• Tidak ada hasil yang ditemukan

Untuk melihat hasil produk PCR dilakukan dengan metode elektroforesis menggunakan gel agarose 1,5 % sebagai fase diam. Gel agarose ditempatkan dalam gel tray elektroforesis kemudian ditambahkan buffer 1 x TBE hingga permukaan gel terendam. Produk PCR sebanyak 5,0 μL dimasukkan ke sumuran gel agarose menggunakan mikropipet. Salah satu sumuran gel diisi dengan 4,0 µl DNA ladder sebagai marker, kemudian elektroforesis dijalankan pada tegangan 110 volt selama 30 menit. Hasil elektroforesis dilihat dengan menggunakan lampu UV transilluminator. DNA yang terekspresi didokumentasikan dengan menggunakan kamera.

Analisis Hasil

Hasil yang dianalisis adalah ada atau tidaknya kontaminasi gen cyt b babi hutan pada produk bakso sapi. Terbentuknya pita pada 398 bp menunjukkan adanya gen cyt b babi hutan pada produk bakso sapi, sedangkan jika terbentuk pita 274 bp maka bakso sapi tidak terkontaminasi gen cyt b babi hutan.

7 HASIL DAN PEMBAHASAN

Penentuan dan Preparasi Sampel

Penentuan jumlah sampel untuk penelitian dengan metode deskriptif yaitu minimal 20% dari jumlah populasi yang relatif kecil (Gay, Mills dan Airasian, 2012). Pada penelitian ini digunakan sampel olahan daging sapi yaitu bakso sapi yang diperoleh dari pasar swalayan di Yogyakarta. Kriteria sampel pada penelitian ini yaitu merk bakso sapi yang berbeda dan belum melewati tanggal kadaluwarsa. Berdasarkan hasil survey terkait jumlah populasi bakso sapi yang tersebar di Yogyakarta yaitu sekitar 23-25 merk (jumlah populasi relatif kecil) maka diambil sampel sebanyak 5 sampel dengan merk yang berbeda menggunakan teknik Purposive sampling. Menurut Gay, Mills, dan Airasian (2012) purposive sampling merupakan salah satu teknik sampling yang pemilihan sampelnya dilakukan dengan menentukan kriteria sampel yang diyakini dapat mewakili suatu populasi.

Sampel bakso sapi dan kontrol positif berupa daging babi segar dan daging sapi segar dipreparasi terlebih dahulu sebelum memasuki tahap isolasi DNA. Sampel dicincang dan digerus halus menggunakan mortar dan stamper.

Tujuan preparasi sampel adalah untuk membantu memecah jaringan agar mempermudah proses lisis pada saat isolasi DNA (Puspitaningrum, Adhiyanto, dan Solihin, 2018). Replikasi terhadap sampel dilakukan sebanyak tiga kali dengan tujuan untuk memastikan hasil yang diperoleh akurat (Rau, Yudistira, dan Simbala, 2018).

Isolasi DNA

Isolasi DNA merupakan tahap awal yang harus dilakukan dalam analisis DNA. Proses isolasi DNA memiliki peran penting dalam amplifikasi dengan menggunakan metode PCR. Isolasi DNA diperlukan dengan tujuan untuk memisahkan DNA dari komponen sel lain seperti protein, lemak, dan karbohidrat (Nurhayati dan Darmawati, 2017). Isolasi DNA dilakukan dengan menggunakan FavorPrep Tissue Genomic DNA Extraction Mini Kit. Prinsip dari isolasi DNA pada umumnya terdapat tiga tahapan yaitu penghancuran (lisis), pemisahan DNA

8

dari komponen sel lain, dan pemurnian DNA (Fatchiyah dkk., 2011).

Pada penelitian ini menggunakan buffer FATG sebagai lisis buffer bertujuan untuk menghancurkan membran dan dinding sel sehingga bagian dalam sel dapat keluar (Hutami dkk., 2018). DNA masih tercampur dengan protein dan komponen lain pada saat proses penghancuran dinding sel sehingga perlu dilakukan pemisahan DNA (Rachmawati, Susilowati, dan Raharjo, 2013).

Pemisahan DNA dari kontaminan protein dilakukan dengan menambahkan Proteinase-K (Hutami dkk., 2018). Sampel diinkubasi pada suhu 60°C selama ± 1-3 jam untuk mengoptimalkan kerja dari lisis buffer (Syafaruddin, Randriani, dan Santoso, 2011). Pemurnian isolat DNA dilakukan dengan penambahan etanol absolut yang bertujuan untuk mendehidrasi DNA sehingga terjadi presipitasi membentuk endapan DNA. DNA yang telah mengalami presipitasi dihilangkan sisa kandungan etanolnya dengan menambahkan W1 buffer, wash buffer dan disentrifugasi. Sentrifugasi berfungsi untuk memisahkan isolat DNA menjadi dua fase yaitu fase organik (DNA) pada lapisan bawah dan fase aqueous (Makromolekul lain seperti protein, lipid, dan karbohidrat) pada lapisan atas (Hutami dkk., 2018). Pre-heated elution buffer berfungsi untuk mengelusi DNA dan menjaga DNA agar tidak mudah rusak (Triani, 2020). Isolat murni yang diperoleh disimpan pada suhu -20°C untuk menjaga agar DNA tidak mudah rusak oleh pengaruh suhu (Che Man, 2007). Penentuan kualitas isolat DNA didasarkan pada kemurnian dan konsentrasi DNA yang dihasilkan (Hutami dkk., 2018).

Analisis Kualitatif Isolat DNA

Kualitas isolat DNA dapat diuji secara kualitatif dengan teknik elektroforesis (Broeders dkk., 2014). Elektroforesis merupakan teknik pemisahan yang didasarkan pada pergerakan molekul-molekul bermuatan didalam medan listrik (Fuad, Ulfin, dan Kurniawan, 2016). Migrasi DNA pada elektroforesis dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu ukuran dan konformasi molekul DNA, konsentrasi gel agarosa, arus listrik, dan suhu (Fatchiyah dkk., 2011). Molekul DNA bermuatan negatif sehingga di dalam medan listrik akan bermigrasi melalui matriks gel agarosa dari kutub negatif menuju ke kutub positif (Rachmawati,

9 Susilowati, dan Raharjo, 2013).

Pada penelitian ini digunakan gel agarosa 1% dalam larutan buffer TBE 1x (Tris Borate EDTA), dan ditambahkan gel stain. Larutan buffer TBE 1x berfungsi sebagai penghantar arus listrik dalam elektroforesis (Fuad, Ulfin, dan Kurniawan, 2016). Gel stain berfungsi untuk mengamati pergerakan DNA melalui instrumen UV-Transilluminator. Gel stain akan terikat pada untai ganda DNA sehingga pita DNA dalam gel agarosa akan berpendar karena gel stain mengandung zat fluorosens (Hidayati, Saleh, Aulawi, 2017). Isolat DNA yang dimasukkan pada sumuran gel agarosa dicampur dengan loading dye. Loading dye berfungsi untuk menambah densitas sampel dan juga sebagai pewarna karena mengandung gliserol dan bromphenol blue (Murtiyaningsih, 2017).

Gambar 1. Elektrogram Analisis Kualitatif Isolat DNA Keterangan :

DL : DNA ladder

B : Isolat DNA daging babi segar

S : Isolat DNA daging sapi segar 1-5 : Isolat DNA sampel bakso sapi

Kondisi elektroforesis : Fase diam menggunakan gel agarosa 1%; Fase gerak menggunakan larutan buffer TBE 1x; Kecepatan 110 volt/cm selama 30 menit; Volume injeksi 6 µL; DNA ladder 3 µL

10

Tabel I. Karakteristik hasil Analisis Kualitatif Isolat DNA Kode Sampel Ukuran pita

Hasil elektroforesis yang diperoleh ditunjukkan pada Gambar 1.

Karakteristik hasil analisis kualitatif isolat DNA disajikan pada Tabel I.

Visualisasi UV-Transilluminator menunjukkan bahwa genom DNA berhasil diisolasi dari daging sapi segar, daging babi segar, dan kelima sampel bakso sapi.

Hasil tersebut sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Sari, Kartikasari, dan Cahyadi (2016) yaitu genom DNA dari sampel bakso pada penelitian tersebut berhasil diisolasi karena isolasi DNA tidak dipengaruhi oleh proses pemanasan. Bakso sapi merupakan produk olahan daging yang pada proses pembuatannya telah dihaluskan dan kemudian dibentuk bola-bola kecil lalu direbus dalam air panas (Montolalu dkk., 2013). Proses pemanasan yang dilakukan yaitu sekitar 100°C dan berdasarkan penelitian yang dilakukan Matsunaga dkk. (1999) genom DNA berhasil di isolasi dari daging yang telah melalui proses pemanasan pada suhu 100°C dan 120°C selama 30 menit. Hal tersebut menunjukkan bahwa dinding sel sulit untuk dihancurkan oleh suhu tinggi, sehingga DNA mitokondria yang terletak didalam sitoplasma sel dipengaruhi oleh suhu tinggi. Karakteristik hasil analisis kualitatif isolat DNA yang disajikan pada Tabel I menunjukkan bahwa isolat DNA yang diperoleh membentuk pita tunggal dengan intensitas pita bervariasi serta berukuran lebih dari 3000 bp. Menurut Patramurti dan Fenty (2017) isolat DNA dapat dikatakan murni ketika pita DNA yang terbentuk tebal dan tunggal serta berukuran diatas 3000 bp. Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa kualitas isolat DNA yang dihasilkan dari proses isolasi DNA memiliki kualitas yang baik yaitu bersifat murni. Panjang pita DNA dapat diketahui dengan cara menarik garis lurus masing-masing pita sampel

11

DNA dengan posisi pita DNA ladder. DNA ladder yang dimasukkan pada salah satu sumuran gel agarosa berfungsi sebagai penanda posisi molekul DNA yang bermigrasi, untuk menentukan perkiraan ukuran basa-basanya (Utami, Kusharyati, dan Pramono, 2013). Pita DNA yang tebal menunjukkan konsentrasi yang tinggi, sedangkan pita DNA yang tipis menunjukkan konsentrasi yang rendah (Hidayati, Saleh, Aulawi, 2016).

Optimasi Kondisi PCR

Optimasi kondisi PCR dilakukan pada suhu annealing dengan menggunakan sistem BioRad T100 Thermal Cycler. Kondisi PCR merupakan proses siklus yang berulang, meliputi denaturasi (pemutusan dua untai DNA template menjadi untai tunggal), annealing (penempelan primer pada DNA template, dan ekstensi oleh enzim DNA polimerase (proses polimerase untuk pembentukan untai DNA baru) (Fatchiyah dkk., 2011). Optimasi kondisi PCR hanya dilakukan pada kontrol positif dengan tujuan untuk memperoleh suhu annealing yang optimal sehingga membentuk pita produk PCR yang tepat dan jelas (Margawati dan Ridwan, 2010). Suhu yang diperlukan untuk primer berhasil menempel pada DNA target disebut dengan suhu annealing. Suhu annealing yang optimum merupakan salah satu faktor kritis penentu keberhasilan proses PCR.

Suhu annealing yang terlalu rendah dari suhu optimum akan menyebabkan terjadinya false priming, dan apabila suhu annealing lebih tinggi dari suhu optimum maka primer tidak dapat menempel pada DNA target sehingga proses PCR tidak berhasil (Astriani, Ratnayani, dan Yowani, 2014). Primer berfungsi sebagai pembatas fragmen DNA target yang akan diamplifikasi dan sekaligus menyediakan gugus hidroksi (-OH) pada ujung 3’ yang diperlukan untuk proses eksistensi DNA (Handoyo dan Rudiretna, 2001). Primer yang digunakan diadopsi dari Matsunaga dkk. (1999) dan disajikan pada Tabel II.

12

Tabel II. Urutan dan Jumlah Basa pada Primer

Nama Primer Urutan Basa Jumlah

Basa Forward

Universal

5’ GAC CTC CCA GCT CCA TCA AAC ATC TCA TCT

TGA TGA AA 3’ 38 basa

Reverse Sapi 5’ CTA GAA AAG TGT AAG ACC CGT AAT ATA AG 3’

29 basa Forward

Universal

5’ GAC CTC CCA GCT CCA TCA AAC ATC TCA TCT

TGA TGA AA 3’ 38 basa

Reverse Babi 5’ GCT GAT AGT AGA TTT GTG ATG ACC GTA 3’ 27 basa Penentuan suhu optimum primer yang digunakan untuk menempel pada daerah target DNA gen sitokrom b babi dan sapi yaitu dengan menggunakan gradien suhu annealing 55,6 ºC; 58,4 ºC; 60,5ºC; 62,2ºC; 64ºC. Target DNA gen sitokrom b babi yaitu pada basa nitrogen urutan 15.399 bp hingga 15.796 bp dengan ukuran 398 bp (Gambar 2) dan target DNA gen sitokrom b sapi pada basa nitrogen urutan 14.571 hingga 14.844 dengan ukuran 274 bp (Gambar 3) (NCBI, 2013).

Gambar 2. Letak Target Gen Cyt b dari Sus scrofa (NCBI, 2013)

13

Gambar 3. Letak Target Gen Cyt b dari Bos taurus (NCBI, 2013)

Pemilihan gradien suhu annealing yaitu 55,6 ºC; 58,4 ºC; 60,5ºC; 62,2ºC;

64ºC berdasarkan rumus (Tm–5)oC sampai dengan (Tm+5)oC sehingga diperoleh gradien suhu pada kedua primer yaitu antara suhu 55°C – 65°C (Handoyo dan Rudiretna, 2001). Suhu annealing mengacu pada Matsunaga dkk. (1999) yaitu pada suhu 60 ºC selama 30 detik dan dioptimasi karena terdapat perbedaan metode yang digunakan oleh Matsunaga dkk. (1999) (Multipleks PCR) dengan penelitian yang dilakukan saat ini (Unipleks PCR). Perbedaan metode tersebut berkaitan dengan jumlah primer pada master mix yang digunakan untuk running PCR, sehingga dapat memberikan nilai annealing optimal yang berbeda pada masing-masing metode. Menurut Chamberlain dkk. (cit., Sophian dkk., 2021) master mix pada multipleks PCR terdiri dari beberapa set primer dengan reagen PCR yang sama dengan reguler PCR (unipleks PCR) untuk dapat menghasilkan amplikon dengan berbagai ukuran yang spesifik untuk sekuens DNA yang berbeda. Menurut Ashuma dkk. (2014) pada multipleks PCR terdiri dari beberapa set primer pada satu tabung reaksi untuk mengamplifikasi beberapa target DNA dengan ukuran yang berbeda-beda, sedangkan menurut penelitian Butler (2005) pada unipleks PCR hanya digunakan satu set primer untuk amplifikasi satu sekuen target DNA dalam satu tabung reaksi. Berdasarkan penelitian tersebut maka optimasi suhu annealing merupakan tahap penting yang perlu dilakukan.

14

Gambar 4. Elektrogram Hasil Optimasi Suhu Annealing Kontrol Positif Daging Babi Segar

Keterangan :

DL : DNA ladder

Kondisi elektroforesis : Fase diam menggunakan gel agarosa 1,5%; Fase gerak menggunakan larutan buffer TBE 1x; Kecepatan 110 volt/cm selama 30 menit; Volume injeksi 5 µL; DNA ladder 3 µL.

Tabel III. Karakteristik DNA Hasil Optimasi Suhu Annealing Kontrol Positif Daging Babi Segar

Suhu Teramplifikasi Ukuran pita DNA

Ketebalan pita DNA Jumlah pita DNA

64 ºC 398 bp Tebal Tunggal

62,2 ºC 398 bp Tebal Tunggal

60,5 ºC 398 bp Tebal Tunggal

58,4 ºC 398 bp Tebal Tunggal

55,6 ºC 398 bp Tebal Tunggal

100 bp 398 bp

15

Gambar 5. Elektrogram Hasil Optimasi Suhu Annealing Kontrol Positif Daging Sapi Segar

Keterangan :

DL : DNA ladder

Kondisi elektroforesis : Fase diam menggunakan gel agarosa 1,5%; Fase gerak menggunakan larutan buffer TBE 1x; Kecepatan 110 volt/cm selama 30 menit; Volume injeksi 5 µL; DNA ladder 3 µL.

Tabel IV. Karakteristik DNA Hasil Optimasi Suhu Annealing Kontrol Positif Daging Sapi Segar

Suhu Teramplifikasi Ukuran pita DNA

Ketebalan pita DNA Jumlah pita DNA

Hasil Optimasi suhu annealing untuk kontrol positif daging babi segar ditunjukkan pada Gambar 4 dan karakteristik DNA hasil optimasi suhu annealing daging babi segar disajikan pada Tabel III. Berdasarkan Gambar 4 dan Tabel III diperoleh pita yang tunggal dan tebal pada seluruh gradien suhu annealing dengan ukuran 398 bp, sehingga dapat dikatakan primer dapat menempel dengan baik pada DNA template menggunakan semua suhu annealing yang diuji. Hasil Optimasi suhu annealing untuk kontrol positif daging sapi segar ditunjukkan pada Gambar 5 dan karakteristik DNA hasil optimasi suhu annealing daging sapi segar

100 bp

274 bp

16

disajikan pada Tabel IV. Berdasarkan Gambar 5 dan Tabel IV diperoleh pita yang tunggal dan tipis pada suhu annealing 62,2°C serta pita yang tunggal dan tebal pada suhu annealing 60,5°C; 58,4°C; dan 55,6°C dengan ukuran 274 bp, sehingga dapat dikatakan primer dapat menempel dengan baik pada DNA template menggunakan suhu annealing 62,2°C;60,5°C; 58,4°C; dan 55,6°C. Hasil optimasi suhu annealing tersebut dijadikan acuan untuk menentukan suhu annealing yang optimum pada kedua kontrol positif. Suhu annealing yang dinyatakan optimum untuk kedua kontrol positif yaitu pada suhu 58,4°C selama 30 detik. Penentuan suhu annealing yang optimal tersebut mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Astriani, Ratnayani, dan Yowani (2014) yaitu pada 6 seri suhu annealing terbentuk pita yang tegas pada seluruh seri suhu annealing sehingga dipilih nilai tengah dari keenam seri suhu annealing tersebut yang kemudian digunakan sebagai suhu annealing yang optimum.

Identifikasi Gen Sitokrom B (Cyt b)

Tabel V. Komponen dan Volume Mix PCR

Komponen Volume

Smobio ExcelTaq 5x PCR Master Dye Mix TP1200 10 µL Primer Forward Universal 0,1 µM 0,5 µL Primer Reverse (babi atau sapi) 0,1 µM 0,5 µL

DNA template 150 ng 3 µL

Nuclease-Free Water ad 30 µL

Tabel VI. Kondisi PCR

Kondisi PCR Suhu Waktu

Inisial Denaturasi 95°C 3 menit

Denaturasi 95°C 15 detik

Annealing 58,4°C 30 detik

Ekstensi 72°C 30 detik

Final Ekstensi 72°C 1 menit

Siklus Amplifikasi : 30 siklus

Identifikasi gen sitokrom b dapat dilakukan dengan metode Polymerase Chain Reaction (PCR). Pada penelitian ini amplifikasi dilakukan dengan instrumen PCR (BioRad T100 Thermal Cycler) dengan komponen dan volume mix PCR pada Tabel V. Running PCR dilakukan sebanyak dua kali. Running PCR pertama dilakukan untuk identifikasi kandungan daging sapi pada bakso sapi

17

menggunakan primer forward universal dan primer reverse spesifik sapi. Kontrol positif yang digunakan yaitu daging sapi segar. Running PCR kedua dilakukan untuk identifikasi kandungan daging babi pada bakso sapi menggunakan primer forward universal dan primer reverse spesifik babi. Kontrol positif yang digunakan yaitu daging babi segar. Apabila pada sampel tidak terdapat kandungan gen sapi atau babi maka tidak akan terjadi penempelan primer.

Amplifikasi dilakukan dengan menggunakan primer yang diadopsi dari Matsunaga dkk. (1999) (Tabel II). Primer tersebut nantinya akan menempel pada target DNA. Kondisi PCR yang digunakan diadopsi dari Ni’mah dkk., (2016) (Tabel VI). Proses PCR diawali dengan Inisial Denaturasi dan dilanjutkan denaturasi pada suhu 95°C, suhu yang tinggi tersebut bertujuan agar terjadi pemisahan untai ganda DNA menjadi untai tanggal. Pada tahap annealing dilakukan pada suhu 58,4°C (terjadi penurunan suhu) bertujuan agar primer dapat menempel pada DNA template. Tahap annealing merupakan tahap yang kritis sehingga harus dilakukan pada suhu optimum karena apabila primer tidak menempel pada DNA template target maka tidak akan terbentuk salinan DNA yang ditargetkan, hasil optimasi suhu annealing memberikan hasil suhu yang optimum untuk tahap annealing yaitu pada suhu 58,4°C selama 30 detik.

Kemudian pada tahap ekstensi dengan suhu 72°C enzim DNA polymerase akan memanjangkan DNA template target dan membentuk salinan untai DNA yang komplementer (Joshi dan Deshpande, 2011). Ketiga tahapan tersebut diulangi sebanyak 30 kali agar hasil amplifikasi DNA yang diperoleh cukup untuk dideteksi dengan teknik elektroforesis.

Analisis Produk PCR

Analisis produk PCR dilakukan dengan teknik elektroforesis dan divisualisasikan dengan UV-Transilluminator. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Novianty dkk. (2016) dan Indriati (2021) produk PCR dari isolat DNA jika memiliki kandungan gen sapi akan terbentuk pita tunggal dan tebal dengan ukuran 274 bp, sedangkan jika memiliki kandungan gen babi akan terbentuk pita dengan ukuran 398 bp. Pada analisis produk PCR digunakan gel

18

agarosa 1,5%. Konsentrasi gel agarosa yang digunakan pada analisis produk PCR lebih tinggi dari konsentrasi gel agarosa pada analisis kualitatif isolat DNA.

Molekul DNA yang ukurannya lebih kecil akan bermigrasi lebih cepat melalui pori-pori gel agarosa. Ukuran molekul DNA produk PCR relatif lebih kecil dari isolat DNA sehingga pori-pori gel agarosa untuk molekul DNA bermigrasi harus lebih rapat (Irianto, 2017).

Gambar 6. Elektrogram Produk PCR dengan Primer Reverse Spesifik Gen sapi yang Terbentuk pada Kondisi Optimum

Keterangan :

DL : DNA ladder

S : Produk PCR daging sapi segar

1-5 : Produk PCR sampel bakso sapi

Kondisi elektroforesis : Fase diam menggunakan gel agarosa 1,5%; Fase gerak menggunakan larutan buffer TBE 1x; Kecepatan 110 volt/cm selama 30 menit; Volume injeksi 5 µL; DNA ladder 3 µL.

Tabel VII. Produk PCR dengan Primer Reverse Spesifik Gen sapi yang Terbentuk pada Kondisi Optimum

Kode Teramplifikasi Ukuran pita DNA

Hasil elektroforesis yang diperoleh pada identifikasi kandungan gen sapi dengan sampel bakso sapi ditunjukkan pada Gambar 6. Karakteristik produk PCR dengan primer reverse spesifik gen sapi disajikan pada Tabel VII. Hasil

19

visualisasi UV-Transilluminator isolat DNA kontrol positif yaitu daging sapi segar, sampel 2, 3, dan 5 membentuk pita tunggal dan tebal, serta berukuran 274 bp. Sedangkan pada sampel 1 dan 4 tidak terbentuk pita yang sejajar dengan kontrol positif. Menurut Novianty dkk. (2016) dan Indriati (2021) terbentuknya pita pada 274 bp menunjukkan keberadaan mtDNA spesifik sitokrom b sapi.

Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa pada sampel 2, 3 dan 5 isolat DNA teramplifikasi dan teridentifikasi mengandung daging sapi, sedangkan pada sampel 1 dan 4 tidak teramplifikasi sehingga tidak teridentifikasi adanya kandungan gen sapi. Menurut Sinaga, Putri, dan Bangun (2017) proses amplifikasi tidak dapat terjadi ketika primer yang digunakan tidak sesuai dengan DNA template dimana perbedaan satu pasang basa saja dapat menyebabkan ketidaksesuaian antara primer dengan DNA template yang kemudian mencegah proses amplifikasi. Namun jika dilihat dari hasil analisis kualitatif isolat DNA pada sampel 1 dan 4 terbentuk pita tunggal dan tipis yang menunjukkan bahwa sampel 1 dan 4 mengandung DNA jaringan hewan yang tidak diketahui.

Gambar 7. Elektrogram Produk PCR dengan Primer Reverse Spesifik Gen babi yang Terbentuk pada Kondisi Optimum

Keterangan :

DL : DNA ladder

B : Produk PCR daging babi segar

1-5 : Produk PCR sampel bakso sapi

Kondisi elektroforesis : Fase diam menggunakan gel agarosa 1,5%; Fase gerak menggunakan larutan buffer TBE 1x; Kecepatan 110 volt/cm selama 30 menit; Volume injeksi 5 µL; DNA ladder 3 µL.

20

Tabel VIII. Karakteristik Produk PCR dengan Primer Reverse Spesifik Gen babi yang Terbentuk pada Kondisi Optimum

Kode Teramplifikasi Ukuran pita DNA

Ketebalan pita DNA Jumlah pita DNA

Hasil elektroforesis yang diperoleh pada identifikasi kandungan gen babi dengan sampel bakso sapi ditunjukkan pada Gambar 7. Karakteristik produk PCR dengan primer reverse spesifik gen babi disajikan pada Tabel VIII. Hasil visualisasi UV-Transilluminator isolat DNA pada kontrol positif yaitu daging babi segar diperoleh pita tunggal dan tebal, serta berukuran 398 bp. Menurut Novianty dkk. (2016) dan Indriati (2021) terbentuknya pita pada 398 bp menunjukkan keberadaan mtDNA spesifik sitokrom b babi. Sedangkan pada sampel 1, 2, 3, 4, dan 5 tidak terbentuk pita yang sejajar dengan kontrol positif.

Menurut Irwandi, Wardi, dan Dova (2020) Sampel yang tidak membentuk pita yang sejajar dengan kontrol positif menandakan tidak adanya kandungan daging babi, sedangkan sampel yang membentuk pita yang sama dengan kontrol positif menandakan adanya kandungan daging babi. Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa pada sampel 1, 2, 3, 4, dan 5 tidak terjadi penempelan primer pada DNA template sehingga tidak terjadi proses amplifikasi. Menurut Sinaga, Putri, dan Bangun (2017) proses amplifikasi tidak dapat terjadi ketika primer yang digunakan tidak sesuai dengan DNA template dimana perbedaan satu pasang basa dapat menyebabkan ketidaksesuaian antara primer dengan DNA template yang kemudian mencegah proses amplifikasi. Hal tersebut menunjukkan bahwa pada sampel 1, 2, 3, 4, dan 5 tidak teridentifikasi adanya kandungan daging babi karena primer reverse yang digunakan spesifik terhadap gen sitokrom b babi.

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Fitrilia, Deswinar, dan Raihana (2017) diperoleh hasil yang negatif dari 13 sampel penelitian yang ditunjukkan oleh pita DNA sampel yang muncul tidak sejajar dengan pita DNA kontrol positif (daging babi) sehingga sampel bakso tersebut dinyatakan aman untuk dikonsumsi.

21 KESIMPULAN

Hasil amplifikasi isolat DNA sampel bakso sapi yang divisualisasikan dengan UV-Transilluminator menunjukkan bahwa isolat DNA yang diperoleh pada kontrol positif yaitu daging babi segar membentuk pita tunggal dan tebal, serta berukuran 398 bp, namun pada sampel 1, 2, 3, 4, dan 5 tidak terbentuk pita yang sejajar dengan kontrol positif. Berdasarkan hasil tersebut maka sampel 1, 2, 3, 4, dan 5 yang dijual di pasar swalayan Yogyakarta tidak teridentifikasi adanya kandungan daging babi.

SARAN

Penelitian selanjutnya dapat dilakukan identifikasi kandungan gen sitokrom b babi pada sampel bakso sapi yang diperoleh dari warung-warung kecil dan menggunakan metode lain seperti multipleks PCR.

22 DAFTAR PUSTAKA

Aminah, Ramadini, R., dan Naid, T., 2019. Analisis Cemaran DNA Tikus pada Bakso Daging Sapi yang Beredar di Makassar dengan Metode Polymerase Chain Reaction (PCR). Jurnal Farmasi Galenika.

Andriyani, E., Fais, N.L., Muarifah, S., 2019. Perkembangan Penelitian Metode Deteksi Kandungan Babi untuk Menjamin Kehalalan Produk Pangan

Andriyani, E., Fais, N.L., Muarifah, S., 2019. Perkembangan Penelitian Metode Deteksi Kandungan Babi untuk Menjamin Kehalalan Produk Pangan

Dokumen terkait