• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HAK ASUH ANAK PASCA TERJADINYA PERCERAIAN

D. Analisis Pertimbangan Hukum Terhadap Putusan Nomor

Dalam Konvensi

Berdasarkan pembuktian ditemukan fakta bahwa antara penggugat dengan

tergugat telah terjadi perselisihan dan pertengkaran terus-menerus disebabkan

karena penggugat telah kembali kepada agamanya semula, yaitu dari agama Islam

ke agama Keristen Pantekosta sehingga hubungan antara penggugat dengan

tergugat sudah tidak harmonis lagi, bahkan keduanya pun sudah diupayakan

rukun kembali namun tidak berhasil, sebagaimana ketentuan Pasal 1

Undang-undang RI Nomor 1 Tahun 1974 dan Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam, sudah

tidak terwujud lagi dalam rumah tangga penggugat dan tergugat.

Bahwa dalam gugatan penggugat telah memenuhi alasan perceraian

sebagaimana ketentuan Pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun

1975 jo. Pasal 116 huruf (f) dan (h) Kompilasi Hukum Islam, sehingga dengan

demikian gugatan penggugat dapat dikabulkan.

Bahwa Karena penggugat sudah beralih kembali ke agamnya semula, yaitu

dari agama Islam Ke agama Keristen Pantekosta, hal mana penggugat tidak lagi

beragama Islam mengakibatkan hubungan perkawinan menjadi rusak (pasakh)

maka majelis hakim Pengadilan Agama Makassar mempunyai alasan yang cukup

untuk menetapkan bahwa talak yang dijatuhkan oleh pengadilan adalah talak

ba’in tergugat terhadap penggugat.

Dalam Pokok Perkara

a. Bahwa rumah tangga penggugat dan tergugat sudah tidak harmonis, sering

terjadi perselisihan.

b. Memerintahkan kepada penggugat untuk mengucapkan sumpah peengkap

c. Bahwa sebab-sebab terjadi perselisihan dan pertengkaran diantara penggugat

dan tergugat disebabkan karena penggugat telah kembali kepada agamanya

semula, yaitu dari agama Islam ke agama Keristen Pantekosta sehingga

hubungan keduanya tidak harmonis lagi.

d. Bahwa majelis hakim, hakim mediator telah berusaha mendamaikan, namun

tidak berhasil.

Dalam Rekonvensi

Bahwa penggugat rekonvensi/tergugat konvensi menuntut agar kedua anak

penggugat rekonvensi dengan tergugat rekonvensi yang bernama Wilbert Aditya

Fahli, dan Aprilya Angelyna Fahli diasuh oleh penggugat rekonvensi karena

penggugat rekonvensi mengkhawatirkan keyakinan kedua anak tersebut mengikuti

keyakinan tergugat rekonvensi manakala diasuh oleh tergugat rekonvensi,

Bahwa atas gugatan rekonvensi penggugat rekonvensi tersebut tergugat

rekonvensi tidak keberatan asalkan penggugat siap merawat dan membiayai kedua

anak tersebut,

Karena tergugat rekonvensi tidak keberatan atas gugatan penggugat

rekonvensi, dan keduanya sepakat menyerahkan pemeliharaan kedua anak

tersebut kepada penggugat rekonvensi, maka majelis hakim perlu menetapkan

bahwa kedua anak penggugat rekonvensi dengan tergugat rekonvensi bernama

Wilbert Aditya Fahli dan Aprilya Angelyna Fahli, berda dalam asuhan penggugat

rekonvensi;

Dalam Konvensi dan Rekonvensi

Bahwa berdasarkan Pasal 89 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun

1989 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3v Tahun 2006 dan

Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009, biaya perkara dibebankan kepada

Memperhatikan segala ketentuan hukum syara’ serta peraturan perundang -undangan lainnya yang berkaitan dengan perkara ini.

AMAR PUTUSAN Dalam Konvensi

1. Mengabulkan gugatan penggugat;

2. Menjatuhkan talak ba’in tergugat terhadap penggugat;

3. Memerintahkan Panitera Pengadilan Agama Makassar untuk mengirimkan

salinan Putusan ini kepada Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama

Kecamatan Makassar, Kota Makassar paling lambat 30 hari setelah

putusan ini berkekuatan hukum tetap,

Dalam Rekonvensi

1. Mengabulkan gugatan rekonvensi penggugat rekonvensi ;

2. Menetapkan kedua anak penggugat rekonvemsi dengan tergugat

rekonvensi berada dalam asuhan penggugat rekonvensi ;

Dalam Konvensi dan Rekonvensi

Membebankan kepada penggugat konvensi/tergugat rekonvensi unutk

membayar biaya perkara sejumlah Rp. 271.000,- (dua ratus tujuh puluh satu

ribu rupiah).

1. Analisis Putusan di Pengadilan Negeri Makassar

Setelah mengamati kasus antara penggugat dan tergugat seperti yang

diuraikan diatas. Ada hal yang menarik untuk disoroti yaitu jatuhnya ḥaḍānah

atau pemeliharaan anak yang belum mumayyiz kepada bapak .

Dalam kaitannya dengan putusan tersebut ada hal menarik perhatian

penulis untuk disoroti dari sudut pandang fikih dan peraturan yang berlaku di

Indonesia yaitu siapakah yang mempunyai hak untuk melakukan ḥaḍānah

menyebabkan seorang anak ada di tangan bapak, apa yang menjadi

pertimbangan sehingga hakim memutuskan hak tersebut ada di tangan bapak.

Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, bahwa dalam permasalahan

ḥaḍānah ibu lebih berhak mendapatkan ḥaḍānah ketika seorang anak masih

dibawah umur dan selama ibu belum menikah.

Kompilasi Hukum Islam meyatakan bahwa hak pemeliharaan anak yang

belum mumayyiz adalah hak ibunya. Hal ini dikarenakan ibu mempunyai tahap

kasih sayang serta kesabaran yang lebih tinggi , selain itu seorang ibu lebih

lembut ketika menjaga dan mendidik anaknya terlebih bagi anak yang masih

dalam usia menyusui, ibu memiliki sesuatu yang tidak dimiliki semua orang.

Kalau kita lihat kasus diatas bahwa ibu telah kembali ke agamanya

semula, yaitu dari agama Islam ke agama Keristen Pantekosta, hal mana seorag

ibu tidak lagi bergama Islam dalam hal ini bisa kita sebut murtad. Hal ini

mengakibatkan hubungan perkawinan menjadi rusak (pasakh) sehingga seorang

ibu atau hak pengasuhan ibu telah gugur. Sehingga dikhawatirkan tidak bisa

menjalankan tugasnya sebagai seorang istri serta ibu bagi anak-anak dalam hal

pengajaran tentang agama secara khusus dimasa depan nanti.

Selain itu anak merupakan makhluk sosial seperti layaknya orang dewasa.

Anak membutuhkan orang lain (orang tua) untuk membantu mengembangkan

kemampuannya , karena anak lahir dengan segala kelemahan tanpa bantuan dari

orang lain (orang tua) anak tidak mungkin dapat mencapai taraf kemanusiaan

yang normal.

Dalam hal terjadinya perceraian orang tua, biasanya anaklah yang menjadi

korban. Orang tua beranggapan dalam perceraian mereka sering kali bernggapan

bahwa dapat diselesaikan nanti setelah perceraian diselesaikan. Padahal tidak

bagi anak akan dapat dengan mudah dicapai. Dalam Kondisi apapun harus

diingat bahwa anak merupakan seorang individu yang mempunyai hak-hak dasar

yang diakui sebagaimana halnya orang dewasa misalnya Hak untuk hidup,

memeluk agama, memperoleh pendidikan, terbebas dari rasa takut, termasuk

kekerasan terhadap anak. Ketika seorang anak sebagai korban dari perceraian

terhadap kedua orang tuanya maka kita dapat melihat sikap dan prilaku seorang

anak, Psikologi anak. Dalam putusan hakim tentu harus mencerminkan uu

tersebut.berbeda dengan kasus pidana, kecuali dalam penegkan hukumnya tidak

ada pelanggaran HAM dan tidak ada penjatuhan pidana.35

Masalah Ḥaḍānah sangatlah cukup luas jangkuannya. Dalam menyelesaikan masalah ḥaḍānah itu tidak hanya mengacu kepada ketentuan formalnya saja, melainkan harus memperhatikan nilai-nilai dari hukum dalam

masyarakat, kaidah-kaidah agama, lingkungan dan keadaan ayah serta ibu yang

akan diberi hak untuk melakukan ḥaḍānah dan juga aspek lain yang mungkin berpengaruh demi kemaslahatan diri anak yang akan menjadi asuhannya.

2. Analisis Putusan di Pengadilan Agama Makassar

Pelaksanaan hukum keluarga yang berprespektif keadilan jender dan untuk

meminimalisir dampak negatif dari manifestasi ketidakadilan jender, para hakim

Pengadilan Agama mempunyai peranan yang penting sebagai pelaksana

kekuasaan kehakiman di bidang hukum keluarga.36

Sengketa hak asuh anak yang dimaksud disini adalah gugatan sengketa

suami isteri yang sudah bercerai memperebutkan hak asuh anak hasil

perkawinan mereka di Pengadilan Agama. Dalam kaitannya terhadap putusan

35

Safri, Hakim Pengadilan Negeri Makassar, Wawancara, Makassar,24 November 2016. 36

Amran Suadi dkk, Menggugat Stagnasi Pembaruan Hukum Islam di Indonesia, ,

tersebut hakim dalam memutuskan perkara sengketa hak asuh anak cenderung

menggunakan analisis keadlian jender berprespektif maqasihd syariah.

Analisis keadilan jender berprespektif maqasihd syariah adalah analisis

yang berorientasi pada kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan dalam

memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia untuk mewujudkan

kemaslahatan kemanusiaan yang terwujud pada terpeliharanya 5 (lima ) hal yaitu

memelihara agama (hifdzu al-ddin), memelihara jiwa (hifdzul hayat atau hifdzul

an-Nafs), memelihara akal (hifdzul aal-aql), memelihara keturunan (hifdz

an-nasb), dan memelihara harta (hifdzul al-mal).

Dalam konteks hak asuh anak, maka penerapan analisis keadilan jender

berprespektif maqashud syariah harus berpijsk pada keadilan yang berorientasi

pada terpeliharanya kelima hal tersebut tanpa berpihak pada jenis kelamin

tertentu, bapak atau ibu yang mampu menjamin terpeliharanya kelima hal

tersebut demi kepentingan terbaik anak yang seharusnya dipilih sebagai

pemegang hak asuh anak.

Menurut Hanan ketika ibu tidak mampu mengurus anaknya, misalnya ibu

mempunyai moral yang jelek, murtad, pengguna obat-obat terlarang, dll yang

bisa membawa dampak buruk kepada tumbuh kembang si anak, maka ayahnya

lah yang berhak atas permasalahan pemeliharaan dan pengasuhan anak.37

E. Analisis Perbandingan Pertimbangan Hukum dalam Putusan Nomor

Dokumen terkait