambilan suatu keputusan.

3. Hendaknya pemerintah lebih memberikan perhatian pada Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan pada Kompilasi Hukum Islam. Perhatian disini maksudnya agar permerintah perlu memberikan penjelasan lebih detail mengenai pembatalan perkawinan, penjelasan mengenai klausa penipuan atau salah sangka, dan perlu juga ditambahkan mengenai sanksi sebagai akibat dari penipuan itu sendiri.

Dalam dokumen UNIVERSITAS INDONESIA (Halaman 28-33)

Dokumen terkait