• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Kandungan Protein Pada Kacang-Kacangan Yang Dikalengkan Secara Spektrofotometri Sinar Tampak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Analisis Kandungan Protein Pada Kacang-Kacangan Yang Dikalengkan Secara Spektrofotometri Sinar Tampak"

Copied!
105
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS KANDUNGAN PROTEIN PADA

KACANG-KACANGAN YANG DIKALENGKAN

SECARA SPEKTROFOTOMETRI SINAR TAMPAK

SKRIPSI

OLEH:

MARIA INTAN

NIM 091501042

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

ANALISIS KANDUNGAN PROTEIN PADA

KACANG-KACANGAN YANG DIKALENGKAN

SECARA SPEKTROFOTOMETRI SINAR TAMPAK

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi salah satu syarat untuk memperoleh

Gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara

OLEH:

MARIA INTAN

NIM 091501042

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

PENGESAHAN SKRIPSI

ANALISIS KANDUNGAN PROTEIN PADA

KACANG-KACANGAN YANG DIKALENGKAN

SECARA SPEKTROFOTOMETRI SINAR TAMPAK

OLEH: MARIA INTAN NIM 091501042

Dipertahankan di Hadapan Panitia Penguji Skripsi Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara Pada Tanggal: 03 Agustus 2013

Pembimbing I, Panitia Penguji,

Prof. Dr. Siti Morin Sinaga, M.Sc., Apt.

NIP 195008281976032002 NIP 195306191983031001

Pembimbing II, Prof. Dr. Siti Morin Sinaga, M.Sc., Apt. NIP 195008281976032002

Prof. Dr. Jansen Silalahi, M.App.Sc., Apt. Dr. Ginda Haro, M.Sc., Apt. NIP 195006071979031001 NIP 195108161980031002

Drs. Immanuel S. Meiliala, M.Si., Apt. NIP 195001261983031002

Medan, Oktober 2013 Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara

Dekan,

Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt. NIP 195311281983031002

(4)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa yang hanya oleh karena

berkat dan kasihNya yang berlimpah sehingga penulis dapat menjalani masa

perkuliahan dan penelitian hingga akhirnya menyelesaikan penyusunan skripsi

dengan judul “Analisis Kandungan Protein pada Kacang-kacangan yang

Dikalengkan secara Spektrofotometri Sinar Tampak”. Skripsi ini diajukan sebagai

salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Farmasi dari Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa hormat dan terima

kasih yang setulus-tulusnya kepada Ibu Prof. Dr. Siti Morin Sinaga, M.Sc., Apt.,

dan Bapak Prof. Dr. Jansen Silalahi, M.App.Sc., Apt., selaku dosen pembimbing

yang telah banyak memberikan bimbingan dan motivasi dengan penuh kesabaran

dan keikhlasan selama penelitian dan penulisan skripsi ini berlangsung. Ucapan

terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Sumadio

Hadisaputra, Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara

yang telah memberikan fasilitas selama masa pendidikan dan penelitian, juga

kepada Bapak Prof. Dr. rer. nat. Effendy De Lux Putra, S.U., Apt., Bapak Dr.

Ginda Haro, M.Sc., Apt., dan Bapak Drs. Immanuel Meiliala, M.S., Apt., selaku

penguji yang telah memberikan kritik dan saran demi kesempurnaan skripsi ini.

Penulis menyampaikan rasa terima kasih yang tulus kepada Ayahanda

Irwan Sunaryo dan Ibunda Yuliana Sim serta adik-adik tersayang Sultan, Imam

dan Diana yang telah sabar dan setia memberikan dukungan, doa, semangat, dan

(5)

Pada kesempatan ini juga penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih

kepada teman-teman Elsa, Debo, Ella, Vivian, Merlyn, Noven, Mimi, Andrew,

Aryanto, Edric, Agus, Fennie, Tio, asisten serta teman-teman di Laboratorium

Teknologi Pangan Fakultas Pertanian dan teman-teman seangkatan lainnya yang

tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah banyak memberikan saran,

dukungan, dan doa selama penelitian dan penyusunan skripsi ini berlangsung.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih memiliki banyak kekurangan,

oleh sebab itu dengan segala kerendahan hati penulis bersedia menerima kritik

dan saran yang membangun untuk kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini

dapat menjadi sumbangan yang bermanfaat bagi ilmu pengetahuan.

Medan, 10 Juli 2013 Penulis,

(6)

ANALISIS KANDUNGAN PROTEIN PADA KACANG-KACANGAN YANG DIKALENGKAN SECARA SPEKTROFOTOMETRI

SINAR TAMPAK ABSTRAK

Penetapan kadar protein yang paling sering dilakukan adalah penetapan protein kasar yang bertujuan untuk menentukan jumlah protein total di dalam bahan pangan. Metode penetapan kadar protein yang paling lazim digunakan adalah metode Kjeldahl. Namun, seiring semakin berkembangnya ilmu pengetahuan, penetapan kadar protein dapat dilakukan dengan metode spektrofotometri. Salah satunya adalah spektrofotometri sinar tampak dengan pereaksi Biuret. Metode spektrofotometri ini banyak digunakan karena operasionalnya yang sederhana dan memberikan hasil yang cepat.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kadar protein dalam kacang-kacangan yang dikalengkan secara spektrofotometri sinar tampak dan apakah ada perbedaan dengan kadar protein yang diperoleh dengan metode Kjeldahl.

Pada penelitian ini sampel yang digunakan adalah kacang-kacangan yang dikalengkan, antara lain: kacang polong Hosen, kacang tanah Ayam Brand, kacang buncis Daucy, kacang gingko Mili dan kacang merah SW. Analisis dilakukan secara spektrofotometri sinar tampak menggunakan pereaksi Biuret pada panjang gelombang maksimum 553,36 nm.

Hasil penelitian menunjukkan kadar protein kelima sampel yang ditentukan secara spektrofotometri sinar tampak adalah: untuk kacang polong 1,37 ± 0,0308 g/100 g, kacang tanah 1,36 ± 0,0247 g/100 g, kacang buncis 2,77 ± 0,0263 g/100 g, kacang gingko 1,44 ± 0,0728 g/100 g, dan kacang merah 2,26 ± 0,0126 g/100 g, sementara pengukuran kadar protein dengan metode Kjeldahl hanya dilakukan pada satu sampel yaitu kacang polong dengan hasil 5,98 ± 0,4691 g/100 g. Hasil uji verifikasi metode spektrofotometri diperoleh persen perolehan kembali adalah 99,13% dengan koefisien variasi (KV) 0,55% yang menunjukkan bahwa metode ini memiliki kecermatan dan keseksamaan yang baik. Batas deteksi dan batas kuantitasi untuk metode ini masing-masing adalah 129,6313 mcg/ml dan 432,1043 mcg/ml.

(7)

PROTEIN ANALYSIS IN CANNED LEGUMES USING VISIBLE SPECTROPHOTOMETRY

ABSTRACT

Protein is usually measured as crude protein which is called as the total protein in food and is determined using Kjeldahl method. But, along with knowledge advances, protein can be measured using spectrophotometry method. One of the method is visible spectrophotometry method using Biuret reagent. Spectrophotometry method is commonly used because it is easy to operate and quick in result.

The purpose of this study is to determine the protein concentration of canned legumes using visible spectrophotometry and to recognize the difference between Kjeldahl method and spectrophotometry method.

In this study, five canned samples that is Hosen green peas, Ayam Brand peanuts, Daucy flageolet beans, Mili gingko nuts and SW kidney beans were used. The analysis was conducted by using visible spectrophotometry method using Biuret as the reagent at maximum wavelength 553.36 nm.

The result of the study shows that the protein concentration of five samples that have been determined by visible spectrophotometry are 1.37 ±

0.0308 g/100 g for green peas; 1.36 ± 0.0247 g/100 g for peanuts; 2.77 ± 0.0263 g/100 g for flageolet beans; 1.44 ± 0.0728 g/100 g for gingko

beans; and 2.26 ± 0.0126 g/100 g for kidney beans, while protein determination using Kjeldahl method is only applied for one sample, which is green peas, with result 5.98 ±0.4691 g/100 g. Method verification results show that the recovery percentage is 99.13% with 0.55% of coefficient variation, which shows that this method has a good accuracy and precision. The limit of detection (LOD) and limit

of quantitation (LOQ) for this method are 129,6313 mcg/ml and 432,1043 mcg/ml.

(8)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

KATA PENGANTAR ……… iv

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 4

1.3 Hipotesis ... 4

1.4 Tujuan Penelitian ... 5

1.5 Manfaat Penelitian ... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1 Protein ... 6

2.1.1 Struktur protein ... 7

2.1.2 Klasifikasi protein ... 10

2.1.3 Sumber protein ... 11

(9)

2.2 Pencernaan dan Metabolisme Protein ... 14

2.3 Penyakit yang Berhubungan dengan Protein ... 15

2.4 Pengaruh Pengolahan Terhadap Protein ... 17

2.5 Analisis Protein ... 18

2.5.1 Metode Kjeldahl ... 18

2.5.2 Metode Spektrofotometri ... 21

2.5.3 Metode Titrasi Formol ... 26

2.5.4 Metode Dumas ... 27

2.6 Pengalengan ... 27

BAB III METODE PENELITIAN ... 31

3.1 Alat–alat ... 31

3.2 Bahan-bahan ... 31

3.3 Pengambilan Sampel ... 31

3.4 Prosedur Penelitian ... 32

3.4.1 Pembuatan pereaksi ... 32

3.4.2 Pembuatan larutan induk baku ... 32

3.4.3 Pembuatan kurva serapan Bovine Serum Albumin ... 33

3.4.4 Penentuan waktu optimum... 33

3.4.5 Pembuatan kurva kalibrasi Bovine Serum Albumin ... 33

3.4.6 Preparasi sampel ... 34

3.4.7 Penetapan kadar protein ... 34

3.4.8 Analisis statistik data penetapan kadar protein ... 35

3.5 Verifikasi Metode ... 36

(10)

3.5.2 Keseksamaan/Presisi ... 36

3.5.3 Batas deteksi dan batas kuantitasi ... 37

3.6 Penetapan kadar protein dengan metode Kjeldahl ... 37

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 39

4.1 Kurva Serapan Bovine Serum Albumin ... 39

4.2 Waktu Optimum ... 40

4.3 Kurva Kalibrasi Bovine Serum Albumin ... 40

4.4 Kadar Protein ... 41

4.5 Uji Verifikasi Metode ... 43

4.5.1 Uji kecermatan ... 44

4.5.2 Uji keseksamaan ... 44

4.5.3 Batas deteksi dan batas kuantitasi ... 44

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 46

5.1 Kesimpulan ... 46

5.2 Saran ... 46

DAFTAR PUSTAKA ... 47

(11)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Kandungan Protein dari Beberapa Jenis Kacang-kacangan ... 12

2. Faktor Konversi untuk Berbagai Bahan ... 21

3. Data Kadar Protein secara Spektrofotometri Sinar Tampak, Kjeldahl

dan yang tercantum dalam kemasan ………... 41

(12)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Struktur Dasar Asam Amino ... 7

2. Struktur Primer Protein……… ...………...………. 8

3. Struktur Sekunder Protein... 8

4. Struktur Tersier Protein ... 9

5. Struktur Kuartener Protein ... 9

6. Reaksi Protein dengan Pereaksi Biuret... 23

7. Reaksi Protein dengan Pereaksi Lowry ... 25

8. Reaksi Protein dengan Pereaksi Bradford ... 26

9. Kurva Absorpsi Bovine Serum Albumin... 39

10.Kurva Kalibrasi Bovine Serum Albumin ... 40

11.Spektrofotometer Shimadzu ... 88

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Daftar Spesifikasi Sampel... 51

2. Skema Prosedur Preparasi dan Analisis Protein secara Spektrofoto- metri Sinar Tampak ... 54

3. Skema Prosedur Preparasi dan Analisis Protein secara Kjeladahl ... 55

4. Kurva Absorpsi dan Panjang Gelombang Maksimum Bovine Serum Albumin ... 56

5. Data Pengukuran Waktu Optimum ... 57

6. Kurva Kalibrasi Bovine Serum Albumin pada Panjang Gelombang 553,36 nm ... 59

7. Data Perhitungan Persamaan Regresi ... 60

8. Perhitungan Koefisien Korelasi ... 62

9. Data Penimbangan dan Absorbansi Sampel ... 63

10.Contoh Perhitungan Kadar Protein secara Spektrofotometri Sinar Tampak pada Sampel Kacang Polong ... 64

11.Contoh Perhitungan Analisis Statistik uji t untuk Mencari Kadar Sebenarnya secara Spektrofotometri Sinar Tampak pada Sampel Kacang Polong ... 65

12. Data Penimbangan dan Titrasi Sampel Kacang Polong ... 67

13.Contoh Perhitungan Kadar Protein secara Kjeldahl pada Sampel Kacang Polong ... 68

(14)

15. Data Hasil Perhitungan Kadar Protein secara Spektrofotometri Sinar

Tampak dan Kjeldahl ... 71

16. Data Hasil Perhitungan Analisis Statistik Uji t untuk mencari Kadar

Sebenarnya secara Spektrofotometri Sinar Tampak dan Kjeldahl ... 72

17. Data Penimbangan dan Absorbansi Perolehan Kembali Sampel

Kacang Polong ... 73

18. Contoh Perhitungan Persen Perolehan Kembali dengan Metode

Penambahan Baku (Standard Addition Method) dari Sampel Kacang

Polong ... 74

19.Contoh Data Perhitungan Koefisien Korelasi (KV) ... 75

20.Data Perhitungan Batas Deteksi dan Batas Kuantitasi Larutan Bovine

Serum Albumin ... 76

21.Tabel Distribusi t ... 77

22.Tabel Distribusi F ... 79

23.Data Uji Statistik One Way Anova Kadar Protein antara Sampel

Kacang-kacangan yang Dikalengkan ... 80

24.Data Uji Statistik Idenpendent T Test Kadar Protein Kacang Polong

secara Spektrofotometri Sinar Tampak dan Kjeldahl ... 82

25.Data Uji Statistik One Sample T Test Kadar Protein Kacang Polong

secara Spektrofotometri Sinar Tampak dengan yang Tercantum pada

Label Kemasan ... 83

26.Data Uji Statistik One Sample T Test Kadar Protein Kacang Tanah

secara Spektrofotometri Sinar Tampak dengan yang Tercantum pada

(15)

27.Data Uji Statistik One Sample T Test Kadar Protein Kacang Buncis

secara Spektrofotometri Sinar Tampak dengan yang Tercantum pada

Label Kemasan ... 85

28.Data Uji Statistik One Sample T Test Kadar Protein Kacang Gingko

secara Spektrofotometri Sinar Tampak dengan yang Tercantum pada

Label Kemasan ... 86

29.Data Uji Statistik One Sample T Test Kadar Protein Kacang Merah

secara Spektrofotometri Sinar Tampak dengan yang Tercantum pada

Label Kemasan ... 87

30.Gambar Instrumen Spektrofotometer ... 88

(16)

ANALISIS KANDUNGAN PROTEIN PADA KACANG-KACANGAN YANG DIKALENGKAN SECARA SPEKTROFOTOMETRI

SINAR TAMPAK ABSTRAK

Penetapan kadar protein yang paling sering dilakukan adalah penetapan protein kasar yang bertujuan untuk menentukan jumlah protein total di dalam bahan pangan. Metode penetapan kadar protein yang paling lazim digunakan adalah metode Kjeldahl. Namun, seiring semakin berkembangnya ilmu pengetahuan, penetapan kadar protein dapat dilakukan dengan metode spektrofotometri. Salah satunya adalah spektrofotometri sinar tampak dengan pereaksi Biuret. Metode spektrofotometri ini banyak digunakan karena operasionalnya yang sederhana dan memberikan hasil yang cepat.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kadar protein dalam kacang-kacangan yang dikalengkan secara spektrofotometri sinar tampak dan apakah ada perbedaan dengan kadar protein yang diperoleh dengan metode Kjeldahl.

Pada penelitian ini sampel yang digunakan adalah kacang-kacangan yang dikalengkan, antara lain: kacang polong Hosen, kacang tanah Ayam Brand, kacang buncis Daucy, kacang gingko Mili dan kacang merah SW. Analisis dilakukan secara spektrofotometri sinar tampak menggunakan pereaksi Biuret pada panjang gelombang maksimum 553,36 nm.

Hasil penelitian menunjukkan kadar protein kelima sampel yang ditentukan secara spektrofotometri sinar tampak adalah: untuk kacang polong 1,37 ± 0,0308 g/100 g, kacang tanah 1,36 ± 0,0247 g/100 g, kacang buncis 2,77 ± 0,0263 g/100 g, kacang gingko 1,44 ± 0,0728 g/100 g, dan kacang merah 2,26 ± 0,0126 g/100 g, sementara pengukuran kadar protein dengan metode Kjeldahl hanya dilakukan pada satu sampel yaitu kacang polong dengan hasil 5,98 ± 0,4691 g/100 g. Hasil uji verifikasi metode spektrofotometri diperoleh persen perolehan kembali adalah 99,13% dengan koefisien variasi (KV) 0,55% yang menunjukkan bahwa metode ini memiliki kecermatan dan keseksamaan yang baik. Batas deteksi dan batas kuantitasi untuk metode ini masing-masing adalah 129,6313 mcg/ml dan 432,1043 mcg/ml.

(17)

PROTEIN ANALYSIS IN CANNED LEGUMES USING VISIBLE SPECTROPHOTOMETRY

ABSTRACT

Protein is usually measured as crude protein which is called as the total protein in food and is determined using Kjeldahl method. But, along with knowledge advances, protein can be measured using spectrophotometry method. One of the method is visible spectrophotometry method using Biuret reagent. Spectrophotometry method is commonly used because it is easy to operate and quick in result.

The purpose of this study is to determine the protein concentration of canned legumes using visible spectrophotometry and to recognize the difference between Kjeldahl method and spectrophotometry method.

In this study, five canned samples that is Hosen green peas, Ayam Brand peanuts, Daucy flageolet beans, Mili gingko nuts and SW kidney beans were used. The analysis was conducted by using visible spectrophotometry method using Biuret as the reagent at maximum wavelength 553.36 nm.

The result of the study shows that the protein concentration of five samples that have been determined by visible spectrophotometry are 1.37 ±

0.0308 g/100 g for green peas; 1.36 ± 0.0247 g/100 g for peanuts; 2.77 ± 0.0263 g/100 g for flageolet beans; 1.44 ± 0.0728 g/100 g for gingko

beans; and 2.26 ± 0.0126 g/100 g for kidney beans, while protein determination using Kjeldahl method is only applied for one sample, which is green peas, with result 5.98 ±0.4691 g/100 g. Method verification results show that the recovery percentage is 99.13% with 0.55% of coefficient variation, which shows that this method has a good accuracy and precision. The limit of detection (LOD) and limit

of quantitation (LOQ) for this method are 129,6313 mcg/ml and 432,1043 mcg/ml.

(18)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Protein adalah zat makanan yang sangat penting bagi tubuh manusia. Di

dalam tubuh protein menempati 1/6 dari berat tubuh manusia. Zat ini memegang

peranan penting sebagai zat pembangun untuk membentuk jaringan-jaringan

dalam tubuh manusia, perkembangan dan regenerasi sel, menjaga kekebalan tubuh

(Anonim, 2012).

Protein merupakan makromolekul penting yang tersusun oleh asam-asam

amino yang mengandung unsur-unsur utama C, H, O dan N. Molekul protein juga

mengandung unsur belerang, fosfor, besi dan tembaga, asam-asam amino tersebut

dihubungkan oleh ikatan peptida (Legowo, dkk., 2005; Stayanarayana dan

Chakrapati, 2007).

Protein berdasarkan sumbernya dibagi menjadi protein nabati dan protein

hewani. Protein dari sumber nabati lebih baik bagi tubuh dibanding protein

hewani (Susianto, dkk., 2008). Sumber makanan berprotein tinggi yang baik dan

mudah dicerna dapat diperoleh antara lain dari ikan, daging, kacang-kacangan,

susu, yoghurt, telur, dan produk olahannya. Kacang-kacangan telah lama dikenal

sebagai sumber protein, selain mudah diperoleh dan harganya terjangkau,

kacang-kacangan juga banyak mengandung asam amino yang dapat saling melengkapi

(19)

Semakin berkembangnya zaman, kebutuhan yang besar akan bahan

pangan berkualitas semakin tinggi, akan tetapi bahan pangan mudah mengalami

kerusakan sehingga dikembangkan berbagai metode pengawetan pangan dan

pengalengan merupakan salah satu proses pengawetan makanan yang digemari

saat ini, selain bahan makanan dapat bertahan lebih lama, kemasannya juga lebih

praktis (Desrosier, 2008). Selain itu, pengawetan dengan pengalengan dapat

melindungi bahan dari kerusakan oksidasi, menjaga tekstur bahan sehingga tidak

jauh berbeda dari bahan segar, menjaga agar kadar air tidak berubah secara

drastis, menjaga tekanan udara bahan baik di dalam maupun dari luar kaleng dan

melindungi bahan pangan terhadap pencemaran partikel asing dan kerusakan

mekanik (Winarno, 1995).

Kandungan protein dalam makanan umumnya ditetapkan berdasarkan total

nitrogen yang terkandung di dalamnya yang disebut sebagai protein kasar.

Penetapan protein kasar bertujuan untuk menentukan jumlah protein total di

dalam bahan pangan. Metode penetapan kadar protein yang paling lazim

digunakan adalah metode Kjeldahl (Legowo, dkk., 2005).

Ada dua kelemahan utama dalam metode Kjeldahl, yaitu waktu yang

diperlukan untuk analisis sangat lama dan perlu untuk melakukan dua analisis

untuk menetapkan perbedaan Non-Protein Nitrogen (NPN) dan Total Protein

Nitrogen (TPN). Meskipun demikian, metode Kjeldahl ini masih secara luas

digunakan dalam ilmu dan teknologi pangan dan telah diaplikasikan secara

mendunia untuk menentukan kadar nitrogen dalam berbagai jenis makanan dan

merupakan metode standard yang lazim dilakukan untuk penetapan kadar protein

(20)

Ilmu pengetahuan dalam bidang analisis telah banyak berkembang. Para

ilmuwan terus mengembangkan berbagai instrumen analisis untuk mempermudah

analisis dalam bidang kimia maupun biokimia. Salah satunya adalah

spektrofotometer yang secara luas telah digunakan karena pengoperasian alatnya

yang cukup sederhana dan memberikan hasil yang cepat (Christian, 2004).

Beberapa metode spektrofotometri untuk analisis protein yaitu metode

spektrofotometri sinar tampak dengan menggunakan pereaksi Biuret, Lowry,

Bradford, dan metode pengikatan warna (Legowo, dkk., 2005). Selain itu dapat

pula dilakukan dengan metode spektrofotometri ultraviolet pada panjang

gelombang 280 nm dan 205 nm, serta metode emisi fluoresensi (Sumonian,

2005). Penetapan kadar protein dengan menggunakan metode spektrofotometri

merupakan metode yang umum digunakan dalam beberapa area seperti analisis

biokimia, fisiologi, penelitian di bidang kesehatan dan berbagai area lainnya

(Isaac, 1990).

Semua protein tersusun dari asam-asam amino yang dihubungkan oleh

ikatan peptida. Ikatan peptida ini terbentuk dari reaksi kondensasi antara gugus

amin dan gugus karboksilat dari asam-asam amino. Peptida-peptida yang

mengandung lebih dari tiga asam-asam amino akan membentuk kompleks kelat

yang berwarna dengan ion tembaga pada suasana alkali yang dikenal dengan

reaksi Biuet. Berdasarkan intensitas warna yang terbentuk konsentrasi total

protein dapat diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang sinar

tampak (Krohn, 2005).

Ketika suatu metode baru, metode yang belum dikenal luas, atau metode

(21)

dilakukan untuk memastikan bahwa metode tersebut sesuai untuk digunakan

(Wood, dkk., 1998) antara lain: uji akurasi, presisi, sensitifitas dengan parameter

batas deteksi dan batas kuantitasi, rentang linear, ketangguhan dan kekuatan

metode. Sementara verifikasi merupakan pengujian spesifikasi validasi yang

dilakukan oleh produsen ataupun peneliti lain untuk mengkonfirmasi

keterterimaan dan keterulangan suatu metode. Dalam verifikasi uji yang paling

ditonjolkan adalah uji akurasi dan uji presisi, namun tidak jarang juga dilakukan

uji sensitifitas (McClure, 2012).

Berdasarkan hal tersebut di atas, peneliti tertarik untuk mengetahui kadar

protein yang terkandung dalam kacang-kacangan yang dikalengkan secara

spektrofotometri sinar tampak dengan pereaksi Biuret.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka permasalahan dalam

penelitian ini adalah berapakah kadar protein yang terkandung dalam

kacang-kacangan yang dikalengkan yang ditetapkan secara spektrofotometri sinar

tampak dengan pereaksi Biuret dan apakah ada perbedaannya dengan yang

ditetapkan secara Kjeldahl?

1.3 Hipotesis

Berdasarkan perumusan masalah diatas maka hipotesis penelitian ini

adalah ada perbedaan antara kadar protein yang ditetapkan secara

spektrofotometri sinar tampak dengan pereaksi Biuret dan Kjeldahl, dimana kadar

protein secara spektrofotometri sinar tampak adalah lebih rendah dibandingkan

(22)

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kadar protein dalam

kacang-kacangan yang dikalengkan secara spektrofotometri sinar tampak dengan

pereaksi Biuret dan untuk mengetahui perbedaannya dengan yang ditetapkan

secara Kjeldahl.

1.5 Manfaat Penelitian

Melalui penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi tentang kadar

protein dalam kacang-kacangan yang dikalengkan secara spektrofotometri sinar

(23)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Protein

Manusia membutuhkan energi dan nutrisi untuk pertumbuhan,

pemeliharaan fungsi biokimia tubuh, dan perkembangannya. Nutrisi dikategorikan

menjadi dua yaitu makronutrisi yang terdiri dari karbohidrat, lemak dan protein,

dan mikronutrisi berupa vitamin dan mineral (Tull, 1996). Makronutrisi terutama

protein berperan penting karena kaitannya yang erat dengan proses-proses

kehidupan. Semua hayat hidup sel berhubungan dengan zat gizi protein. Nama

protein berasal dari kata Yunani ‘protebos’ yang artinya “yang pertama” atau

“yang terpenting” (Sediaoetama, 2008).

Protein adalah makromolekul penting yang mana tersusun dari asam-asam

amino yang terhubung oleh ikatan peptida membentuk struktur kompleks tiga

dimensi (Stayanarayana dan Chakrapati, 2007). Molekul protein mengandung

unsur-unsur C, H, O, dan N. Selain itu, protein juga dapat mengandung unsur

belerang, fosfor, serta logam seperti seng dan besi (Tull, 1996). Telah banyak

studi tentang berapa banyak jumlah protein yang diperlukan oleh tubuh per

harinya untuk dapat memenuhi kebutuhan tubuh akan asam amino selama

beberapa tahun. Studi-studi tersebut menunjukkan bahwa kebutuhan protein untuk

orang dewasa normal adalah 0,8 g/kg berat badan. Kebutuhan ini sama untuk

wanita maupun pria (Forsythe, 1995).

Unsur khusus yang terdapat dalam protein dan tidak terdapat di dalam

(24)

analisis bahan makanan untuk menentukan kadar protein dengan menganggap

bahwa jumlah N yang terkandung sebanding dengan kadar protein di dalam

makanan (Sediaoetama, 2008).

2.1.1 Struktur protein

Protein tersusun atas unit-unit individual asam-asam amino. Setiap asam

amino memiliki gugus amin (NH2) pada salah satu dari atom karbon pusat dan

sisi lainnya merupakan gugus asam (COOH). Di dalam makanan ada 20 jenis

asam amino yang berbeda, masing-masing memiliki struktur dasar yang sama,

yang membedakan hanyalah gugus R pada salah satu sisinya. Gugus R yang

berbeda dapat bervariasi dari atom tunggal hidrogen hingga molekul kompleks

yang membuat setiap asam amino unik (Forsythe, 1995). Struktur dasar asam

amino dapat dilihat pada Gambar 1.

H

NH2 -C- COOH

R

Gambar 1. Struktur dasar asam amino (Forysthe, 1995)

Dalam molekul protein, asam-asam amino saling dirangkaikan melalui

reaksi antara gugus karboksil asam amino yang satu dengan gugus amin dari asam

amino yang lain, sehingga terbentuk ikatan yang disebut ikatan peptida. Ikatan

peptida ini merupakan ikatan tingkat primer. Dua molekul asam amino yang

saling diikatkan dengan cara demikian disebut ikatan dipeptida, bila tiga molekul

asam amino disebut ikatan tripeptida dan bila banyak disebut ikatan polipeptida.

Polipeptida yang hanya terdiri dari beberapa molekul asam amino disebut

(25)

dipertautkan dengan ikatan peptida tersebut merupakan struktur primer protein

(Sediaoetama, 2008). Struktur primer protein dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Struktur Primer Protein (Usmeningsih, 2008)

Rantai polipeptida berinteraksi lokal melalui ikatan hidrogen atau ikatan

sulfhidril membentuk suatu konformasi yang berbentuk seperti spiral yang disebut

α-helix ataupun seperti lembaran yang disebut β-sheet. Ada 13 atom yang terikat

dalam ikatan hidrogen pada α-helix dimana ikatan hidrogen ini berorientasi sejajar

dengan sumbu heliks. β-sheet terhubung secara lateral oleh lima atau lebih ikatan

hidrogen membentuk lembaran yang mana gugus asam dan basanya berorientasi

tegak lurus terhadap arah rantai. Konformasi ini dikenal sebagai struktur sekunder

protein(Brown dan Rogers, 1981). Gambar struktur sekunder protein dapat dilihat

pada Gambar 3.

Gambar 3. Struktur Sekunder Protein (Usmeningsih, 2008) Asam Amino

Struktur Primer Protein

adalah susunan rantai asam-asam amino.

Lembaran yang berlipat

Alfa heliks

Struktur Sekunder Protein

(26)

Struktur tersier protein mengarah pada interaksi rantai polipeptida dan

struktur sekunder. Struktur ini terbentuk oleh karena gaya-gaya pada gugusan

reaktif yang lebih lemah pada protein yaitu gugusan yang mengandung muatan

listrik dan gaya tarik Van der Waals membentuk konformasi tiga dimensi

(Sediaoetama, 2008). Struktur tersier protein dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Struktur Tersier Protein (Usmeningsih, 2008)

Struktur kuartener protein terbentuk bila protein mengandung dua atau

lebih rantai polipeptida yang mempunyai konfigurasi tiga dimensi. Dimana

rantai-rantai polipeptida ini saling berinteraksi membentuk struktur yang lebih

kompleks (Brown dan Rogers, 1981). Struktur kuartener protein dapat dilihat pada

Gambar 5.

Gambar 5. Struktur Kuartener Protein (Usmeningsih, 2008) Alfa heliks

Lembaran yang berlipat

Struktur Kuartener Protein

adalah protein yang mengandung lebih dari satu rantai polipeptida

Struktur Tersier Protein

(27)

Kombinasi dari struktur-struktur inilah yang memberikan struktur alamiah

yang khas pada molekul protein. Struktur alamiah kompleks ini diperlukan oleh

protein untuk dapat menjalankan fungsinya. Bila struktur stereometri alamiah ini

berubah atau rusak, maka protein tersebut akan kehilangan kesanggupannya untuk

memenuhi fungsi fisiologisnya (Sediaoetama, 2008).

2.1.2 Klasifikasi Protein

Klasifikasi protein dapat dibagi dua yaitu berdasarkan komponen

penyusun dan fungsi fisiologisnya. Protein berdasarkan komponen penyusunnya

terbagi tiga yaitu protein sederhana (simple protein) yang bila dihidrolisis

menghasilkan asam amino (albumin), protein kompleks (Complex/Conjugation

Protein) yang bila dihidrolisis menghasilkan berbagai jenis asam amino dan juga

komponen lain yang bukan protein seperti unsur logam, gugus fosfat, lipid,

karbohidrat dan asam nukleat (kromoprotein, lipoproterin, glikoprotein,

fosfoprotein, dan nukleoprotein) dan protein derivat yang merupakan produk

antara sebagai hasil hidrolisis parsial protein (albumosa, pepton dan peptida)

(Sediaoetama, 2008).

Berdasarkan fungsi fisiologisnya atau daya dukungnya bagi pertumbuhan

dan pemeliharaan jaringan, protein dibagi menjadi protein sempurna, protein

setengah sempurna dan protein tidak sempurna. Protein sempurna adalah protein

yang mengandung asam amino essensial lengkap baik macam maupun jumlahnya

sehingga mampu menyokong pertumbuhan dan pemeliharaan jaringan, contohnya

kasein dan albumin. Protein setengah sempurna adalah protein yang mengandung

asam amino essensial lengkap tetapi jumlahnya terbatas, protein ini tidak dapat

(28)

contohnya: legumin dan gliadin. Protein tidak sempurna adalah protein yang

mengandung asam amino essensial tidak lengkap, protein ini tidak dapat

menyokong pertumbuhan maupun untuk pemeliharaan jaringan, contohnya zein

(Suhardjo dan Kusharto, 2010).

2.1.3 Sumber Protein

Sumber protein dapat berasal dari hewani dan nabati. Sumber protein

hewani berupa daging ataupun organ-organ dalam seperti hati, pankreas, jantung,

paru-paru, jerohan (babat/gaster dan usus halus dan usus besar/iso), telur, susu,

ikan, kerang, jenis udang dan produk olahannya (Sediaoetama, 2008).

Sumber protein nabati berasal dari sumber padi-padian, biji-bijian,

kacang-kacangan, gandum dan produk olahannya. Contoh protein nabati yang bersumber

dari padi-padian: nasi, pasta, dan roti; untuk golongan kacang-kacangan: kacang

polong, kacang tanah, kacang kedelai, kacang merah, kacang almond, kacang

mente, dan sebagainya; dari biji-bijian: biji wijen, biji bunga matahari, dan biji

labu (Marshall, 2002).

Kacang-kacangan atau leguminosa merupakan sumber makanan penting

yang menyumbang zat nutrisi dalam makanan sehari-hari. Kacang-kacangan

menempati posisi kedua sebagai sumber nutrisi setelah kelompok padi-padian.

Kacang-kacangan telah lama dikenal sebagai sumber protein. Kandungan protein

pada kacang-kacangan dua kali lebih tinggi daripada padi-padian (Sathe dan

Deshpande, 2003), selain mudah diperoleh dan harganya terjangkau,

kacang-kacangan juga banyak mengandung asam amino yang dapat saling melengkapi

(29)

Kandungan kolesterol dan lemak jahatnya rendah serta kaya akan lesitin

yang mampu mengurangi kadar kolesterol darah, disamping itu juga mengandung

baik serat yang larut maupun tidak larut. Kandungan seratnya yang tinggi dapat

mempercepat pengeluaran ammonia dari tubuh (Almatsier, 2006).

Kacang-kacangan dibagi dalam beberapa suku yaitu Vicieae contohnya

kacang golongan peas dan lentils, suku Hedysareae contohnya golongan nuts dan

suku Phaseolaeae contohnya golongan beans dan peanuts (Sathe dan Deshpande,

2003). Kandungan protein dari beberapa jenis kacang-kacangan dapat dilihat pada

Tabel 1.

Tabel 1. Kandungan protein dari beberapa jenis kacang-kacangan

No. Jenis Kacang Kandungan Protein (per 100 gram)

1. Kacang Kedelai 2. Kacang Tanah 3. Kacang Polong 4. Kacang Merah 5. Kacang Gingko 6. Kacang Hitam 7. Kacang Buncis 8. Kacang Lentil 9. Kacang Arab 10. Kacang Almond 11. Kacang Mente 12. Kacang Hijau

36,49 g 25,80 g 5,45 g 22,55 g 4,32 g 21,60 g 22,51 g 49,50 g 19,30 g 22,43 g 17,86 g 23,85 g

(30)

Kacang-kacangan golongan peas, beans dan kacang tanah memiliki

cadangan protein yang tinggi dalam bijinya karena adanya bantuan dari bakteri

yang hidup pada akar tumbuhan tersebut, dimana bakteri-bakteri ini mengkonversi

unsur nitrogen dari udara untuk digunakan tumbuhan tersebut. Sementara

kacang-kacangan golongan nuts menyediakan protein berkualitas tinggi, akan

tetapi, kacang golongan ini juga tinggi kandungan lemak dan kalorinya sehingga

jarang dijadikan sumber nutrisi dalam makanan tetapi lebih sering dijadikan

selingan makanan (Eschleman, 1984).

2.1.4 Fungsi Protein

Protein dalam makanan berperan dalam pertumbuhan, pemeliharaan dan

perbaikan jaringan, sintesis enzim, sintesis hormon, sistem imun tubuh atau

mekanisme pertahanan tubuh dan juga sebagai cadangan energi (Tull, 1996).

Fungsi protein yang paling ditekankan adalah sebagai zat pembangun atau

pembentuk yang berperan dalam pertumbuhan dan pemeliharaan jaringan,

menggantikan sel-sel yang mati dan rusak terpakai. Sebagai zat pengatur, protein

mengatur proses-proses metabolisme dalam bentuk enzim dan hormon. Boleh

dikatakan bahwa semua proses metabolik (reaksi biokimia) di dalam tubuh diatur

dan dilangsungkan atas pengaturan enzim (Sediaoetama, 2008).

Protein yang berperan sebagai pembangun dan pembentuk adalah kolagen

yang menghubungkan tulang rawan, urat, otot dan pembuluh darah; elastin

sebagai penyambung jaringan ikat sendi; keratin sebagai protein pembentuk

rambut dan kuku. Peran protein dalam metabolisme ditunjukkan oleh kerja enzim

misalnya enzim hidrolase untuk proses hirolisis; lipase untuk pemecahan lemak.

(31)

harmonis antara proses metabolisme yang satu dengan yang lain. Contohnya

hormon pertumbuhan (GH) dan somatotropin (STH) yang berfungsi untuk

pertumbuhan dan perkembangan jaringan dapat dirusak oleh enzim tripsin dan

pepsin (Sumardjo, 2006).

Protein yang berperan dalam sistem imun tubuh adalah immunoglobulin

yang secara otomatis dibentuk oleh tubuh bila ada antigen yang masuk ke tubuh.

Sebagai zat pengangkut protein membawa ion dan molekul tertentu dari suatu

organ ke organ lainnya melalui aliran darah. Contohnya hemoglobin untuk

mengangkut oksigen dari paru-paru ke jaringan (Sumardjo, 2006).

Mengingat fungsi protein yang sangat penting, sudah selayaknya bila

protein ini diberikan perhatian dan tempat penting dalam penyediaan pangan, baik

bagi anak-anak maupun orang tua (Sediaoetama, 2008).

2.2 Pencernaan dan Metabolisme Protein

Pencernaan protein dalam tubuh terjadi ketika setiap asam amino terputus

dari rantai protein. Pencernaan protein secara enzimatik dalam saluran cerna

dimulai dari lambung. Protein oleh asam lambung didenaturasi kemudian pepsin

pada lambung akan menghidrolisis protein menjadi proteosa, pepton dan

polipeptida dengan bobot molekul rendah. Hasil hidrolisis ini kemudian masuk ke

usus halus. Pankreas akan melepas enzim-enzim karboksipeptidase, tripsin,

kimotripsin, aminopeptidase dan dipeptidase ke usus halus. Karboksipeptidase

akan memutus ikatan karbosil bebas pada ujung rantai polipeptida sedangkan

aminopeptidase akan memutus ikatan amin bebas pada ujung rantai lainnya.

(32)

polipeptida membentuk dipeptida yang kemudian oleh dipeptidase diubah menjadi

asam amino (Sumardjo, 2006).

Selanjutnya asam amino diabsorpsi, asam amino akan terdeposito di dalam

hati atau otot di dalam kantong asam amino untuk dapat digunakan pada sintesis

protein dalam tubuh. Setelah selesai makan, tubuh dalam kondisi anabolik. Ini

berarti bahwa tubuh telah siap untuk sintesis protein. Materi genetik dalam tubuh

yaitu Deoxyribo Nucleic Acid (DNA) menyediakan “blueprint” untuk sintesis

protein. DNA menyediakan informasi asam amino mana yang diperlukan dan

urutan protein apa yang harus disintesis. Selama seluruh asam amino tersedia di

dalam kantungnya, sintesis protein akan terus berlangsung. Sangatlah penting

bahwa semua asam amino tersedia dalam jumlah yang cukup ketika protein

disintesis. Struktur dan fungsi dari setiap rantai protein tergantung pada urutan

daripada asam-asam aminonya (Forsythe, 1995).

2.3 Penyakit yang berhubungan dengan Protein

Penyakit yang berkaitan dengan protein yaitu: 1) berdasarkan defisiensi

protein (penyakit utama) dan 2) penyakit penyerta.

1. Berdasarkan defisiensi protein

Defisiensi protein hampir selalu berkaitan dengan defisiens kalori.

Penyebab defisiensi protein dikenal ada dua, yaitu: 1) defisiensi kalori secara

ekstrim mengakibatkan terjadinya defisiensi protein disebut marasmus, 2) jumlah

kalori relatif mencukupi tetapi terjadi defisiensi protein yang ekstrim disebut

(33)

Manifestasi dari marasmus adalah pertumbuhan yang terhambat. Berat

badan penderita dibawah 60% berat badan standar sehingga penderita terlihat

sangat kurus seperti hanya terbungkus oleh kulit, di jaringan subkutan tidak

ditemukan adanya jaringan otot dan lemak. Keadaan ini disebut paniculus

adiposus. Karena tidak adanya jaringan otot dan lemak di subkutan, kulit

penderita menjadi kusut dan berlipat kurus (oldman face/monkey face). Pada

penderita kwashiorkor tubuhnya kurus tetapi berat badan penderita diatas 60%

berat badan standar. Penderita tampak apatis, kadar albumin dalam darah juga

turun drastis, terjadi udema akibat akumulasi cairan pada jaringan limfa dan

abdomen. Warna rambut penderita belang (flag sign phenomena), kulitnya juga

kasar, kering dan tampak garis-garis permukaan yang nyata (mosaic skin)

(Crowley, 2011).

2. Penyakit penyerta

Menurut Sediaoetama (2008), penderita defisiensi protein biasanya akan

mengalami infeksi yang merupakan penyakit penyerta. Hal ini terjadi karena

menurunnya daya imun tubuh secara umum sehingga lebih rentan terhadap

serangan berbagai penyakit infeksi. Karena infeksi penderita akan mengalami

demam, diare, dehidrasi, dan kadang kejang. Penyakit infeksi yang sering

dijumpai adalah:

a. Infeksi saluran nafas, terutama saluran nafas bagian atas.

b. Infeksi saluran cerna yang ditandai dengan gejala mencret-mencret.

(34)

Terapi untuk penderita defisiensi protein yang pertama harus ditanggulangi

adalah gejala infeksi akut seperti kejang, diare, dan dehidrasi. Kemudian

menangani infeksi spesifik sambil menangani kondisi kekurangan kalori protein

(KKP). Penanganan penyakit dilakukan dengan memberi makanan cair terlebih

dahulu dengan kalori dan zat gizi yang cukup. Konsentrasi zat diberi secara

parsial dan bertingkat. Bila penderita telah dapat bertahan dengan makanan cair

konsentrasi tinggi maka dilanjutkan dengan pemberian makanan semi padat

kemudian makanan padat (Sediaoetama, 2008).

2.4Pengaruh Pengolahan Terhadap Protein

Pada prinsipnya pengolahan pangan bertujuan untuk: (1) pengawetan,

pengemasan dan penyimpanan produk pangan; (2) mengubah bahan pangan

menjadi produk yang diinginkan; (3) mempersiapkan bahan pangan agar siap

dihidangkan. Salah satu cara pengolahan yang sering digunakan adalah

pemanasan seperti sterilisasi, pengeringan, penggorengan, perebusan, pengukusan,

pemanggangan, pengalengan, dan pasteurisasi. Hal-hal yang terjadi pada proses

pengolahan terhadap protein adalah a) reaksi Maillard yaitu reaksi antara asam

amino dengan gula pereduksi yang terutama terjadi pada penggorengan yang

menyebabkan timbul warna kecoklatan, b) pembentukan lisinolalanin karena

pengolahan protein dengan bahan yang bersifat alkali sehingga memutus ikatan

silang protein, toksisitas bila termakan, dan kerusakan ginjal, (c) rasemisasi asam

amino yaitu perubahan bentuk L asam amino menjadi bentuk D yang terjadi bila

protein diproses dengan penambahan basa, asam dan pada proses pemanggangan,

(e) interaksi protein dengan lemak teroksidasi menyebabkan protein bermodifikasi

(35)

amino yang mengandung sulfur akibat teroksidasi radikal bebas (Palupi, dkk.,

2007).

Penelitian oleh Sumiati (2008) pada ikan mujair (Tilapia moasambica)

membuktikan bahwa proses pengolahan yang berbeda akan mempengaruhi nilai

gizi terutama kandungan proteinnya. Kandungan protein ikan mujair menurun dari

62,97 g/100 g menjadi 59,84 g/100 g pada perebusan, 59,05 g/100 g pada

pengukusan, 57,78 g/100 g pada pemanggangan dan penurunan paling drastis

terjadi pada penggorengan yaitu menjadi 33,32 g/100 g.

2.5 Analisis Protein

Analisis protein dapat dilakukan dengan dua cara yaitu 1) secara langsung

menggunakan zat kimia yang spesifik terhadap protein, contohnya seperti dengan

pereaksi Biuret, Lowry, Bradford atau dengan metode pengikatan warna dimana

konsentrasi ditentukan berdasarkan kompleks warna yang terbentuk; 2) secara

tidak langsung dengan menghitung jumlah nitrogen yang terkandung di dalam

bahan, contohnya metode Kjeldahl dan metode Dumas dimana kadar protein

sebanding dengan total N yang terkandung di dalamnya (Rhee, 2005).

2.5.1 Metode Kjeldahl

Sejak abad ke-19, metode Kjeldahl telah dikenal dan diterima secara

universal sebagai metode untuk analisis protein dalam berbagai variasi produk

makanan dan produk jadi (Rhee, 2005). Penetapan kadar protein dengan metode

Kjeldahl merupakan metode empiris (tidak langsung) yaitu melalui penetapan

kadar N dalam bahan yang disebut protein kasar (Estiasih, dkk., 2012).

Prinsip metode Kjeldahl ini adalah senyawa-senyawa yang mengandung

(36)

bereaksi dengan asam pekat membentuk garam amonium. Kemudian ditambahkan

basa untuk menetralisasi suasana reaksi dan kemudian didestilasi dengan asam

dan dititrasi untuk mengatahui jumlah N yang dikonversi (Estiasih, dkk., 2012).

Tahapan kerja pada metode Kjeldahl dibagi tiga yaitu:

a. Tahap Dekstruksi

Pada tahap ini, sampel dipanaskan dengan asam sulfat pekat sehingga

terjadi destruksi menjadi unsur karbon (C), hidrogen (H), oksigen (O) dan

nitrogen (N) kemudian teroksidasi menjadi karbon monoksida (CO), karbon

dioksida (CO2) dan air. Unsur N akan bereaksi dengan asam sulfat membentuk

garam amonium sulfat. Untuk mempercepat proses destruksi maka ditambahkan

katalisator berupa campuran Na2SO4 dan HgO atau K2SO4 dan CuSO4. Gunning

menyarankan penggunaan katalisator K2SO4 dan CuSO4 karena sifat kalium sulfat

yang dapat menaikkan titik didih sehingga destruksi berlangsung lebih cepat dan

sempurna. Terkadang dapat pula ditambahkan selenium untuk mempercepat

proses oksidasi akan tetapi, selenium sifatnya lebih reaktif sehingga oksidasi

berlangsung sangat cepat yang memungkinkan hilangnya unsur nitrogen (Rohman

dan Sumantri, 2007). Menurut Chang (1998), reaksi pada tahap destruksi adalah:

H H H

-OOC-C- NH-C- COO- NH- C- COO- (NH4)2SO4

R R R

b. Tahap Destilasi

Garam amonium sulfat yang terbentuk dipecah menjadi ammonia (NH3)

dengan penambahan basa NaOH dan dipanaskan. Ammonia yang dilepas

ditampung dalam larutan asam. Agar kontak antara asam dan ammonia H2SO4

(37)

berlangsung sempurna maka ujung tabung destilasi harus tercelup sedalam

mungkin dalam larutan asam. Pada tahap destilasi dapat juga ditambahkan logam

Zn agar tidak terjadi superheating (percikan cairan atau timbulnya gelembung gas

yang besar) (Rohman dan Sumantri, 2007). Menurut Chang (1998), reaksi pada

tahap destilasi adalah:

(NH4)2SO4 + H2O + 2 NaOH 2 NH4OH + Na2SO4

NH4OH+ H2SO4 NH4HSO4 + H2O

c. Tahap Titrasi

Bila larutan asam yang digunakan untuk penampung destilat adalah asam

klorida dan asam sulfat maka sisa asam yang tidak bereaksi dengan amonia akan

bereaksi dengan larutan pentiter yaitu NaOH. Tetapi bila digunakan larutan

penampung destilat berupa asam borat maka banyaknya asam borat yang bereaksi

dengan ammonia dapat diketahui dengan mentritrasi ion amonium dengan

menggunakan pentiter HCl (Rohman dan Sumantri, 2007). Menurut Chang

(1998), reaksi pada tahap titrasi adalah sebagai berikut:

H2SO4 + 2NaOH Na2 SO4 + 2 H2O

Menurut Rohman dan Sumantri (2007), kadar protein dalam sampel dapat

dihitung dengan rumus:

Kadar = (� ������ −� ������) ��������,�14 ���

�� � 100%

dimana :

(38)
[image:38.595.115.492.140.286.2]

Faktor konversi untuk berbagai macam bahan dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Faktor konversi untuk berbagai macam bahan

N o

Bahan Faktor Konversi (FK)

1 Bir, sirup, biji-bijian, ragi, makanan

ternak, buah-buahan, teh, anggur

6,25

2 Beras 5,95

3 Roti, gandum, makaroni, bakmi 5,70

4 Kacang tanah 5,46

5 Kedelai 5,75

6 Kenari 5,18

7 Susu 6,38

Sumber: Rohman dan Sumantri (2007)

Keuntungan menggunakan metode Kjeldahl ini adalah dapat diaplikasikan

untuk semua jenis bahan pangan, tidak memerlukan biaya yang mahal untuk

pengerjaannya, dapat dimodifikasi sesuai kuantitas protein yang dianalisis.

Adapun kerugiannya adalah yang ditentukan adalah jumlah total nitrogen yang

terdapat didalamnya bukan hanya nitrogen dari protein, waktu yang diperlukan

relatif lebih lama (minimal 4 jam untuk menyelesaikannya), presisi yang lemah,

pereaksi yang digunakan ada yang bersifat beracun, korosif dan berbahaya bagi

kesehatan, dan adanya variasi faktor konversi untuk masing-masing sampel

(Chang, 1998).

2.5.2 Metode Spektrofotometri

Penentuan kadar protein dengan menggunakan instrumen dibagi menjadi

dua yaitu: 1) metode pengukuran langsung pada panjang gelombang 205 nm dan

280 nm dan 2) metode pembentukan warna dengan pereaksi tertentu (Simonian,

(39)

1. Metode pengukuran langsung pada panjang gelombang 205 nm dan 280 nm

Absorbansi pada panjang gelombang 205 nm dan 280 nm digunakan untuk

menghitung konsentrasi protein dengan terlebih dahulu distandarisasi dengan

protein standar. Metode ini dapat dengan mudah diaplikasikan dan sederhana,

cocok untuk larutan protein yang telah dimurnikan atau dimurnikan parsial.

Penetapannya berdasarkan absorbansi sinar ultraviolet oleh asam amino triptopan,

tirosin dan ikatan disulfida sistein yang menyerap kuat pada panjang gelombang

tersebut, terutama panjang gelombang 280 nm (Simonian, 2005).

Keuntungan metode ini adalah waktu yang diperlukan untuk analisis cepat,

memiliki sensitifitas yang baik, tidak ada gangguan dari ion ammonium dan

garam-garam buffer, larutan sampel masih dapat digunakan untuk analisis lain

selain analisis protein. Kerugian metode ini adalah asam nukleat juga memiliki

absorbansi yang kuat pada panjang gelombang 280 nm, susunan asam amino

aromatis dapat bervariasi untuk setiap sampel protein, larutan protein harus

benar-benar jernih dan tidak berwarna ataupun keruh (Chang, 1998).

2. Metode pembentukan warna dengan pereaksi tertentu

a. Pereaksi Biuret

Semua protein terususun dari asam-asam amino yang terhubung oleh

ikatan-ikatan peptida. Ion Cu2+ dari CuSO4 dalam suasana basa NaOH akan

membentuk kompleks dengan ikatan peptida protein (-CO-NH-), kompleks ini

memberikan akan warna sehingga konsentrasi protein dapat ditentukan dengan

spektrofotometer sinar tampak (Estiasih, dkk., 2012).

Pemilihan protein standar dapat menyebabkan kesalahan fatal dalam

(40)

Untuk analisis protein secara umum, standar Bovine Serum Albumin (BSA)

merupakan pilihan yang baik untuk analisis protein karena memiliki kemurnian

yang tinggi, dan harganya tidak terlalu mahal. Selain itu, Bovine Gamma Globulin

(BGG) juga merupakan pilihan yang baik bila akan digunakan untuk analisis

kadar protein immunoglobulin dalam tubuh, karena BGG memberikan warna dan

kurva yang sangat mirip dengan Immunoglobulin G (Ig G). Asam amino tunggal

dan dipeptida tidak akan memberikan reaksi dengan Biuret, akan tetapi tripeptida

dan polipeptida akan membentuk kompleks chelat. Satu ion Cu2+ akanbereaksi

dengan empat sampai enam ikatan peptida. (Krohn, 2005). Reaksi protein dengan

pereaksi Biuret dapat dilihat pada Gambar 6.

Reaksi Biuret ini menunjukkan hasil yang positif melalui pembentukan

warna ungu, merah violet, atau biru violet. Intensitas warna yang terbentuk

sebanding dengan banyaknya ikatan peptida yang bereaksi. Pereaksi Biuret

merupakan dasar dari metode pembentukan warna yang paling sederhana untuk

penetapan konsentrasi total protein secara kuantitatif (Sumardjo, 2006; Krohn,

2005).

[image:40.595.120.531.382.574.2]

Protein + Cu2+

(41)

Keuntungan dari metode ini adalah prosedur yang sederhana, tidak

memerlukan biaya yang mahal, waktu yang digunakan relatif singkat, deviasai

warna sangat sedikit bila dibandingkan dengan Lowry, Bradford dan metode

turbidimetri sehingga absorpsi warnanya relatif stabil, sangat sedikit senyawa

yang berinteraksi dengan pereaksi Biuret, dan tidak mendeteksi nitrogen dari

sumber non-protein. Kerugiannya adalah kurang sensitif dibandingkan dengan

Lowry dan Bradford, absorbansinya dapat dipengaruhi oleh asam empedu,

konsentrasi garam ammonium yang sangat tinggi, adanya variasi warna untuk

beberapa protein tertentu, bila bahan mengandung lemak dan karbohidrat yang

sangat tinggi dapat menyebabkan larutan menjadi buram sehingga tidak dapat

ditembus cahaya UV, dan karena metode ini bukan merupakan metode absolut

sehingga absorpsi warnanya perlu terlebih dahulu distandarisasi terhadap protein

murni seperti Bovine Serum Albumin (BSA) (Chang, 1998).

b. Pereaksi Lowry

Pada tahun 1951, Oliver H. Lowry memperkenalkan penggunaan pereaksi

ini yang merupakan perkembangan lebih lanjut dari Biuret. Metode ini diakui

cukup sensitif untuk menentukan konsentrasi total protein (Krohn, 2005).

Prinsipnya tidak jauh berbeda dengan Biuret, dimana ion tembaga akan

membentuk kompleks dengan ikatan peptida kemudian dengan adanya pereaksi

fosfotungstik-fosfomolibdat akan mengoksidasi rantai samping asam amino

sehingga menghasilkan warna dan konsentrasi protein dapat diukur dengan

spektrofotometer (Chang, 1998). Reaksi protein dengan pereaksi Lowry dapat

(42)
[image:42.595.126.507.82.306.2]

Gambar 7. Reaksi protein dengan pereaksi Lowry (Krohn, 2005) Keuntungan analisis dengan pereaksi ini adalah memiliki sensitifitas yang

lebih baik dibanding Biuret, lebih spesifik dibanding metode lain, dan waktu

untuk analisis lebih singkat bila dibandingkan dengan metode Kjeldahl (sekitar

1-1,5 jam). Kerugian analisis dengan pereaksi Lowry adalah variasi warnanya

yang lebih banyak dibanding dengan pereaksi Biuret, warna yang terbentuk tidak

secara tepat menggambarkan konsentrasi protein, reaksinya sangat dipengaruhi

oleh senyawa-senyawa pengganggu seperti glukosa, lemak, garam buffer fosfat,

senyawa-senyawa yang mengandung amin, gula pereduksi, garam ammonium

dalam konsentrasi tinggi dan senyawa sulfhidril (Chang, 1998).

c. Pereaksi Bradford

Pada tahun 1976, Marion Bradford memperkenalkan penggunaan pereaksi

Coomassive Blue untuk penetapan secara kuantitatif konsentrasi total protein.

Coomasive Blue ini akan berinteraksi dengan gugus samping asam amino yang

memiliki ikatan rangkap sehinngga terjadi perubahan warna pereaksi dari merah Ikatan

peptida

(43)

menjadi biru (Chang, 1998). Reaksi protein dengan pereaksi Bradford dapat

dilihat pada Gambar 8 dibawah ini.

Keuntungan analisis dengan pereaksi Bradford adalah tidak menggunakan

pereaksi yang berbahaya, hanya protein yang akan diukur, memiliki presisi yang

lebih tinggi dibanding metode Kjeldahl, waktu analisis yang diperlukan singkat,

biaya yang diperlukan tidak terlalu mahal, dan cukup akurat untuk digunakan

dalam analisis kandungan total protein dalam makanan. Adapun kerugiannya

adalah kandungan asam amino yang berbeda akan mempengaruhi kapasitas

pembentukan warna, senyawa gula, kalsium dan fosfat dapat mengganggu ikatan

warna sehingga akan mengganggu hasil analisis, dan adanya variasi absorbansi

yang signifikan tegantung jenis protein (Chang, 1998).

2.5.3 Metode Titrasi Formol

Prinsip metode ini adalah dengan adanya air dan penambahan Kalium

oksalat, protein akan dihidrolisis menjadi asam-asam amino. Selanjutnya dengan

[image:43.595.112.499.140.385.2]

penambahan formaldehid akan memblokade gugus basa asam amino membentuk

Gambar 8. Reaksi protein dengan pereaksi Bradford (Krohn, 2005) Protein

(44)

gugus dimethilol sehingga tidak mengganggu reaksi antara NaOH dengan gugus

asam dari asam amino dan konsentrasi protein dapat ditentukan. Titrasi formol ini

kurang tepat untuk menentukan kadar protein dam lebih tepat digunakan untuk

menunjukkan proses hidrolisis protein (Estiasih, dkk., 2012).

2.5.4 Metode Dumas

Pada metode ini sampel dioksidasi pada suhu sangat tinggi (700-900°C).

Hasil oksidasi menghasilkan gas O2, N2 dan CO2. Gas nitrogen yang dilepaskan

dikuantitasi menggunakan kromatografi gas dengan detektor konduktivitas termal

(Thermal Detector Conductivity/TDC) kemudian jumlah nitrogen yang diperoleh

dikonversi. Jumlah nitrogen dalam sampel sebanding dengan kadar proteinnya

(Pomeranz dan Meloan, 1987).

Keuntungan metode ini adalah merupakan metode alternatif dari metode

Kjeldahl tetapi waktu analisis yang diperlukan lebih singkat dari metode Kjeldahl,

tidak menggunakan senyawa yang berbahaya, banyak sampel dapat diukur

sekaligus karena perkembangan alatnya yang sudah menggunakan sistem

otomatis. Adapun kekurangan metode ini adalah membutuhkan instrumen analisis

yang mahal, tidak mengukur kadar protein yang sesungguhnya karena yang diukur

adalah total nitrogen sehingga nitrogen non-protein juga terukur sebagai protein,

memiliki variasi faktor konversi, membutuhkan sampel dalam jumlah besar untuk

analisis (Chang, 1998).

2.6 Pengalengan

Sistem pengawetan pangan secara umum adalah menghambat pertumbuhan

mikroba. Pada akhir tahun 1795, Nicolas Appert, seorang pembuat kembang gula

(45)

dalam suatu kemasan tertutup tetap awet bila kemasan tersebut tidak dibuka lagi

atau tutupnya tidak bocor. Setelah beliau menghabiskan sepuluh tahun untuk

membuktikannya, proses tersebut disebutnya dengan “seni Appertisasi”.

Berdasarkan penemuan oleh Appert inilah pengawetan dengan pengalengan mulai

dikembangkan. Pada tahun 1810, Peter Durant membuat hak paten untuk kemasan

gelas dan logam untuk mengemas bahan pangan. Kemasan logam ini terbuat dari

timah yang tebal, kasar dan sulit ditutup yang disebut canisters. Istilah can atau

kaleng diduga berasal dari kata canisters tersebut (Desrosier, 2008).

Appert mensyaratkan bahwa kemasan bahan pangan harus ditutup dan

dipanaskan dengan hati-hati dan kebersihan adalah hal yang penting dalam

keseluruhan proses karena mikrobalah yang merupakan agensia pembusuk. Proses

Appertisasi selalu menggunakan istilah kedap (hermetic) yang berarti penutupan

rapat sehingga dapat mencegah terjadinya pembusukan dan fermentasi.

Organisme tertentu masih resisten terhadap panas dan mampu membusukkan

makanan kaleng walupun sudah dipanaskan pada tingkat tertentu. Oleh karena itu,

selain proses pemanasan, proses pendinginan juga merupakan hal yang penting,

kaleng harus segera didinginkan agar organisme termofil yang masih hidup

selama proses pemanasan dapat dimatikan (Desrosier, 2008).

Pengalengan hingga kini masih dianggap sebagai salah satu metode

pengawetan pangan yang cukup efektif untuk mempertahankan daya simpan

bahan. Proses pengalengan secara umum meliputi proses preparasi bahan dimana

bahan dicuci kemudian disortasi, dikuliti dan direndam dalam air bersuhu

85-95°C yang disebut blanching. Blanching merupakan salah satu proses penting

(46)

mengurangi jumlah mikroba dan mengurangi gas sehingga membantu proses

pengvakuman. Setelah preparasi selesai, bahan diisikan ke dalam kaleng beserta

bahan-bahan tambahan lain yang diperlukan. Proses pengisian harus

memperhatikan berat bahan dan volume ruang pengisian. Selanjutnya, kaleng

dijenuhkan dengan metode pengaliran uap panas dan segera disegel agar tutup

kaleng dapat menutup dengan rapat dan baik. Yang terakhir adalah proses

sterilisasi. Proses ini dilakukan dengan cara sterilisasi panas pada suhu diatas

130°C (Ramaswamy dan Chen, 2004).

Keunggulan dari metode pengawetan dengan pengalengan adalah hampir

semua bahan pangan dapat diawetkan dengan metode ini, mutunya stabil baik

dalam skala besar maupun kecil, dapat digunakan segera bila diperlukan, daya

simpannya lebih lama dibandingkan bahan segarnya, teksturnya mendekati tekstur

bahan segar, kemasan kaleng melindingi bahan dari partikel-partikel asing dari

luar, gas-gas, tekanan udara baik dari dalam maupun dari luar kaleng maupun

benturan yang dapat merusak mutu bahan (Winarno, 1995).

Akan tetapi, pengalengan ini juga memiliki beberapa kelemahan,

diantaranya adalah penambahan garam dengan konsentrasi tinggi dan bahan

pengasam dimana garam dan asam dapat mengakibatkan terjadinya kerusakan

protein, di samping itu juga harus melalui beberapa tahap pemanasan dalam

prosesnya. Sebelum dikalengkan, bahan harus direndam terlebih dahulu dalam air

panas bersuhu 85-95°C untuk menghentikan aktivitas enzimnya, kemudian kaleng

dibuat vakum dengan metode penjenuhan uap panas. Sterilisasi untuk

pengalengan juga dilakukan dengan pemanasan pada suhu diatas 130°C.

(47)

menyebabkan penurunan kandungan nutrisi bahan makanan terutama zat yang

tidak tahan panas seperti vitamin dan protein (Ramaswamy dan Chen, 2004).

Selain suhu pemanasan dan lama pemanasan, kecepatan penetrasi panas

dalam makanan kaleng juga turut serta memberikan peranan terhadap nilai gizi

makanan kaleng. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kecepatan penetrasi

panas dalam makanan kaleng yaitu: luas permukaan kaleng, volume kaleng, sifat

dan komposisi dari wadah kaleng yang digunakan, konsistensi produk, suhu

pemanasan, kecepatan rotasi atau agitasi kaleng, isi dan ruang di atas kaleng (head

space) dan metode pengemasan makanan ke dalam kemasan kaleng (Buckle, dkk.,

1985).

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Aberoumand (2011) pada ikan tuna

Orcynopsis unicolor dan Euthynus affinis menunjukkan kadar protein yang

ditetapkan dengan metode Kjeldahl pada kedua spesies ikan tuna tersebut

menurun setelah dikalengkan. Namun, setelah penyimpanan selama enam bulan

dengan rentang pengukuran dua bulan menunjukkan adanya peningkatan kadar

protein sekitar 2-3%. Hal yang sama juga ditunjukkan oleh penelitian Maheswa,

dkk (2011) pada ikan tuna Euthynus affinis dalam medium kari dengan variasi

kaleng yang mengandung timah dan kaleng bebas timah dimana kadar protein

juga menurun dari sebelum dikalengkan dengan setelah dikalengkan dan kadar

(48)

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif,

yaitu penetapan kadar protein dalam sampel. Penelitian dilakukan di

Laboratorium Penelitian Fakultas Farmasi dan Laboratorium Teknologi Pangan

Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara pada bulan Januari hingga April

2013.

3.1 Alat-alat

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperangkat

instrumen Spektrofotometer (Shimadzu model UV-1800), neraca analitik (Mattler

Toledo), centrifuge (Hitachi), lumpang, stamfer, gelas ukur (Orberol), labu ukur

(Orberol), maat pipet (Pyrex), gelas beker (Pyrex), erlenmeyer (Pyrex), tabung

Kjeldahl, hot plate, magnetic stirrer, selang air, pendingin liebig, buret, statis,

klem, batang pengaduk, bola pengisap, pipet tetes, blender, kertas saring, spatula

dan corong.

3.2 Bahan-bahan

Bahan – bahan yang digunakan dalam penelitian ini bila tidak dinyatakan

lain adalah berkualitas pro analisis (E. Merck) antara lain Bovine Serum Albumin

(BSA) (BDH Chemicals), aquadestilata, K Na Tartrat, KI, CuSO4, K2SO4, H2SO4

98% v/v, NaOH, metilen biru, metilen merah, dan alkohol 96%.

3.3 Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel dilakukan secara purposif, artinya sampel dipilih

(49)

dikehendaki telah ada dalam anggota sampel yang diambil (Nasution, 2003).

Sampel yang digunakan adalah kacang polong (Hosen), kacang tanah (Ayam

Brand), kacang buncis (Daucy), kacang gingko (Mili) dan kacang merah (SW)

yang seluruhnya merupakan kacang yang dikalengkan, masing-masing diambil

satu kaleng dan diperoleh dari Brastagi Supermarket, Medan. Spesifikasi daftar

sampel dapat dilihat pada Lampiran 1 halaman 51-53.

3.4 Prosedur Penelitian 3.4.1 Pembuatan pereaksi

Pereaksi Biuret dibuat dengan mencampurkan 3 g CuSO4.5H2O dan 9 g

Na K Tartrat ke dalam 500 ml NaOH 0,2 N kemudian ditambahkan 5 g KI dan

diencerkan dengan NaOH 0,2 N hingga 1000 ml (Estiasih, dkk., 2012). H2SO4

0,02 N dibuat dengan mencampurkan 0,55 ml H2SO4 pekat 98% dan aquadestilata

ke dalam labu hingga 1000 ml. NaOH 0,02623 N dibuat dengan mencampurkan

0,8 g NaOH dan aquadestilata dalam labu hingga 1000 ml (Vogel, 1985).

Indikator Mengsel dibuat dengan mencampurkan 100 mg metilen merah dan

30 mg metilen biru dalam 60 ml alkohol 96% kemudian diencerkan dengan

aquadestilata yang telah didihkan hingga 100 ml (Sudarmadji, dkk., 1989).

3.4.2 Pembuatan larutan induk baku

Untuk larutan induk baku 1 (LIB 1), ditimbang 250 mg baku Bovine

Serum Albumin, dimasukkan ke dalam labu ukur 50 ml dan dicukupkan hingga

garis batas dengan aquadestilata (C= 5000 mcg/ml). Untuk larutan induk baku 2

(LIB 2) ditimbang 1000 mg baku albumin, dimasukkan ke dalam labu ukur 50 ml

(50)

3.4.3 Pembuatan kurva serapan Bovine Serum Albumin

Untuk pembuatan kurva serapan Bovine Serum Albumin, dipipet 3 ml dari

LIB 1 kemudian dimasukkan ke dalam labu ukur 10 ml, ditambahkan 6 ml

pereaksi Biuret, dicukupkan hingga garis batas dengan aquadestilata dan

dihomogenkan. Didiamkan selama kurang lebih 30 menit dan diukur dengan

spektrofotometer pada rentang panjang gelombang 400-800 nm.

3.4.4 Penentuan waktu optimum

Untuk penentuan waktu optimum (operating time), dipipet 3 ml dari LIB 1

dan dimasukkan ke dalam labu ukur 10 ml. Kemudian ditambahkan 6 ml pereaksi

Biuret, jalankan pengukur waktu dan dicukupkan hingga garis batas dengan

aquadestilata dan dihomogenkan. Kemudian diukur dengan spektrofotometer pada

panjang gelombang maksimum 553.36 nm setelah satu menit. Penentuan waktu

optimum dilakukan selama 60 menit.

3.4.5 Pembuatan kurva kalibrasi Bovine Serum Albumin

Untuk pembuatan kurva kalibrasi Bovine Serum Albumin, dipipet dari

LIB 2 0,5 ml (C= 1000 mcg/ml), 0,75 ml (C= 1500 mcg/ml), 1 ml (C=

2000 mcg/ml), 1,25 ml (C= 2500 mcg/ml), 1,5 ml (C= 3000 mcg/ml), 1,75 ml

(C= 3500 mcg/ml), 2 ml (C= 4000 mcg/ml) dan 2,25 ml (C= 4500 mcg/ml) ke

dalam labu ukur 10 ml. Kemudian ditambahkan 6 ml pereaksi Biuret dan

dicukupkan hingga garis tanda dengan aquadestilata dan dihomogenkan.

Didiamkan selama kurang lebih 17-22 menit dan diukur absorbansinya pada

(51)

3.4.6 Preparasi sampel

Preparasi sampel dilakukan dengan cara sampel kurang lebih 30 g dibilas

terlebih dahulu dengan aquadestilata dan ditiriskan pada suhu kamar. Kemudian

ditimbang seksama kurang lebih 25 g, dihaluskan dengan menggunakan waring

blender dan dicukupkan volumenya hingga 50 ml dalam labu ukur. Selanjutnya,

larutan yang diperoleh disaring dengan kertas saring kemudian disentrifugasi pada

kecepatan 11000 rpm selama 10 menit. Supernatan hasil sentrifugasi didekantasi

untuk dipergunakan selanjutnya (protein yang terdapat dalam supernatan adalah

protein terlarut) (Estiasih, dkk., 2012).

3.4.7 Penetapan kadar protein

Larutan protein dipipet 3 ml lalu dimasukkan ke dalam labu ukur 10 ml.

Kemudian ditambahkan 6 ml pereaksi Biuret, dicukupkan hingga garis tanda

dengan aquadestilata dan dihomogenkan. Didiamkan selama kurang lebih

17-22 menit dan diukur absorbansinya pada panjang gelombang maksimum

553.36 nm (Estiasih, dkk., 2012). Skema prosedur preparasi dan analisis protein

secara spektrofotometri sinar tampak dapat dilihat pada Lampiran 2 halaman 54.

Menurut Gandjar dan Rohman (2008), konsentrasi dapat dihitung dengan

mensubstitusikan absorbansi sampel pada Y dari persamaan regresi: Y = ax + b,

dimana:

Y = absorbansi sampel X = konsentrasi sampel a = slope

b = intersep

Kadar protein dalam sampel dapat dihitung dengan cara:

(52)

dimana K = kadar total analit dalam sampel (mg/g) X = konsentrasi setelah pengenceran (mcg/ml) V = volume sampel (ml)

Fp = faktor pengenceran BS = berat sampel (g)

3.4.8 Analisis statistik data penetapan kadar protein

Data penetapan kadar protein dianalisis secara statistik menggunakan uji t.

Menurut Gandjar dan Rohman (2008), untuk menghitung Standar Deviasi (SD)

digunakan rumus:

SD =

∑(�−��)

2

�−1

Dasar penolakan data adalah apabila thitung ≥ ttabel pada taraf kepercayaan

99% dengan nilai α = 0,01, dimana thitung dihitung dengan rumus:

t

hitung

=

�−�� ��√�

dimana:

SD = Standar Deviasi X = Kadar protein

�� = Kadar rata-rata protein n = Jumlah perlakuan

Menurut Harvey (2000), kadar sebenarnya dapat dihitung dengan rumus:

μ =

��

± t

tabel

x

�� √�

dimana:

μ

=

kadar sebenarnya
(53)

3.5 Verifikasi Metode

Verifikasi metode bertujuan untuk mengevaluasi bahwa kinerja sistem

memenuhi standar yang dipersyaratkan oleh metode tersebut (Watson, 2010). Uji

verifikasi yang dilakukan meliputi uji kecermatan/akurasi, keseksamaan/presisi,

batas deteksi dan batas kuantitasi.

3.5.1 Kecermatan/Akurasi

Dalam penelitian ini, uji kecermatan dilakukan dengan metode

penambahan baku (Standard Addition). Sampel diperlakukan sama seperti pada

saat preparasi. Sebelum dicukupkan volumenya pada labu ukur, ditambahkan

baku Bovine Serum Albumin yang telah ditimbang seksama setara kurang lebih

15 mg/g berat sampel. Selanjutnya, prosedur dilakukan sama seperti perlakuan

pada penetapan kadar protein sampel. Hasil uji kecermatan dinyatakan sebagai

persen perolehan kembali.

Menurut

Gambar

Gambar                                                                                                        Halaman
Gambar 4. Struktur Tersier Protein (Usmeningsih, 2008)
Tabel 1. Kandungan protein dari beberapa jenis kacang-kacangan
Tabel  2. Faktor konversi untuk berbagai macam bahan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sedangkan analisis kuantitatif dilakukan secara spektrofotometri sinar tampak dengan menggunakan metode asam askorbat, yaitu dengan cara mengukur serapan kompleks molibdenum

Perhitungan Statistik Kadar Etambutol Hidroklorida pada Kalbutol tablet yang ditentukan secara Spektrofotometri Sinar Tampak pada panjang gelombang 620 nm.. Perhitungan

Metode penetapan kadar teobromin secara spektrofotometri sinar tampak menggunakan pereaksi Folin-Cioucalteu dapat memenuhi ketepatan, ketelitian dan kepraktisan yang sama dengan

Larutan hasil dekstrusi yang mengandung fosfor diukur dengan spektrofotometri sinar tampak pada panjang gelombang 717 nm, pengukuran menghasilkan serapan dan konsentrasi

Dilakukan penelitian kadar vitamin c dalam beberapa suplemen makanan secara spektrofotometri sinar tampak dan carnpuran pereaksi wama (TPTZ, feni, dan buffer pH

Penetapan kadar nitrit dan nitrat dilakukan secara spektrofotometri sinar tampak dengan menggunakan pereaksi warna N-(1-naftil) etilen diamin dihidroksida (NED) pada

Metode spektrofotometri sinar tampak dalam penetapan kadar nitrit dan nitrat adalah berdasarkan reaksi kolorimetri uji Griess (lihat Gambar 2.2) dimana nitrit mengalami

kuantitatif dilakukan secara spektrofotometri sinar tampak dengan menggunakan metode asam askorbat, yaitu dengan cara mengukur serapan kompleks molibdenum yang berwarna biru