• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.5 Analisis Protein

Analisis protein dapat dilakukan dengan dua cara yaitu 1) secara langsung menggunakan zat kimia yang spesifik terhadap protein, contohnya seperti dengan pereaksi Biuret, Lowry, Bradford atau dengan metode pengikatan warna dimana konsentrasi ditentukan berdasarkan kompleks warna yang terbentuk; 2) secara tidak langsung dengan menghitung jumlah nitrogen yang terkandung di dalam bahan, contohnya metode Kjeldahl dan metode Dumas dimana kadar protein sebanding dengan total N yang terkandung di dalamnya (Rhee, 2005).

2.5.1 Metode Kjeldahl

Sejak abad ke-19, metode Kjeldahl telah dikenal dan diterima secara universal sebagai metode untuk analisis protein dalam berbagai variasi produk makanan dan produk jadi (Rhee, 2005). Penetapan kadar protein dengan metode Kjeldahl merupakan metode empiris (tidak langsung) yaitu melalui penetapan kadar N dalam bahan yang disebut protein kasar (Estiasih, dkk., 2012).

Prinsip metode Kjeldahl ini adalah senyawa-senyawa yang mengandung nitrogen tersebut mengalami oksidasi dan dikonversi menjadi ammonia dan

bereaksi dengan asam pekat membentuk garam amonium. Kemudian ditambahkan basa untuk menetralisasi suasana reaksi dan kemudian didestilasi dengan asam dan dititrasi untuk mengatahui jumlah N yang dikonversi (Estiasih, dkk., 2012).

Tahapan kerja pada metode Kjeldahl dibagi tiga yaitu: a. Tahap Dekstruksi

Pada tahap ini, sampel dipanaskan dengan asam sulfat pekat sehingga terjadi destruksi menjadi unsur karbon (C), hidrogen (H), oksigen (O) dan nitrogen (N) kemudian teroksidasi menjadi karbon monoksida (CO), karbon dioksida (CO2) dan air. Unsur N akan bereaksi dengan asam sulfat membentuk garam amonium sulfat. Untuk mempercepat proses destruksi maka ditambahkan katalisator berupa campuran Na2SO4 dan HgO atau K2SO4 dan CuSO4. Gunning menyarankan penggunaan katalisator K2SO4 dan CuSO4 karena sifat kalium sulfat yang dapat menaikkan titik didih sehingga destruksi berlangsung lebih cepat dan sempurna. Terkadang dapat pula ditambahkan selenium untuk mempercepat proses oksidasi akan tetapi, selenium sifatnya lebih reaktif sehingga oksidasi berlangsung sangat cepat yang memungkinkan hilangnya unsur nitrogen (Rohman dan Sumantri, 2007). Menurut Chang (1998), reaksi pada tahap destruksi adalah: H H H

-OOC-C- NH-C- COO- NH- C- COO- (NH4)2SO4 R R R

b. Tahap Destilasi

Garam amonium sulfat yang terbentuk dipecah menjadi ammonia (NH3) dengan penambahan basa NaOH dan dipanaskan. Ammonia yang dilepas ditampung dalam larutan asam. Agar kontak antara asam dan ammonia

H2SO4

berlangsung sempurna maka ujung tabung destilasi harus tercelup sedalam mungkin dalam larutan asam. Pada tahap destilasi dapat juga ditambahkan logam Zn agar tidak terjadi superheating (percikan cairan atau timbulnya gelembung gas yang besar) (Rohman dan Sumantri, 2007). Menurut Chang (1998), reaksi pada tahap destilasi adalah:

(NH4)2SO4 + H2O + 2 NaOH 2 NH4OH + Na2SO4 NH4OH+ H2SO4 NH4HSO4 + H2O

c. Tahap Titrasi

Bila larutan asam yang digunakan untuk penampung destilat adalah asam klorida dan asam sulfat maka sisa asam yang tidak bereaksi dengan amonia akan bereaksi dengan larutan pentiter yaitu NaOH. Tetapi bila digunakan larutan penampung destilat berupa asam borat maka banyaknya asam borat yang bereaksi dengan ammonia dapat diketahui dengan mentritrasi ion amonium dengan menggunakan pentiter HCl (Rohman dan Sumantri, 2007). Menurut Chang (1998), reaksi pada tahap titrasi adalah sebagai berikut:

H2SO4 + 2NaOH Na2 SO4 + 2 H2O

Menurut Rohman dan Sumantri (2007), kadar protein dalam sampel dapat dihitung dengan rumus:

Kadar = (� ������ −� ������) ��������,�14 ��� �� � 100% dimana : V = Volume Tirasi (ml) N = Normalitas NaOH FK = Faktor Konversi BS = Berat Sampel (g)

Faktor konversi untuk berbagai macam bahan dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Faktor konversi untuk berbagai macam bahan

N o

Bahan Faktor Konversi (FK)

1 Bir, sirup, biji-bijian, ragi, makanan

ternak, buah-buahan, teh, anggur

6,25

2 Beras 5,95

3 Roti, gandum, makaroni, bakmi 5,70

4 Kacang tanah 5,46

5 Kedelai 5,75

6 Kenari 5,18

7 Susu 6,38

Sumber: Rohman dan Sumantri (2007)

Keuntungan menggunakan metode Kjeldahl ini adalah dapat diaplikasikan untuk semua jenis bahan pangan, tidak memerlukan biaya yang mahal untuk pengerjaannya, dapat dimodifikasi sesuai kuantitas protein yang dianalisis. Adapun kerugiannya adalah yang ditentukan adalah jumlah total nitrogen yang terdapat didalamnya bukan hanya nitrogen dari protein, waktu yang diperlukan relatif lebih lama (minimal 4 jam untuk menyelesaikannya), presisi yang lemah, pereaksi yang digunakan ada yang bersifat beracun, korosif dan berbahaya bagi kesehatan, dan adanya variasi faktor konversi untuk masing-masing sampel (Chang, 1998).

2.5.2 Metode Spektrofotometri

Penentuan kadar protein dengan menggunakan instrumen dibagi menjadi dua yaitu: 1) metode pengukuran langsung pada panjang gelombang 205 nm dan 280 nm dan 2) metode pembentukan warna dengan pereaksi tertentu (Simonian, 2005).

1. Metode pengukuran langsung pada panjang gelombang 205 nm dan 280 nm Absorbansi pada panjang gelombang 205 nm dan 280 nm digunakan untuk menghitung konsentrasi protein dengan terlebih dahulu distandarisasi dengan protein standar. Metode ini dapat dengan mudah diaplikasikan dan sederhana, cocok untuk larutan protein yang telah dimurnikan atau dimurnikan parsial. Penetapannya berdasarkan absorbansi sinar ultraviolet oleh asam amino triptopan, tirosin dan ikatan disulfida sistein yang menyerap kuat pada panjang gelombang tersebut, terutama panjang gelombang 280 nm (Simonian, 2005).

Keuntungan metode ini adalah waktu yang diperlukan untuk analisis cepat, memiliki sensitifitas yang baik, tidak ada gangguan dari ion ammonium dan garam-garam buffer, larutan sampel masih dapat digunakan untuk analisis lain selain analisis protein. Kerugian metode ini adalah asam nukleat juga memiliki absorbansi yang kuat pada panjang gelombang 280 nm, susunan asam amino aromatis dapat bervariasi untuk setiap sampel protein, larutan protein harus benar-benar jernih dan tidak berwarna ataupun keruh (Chang, 1998).

2. Metode pembentukan warna dengan pereaksi tertentu a. Pereaksi Biuret

Semua protein terususun dari asam-asam amino yang terhubung oleh ikatan-ikatan peptida. Ion Cu2+ dari CuSO4 dalam suasana basa NaOH akan membentuk kompleks dengan ikatan peptida protein (-CO-NH-), kompleks ini memberikan akan warna sehingga konsentrasi protein dapat ditentukan dengan spektrofotometer sinar tampak (Estiasih, dkk., 2012).

Pemilihan protein standar dapat menyebabkan kesalahan fatal dalam analisis, standar yang digunakan harus memiliki tingkat kemurnian yang tinggi.

Untuk analisis protein secara umum, standar Bovine Serum Albumin (BSA) merupakan pilihan yang baik untuk analisis protein karena memiliki kemurnian yang tinggi, dan harganya tidak terlalu mahal. Selain itu, Bovine Gamma Globulin (BGG) juga merupakan pilihan yang baik bila akan digunakan untuk analisis kadar protein immunoglobulin dalam tubuh, karena BGG memberikan warna dan kurva yang sangat mirip dengan Immunoglobulin G (Ig G). Asam amino tunggal dan dipeptida tidak akan memberikan reaksi dengan Biuret, akan tetapi tripeptida dan polipeptida akan membentuk kompleks chelat. Satu ion Cu2+ akanbereaksi dengan empat sampai enam ikatan peptida. (Krohn, 2005). Reaksi protein dengan pereaksi Biuret dapat dilihat pada Gambar 6.

Reaksi Biuret ini menunjukkan hasil yang positif melalui pembentukan warna ungu, merah violet, atau biru violet. Intensitas warna yang terbentuk sebanding dengan banyaknya ikatan peptida yang bereaksi. Pereaksi Biuret merupakan dasar dari metode pembentukan warna yang paling sederhana untuk penetapan konsentrasi total protein secara kuantitatif (Sumardjo, 2006; Krohn, 2005).

Protein + Cu2+

Gambar 6. Reaksi protein dengan pereaksi Biuret (Krohn, 2005) Kompleks Cu2+

Keuntungan dari metode ini adalah prosedur yang sederhana, tidak memerlukan biaya yang mahal, waktu yang digunakan relatif singkat, deviasai warna sangat sedikit bila dibandingkan dengan Lowry, Bradford dan metode turbidimetri sehingga absorpsi warnanya relatif stabil, sangat sedikit senyawa yang berinteraksi dengan pereaksi Biuret, dan tidak mendeteksi nitrogen dari sumber non-protein. Kerugiannya adalah kurang sensitif dibandingkan dengan Lowry dan Bradford, absorbansinya dapat dipengaruhi oleh asam empedu, konsentrasi garam ammonium yang sangat tinggi, adanya variasi warna untuk beberapa protein tertentu, bila bahan mengandung lemak dan karbohidrat yang sangat tinggi dapat menyebabkan larutan menjadi buram sehingga tidak dapat ditembus cahaya UV, dan karena metode ini bukan merupakan metode absolut sehingga absorpsi warnanya perlu terlebih dahulu distandarisasi terhadap protein murni seperti Bovine Serum Albumin (BSA) (Chang, 1998).

b. Pereaksi Lowry

Pada tahun 1951, Oliver H. Lowry memperkenalkan penggunaan pereaksi ini yang merupakan perkembangan lebih lanjut dari Biuret. Metode ini diakui cukup sensitif untuk menentukan konsentrasi total protein (Krohn, 2005). Prinsipnya tidak jauh berbeda dengan Biuret, dimana ion tembaga akan membentuk kompleks dengan ikatan peptida kemudian dengan adanya pereaksi fosfotungstik-fosfomolibdat akan mengoksidasi rantai samping asam amino sehingga menghasilkan warna dan konsentrasi protein dapat diukur dengan spektrofotometer (Chang, 1998). Reaksi protein dengan pereaksi Lowry dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7. Reaksi protein dengan pereaksi Lowry (Krohn, 2005) Keuntungan analisis dengan pereaksi ini adalah memiliki sensitifitas yang lebih baik dibanding Biuret, lebih spesifik dibanding metode lain, dan waktu untuk analisis lebih singkat bila dibandingkan dengan metode Kjeldahl (sekitar 1-1,5 jam). Kerugian analisis dengan pereaksi Lowry adalah variasi warnanya yang lebih banyak dibanding dengan pereaksi Biuret, warna yang terbentuk tidak secara tepat menggambarkan konsentrasi protein, reaksinya sangat dipengaruhi oleh senyawa-senyawa pengganggu seperti glukosa, lemak, garam buffer fosfat, senyawa-senyawa yang mengandung amin, gula pereduksi, garam ammonium dalam konsentrasi tinggi dan senyawa sulfhidril (Chang, 1998).

c. Pereaksi Bradford

Pada tahun 1976, Marion Bradford memperkenalkan penggunaan pereaksi Coomassive Blue untuk penetapan secara kuantitatif konsentrasi total protein. Coomasive Blue ini akan berinteraksi dengan gugus samping asam amino yang memiliki ikatan rangkap sehinngga terjadi perubahan warna pereaksi dari merah

Ikatan

peptida

Kompleks Cu2+

menjadi biru (Chang, 1998). Reaksi protein dengan pereaksi Bradford dapat dilihat pada Gambar 8 dibawah ini.

Keuntungan analisis dengan pereaksi Bradford adalah tidak menggunakan pereaksi yang berbahaya, hanya protein yang akan diukur, memiliki presisi yang lebih tinggi dibanding metode Kjeldahl, waktu analisis yang diperlukan singkat, biaya yang diperlukan tidak terlalu mahal, dan cukup akurat untuk digunakan dalam analisis kandungan total protein dalam makanan. Adapun kerugiannya adalah kandungan asam amino yang berbeda akan mempengaruhi kapasitas pembentukan warna, senyawa gula, kalsium dan fosfat dapat mengganggu ikatan warna sehingga akan mengganggu hasil analisis, dan adanya variasi absorbansi yang signifikan tegantung jenis protein (Chang, 1998).

2.5.3 Metode Titrasi Formol

Prinsip metode ini adalah dengan adanya air dan penambahan Kalium oksalat, protein akan dihidrolisis menjadi asam-asam amino. Selanjutnya dengan penambahan formaldehid akan memblokade gugus basa asam amino membentuk

Gambar 8. Reaksi protein dengan pereaksi Bradford (Krohn, 2005) Protein

Kompleks protein-zat warna

gugus dimethilol sehingga tidak mengganggu reaksi antara NaOH dengan gugus asam dari asam amino dan konsentrasi protein dapat ditentukan. Titrasi formol ini kurang tepat untuk menentukan kadar protein dam lebih tepat digunakan untuk menunjukkan proses hidrolisis protein (Estiasih, dkk., 2012).

2.5.4 Metode Dumas

Pada metode ini sampel dioksidasi pada suhu sangat tinggi (700-900°C). Hasil oksidasi menghasilkan gas O2, N2 dan CO2. Gas nitrogen yang dilepaskan dikuantitasi menggunakan kromatografi gas dengan detektor konduktivitas termal

(Thermal Detector Conductivity/TDC) kemudian jumlah nitrogen yang diperoleh

dikonversi. Jumlah nitrogen dalam sampel sebanding dengan kadar proteinnya (Pomeranz dan Meloan, 1987).

Keuntungan metode ini adalah merupakan metode alternatif dari metode Kjeldahl tetapi waktu analisis yang diperlukan lebih singkat dari metode Kjeldahl, tidak menggunakan senyawa yang berbahaya, banyak sampel dapat diukur sekaligus karena perkembangan alatnya yang sudah menggunakan sistem otomatis. Adapun kekurangan metode ini adalah membutuhkan instrumen analisis yang mahal, tidak mengukur kadar protein yang sesungguhnya karena yang diukur adalah total nitrogen sehingga nitrogen non-protein juga terukur sebagai protein, memiliki variasi faktor konversi, membutuhkan sampel dalam jumlah besar untuk analisis (Chang, 1998).

Dokumen terkait