• Tidak ada hasil yang ditemukan

UNIVERSITAS INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "UNIVERSITAS INDONESIA"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

UNIVERSITAS INDONESIA

TINJAUAN YURIDIS HUKUM PERKAWINAN MENGANAI PEMBATALAN PERKAWINAN

KARENA KELAINAN SEKSUAL

(Studi Kasus Putusan Nomor 0294/Pdt.G/2009/PA.JS)

SKRIPSI

Gideon Mario 0806342176

FAKULTAS HUKUM

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM DEPOK

(2)

ABSTRAK

Perkawinan yang tidak memenuhi syarat-syarat, dapat diajukan permohonan pembatalan ke Pengadilan. Pada kenyataannya banyak sekali alasan yang dapat diajukan untuk melakukan pembatalan perkawinan. Bentuk penulisan ini adalah penelitian yuridis normatif yaitu penelitian yang secara yuridis mengacu pada norma hukum yang terdapat di peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan pembatalan perkawinan. Pada penulisan ini, penulis berusaha melakukan analisis apakah pertimbangan hakim dalam putusan nomor 0294/Pdt.G/2009/PA.JS sudah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku mengenai pembatalan perkawinan. Alasan pembatalan perkawinan dalam kasus ini adalah karena kelainan seksual. Kelainan seksual dalam kasus ini baru diketahui setelah pernikahan berjalan 3 bulan. Sehingga dalam penulisan ini penulis mencoba untuk menganalisis apakah kelainan seksual termasuk dalam klausa penipuan dan salah sangka seperti yang terdapat pada Pasal 27 ayat (2) Undang-undang No. 1 tahun 1974 dan Pasal 72 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam. Ternyata dapat ditemukan bahwa kelainan seksual dapat dijadikan alasan pembatalan perkawinan karena termasuk dalam klausa penipuan dan salah sangka. Penulis menyarankan kepada setiap pasangan yang akan melangsungkan perkawinan untuk lebih terbuka kepada pasangannya.

(3)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tuhan yang Maha Esa menciptakan isi alam semesta ini senantiasa berpasang-pasangan. Misalnya siang dan malam, langit dan bumi, positif dan negatif, terang dan gelap. Begitu pula setiap makhluk hidup termasuk manusia, ada pria (laki-laki) dan wanita (perempuan). Sesuai dengan kodratnya, manusia selalu ingin hidup bersama sejak lahir sampai meninggal dunia, sehingga pada diri manusia terdapat hasrat untuk berkumpul dengan sesamanya dalam suatu kelompok.

Manusia sebagai mahkluk individu bisa saja mempunyai sifat untuk menyendiri tetapi manusia sebagai mahkluk sosial tidak dapat hidup menyendiri. Manusia harus bermasyarakat, sebab ia lahir, hidup berkembang, dan meninggal dunia di dalam masyarakat. 1 Pola hidup tersebut merupakan susunan daripada kaidah-kaidah kepercayaan, kesusilaan, sopan santun, dan hukum. Tidak jarang bahwa suatu kepentingan manusia dilindungi oleh ke-empat macam kaidah tersebut. Untuk menelaah perbedaan-perbedaannya, maka kaidah-kaidah tersebut perlu dihubungkan dengan adanya dua aspek hidup, yaitu pribadi dan hidup antar pribadi.2

Sudah kodratnya juga diantara laki-laki dan perempuan memiliki rasa ketertarikan antara satu dengan yang lainnya. Dari rasa ketertarikan tersebut timbul rasa cinta dan kasih sayang yang kemudian melembagakannya dalam sebuah ikatan suci perkawinan. Perkawinan merupakan hubungan hukum sebagai pertalian yang sah antara seorang pria dan seorang wanita yang telah memenuhi syarat-syarat perkawinan, untuk jangka waktu yang selama mungkin. Perkawinan sebagai perbuatan hukum menimbulkan tanggung jawab antara suami dan istri. Oleh karena itu perlu adanya peraturan hukum yang mengatur tentang hak dan kewajiban dalam suatu perkawinan.3

Sudah merupakan kodratnya manusia mempunyai naluri untuk tetap mempertahankan generasi atau keturunannya. Dalam hal ini sudah tentu yang paling tepat untuk merealisasikannya adalah dengan melangsungkan sebuah perkawinan. Perkawinan

1 Chainur Arrasjid, Dasar-dasar Ilmu Hukum, cet 3, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hlm. 1. 2Ibid  

(4)

merupakan satu-satunya cara untuk membentuk keluarga, karena perkawinan ini mutlak diperlukan sebagai syarat terbentuknya sebuah keluarga. Sebuah perkawinan dimulai dengan adanya rasa saling cinta dan kasih sayang antara kedua belah pihak, suami dan istri, yang senantiasa diharapkan dapat berjalan dengan baik, kekal abadi, yang didasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini sesuai dengan tujuan dari perkawinan itu sendiri berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan (untuk selanjutnya disebut UU Perkawinan).4

Peraturan mengenai perkawinan telah ada sejak masyarakat sederhana dan dipertahankan oleh anggota masyarakat serta para pemuka agama. Peraturan ini mengalami berbagai macam penyesuaian sesuai dengan perkembangan dalam masyarakat, di antaranya dipengaruhi oleh pengetahuan, kepercayaan, dan keagamaan yang dianut dalam masyarakat yang bersangkutan. Peraturan hukum yang mengatur perkawinan di Indonesia sebelum tahun 1974 bersifat pluralistik karena didasarkan pada pembedaan penduduk di Indonesia yaitu sebagai berikut.5

1. Bagi orang Indonesia asli yang beragama Islam berlaku hukum agama yang telah diresapi ke dalam hukum adat. Pada umumnya bagi orang Indonesia asli yang beragama Islam jika melakukan sebuah perkawinan berlaku ijab kabul antara mempelai wanita, sebagaimana diatur dalam hukum Islam. Hal ini merupakan budaya hukum bagi orang Indonesia yang beragama Islam hingga sekarang. 2. Bagi orang Indonesia asli lainnya berlaku hukum adat.

3. Bagi orang Indonesia asli yang beragama Kristen berlaku Huwelijks Ordonnantie

Christen Indonesia (HOCI) S. 1933 Nomor 74.

4. Bagi orang Timur Asing Cina dan Warga Negara Indonesia (WNI) keturunan Cina berlaku ketentuan-ketentuan dalam kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) dengan sedikit perubahan.

5. Bagi orang Timur Asing lainnya dan Warga Negara Indonesia (WNI) keturunan asing lainnya berlaku hukum adat mereka.

4Rusdi Malik, Peranan Agama Dalam Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: Universitas Trisakti, 1990), hlm. 10.

5 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama, (Bandung: Mandjar Maju, 1990), hlm. 5.  

(5)

6. Bagi orang Eropa dan Warga Negara Indonesia (WNI) keturunan Eropa dan yang dipersamakan dengan mereka, berlaku Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

Peraturan dan budaya dalam perkawinan yang berlaku dalam masyarakat tidak terlepas dari pengaruh budaya dan lingkungan di mana masyarakat itu berada. Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku bangsa dan agama membutuhkan suatu aturan yang bersifat nasional. Unifikasi hukum perkawinan telah ada dengan berlakunya UU Perkawinan. UU Perkawinan dibentuk dengan tujuan agar terdapat keseragaman dalam penyelenggaraan perkawinan dan hal-hal yang berkaitan dengan itu dengan tetap menampung kenyataan-kenyataan yang hidup di masyarakat.6

Pasal 1 UU Perkawinan menyebutkan bahwa : “Perkawinan ialah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa.”

UU Perkawinan menganut sejumlah asas (prinsip) sebagai berikut.7 1. Perkawinan bertujuan membentuk keluarga bahagia dan kekal.

2. Perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum agamanya dan kepercayaannya itu.

3. Perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundangan. 4. Perkawinan bebas monogami terbuka.

5. Calon suami dan calon istri harus sudah matang secara kewajiban untuk melangsungkan perkawinan.

6. Batas usia perkawinan adalah bagi pria 19 tahun dan bagi wanita 16 tahun.

7. Perceraian dipersulit dan harus dilakukan di muka pengadilan (Hanya sesuai ketentuan Undang-undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam).

8. Hak dan kedudukan suami istri adalah seimbang.

Dalam Islam pengertian perkawinan terdapat di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 2. Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan yaitu akad yang

6 Malik, Op. Cit., hlm.2. 7Ibid., hlm. 6.  

(6)

sangat kuat mistaqon ghalizan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.

Suatu hubungan perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian, dan pembatalan. Perkawinan yang putus karena adanya suatu pembatalan dapat terjadi sekalipun dari perkawinan tersebut telah lahir seorang anak. Pembatalan dapat terjadi terhadap perkawinan yang ternyata tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan, namun perkawinan sudah dilangsungkan.8

Bagaimanapun ketatnya pengawasan, namun kemungkinan terjadinya perkawinan yang dilarang oleh hukum dapat saja terjadi. Sudah selayaknya perkawinan tersebut dapat dibatalkan oleh karena tidak ada manfaatnya. Pembatalan dapat diajukan lewat pengadilan agar suatu perkawinan tertentu dinyatakan sah atau batal. Pembatalan perkawinan dengan putusan pengadilan itu dianggap seolah-olah sama sekali tidak terjadi perkawinan. Sehingga akibat hukum yang terjadi sebelum putusan itu tetap dipertahankan. Misalnya bila sudah ada anak dari perkawinan itu, maka anak tersebut tetap merupakan anak sah dari suami istri yang bersangkutan.9

Sebuah perkawinan yang didasari ikatan lahir batin dapat dikatakan sah jika telah memenuhi unsur dalam Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan yaitu apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) di atas, dapat dimengerti bahwa perkawinan merupakan suatu perbuatan keagamaan. Oleh karena itu sah atau tidaknya suatu perkawinan sepenuhnya pada hukum masing-masing agama. Hal ini mengakibatkan apabila ada suatu perkawinan yang dilaksanakan bertentangan dengan hukum agama dengan sendirinya menurut Undang-Undang Perkawinan dianggap tidak sah dan tidak mempunyai akibat hukum sebagai ikatan perkawinan.

Apabila dalam pelaksanaan perkawinan tidak memenuhi syarat-syarat sahnya perkawinan maka perkawinan tersebut dapat dibatalkan, pembatalan perkawinan menganggap perkawinan yang telah dilakukan sebagai peristiwa yang tidak sah, atau dianggap tidak pernah ada.

8Rachmadi Usman, Aspek-aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hlm. 284.

(7)

Pembatalan perkawinan dapat dilakukan berdasarkan ketentuan Pasal 22 UU Perkawinan yang menentukan bahwa : “Perkawinan dapat dibatalkan apabila tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan”. Perkawinan dapat dibatalkan di sini menurut Penjelasan atas Pasal 22 UU Perkawinan, diartikan bisa batal atau bisa tidak batal, bilamana menurut ketentuan hukum agamanya masing-masing tidak menentukan lain. Alasan-alasan dalam UU Perkawinan yang dapat diajukan untuk pembatalan perkawinan diatur dalam Pasal 26 dan Pasal 27 UU Perkawinan.

Pembatalan perkawinan dapat diajukan oleh : (1) salah satu dari suami atau istri yang bersangkutan, (2) keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas dari suami atau istri, (3) pejabat yang berwenang, (4) pejabat yang ditunjuk.10Apabila perkawinan tersebut merupakan perkawinan kedua kalinya dari suami atau istri, maka pembatalan dapat diajukan oleh orang yang masih terikat perkawinan dengan salah satu dari pasangan suami istri tersebut.11

Seperti yang sudah dijelaskan di atas, dalam pasal 27 Undang-undang nomor 1 tahun 1974 dijelaskan mengenai alasan bagi suami atau istri untuk melakukan pembatalan perkawinan yaitu :

a. Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum.

b. Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai calon suami atau istri.

Menurut Pasal 25 jo Pasal 63 UU Perkawinan, permohonan pembatalan perkawinan dapat diajukan ke Pengadilan, Pengadilan Agama bagi yang beragama Islam dan Pengadilan Negeri bagi Non-Islam. Pembatalan Perkawinan mempunyai arti yang sangat penting karena dari perkawinan yang dibatalkan akan berdampak bukan hanya kepada pasangan perkawinan saja, namun juga berdampak bagi pihak-pihak yang berhubungan dengan perkawinan tersebut. Misalnya seperti harta benda dalam perkawinan (Pasal 35 UU Perkawinan) dan apabila pembatalan dilakukan setelah

10 Indonesia (a), Undang-undang tentang Perkawinan, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, LN No. 1 Tahun 1974, TLN NO. 3019, Pasal 23.

(8)

mempunyai keturunan atau anak, maka berdampak pula pada anak yang dilahirkan dari suatu perkawinan yang dibatalkan (Pasal 45 ayat (1) UU Perkawinan).

Pada faktanya, banyak terjadi kasus mengenai pembatalan perkawinan yang terjadi di Indonesia. Seperti yang terjadi pada tahun 2008 lalu antara Montassya Uly Basa Hutauruk dan Adrianus Herman Henok, dimana orang tua dari Montassya memintakan pembatalan perkawinan kepada pengadilan negeri Jakarta selatan karena perkawinan anaknya yang dianggap tidak jelas. Selain itu ada kasus pembatalan perkawinan yang disebabkan karena poligami, pemalsuan identitas, dan sebagainya. Bahkan kasus pembatalan perkawinan sudah merambat ke aparat kepolisian seperti yang terjadi di Bone, Sulawesi Selatan yaitu pada Bripka FA.

Penulis tidak mengangkat kasus tersebut karena penulis mendapatkan kasus yang lebih menarik untuk dibahas yaitu antara Dwi Patra dengan Endar Bayu Asmoro. Penulis membahas topik pembatalan perkawinan karena pada dasarnya perkawinan itu berlangsung hanya sekali seumur hidup dan tidak dapat dipisahkan oleh apapun kecuali oleh kematian. Maka dari itu penulis berpikir bahwa seharusnya sebelum melangsungkan sebuah perkawinan, kedua calon mempelai harus mengenal setiap pasangan mereka. Hal ini dikarenakan perkawinan merupakan suatu ikatan yang bersifat abadi dan hanya dapat dipisahkan oleh kematian.

Dalam kasus ini Dwi Patra memohon pembatalan perkawinan kepada pengadilan agama Jakarta Selatan dengan alasan Endar Bayu mengalami kelainan seksual yang membuat Bayu tidak tertarik dengan lawan jenis melainkan lebih tertarik dengan sesama jenis. Menarik bagi penulis untuk membahas kasus ini mengingat alasan pembatalan perkawinan yang diajukan oleh Dwi Patra adalah karena Bayu mengalami kelainan seksual. Kelainan seksual disinilah yang membuat penulis merasa kasus ini menarik untuk ditinjau secara yuridis dan dibahas lebih mendalam. Penulis akan meninjau apakah alasan kelainan seksual dapat dijadikan alasan untuk dilakukannya pembatalan perkawinan. Selanjutnya penulis juga akan membahas akibat dari pembatalan perkawian itu sendiri. Hal ini dikarena pada dasarnya pembatalan perkawinan itu sangat merugikan banyak pihak. Penulis berharap dengan adanya tulisan ini dapat membantu dan mengurangi kasus-kasus pembatalan perkawinan yang terjadi di Indonesia. Penulis akan membahas kasus ini ditinjau dari dua peraturan perundang-undangan yang berlaku di

(9)

Indonesia yaitu Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam.

Dengan melihat latar belakang permasalahan di atas, maka penulis akan membahas permasalahan ini dalam penulisan skripsi dan dikemukakan satu judul penulisan sebagai berikut : “Tinjauan Yuridis Hukum Perkawinan Mengenai

Pembatalan Perkawinan Karena Kelainan Seksual (Studi Kasus Putusan Nomor 0294/Pdt.G/2009/PA.JS)”

1.2 Pokok Permasalahan

1. Apakah yang dimaksud dengan perkawinan pada umumnya berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku di Indonesia ditinjau dari Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam?

2. Bagaimanakah proses pembatalan perkawinan dan akibat hukumnya berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku di Indonesia ditinjau dari Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam?

3. Apakah pertimbangan hakim dalam Putusan Nomor 0294/Pdt.G/2009/PA.JS telah memenuhi prosedur pembatalan perkawinan di Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam?

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Secara umum penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui dan memahami apakah kelainan seksual dapat dijadikan alasan terjadinya pembatalan perkawinan?

1.3.2 Tujuan Khusus

Tujuan khusus yang ingin dicapai dari pelaksanaan penelitian ini adalah sebagai berikut :

(10)

1. Untuk memaparkan pengertian perkawinan pada umumnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia ditinjau dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1874 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. 2. Untuk menjelaskan pembatalan perkawinan dan akibat hukumnya berdasarkan

Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku di Indonesia ditinjau dari Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam

3. Untuk menganalisis apakah pertimbangan hakim dalam Putusan Nomor 0294/Pdt.G/2009/PA.JS terkait pembatalan perkawinan di Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam.

1.4 Metode Penelitian

Bentuk penelitian ini adalah penelitian yuridis-normatif yaitu penelitian yang secara yuridis mengacu pada norma hukum yang terdapat di peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan pembatalan perkawinan. Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah penelitian kepustakaan karena dilakukan dengan meneliti bahan pustaka. Selanjutnya, dilihat dari tipologi penelitian yaitu dari sudut sifatnya, penelitian ini merupakan penelitian yang menggunakan penelitian deskriptif analitis, yaitu suatu penelitian yang bertujuan untuk menggambarkan kaidah hukum dan informasi yang diperoleh dan kemudian dianalisis. Penelitian ini merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu dengan jalan menganalis, yakni menggambarkan dan menganalisa masalah hukum yang terdapat dalam putusan tersebut, sehingga pada akhirnya dapat ditarik sebuah kesimpulan.12Dilihat dari tujuannya, penelitian ini bersifat untuk mengevaluasi masalah hukum yang terdapat dalam Putusan Nomor 0294/Pdt.G/2009/PA.JS, kemudian dianalisis dan dibuat kesimpulannya yang disebut dengan penelitian problem identification.13

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari bahan-bahan kepustakaan berupa buku-buku dan segala peraturan perundang-undangan atau dokumentasi. Data sekunder yang

12Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI-Press, 1986), hlm. 43.

13 Sri Mamudji, et. al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum UI, 2005), hlm. 5.  

(11)

digunakan adalah data sekunder yang bersifat umum, yaitu data yang berupa tulisan-tulisan dan berbagai data lain yang diperlukan untuk penelitian ini yang terdiri dari hal berikut.

1. Bahan hukum primer

Bahan hukum primer, yang meliputi peraturan perundang-undangan dan yurisprudensi, merupakan bahan utama sebagai dasar landasan hukum yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini antara lain adalah UU Perkawinan, KHI, dan beberapa peraturan perundang-undangan yang terkait.

2. Bahan hukum sekunder

Bahan sekunder yaitu bahan pustaka yang berisikan informasi tentang bahan hukum primer. Bahan sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah buku-buku dan tesis.

3. Bahan hukum tersier

Bahan hukum tersier adalah bahan yang memberikan penjelasan tentang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum tersier yang digunakan antara lain Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Alat pengumpulan data dalam penelitian ini meliputi studi dokumen atau bahan pustaka. Sedangkan metode analisis data yang digunakan adalah metode kualitatif. Pendekatan kualitatif merupakan tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif analitis, yaitu apa yang dinyatakan oleh sasaran penelitian yang bersangkutan secara tertulis.

1.5 Definisi Operasional

Untuk menghindari kesalahpahaman mengenai hal-hal yang dimaksud dalam penelitian ini, berikut definisi tentang hal-hal tersebut yang diambil peruturan perundang-undangan, pendapat para ahli, ataupun kamus yang ada. Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan :

(12)

1. Perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga, rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 14

2. Akibat hukum adalah suatu akibat yang timbul karena adanya suatu peristiwa hukum.15

3. Status hukum adalah keadaan atau kedudukan seseorang di mata hukum.16

4. Batal Demi Hukum adalah null and void, yaitu suatu kondisi di mana tidak terpenuhinya syarat objektif dari suatu perjanjian. Dalam hal demikian, secara yuridis dari semula perjanjian tersebut dianggap tidak pernah ada dan tidak ada pula suatu perikatan antara orang-orang yang bermaksud membuat perjanjian itu.17

5. Dapat dibatalkan adalah voidable, yaitu kondisi di mana tidak terpenuhinya syarat subjektif dari suatu perjanjian. Dalam hal demikian, perjanjian tersebut bukan batal demi hukum, melainkan dapat dimintakan pembatalan.18

6. Pembatalan Perkawinan adalah suatu tindakan pengadilan yang berupa keputusan yang menyatakan perkawinan yang dilakukan itu dinyatakan tidak sah, dan oleh karenanya dianggap tidak pernah ada.19 Pembatalan perkawinan dapat dilakukan bila para pihak tidak memenuhi syarat dalam melangsungkan perkawinan.20

1.6 Sistematika Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini, untuk mempermudah dan memberikan gambaran yang jelas mengenai hal-hal yang akan diteliti, maka pelaporan hasil penulisan ini akan dibagi menjadi beberapa bab, yang urutannya adalah sebagai berikut .

BAB 1 : Pendahuluan

14 Indonesia (a), Op. Cit., Pasal 1.

15Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. 2, (Jakarta: Balai Pusata, 1991). Hlm. 17.

16Ibid., hlm. 962.

17Subekti, Hukum Perjanjian, cet. 19, (Jakarta: Intermasa, 2002), hlm. 22. 18Ibid.

19Wienarsih Imam Subekti dan Sri Soesilowati Mahdi, Hukum Perorangan dan Kekeluargaan Perdata

Barat, (Jakarta: Gitama Jaya, 2005), hlm. 59.

(13)

Bab ini menjelaskan alasan penelitian ini dilakukan oleh penulis dan hal-hal yang telah dan belum diketahui oleh penulis berkaitan dengan penelitian ini. Penulis menguraikan tentang latar belakang, pokok permasalahan, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, definisi operasional, dan sistematika penulisan.

BAB 2 : Tinjauan Yuridis Mengenai Perkawinan

Bab ini membahas tinjauan yuridis mengenai perkawinan, yang meliputi pengertian perkawinan, tujuan perkawinan, syarat sah nya perkawinan, dan akibat hukum perkawinan ditinjau dari UU Perkawinan dan KHI.

BAB 3 : Tinjauan Yuridis Mengenai Pembatalan Perkawinan

Bab ini menjelaskan tinjauan yuridis mengenai pembatalan perkawinan dan akibat hukum dari pembatalan perkawinan itu sendiri ditinjau dari UU Perkawinan dan KHI.

BAB 4 : Analisis Terhadap Putusan Nomor 0294/Pdt.G/2009/PA.JS

Pada bab ini penulis melakukan analisis terhadap Putusan Nomor 0294/Pdt.G/2009/PA.JS dalam analisis yuridis mengenai hal-hal yang menyebabkan terjadinya pembatalan perkawinan, pertimbangan hakim untuk menolak permohonan dalam Putusan Nomor 0294/Pdt.G/2009/PA.JS, dan kesesuaian pengaturan mengenai pembatalan perkawinan dalam Putusan Nomor 0294/Pdt.G/2009/PA.JS dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan KHI.

BAB 5 : Penutup

Bab ini merupakan bagian akhir dari seluruh kegiatan penulisan yang berisi kesimpulan dan saran. Penulis akan memberikan kesimpulan dan saran-saran yang diambil berdasarkan analisis terhadap perkara ini.

(14)

BAB 2

ANALISIS PEMBATALAN PERKAWINAN

KARENA KELAINAN SEKSUAL

Studi kasus Pengadilan Agama Jakarta Selatan

Nomor 0294/Pdt.G/2009/PA.JS

4.1 Kasus Posisi 4.1.1 Kronologi Kasus

Kasus ini diajukan oleh Penggugat yaitu seorang wanita selaku istri yang bernama Dwi Patriati, S.E, binti Tjuk Raharjdjo, berumur 27 tahun beragama Islam, bekerja sebagai pegawai swasta, dan memiliki pendidikan terakhirnya strata 1. Penggugat bertempat tinggal di Jl. Rambutan No. 101 Rt. 01/01, Keluruhan Pondok Labu, Kecamatan Cilandak, Jakarta Selatan. Dimana yang sebagai Tergugatnya adalah suaminya sendiri yang bernama Endar Bayu Asmoro, S.E, berumur 28 tahun, beragama Islam, bekerja sebagai pegawai swasta. Tergugat bertempat tinggal di Jl. Amal Bakti No. 19 Rt. 03, Kelurahan Pondok Ranji, Kecamatan Ciputat, Tangerang.

Kasus ini berawal dari diajukannya surat gugatan pada tanggal 11 Februari 2009 oleh Dwi Patra, S.E, yang mana telah didaftar di Kepaniteraan Pengadilan Agama Jakarta Selatan dan surat gugatan yang telah di daftar itu bernomor register 0294/Pdt.G/2009PAJS tanggal 12 Februari 2009. Isi tersebut menyatakan bahwa antara Dwi Patra dan Endar Bayu Asmoro telah melangsungkan perkawinan yang mana dilakukan pada tanggal 2 Nopember 2008 yang dicatat di PPN Kantor Urusan Agama Tanah Abang, Jakarta Pusat, dengan kutipan nikah yang dikeluarkan KUA bernomor 1180/12/XI/2008 tanggal 3 Nopember 2008.

Dwi Patra juga menyatakan dalam surat gugatannya bahwa selama perkawinan belum pernah sekalipun berhubungan badan dengan suaminya yaitu Endar Bayu Asmoro atau dalam Islam disebut qabla dukhul. Selama perkawinan berlangsung selama satu minggu, pernah ada kemauan antara Dwi dan Endar untuk melakukan hubungan suami isteri namun Endar sebagai suami tidak dapat melakukannya. Setelah perkawinan berjalan selama dua bulan Endar dan suami mengaku kepada Dwi atau isterinya bahwa

(15)

dia memiliki kelainan seksual yaitu menyukai sesama jenis. Ternyata alasan inilah yang membuat tidak dilakukannya hubungan suami isteri.

Setelah adanya pengakuan dari Endar kepada Dwi, Dwi sebagai isteri merasa telah dibohongi oleh Endar. Begitu pula dengan orang tua Dwi dan keluarganya tidak menerima atas kebohongan yang dilakukan oleh Endar. Oleh karena alasan itu, Dwi mengajukan gugatan pembatalan nikah dengan alasan bahwa dalam pernikahan telah terjadi penipuan yang dilakukan Endar kepada Dwi, sesuai yang diatur dalam Pasal 72 ayat (2) KHI yang berbunyi “seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi penipuan atau salah sangka pada diri suami atau isteri.”

Adanya dalil-dalil dan alasan tersebut diatas maka diajukanlah gugatan pembatalan nikah tersebut kepada Bapak Ketua Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Penggugat meminta kepada majelis hakin untuk menjatuhkan putusan sebagai berikut : 1. mengabulkan gugatan Dwi untuk seluruhnya.

2. membatalkan perkawinan antara Dwi Patriati , S.E dengan Endar Bayu Asmoro, S.E, yang mana perkawinan tersebut dilaksanakan di KUA Kecamatan Tanah Abang Jakarta Pusat, pada tanggal 2 Nopember 2008 dengan akta nikag nomor 1180/12/XI/2008 tertanggal 3 Nopember 2008.

3. menetapkan biaya perkara ini sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Setelah gugatan dimohonkan, maka pada hari sidang yang telah ditentukan dengan surat surat panggilan yang telah disampaikan resmi dan patut Dwi maupun Endar hadir di persidangan. Majelis Hakim yang berwenang dalam perkara ini sebelumnya sudah melakukan upaya-upaya yaitu menasehati dan mencoba mendamaikan Dwi dan Endar. Namun hal tersebut tidak berhasil dan Dwi menyatakan ingin tetap pada gugatannya.

Gugatan yang diajukan oleh Dwi telah memberikan jawaban dari Endar dengan lisan bahwa Endar mengakui dan membenarkan dalil Dwi. Dalil yang dimaksud adalah bahwa benar selama pernikahan belum terjadi hubungan suami isteri antara Dwi dan Endar yang dikarenakan Endar dalam hal seksual lebih suka dengan sesama jenis.

(16)

Sebelum pernikahan pun Endar tidak memberitahukan kepada Dwi. Atas gugatan tersebut, Endar tidak merasa keberatan untuk membatalkan perkawinannya dengan Dwi.

Di dalam persidangan, Dwi menyampaikan bukti-bukti sebagai berikut. 1. Bukti Surat

Salah satu bukti surat yaitu Foto copy Kutipan Akta Nikah No. 1180/12/XI/1989 tanggal 3 Nopember 2008 dari KUA, Kecamatan Tanah Abang, Jakarta Pusat, bermaterai cukup dan telah dicocokkan dengan aslinya, bukti lainnya yaitu potocopy Kartu Tanda Penduduk Dwi, Endar, yang bermaterai cukup dan telah dicocokkan dengan aslinya.

2. Saksi-saksi

a. Ibu Kandung Dwi Patriati, SE

Dalam kesaksiannya dia membenarkan bahwa anaknya yaitu Dwi telah melangsungkan pernikahan dengan Endar pada tanggal 2 Nopember 2008 dan belum dikaruniai anak. Ibu Dwi mengatakan bahwa pada awalnya rumah tangga Dwi dan Endar rukun-rukun saja. Tetapi Dwi bercerita kepada saksi bahwa ia tidak bahagia bersuamikan Endar karena Endar tidak bisa memberikan nafkah batin yaitu berhubungan suami isteri. Hal ini disebabkan Endar tidak memiliki gairah dan tidak mampu melakukan hubungan suami isteri karena lebih menyukai sesama jenis. Setelah itu saksi mengkonfirmasi kepada Endar dan ia mengakuinya. Tergugat tidak mengetahui mengenai diri Endar yang mengalami kelainan seksual tersebut. Saksi juga mengetahui bahwa selama satu setengah bulan ini Dwi dan Endar sudah pisah tempat tinggal.

b. Yenny Agustina Hermandi binti Sudibyo (ibu kandung Endar Bayu Asmoro, SE)

Saksi mengaku bahwa Dwi dan Endar telah menikah pada tanggal 2 Nopember 2008 dan belum memiliki anak. Sebelum menikah Dwi dan Endar telah berkenalan kurang lebih selama 5 tahun. Yenny mengatakan bahwa Endar bercerita kepadanya bahwa ia tidak bisa memberikan nafkah

(17)

bathin kepada Dwi karena Endar lebih suka dengan sesama jenis. Kelainan seksual pada Endar diketahui Yenny setelah Endar dan Dwi menikah. Yenny juga mengetahui bahwa Endar dan Dwi telah pisah tempat tinggal. Keterangan dari bukti-bukti yang ada maka pertimbangan hakim dalam melakukan putusan adalah sebagai berikut.

1. Hakim menimbang bahwa berdasarkan pengakuan Endar yang diperkuat dengan bukti foto copy akta pernikahan maka terbukti bahwa benar antara Dwi dan Endar telah terjadi perkawinan yang sah sejak tanggal 2 Nopember 2008.

2. Hakim menimbang karena yang menjadi permasalahan dalam gugatan Dwi yaitu ingin membatalkan perkawinannya dengan Endar yang dilangsungkan pada tanggal 2 Nopember. Hal ini dikarenakan Endar telah membohongi Dwi dan keluarga, yaitu menderita kelainan seksual yakni menyukai sesama jenis, yang sebelum pernikahan tidak pernah diberitahukannya.

3. Hakim juga menimbang dari dalil Dwi bahwa Endar mengakui dan membenarkan bahwa dia memiliki kelainan seksual yang menyukai sesama jenis. Dan sebelum menikah, Endar tidak pernah menceritakannya kepada Dwi dan keluarganya. 4. Hakim melakukan pertimbangan berdasarkan Pasal 174 HIR yang mana

pengakuan Endar bahwa ia memiliki kelainan seksual telah mempunyai kekuatan pembuktian.

5. Hakim mempertimbangkan berdasarkan pengakuan Endar, keterangan saksi-saksi terbukti bahwa Endar sebelum melangsungkan pernikahan dengan Dwi, Endar tidak pernah memberitahukan tentang keadaan dirinya kepada Dwi maupun keluarga.

6. Adanya bukti surat keterangan dari dokter Ahli terbukti bahwa Endar mengalami kelainan seksual yaitu menyukai sesama jenis dalam melakukan hubungan badan. 7. Hakim menimbang bahwa berdasarkan Pasal 27 ayat (2) UU Perkawinan jo Pasal

72 ayat (2) KHI, maka perkawinan Dwi dan Endar tersebut harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum. Oleh karena itu gugatan Dwi dapat dikabulkan.

(18)

8. Hakim menimbang bahwa menurut Pasal 89 ayat (1) Undang-Undang No. 7 tahun 1989 yang diamandemen dengan Undang-Undang no. 3 tahun 2006, Penggugat dibebani untuk membayar biaya perkara.

4.1.2 Hasil Putusan

Setelah Hakim mempelajari segala permasalahan dan menimbang berdasarkan bukti dan fakta yang ada, maka Pengadilan Agama Jakarta Selatan memutuskan sebagai berikut.

1) Mengabulkan gugatan Dwi.

2) Membatalkan perkawinan antara Penggugat yaitu Dwi Patriati, SE dengan Tergugat yaitu Endar Bayu Asmoro, SE yang dilaksanakan di wilayah Kantor Urusan Agama Kecamatan Tanah Abang, Jakarta Pusat, pada tanggal 2 Nopember 2008 dengan kutipan akta nikah No. 1180/12/XI/2008 tanggal 3 Nopember 2008.

3) Membebankan Penggugat untuk membayar biaya perkara ini sebesar Rp. 161.000,- (seratus enam puluh satu ribu rupiah).

Demikian putusan tersebut dijatuhkan dalam musyawarah Majelis Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan, pada hari Kamis tanggal 16 April 2009.

4.2 Analisis Menganai Perkawinan

Merujuk pada pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan, perkawinan sah apabila dilakukan menurut ketentuan hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu, maka harus ditinjau terlebih dahulu apakah perkawinan yang dilangsungkan oleh Penggugat dan Tergugat telah sah di mata hukum agama kedua calon mempelai. Sebagaimana diketahui bahwa keduanya menganut agama Islam, maka perkawinan tersebut haruslah memenuhi 5 (lima) syarat rukun nikah, yaitu : calon mempelai pria, calon mempelai wanita, wali, saksi, dan ijab kabul.

Calon mempelai wanita dalam kasus ini sudah jelas terlihat yaitu Dwi Patriati. Sedangkan calon mempelai pria nya adalah Endar Bayu Asmoro, yang dalam kasus ini tidak memenuhi persyaratan menjadi seorang suami karena mengalami kelainan seksual.

(19)

Namun pada saat dilangsungkannya proses perkawinan, Dwi tidak mengetahui bila Endar mengalami kelainan seksual. Menurut Hukum Islam juga dijelaskan bahwa salah satu syarat untuk melangsungkan perkawinan adalah kedua pasangan tersebut harus beragama Islam. Dalam kasus ini Dwi dan Endar sama-sama beragama Islam. Selain itu, usia mereka pada saat melangsungkan perkawinan adalah 26 (dua puluh enam) untuk Dwi dan 27 (dua puluh tujuh) tahun untuk Endar. Sehingga Endar dan Dwi sudah dalam usia yang layak untuk melangsungkan perkawinan. Dalam kasus ini Dwi dan Endar juga telah berpacaran selama 5 tahun. Seharusnya, baik Dwi dan Endar telah mengetahui kondisi dan mengenal baik pasangannya. Maka dari itu sungguh sangat disayangkan dalam kasus ini Dwi tidak mengetahui bahwa Endar mengalami kelainan seksual, mengingat mereka sudah berpacaran selama 5 tahun. Dengan demikian penulis menganggap syarat calon mempelai pria dan wanita sudah terpenuhi walaupun Endar sebagai pria mempunyai kecenderungan menyukai sesama pria.

Selanjutnya dalam kasus ini juga terdapat wali bernama Yenny Agustina Hernani yang merupakan ibu kandung Tergugat. Yenny Agustina sendiri mengetahui dengan benar bahwa perkawinan antara Endar dan Dwi dilaksanakan pada tanggal 2 Nopember 2008. Menurut Pasal 6 ayat (4) UU Perkawinan dijelaskan bahwa yang dapat menjadi wali adalah yang memiliki hubungan darah dengan calon mempelai. Dengan demikian karena wali disini adalah ibu kandung Tergugat, maka syarat wali sudah terpenuhi. Apabila dilihat dari KHI, dalam Pasal 21 terdapat empat kelompok wali nasab. Penulis beranggapan bahwa syarat wali juga sudah terpenuhi karena kedua orangtua mereka mengetahui perkawinan tersebut dan menjadi wali dalam proses perkawinan ini.

Dalam proses perkawinan antara Endar dan Dwi, penulis yakin bahwa syarat ijab kabul dan saksi sudah terpenuhi. Dalam KHI Pasal 24 dijelaskan bahwa saksi adalah hal yang terpenting dalam proses akad nikah. Sehingga penulis beranggapan bahwa proses akad nikah dalam kasus ini juga sudah berjalan dengan benar sesuai dengan peraturan yang berlaku. Hal ini dibuktikan dengan dikeluarkannya bukti Akad Nikah No. 1180/12/XI/2008 tertanggal 3 Nopember 2008 yang tertulis dikeluarkan oleh KUA Tanah Abang, Jakarta Pusat. Dengan dikeluarkannya akta ini menunjukan bahwa perkawinan tersebut telah tercatat dengan resmi, sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan telah memenuhi rukun dan syarat perkawinan. Sehingga penulis berkesimpulan

(20)

bahwa Pasal 27, 28, 39 KHI juga sudah terpenuhi, karena proses ijab kabul telah dilakukan dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Penulis berpendapat bahwa perkawinan antara Dwi dan Endar telah memenuhi syarat perkawinan dalam UU Perkawinan. Adapun syarat tersebut terdiri dari syarat materil umum, syarat materil khusus, syarat formil sebelum dilangsungkannya perkawinan dan syarat formil saat dilangsungkannya perkawinan.

Perkawinan antara Dwi dan Endar telah memenuhi syarat materil umum. Hal ini dikarenakan sudah adanya persetujuan kedua calon mempelai untuk melangsungkan pernikahan. Sehingga telah memenuhi Pasal 6 ayat (1) UU Perkawinan. Selanjutnya Endar dan Dwi telah memenuhi syarat batas usia untuk melangsungkan perkawinan. Dalam Pasal 7 UU Perkawinan batas usia untuk nikah adalag 19 (Sembilan belas) tahun bagi pria dan 16 (enam belas) tahun bagi wanita.

Pernikahan Endar dan Dwi juga terbukti tidak ada dasar untuk berpoligami. Maksudnya adalah baik Endar dan Dwi tidak terikat tali perkawinan dengan orang lain. Sehingga memenuhi asas monogami relatif. Penulis juga yakin bahwa Dwi tidak dalam waktu tunggu karena terbukti Dwi belum pernah menikah dengan siapapun.

Perkawinan Endar dan Dwi juga sudah memenuhi syarat materil khusus. Hal ini dikarenakan telah terdapat persetujuan dari wali untuk melangsungkan pernikahan. Dalam kasus ini dibuktikan bahwa Yenny Agustina (ibu kandung Tergugat) mengakui bahwa Endar dan Dwi menikah pada tanggal 2 Nopember 2008. Dengan demikian Pasal 6 ayat (4) UU Perkawinan telah terpenuhi. Selanjutnya pernikahan antara Dwi dan Endar tidak terkena larangan perkawinan. Hal ini dikarenakan diantara mereka tidak terdapat hubungan darah. Sehingga perkawinan mereka tidak terkena larangan perkawinan sesuai yang terdapat pada Pasal 8 UU Perkawinan.

Selanjutnya Perkawinan antara Dwi dan Endar juga sudah memenuhi syarat formil perkawinan. Hal ini dibuktikan dengan dikeluarkannya Akta Nikah No. 1180/12/XI/1989 tanggal 3 Nopember 2008. Dengan demikian telah memenuhi syarat pemberitahuan, penelitian, pencatatan, dan pengumuman. Dengan dikeluarkannya akta nikah tersebut, maka baik Endar dan Dwi telah melakukan penandatanganan akta perkawinan tersebut. Sehingga semua syarat formil perkawinan telah

(21)

terpenuhi.Berdasarkan penjelasan diatas, perkawinan Endar dan Dwi sudah memenuhi semua syarat perkawinan baik menurut KHI dan UU Perkawinan.

Apabila dilihat dari tujuan perkawinan menurut UU Perkawinan, tujuan perkawinan disini tidak hanya melihat dari segi lahirnya saja tetapi sekaligus terdapat adanya suatu ikatan batin antara suami dan istri untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Sayangnya dalam kasus ini, Endar tidak bisa memberikan nafkah batin kepada Dwi karena Endar sendiri mengalami kelainan seksual. Sehingga dalam kasus ini, tujuan perkawinan itu sendiri pun jelas tidak tercapai.

4.3 Analisis Pembatalan Perkawinan

4.3.1 Analisis Pihak-Pihak yang Berhak Mengajukan Pembatalan Perkawinan

Dalam Pasal 22 UU Perkawinan merumuskan : “Perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.” Selanjutnya dalam Pasal 23 dan Pasal 24 UU Perkawinan diatur mengenai orang-orang yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan yaitu :

a. Para keluarga dalam garis keturunan terus ke atas dari suami atau isteri. b. Suami atau Isteri.

c. Pejabat yang berwewenang hanya selama perkawinan belum diputuskan.

d. Pejabat yang ditunjuk pada ayat (2) Pasal 16 Undang-undang ini dan setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus.

Dalam kasus ini, pihak yang mengajukan pembatalan perkawinan adalah Dwi Patra (Penggugat) selaku isteri dari Endar Bayu Asmoro (Tergugat). Pernikahan Penggugat dan Tergugat diperjelas dengan adanya akta perkawinan nomor : 1180/12/XI/2008 tanggal 3 Nopember 2008. Dengan adanya akta ini membuktikan bahwa perkawinan antara Dwi Patra dan Endar Bayu Asmoro adalah sah di mata hukum dan agama. Maka dari itu, Dwi Patra adalah orang yang berhak untuk mengajukan gugatan pembatalan perkawinan kepada suaminya.

(22)

Mengenai tata cara pengajuan permohonan pembatalan perkawinan adalah harus diajukan kepada Pengadilan yang berwenang. Hal ini dijelaskan dalam Pasal 37 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 yang berbunyi “batalnya suatu perkawinan hanya dapat diputuskan oleh pengadilan”. Selanjutnya mengenai tatacara memajukan permohonan dan panggilan untuk pemeriksaan pembatalan perkawinan diatur dalam Pasal 38 PP No. 9 Tahun 1975. Dalam kasus ini Penggugat mengajukan gugatannya di Pegadilan Agama Jakarta Selatan. Perlu diingat terdapat asas personalitas keislaman yang bermakna bahwa yang tunduk dan yang dapat ditundukkan kepada kekuasaan lingkungan Peradilan Agama hanya mereka yang beragama Islam.21 Mengingat Agama dari Penggugat dan Tergugat adalah Islam, maka menurut analisis kompetensi kewenangan peradilan kasus ini dapat diajukan ke Pengadilan Agama. Mengingat Pasal 38 diatas, maka Pengadilan Agama Jakarta Selatan berhak mengadili kasus ini.

Dalam Pasal 27 ayat (3) UU Perkawinan dijelaskan bahwa apabila setelah jangka waktu 6 bulan, mereka mengetahui telah terjadi salah sangka dan tetap hidup bersama, maka upaya untuk mengadakan pembatalan perkawinan menjadi gugur. Dalam kasus ini, perkawinan antara Penggugat dan Tergugat terjadi pada tanggal 2 Nopember 2008. Penggugat mengajukan gugatan pembatalan perkawinan ke Pengadilan Agama pada tanggal 11 Februari 2009. Maka dengan demikian jangka waktu untuk mengajukan gugatan pembatalan perkawinan belum melewati batas waktu.

4.3.3 Analisis Alasan-Alasan Pembatalan Perkawinan

Dalam Pasal 26 dan Pasal 27 UU Perkawinan dijelaskan mengenai alasan-alasan diajukan pembatalan perkawinan yaitu sebagai berikut.P

a. Pihak yang melakukan perkawinan kedua kali masih terikat dirinya dalam suatu perkawinan yang sah dengan orang lain.

b. Apabila perkawinan dilakukan dan dilangsungkan oleh pejabat atau pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang.

c. Perkawinan tanpa izin dari orang yang harus memberi izin perkawinan. d. Perkawinan dilangsungkan tanpa dihadiri oleh dua orang saksi.

21 Sulaikin Lubis, et.al., Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2005), hlm. 61.

(23)

e. Adanya ancaman yang melanggar hukum.

f. Alasan salah sangka (dwaling) mengenai “diri” suami atau isteri.

Salah satu alasan diatas merupakan alasan dari diajukannya pembatalan perkawinan yaitu terjadinya salah sangka mengenai diri suami atau isteri. Salah sangka yang dimaksud dalam kasus ini adalah bahwa selama perkawinan berlangsung Endar (Tergugat) sebagai suami telah menutupi keadaan dirinya. Maksudnya adalah bahwa dirinya (Tergugat) mempunyai kelainan seksual yaitu lebih tertarik dengan sesama jenis. Kelainan seksual ini disebut Homoseksual. Homoseksual adalah salah salah satu kelainan seksual pada seseorang yang menyukai sesama jenisnya. Apabila penderita homoseksual adalah laki-laki, maka sebutannya adalah gay. Sebaliknya jika penderita homoseksual adalah wanita, maka sebutannya adalah lesbian. Homoseksual sebenarnya bukan penyakit pada umumnya melainkan cenderung kepada pilihan identitas seseorang.22

Dalam kasus ini, Tergugat tidak memberitahukan kepada Penggugat mengenai kelainan seksualnya ini sehingga membuat Penggugat telah salah sangka mengganggap bahwa Tergugat adalah seorang Pria yang tidak memiliki kelainan seksual. Hal ini dibuktikan dalam kasus ini bahwa setelah perkawinan berlangsung, Penggugat dan Tergugat belum pernah melakukan hubungan suami isteri. Pada akhirnya Tergugat mengaku kepada Penggugat bahwa sebenarnya Tergugat memiliki kelainan seksual yaitu menyukai atau lebih tertarik dalam hal seksual dengan sesama jenis. Selain adanya pengakuan dari Tergugat bahwa dia mengalami kelainan seksual, ditambah lagi dengan adanya bukti surat yaitu surat keterangan dokter ahli yang menyatakan bahwa Tergugat memiliki kelainan seksual. Dengan demikian apabila dikaitkan dengan pendapat M. Yahya Harahap di atas, maka alasan kelainan seksual dapat dijadikan alasan pembatalan perkawinan oleh Penggugat, karena Tergugat mengalami kelainan seksual (sakit).

Penulis berpendapat alasan kelainan seksual yang diderita oleh Endar termasuk dalam suatu kecacatan. Sehingga apabila dikaitkan dengan para pendapat ulama, kecacatan yang baru diketahui setelah berlangsungnya perkawinan dapat dimintakan pembatalan. Sesuai dengan pendapat Syafi’i, Hambali, dan Hanafi yaitu apabila seorang

22http://kesehatankompas.com/read/2009/07/22/09571320/Kelainan_Seksual_Apa_Penyababnya, diunduh

(24)

suami tidak mampu melaksanakan tugas seksualnya, maka istrinya dapat menjatuhkan pilihan berpisah. Dalam kasus ini Endar tidak bisa menjalankan tugas seksualnya dan tidak bisa memberikan nafkah batin kepada Dwi. Dengan demikian maka benar Dwi ingin membatalkan perkawinannya dengan Endar karena Endar mempunyai kelainan seksual yang membuat Endar tidak bisa menjalankan tugas seksualnya.

Selanjutnya apabila ditinjau dari Kompilasi Hukum Islam, dapat dilihat juga mengenai alasan diajukannya pembatalan perkawinan seperti yang sudah dijelaskan pada Bab 3. Salah satu alasan pembatalan perkawinan adalah karena penipuan dan salah sangka mengenai diri suami atau istri. KHI melalui Pasal 72 ayat (2) menjelaskan bahwa perkawinan dapat dibatalkan tidak hanya salah langkah mengenai diri suami atau istri tetapi juga termasuk “penipuan”. Penipuan yang tersebut di sini tidak hanya dilakukan oleh pihak pria saja, tetapi dapat juga dilakukan oleh pihak wanita.

Apabila dikaitkan dengan kasus ini, maka dapat dikatakan bahwa Tergugat telah menipu Penggugat. Penipuan disini maksudnya adalah Tergugat telah membohongi Penggugat tentang kelainan seksual yang dideritanya. Karena merasa dibohongi maka dapatlah Tergugat mengajukan pembatalan perkawinan kepada Tergugat melalui Pengadilan Agama Jakarta Selatan.

Dengan adanya bukti-bukti berupa pengakuan dari Tergugat dan surat keterangan dokter yang menyatakan bahwa Endar (Tergugat) benar memiliki kelainan seksual yaitu menyukai sesama jenis, maka alasan kelainan seksual disini dapat dijadikan alasan untuk diajukannya pembatalan perkawinan. Alat bukti yang ada disini menurut Pasal 174 HIR telah memiliki kekuatan pembuktian dan alasan diajukan pembatalan perkawinan tersebut telah sesuai dengan Pasal 27 ayat (2) UU Perkawinan dan Pasal 72 ayat (2) KHI. Alasan yang dikemukakan Penggugat adalah selama berlangsungnya perkawinan, Tergugat telah menipu Penggugat bahwa ia memiliki kelainan seksual.

Dalam putusan Pengadilan Agama pada kasus ini, memakai kedua undang-undang yaitu KHI dan UU Perkawinan karena keduanya mempunyai hubungan hukum yaitu berdasarkan asas lex specialis derograt lex generalis yaitu hukum yang khusus mengesampingkan hukum yang umum. Hukum khususnya adalah KHI yang berlaku untuk yang beragama Islam dan hukum yang umumnya adalah Undang-undang Perkawinan yang berlaku secara nasional tanpa membedakan agama. Namun karena UU

(25)

Perkawinan berlaku nasional maka perlu dicantumkan pula pada putusan. Perkawinan antara Penggugat dengan Tergugat tersebut harus dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum, karena hakim Pengadilan Agama telah mengabulkan semua gugatan dari Penggugat. Dan keputusan yang diambil oleh hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan sudah tepat dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

4.3.4 Akibat Hukum Pembatalan Perkawinan

Dalam Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan No. 0294/Pdt.G/2009/PA.JS ini, majelis Hakim tidak memberikan atau menjelaskan akibat hukum dari pembatalan perkawinan antara Endar Bayu dan Dwi Patriati. Maka dari itu penulis akan memberikan sedikit analisis mengenai akibat hukum yang terjadi akibat pembatalan perkawinan antara Penggugat dengan Tergugat.

Setelah terjadinya pembatalan perkawinan, maka timbulah akibat – akibat hukum terhadap suami dan isteri. Namun sebelum membahas meganai akibat hukum dari pembatalan perkawinan, penulis akan membahas sedikit lagi mengenai akibat-akibat hukum karena adanya perkawinan. Didalam suatu perkawinan yang sah akan menimbulkan akibat hukum sebagai berikut.23

1. Terhadap pihak suami dan pihak istri sendiri yaitu berupa timbulnya hak dan kewajiban di antara mereka berdua dan hubungan mereka dengan masyarakat luas (Pasal 30 – Pasal 34 UU Perkawinan).

2. Terhadap harta benda yang ada dalam perkawinan (Pasal 29, Pasal 35 – Pasal 37 UU Perkawinan).

3. Terhadap mereka berdua sebagai orang tua (ayah dan ibu) nantinya dengan anak-anak mereka yang pada akhirnya akan menimbulkan hak dan kewajiban orang tua dan anak (Pasal 45 – Pasal 49 UU Perkawinan).

Akibat yang timbul dari perkawinan yang telah disebutkan diatas salah satunya ada;ah hak dan kewajiban suami dan isteri. Dalam hal ini terdapat kewajiban bagi suami atau

(26)

istri memberikan nafkah lahir maupun bathin, dan suami atau isteri tersebut juga mempunyai hak untuk mendapatkan nafkah lahir dan bathin.

Permohonan pembatalan perkawinan merupakan salah satu putusnya perkawinan yang dapat menimbulkan akibat-akibat hukum tertentu. Menurut Pasal 28 UU Perkawinan, menjelaskan bahwa keputusan pembatalan perkawinan berlaku surut terhadap hal sebagai berikut.

1. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan.

2. Suami atau isteri yang beritikad baik, kecuali terhadap harta benda bersama bilamana pembatalan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang terdahulu. 3. Juga terhadap pihak ketiga yang beritikad baik pembatalan perkawinan tidak

mempunyai akibat hukum yang berlaku surut.24

Didalam putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan dengan nomor 0294/Pdt.G/2009/PA.JS ini, akibat dari pembatalan perkawinan antara Dwi dan Endar adalah perkawinan mereka dianggap batal demi hukum atau tidak pernah terjadi. Hal ini dikarenakan menurut pihak pengadilan, dalam permohonan yang diajukan oleh Penggugat, Penggugat hanya meminta permohonan pembatalan perkawinannya saja. Sehingga dengan demikian Buku Nikah dan Akta Nikah antara Dwi dan Endar sudah tidak berkekuatan hukum tetap lagi oleh Pengadilan Agama Jakarta Selatan.

Mengenai akibat hukum terhadap anak, penulis sempat mewawancarai Bapak Taufik selaku pihak pengadilan setempat.

Menurut beliau “Mengenai anak yang lahir dalam perkawinan dimana dalam kasus ini tidak ada anak yang lahir atau pasangan tersebut tidak mempunyai anak. Hal ini disebabkan suami memiliki kelainan seksual yang menyebabkan tidak terjadinya hubungan suami isteri, sehingga tidak ada kewajiban diantara kedua belah pihak terhadap anak.”25

Namun apabila didalam pembatalan perkawinan tersebut terdapat anak, maka putusan pembatalan perkawinan tersebut berlaku surut seperti yang terdapat pada Pasal 28 ayat (1) UU Perkawinan. Dalam pasal ini dijelaskan bahwa kedua belah pihak

24 Yahya Harahap, Op.Cit., hlm. 81.

25 Bapak Taufik, Panitera Pengadilan Agama Jakarta Selatan, wawancara dengan pihak pengadilan pada tanggal 20 Desember 2012.

(27)

mempunyai kewajiban untuk merawat anak tersebut walaupun putusan pengadilan menyatakan batal. Hal ini dinyatakan juga dalam pasal 45 ayat (2) UU Perkawinan yang menjelaskan bahwa kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) yaitu kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya, kewajiban ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban ini berlaku meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.

Apabila dalam perkawinan dilahirkan anak, maka anak yang dilahirkan dalam perkawinan yang akibat putusan pengadilan terhadap perkawinan kedua orang tuanya tetap merupakan anak sah walaupun dengan adanya pembatalan perkawinan, perkawinan tersebut dianggap tidak pernah ada. Karena anak dan orang tua mempunyai hubungan kekeluargaan dan keperdataan, sehingga orang tua tetap mempunyai tanggung jawab atas diri anak tersebut.

Menurut Hukum Islam, terdapat persamaan antara pengaturan menurut UU Perkawinan dengan KHI. Dalam Pasal 75 KHI dijelaskan bahwa keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap anak. Dalam Pasal 76 KHI juga dijelaskan bahwa batalnya suatu perkawinan tidak akan memutuskan hubungan hukum antara anak dengan orang tuanya.

Selain dari akibat hukum terhadap anak, ada juga akibat hukum terhadap harta kekayaan dalam perkawinan tersebut. Dalam putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan nomor 0294/Pdt.G/2009/PA.JS tidak dibahas mengenai akibat pembatalan perkawinan terhadap harta kekayaan. Penulis mewawancarai pihak pengadilan dan hasilnya adalah sebagai berikut.

“Hal ini terjadi karena perkawinan antara Dwi dan Endar hanya berlangsung selama 2 bulan sehingga belum ada percampuran harta antara merka berdua. Selain itu kedua belah pihak tidak ingin mempermasalahkan mengenai harta”.26

Apabila dalam suatu pembatalan perkawinan kedua belah pihak mempermasalahkan mengenai harta, maka pembagian harta sesuai dengan perundang-undangan yaitu Undang-undang Perkawinan nomor 1 tahun 1974. Dalam pasal 37 UU Perkawinan dijelaskan bahwa bila perkawinan putus maka harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing.

(28)

Menurut Hukum Islam, dalam Pasal 37 KHI dijelaskan apabila terjadi perceraian, maka harta perkawinan akan dibagi dua selama tidak dijanjikan dalam perjanjian perkawinan. Sehingga dalam kasus ini, apabila ada harta kekayaan yang diperoleh selama perkawinan Dwi dan Endar akan dibagi dua selama tidak ada perjanjian apapun

Penulis merasa perlu adanya sanksi sebagai akibat dari pembatalan perkawinan ini. Dengan adanya pembatalan ini sangat jelas merugikan pihak penggugat. Kerugian disini dapat dilihat dimana Penggugat mengalami kerugian biaya, dan yang pasti kerugian imateril berupa perasaan malu karena kenyataannya suami Penggugat memiliki kelainan seksual. Perasaan malu disini bisa saja berdasarkan persepsi masyarakat dengan adanya pembatalan perkawinan ini, Penggugat dianggap sudah janda. Penulis merasa Tergugat harus memberikan ganti rugi kepada Penggugat mengingat kerugian yang diderita Penggugat.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka penulis menyimpulkan tidak ada permasalahan terhadap akibat hukum dari pembatalan perkawinan antara Endar dan Dwi. Putusan ini sudah dengan tegas membatalkan perkawinan antara Endar dan Dwi. Sehingga perkawinan Endar dan Dwi menjadi batal demi hukum dan Akta Nikah No. 1180/12/XI/1989 tidak berlaku lagi. Selanjutnya dalam kasus ini tidak ada permasalahan mengenai harta dan anak karena tidak ada anak yang dilahirkan dan pernikahan antara Endar dan Dwi baru berjalan selama 3 bulan.

4.4 Analisis Pertimbangan Hakim

a. Hakim menimbang bahwa terbukti antara Penggugat dan Tergugat telah terikat perkawinan yang sah sejak tanggal 2 Nopember 2008. Penulis setuju dengan pertimbangan hakim mengenai hal ini karena penulis sudah menganalisis pada poin 4.2 tentang perkawinan antara Penggugat dan Tergugat. Berdasarkan analisis penulis, benar telah terjadi perkawinan yang sah secara hukum Islam antara Penggugat dan Tergugat.

b. Hakim menimbang bahwa alasan penggugat membatalkan perkawinannya dengan Tergugat adalah karena Tergugat mempunyai kelainan seksual yakni menyukai sesama jenis. Dalam hal ini Tergugat tidak memberitahukan kepada Pengugat

(29)

sebelum perkawinan ini dilangsungkan. Bukti yang menguatkan atas kelainan seksual yang diderita Tergugat adalah Tergugat sendiri mengakui bahwa dirinya mengalami kelainan seksual yaitu menyukai sesama jenis. Selanjutnya berdasarkan surat keterangan dokter ahli terbukti bahwa Tergugat mengalami kelainan seksual. Penulis setuju dengan pertimbangan hakim mengenai alasan pembatalan perkawinan antara Endar dan Dwi yaitu karena menyukai sesama jenis (kelainan seksual). Dalam kasus ini artinya telah terjadi salah sangka dalam diri Tergugat. Pengertian salah sangka disini adalah Tergugat tidak menyukai lawan jenis melainkan lebih menyukai sesama jenis. Dengan demikian Pasal 27 ayat (2) UU Perkawinan dapat dikenakan dalam kasus ini. Selanjutnya dalam kasus ini juga terjadi penipuan mengenai ‘diri’ yang menurut Pasal 72 ayat (2) KHI dapat dijadikan alasan untuk melangsungkan pembatalan perkawinan. Penipuan mengenai ‘diri’ jelas terlihat dimana Tergugat menipu Penggugat karena Tergugat mempunyai kelainan seksual berupa menyukai sesama jenis. Akibat dari kelainan seksual yang diderita Tergugat, Tergugat tidak bisa memberikan nafkah batin kepada Penggugat.

c. Hakim juga menimbang bahwa Pasal 27 ayat (2) UU Perkawinan dan Pasal 72 ayat (2) KHI adalah alasan pembatalan perkawinan antara Endar dan Bayu. Berdasarkan pasal ini juga, maka perkawinan antara Endar dan Bayu dinyatakan batal demi hukum atau tidak mempunyai kekuatan hukum lagi. Penulis juga setuju mengenai pertimbangan hakim dalam hal ini. Hal ini dikarenakan berdasarkan analisis penulis pada poin 4.3, kedua pasal ini sangat tepat untuk dikenakan dalam kasus ini. Sehingga memang benar jalan keluar terhadap kasus ini adalah dilakukannya pembatalan perkawinan. Karena pada kenyataannya dalam kasus ini tujuan perkawinan itu sendiri tidak dapat terpenuhi. Tujuan perkawinan adalah untuk kekalnya kehidupan keluarga bersangkutan. 27 Sedangkan dalam kasus ini, bagaimana kehidupan rumah tangga Endar dan Dwi bisa kekal dan memiliki keturunan apabila Endar tidak bisa memberikan nafkah batin kepada Dwi. Selanjutnya mengingat pendapat Sayuti Thalib dalam bukunya seperti yang sudah dijelaskan pada bab 2, sudah selayaknya perkawinan ini

(30)

dibatalkan karena perkawinan disini berubah hukumnya menjadi haram. Dalam kasus ini, Endar memang tidak menganiaya Dwi, tetapi terkesan seperti meperolok-olok pernikahan. Dapat dilihat bahwa akibat perbuatan Endar yang tidak memberitahu kepada Dwi bahwa dirinya mengalami kelainan seksual adalah membuat kerugian immateril bagi Dwi. Sudah jelas juga dengan kelainan seksual yang diderita Endar, maka Endar tidak dapat memberikan nafkah batin kepada Dwi. Sehingga sudah selayaknya dan sepantasnya pernikahan antara Dwi dan Endar dibatalkan. Menurut penulis seharusnya Majelis Hakim juga memberikan pertimbangan akibat hukum dari pembatalan perkawinan antara Penggugat dan Tergugat terhadap harta kekayaan mereka serta menjatuhkan sanksi kepada Tergugat atas kerugian yang dialami Penggugat.

(31)

BAB 3 PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan pokok permasalahan yang penulis telah uraikan di atas, maka penulis menarik kesimpulan sebagai berikut.

1. Perkawinan menurut Undang – undang nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Apabila dilihat dari hukum Islam, maka perkawinan tersebut harus sesuai dengan ketentuan – ketentuan syariat Islam. 2. Pembatalan perkawinan menurut Undang – undang nomor 1 tahun 1974 dan

Kompilasi Hukum Islam adalah tindakan pengadilan berupa keputusan yang menyatakan perkawinan yang dilakukan itu dinyatakan tidak sah, dan sesuatu yang dinyatakan tidak sah itu dianggap tidak pernah ada. Sehingga setiap perkawinan yang dibatalkan akan menjadi batal demi hukum. Akibat hukum dari pembatalan perkawinan itu sendiri yaitu bisa terhadap anak yang lahir dari perkawinan, suami istri itu sendiri, dan harta kekayaan.

3. Pertimbangan hakim dalam Putusan No. 0294/Pdt.G/2009/PAJS telah memenuhi ketentuan pembatalan perkawinan yang diatur dalam UU Perkawinan dan KHI. Penggunaan Pasal 27 ayat (2) UU Perkawinan dan Pasal 72 ayat (2) KHI juga sudah tepat. Alasan kelainan seksual dapat diterima sebagai salah satu bentuk penipuan yang dilakukan Tergugat kepada Penggugat. Akibat dari kelainan seksual ini membuat tujuan perkawinan itu sendiri tidak dapat terpenuhi yaitu menghasilkan keturunan. Maka dari itu perkawinan antara Penggugat dan Tergugat memang harus dibatalkan dan dinyatakan tidak sah. Dengan demikian keputusan majelis hakim dalam kasus ini sudah tepat dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(32)

5.2 Saran

Setelah penulis mengadakan pembahasan secara keseluruhan, maka dapat diberikan beberapa saran sebagai berikut.

1. Hendaknya setiap pasangan yang akan melangsungkan pernikahan untuk lebih terbuka dan mengenal kondisi setiap pasangannya. Hal ini dikarenakan mengingat tujuan perkawinan itu sendiri baik menurut UU Perkawinan dan KHI yaitu untuk menciptakan keluarga yang bahagia dan kekal. Sikap terbuka disini maksudnya mau menceritakan kondisi psikis dari masing-masing pasangan dan menceritakan latar belakang setiap pasangan. Dengan demikian untuk kedepannya kasus seperti ini tidak terulang lagi.

2. Hendaknya majelis Hakim memberikan pertimbangan yang lebih lengkap dalam mengambil keputusan. Misalnya dalam kasus ini, majelis hakim tidak memberikan pertimbangan terhadap akibat hukum dan sanksi dari pembatalan perkawinan itu sendiri. Maka dari itu penulis menyarankan agar majelis hakim melengkapi setiap pertimbangan dalam pengambilan suatu keputusan.

3. Hendaknya pemerintah lebih memberikan perhatian pada Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan pada Kompilasi Hukum Islam. Perhatian disini maksudnya agar permerintah perlu memberikan penjelasan lebih detail mengenai pembatalan perkawinan, penjelasan mengenai klausa penipuan atau salah sangka, dan perlu juga ditambahkan mengenai sanksi sebagai akibat dari penipuan itu sendiri.

(33)

DAFTAR PUSTAKA

A. Undang-Undang

Indonesia (a). Undang-undang tentang Perkawinan. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. LN No. 1 Tahun 1974.

B. Peraturan Pemerintah

Indonesia (b). Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1

Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun

1975. LN No. 9 Tahun 1975.

C. Putusan

Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Nomor 0294/Pdt.G/2008/PA.JS. tertanggal 16 April 2009.

D. Buku

Abdurrahman. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Akademika Pressindo. Arrasjid, Chainur. Dasar-dasar Ilmu Hukum. cet. 3. Jakarta: Sinar Grafika, 2004.

Cahyono,

Akhmad Budi dan Surini Ahlan Sjarif Mengenal Hukum Perdata. Jakarta: Gitama Jaya, 2008.

Darmabrata, Wahyono dan Surini Ahlan Sjarif Hukum Perkawinan dan Keluarga di

Indonesia. Jakarta: Badan Penerbit FHUI, 2004.

Djubaedah, Neng, Sulaikin Lubis dan Farida Prihatini. Hukum Perkawinan Islam di

Indonesia. Jakarta: Hecca Mitra Utama, 2005.

Fyzee, Asaf A.A. Pokok-Pokok Hukum Islam. Jakarta: Tinta Mas, 1955.

Hadikusuma, Hilman Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum

Adat, Hukum Agama. Bandung: Mandar Maju, 1990.

Hamid, Zahry. Pokok-pokok Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang

Perkawinan di Indonesia. Yogyakarta: Binacipta, 1978.

Ichsan, Achmad. Hukum Perkawinan Bagi Yang Beragama Islam (Suatu Tinjauan

(34)

Harahap, Yahya, Hukum Perkawinan Nasional Berdasarkan Undang-undang Nomor 1

Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. cet. 1.

Medan: Zahir Trading, 1975.

Kartasapoetra, Rien G. Pengantar Ilmu Hukum Lengkap. Jakarta: Bina Aksara, 1988.

Lubis, Sulaikin. et. al. Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2005.

Malik, Rusdi. Peranan Agama Dalam Hukum Perkawinan di Indonesia. Jakarta: Universitas Trisakti, 1990.

Mamudji, Sri. et. al. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum UI, 2005.

Manan, Abdul. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2006. Muhammad, Abdulkadir. Hukum Perdata Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993.

Nuruddin, Amiur dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia

(Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 sampai Kompilasi Hukum Islam). Jakarta: Kencana,

2004.

Prakoso, Djoko dan I Ketut Murtika. Azaz-azas Hukum Perkawinan di Indonesia. Jakarta: Bina Aksara, 1987.

Prodjohamidjojo, Martiman Hukum Perkawinan Indonesia. Jakarta: Karya Gemilang, 2007.

Ramulyo, Mohammad Idris. Hukum Perkawinan Islam (Suatu Analisis

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam). Jakarta:

Bumi Aksara, 1999.

Rofiq, Ahmad. Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada,

Rusyadi, Ibnu. Bidayatul Mujtahid wa Nihayul Muqtashid. Bandung: Trigenda Karya, 1996.

Saleh, K. Wantjik. Hukum Perkawinan Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1987. Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI-Press, 1986.

Soemiyati. Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan

(Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan). Yogyakarta: Liberty,

(35)

Subekti. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: Intermasa, 1983.

Subekti, Wienarsih Imam dan Sri Soesilowati Mandi. Hukum Perorangan dan

Kekeluargaan Perdata Barat. Jakarta: Gitama Jaya, 2005.

Syarifuddin, Amir Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2007. Thalib, Sayuti. Hukum Kekeluargaan Indonesia. Jakarta: UI-Press, 1986.

Usman, Rachmadi. Aspek-aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2006.

E. Tesis

Djubaedah, Siti. "Pembatalan Perkawinan Menurut Hukum Islam dan UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (Analisis Kasus Perkara Nomor 48/PA/1984 Jakarta Timur dan Kasus Perkara Nomor 391/PA/1986 Jakarta Pusat)." Tesis Universitas Indonesia. Depok, 2006.

F. Kamus

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. cet. 2. Jakarta: Balai Pustaka, 1991.

G. Website

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt50df765e9b48d/banyak-sebab-perkawinan-tak-dicatat. Banyak Sebab Perkawinan tak Dicatat.

http://kesehatankompas.com/read/2009/07/22/09571320/Kelainan_Seksual_Apa_Penyab

Referensi

Dokumen terkait

Saran kelanjutan pengembangan dari video pembelajaran berbasis Virtual Field Trip (VFT) ini adalah yang pertama mengkaji lebih dalam pada saat pemilihan materi dan

Berdasarkan penjelasan di atas dapat kita simpulkan bahwa: Sebagian besar umur penambang batu berusia produktif penuh yaitu sebanyak 53 orang, tingkat pendidikan

Gateway adalah (gerbang jaringan) sebuah perangkat yang dipakai untuk menghubungkan satu jaringan komputer dengan satu ataupun lebih jaringan komputer yang memakai

Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa penerapan gaya desain postmodern pada Studio food court Tunjungan Plaza 1 Surabaya, cukup

Pada postmodern ini bermunculan agama-agama baru buatan manusia (--isme) yang merupakan hasil sinkritisme dan pluralisme. Tidak ada kebenaran absolut dalam agama apapun atau

Dari perhitungan dengan menggunakan analisis Du Pont System pada Perusahaan Telekomunikasi, Tbk yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 2012-2014 dapat disimpulkan

seharusnya kamu dapat membandingkan bahkan mengurutkan benda dari yang paling berat atau yang paling ringan bahkan kamu juga dapat melakukan pengukuran berat yang ada di sekitarmu.. b

Apalagi dengan semakin lamanya umur jaringan irigasi, maka sarana penunjang pertanian ini akan mengalami kerusakan baik kerusakan ringan maupun kerusakan berat yang dapat