• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Protein - Analisis Kandungan Protein Pada Kacang-Kacangan Yang Dikalengkan Secara Spektrofotometri Sinar Tampak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Protein - Analisis Kandungan Protein Pada Kacang-Kacangan Yang Dikalengkan Secara Spektrofotometri Sinar Tampak"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Protein

Manusia membutuhkan energi dan nutrisi untuk pertumbuhan,

pemeliharaan fungsi biokimia tubuh, dan perkembangannya. Nutrisi dikategorikan

menjadi dua yaitu makronutrisi yang terdiri dari karbohidrat, lemak dan protein,

dan mikronutrisi berupa vitamin dan mineral (Tull, 1996). Makronutrisi terutama

protein berperan penting karena kaitannya yang erat dengan proses-proses

kehidupan. Semua hayat hidup sel berhubungan dengan zat gizi protein. Nama

protein berasal dari kata Yunani ‘protebos’ yang artinya “yang pertama” atau

“yang terpenting” (Sediaoetama, 2008).

Protein adalah makromolekul penting yang mana tersusun dari asam-asam

amino yang terhubung oleh ikatan peptida membentuk struktur kompleks tiga

dimensi (Stayanarayana dan Chakrapati, 2007). Molekul protein mengandung

unsur-unsur C, H, O, dan N. Selain itu, protein juga dapat mengandung unsur

belerang, fosfor, serta logam seperti seng dan besi (Tull, 1996). Telah banyak

studi tentang berapa banyak jumlah protein yang diperlukan oleh tubuh per

harinya untuk dapat memenuhi kebutuhan tubuh akan asam amino selama

beberapa tahun. Studi-studi tersebut menunjukkan bahwa kebutuhan protein untuk

orang dewasa normal adalah 0,8 g/kg berat badan. Kebutuhan ini sama untuk

wanita maupun pria (Forsythe, 1995).

(2)

analisis bahan makanan untuk menentukan kadar protein dengan menganggap

bahwa jumlah N yang terkandung sebanding dengan kadar protein di dalam

makanan (Sediaoetama, 2008).

2.1.1 Struktur protein

Protein tersusun atas unit-unit individual asam-asam amino. Setiap asam

amino memiliki gugus amin (NH

2

) pada salah satu dari atom karbon pusat dan

sisi lainnya merupakan gugus asam (COOH). Di dalam makanan ada 20 jenis

asam amino yang berbeda, masing-masing memiliki struktur dasar yang sama,

yang membedakan hanyalah gugus R pada salah satu sisinya. Gugus R yang

berbeda dapat bervariasi dari atom tunggal hidrogen hingga molekul kompleks

yang membuat setiap asam amino unik (Forsythe, 1995). Struktur dasar asam

amino dapat dilihat pada Gambar 1.

H

NH

2

-C- COOH

R

Gambar 1. Struktur dasar asam amino (Forysthe, 1995)

(3)

dipertautkan dengan ikatan peptida tersebut merupakan struktur primer protein

(Sediaoetama, 2008). Struktur primer protein dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Struktur Primer Protein (Usmeningsih, 2008)

Rantai polipeptida berinteraksi lokal melalui ikatan hidrogen atau ikatan

sulfhidril membentuk suatu konformasi yang berbentuk seperti spiral yang disebut

α

-helix

ataupun seperti lembaran yang disebut

β

-sheet.

Ada 13 atom yang terikat

dalam ikatan hidrogen pada

α

-helix

dimana ikatan hidrogen ini berorientasi sejajar

dengan sumbu heliks.

β

-sheet

terhubung secara lateral oleh lima atau lebih ikatan

hidrogen membentuk lembaran yang mana gugus asam dan basanya berorientasi

tegak lurus terhadap arah rantai. Konformasi ini dikenal sebagai struktur sekunder

protein

(Brown dan Rogers, 1981). Gambar struktur sekunder protein dapat dilihat

pada Gambar 3.

Gambar 3. Struktur Sekunder Protein (Usmeningsih, 2008)

Asam Amino

Struktur Primer Protein

adalah susunan rantai asam-asam

amino.

Lembaran yang berlipat

Alfa heliks

Struktur Sekunder Protein

(4)

Struktur tersier protein mengarah pada interaksi rantai polipeptida dan

struktur sekunder. Struktur ini terbentuk oleh karena gaya-gaya pada gugusan

reaktif yang lebih lemah pada protein yaitu gugusan yang mengandung muatan

listrik dan gaya tarik

Van der Waals

membentuk konformasi tiga dimensi

(Sediaoetama, 2008). Struktur tersier protein dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Struktur Tersier Protein (Usmeningsih, 2008)

Struktur kuartener protein terbentuk bila protein mengandung dua atau

lebih rantai polipeptida yang mempunyai konfigurasi tiga dimensi. Dimana

rantai-rantai polipeptida ini saling berinteraksi membentuk struktur yang lebih

kompleks (Brown dan Rogers, 1981). Struktur kuartener protein dapat dilihat pada

Gambar 5.

Gambar 5. Struktur Kuartener Protein (Usmeningsih, 2008)

Alfa heliks Lembaran yang berlipat

Struktur Kuartener Protein

adalah protein yang mengandung

lebih dari satu rantai polipeptida

Struktur Tersier Protein

(5)

Kombinasi dari struktur-struktur inilah yang memberikan struktur alamiah

yang khas pada molekul protein. Struktur alamiah kompleks ini diperlukan oleh

protein untuk dapat menjalankan fungsinya. Bila struktur stereometri alamiah ini

berubah atau rusak, maka protein tersebut akan kehilangan kesanggupannya untuk

memenuhi fungsi fisiologisnya (Sediaoetama, 2008).

2.1.2 Klasifikasi Protein

Klasifikasi protein dapat dibagi dua yaitu berdasarkan komponen

penyusun dan fungsi fisiologisnya. Protein berdasarkan komponen penyusunnya

terbagi tiga yaitu protein sederhana (

simple protein

) yang bila dihidrolisis

menghasilkan asam amino (albumin), protein kompleks (

Complex/Conjugation

Protein

) yang bila dihidrolisis menghasilkan berbagai jenis asam amino dan juga

komponen lain yang bukan protein seperti unsur logam, gugus fosfat, lipid,

karbohidrat dan asam nukleat (kromoprotein, lipoproterin, glikoprotein,

fosfoprotein, dan nukleoprotein) dan protein derivat yang merupakan produk

antara sebagai hasil hidrolisis parsial protein (albumosa, pepton dan peptida)

(Sediaoetama, 2008).

(6)

contohnya: legumin dan gliadin. Protein tidak sempurna adalah protein yang

mengandung asam amino essensial tidak lengkap, protein ini tidak dapat

menyokong pertumbuhan maupun untuk pemeliharaan jaringan, contohnya zein

(Suhardjo dan Kusharto, 2010).

2.1.3 Sumber Protein

Sumber protein dapat berasal dari hewani dan nabati. Sumber protein

hewani berupa daging ataupun organ-organ dalam seperti hati, pankreas, jantung,

paru-paru, jerohan (babat/

gaster

dan usus halus dan usus besar/

iso

), telur, susu,

ikan, kerang, jenis udang dan produk olahannya (Sediaoetama, 2008).

Sumber protein nabati berasal dari sumber padi-padian, biji-bijian,

kacang-kacangan, gandum dan produk olahannya. Contoh protein nabati yang bersumber

dari padi-padian: nasi, pasta, dan roti; untuk golongan kacang-kacangan: kacang

polong, kacang tanah, kacang kedelai, kacang merah, kacang almond, kacang

mente, dan sebagainya; dari biji-bijian: biji wijen, biji bunga matahari, dan biji

labu (Marshall, 2002).

(7)

Kandungan kolesterol dan lemak jahatnya rendah serta kaya akan lesitin

yang mampu mengurangi kadar kolesterol darah, disamping itu juga mengandung

baik serat yang larut maupun tidak larut. Kandungan seratnya yang tinggi dapat

mempercepat pengeluaran ammonia dari tubuh (Almatsier, 2006).

Kacang-kacangan dibagi dalam beberapa suku yaitu Vicieae contohnya

kacang golongan

peas

dan

lentils

, suku Hedysareae contohnya golongan

nuts

dan

suku Phaseolaeae contohnya golongan

beans

dan

peanuts

(Sathe dan Deshpande,

2003). Kandungan protein dari beberapa jenis kacang-kacangan dapat dilihat pada

Tabel 1.

Tabel 1. Kandungan protein dari beberapa jenis kacang-kacangan

(8)

Kacang-kacangan golongan

peas

,

beans

dan kacang tanah memiliki

cadangan protein yang tinggi dalam bijinya karena adanya bantuan dari bakteri

yang hidup pada akar tumbuhan tersebut, dimana bakteri-bakteri ini mengkonversi

unsur nitrogen dari udara untuk digunakan tumbuhan tersebut. Sementara

kacang-kacangan golongan

nuts

menyediakan protein berkualitas tinggi, akan

tetapi, kacang golongan ini juga tinggi kandungan lemak dan kalorinya sehingga

jarang dijadikan sumber nutrisi dalam makanan tetapi lebih sering dijadikan

selingan makanan (Eschleman, 1984).

2.1.4 Fungsi Protein

Protein

dalam makanan berperan dalam pertumbuhan, pemeliharaan dan

perbaikan jaringan, sintesis enzim, sintesis hormon, sistem imun tubuh atau

mekanisme pertahanan tubuh dan juga sebagai cadangan energi (Tull, 1996).

Fungsi protein yang paling ditekankan adalah sebagai zat pembangun atau

pembentuk yang berperan dalam pertumbuhan dan pemeliharaan jaringan,

menggantikan sel-sel yang mati dan rusak terpakai. Sebagai zat pengatur, protein

mengatur proses-proses metabolisme dalam bentuk enzim dan hormon. Boleh

dikatakan bahwa semua proses metabolik (reaksi biokimia) di dalam tubuh diatur

dan dilangsungkan atas pengaturan enzim (Sediaoetama, 2008).

(9)

harmonis antara proses metabolisme yang satu dengan yang lain. Contohnya

hormon pertumbuhan (GH) dan somatotropin (STH) yang berfungsi untuk

pertumbuhan dan perkembangan jaringan dapat dirusak oleh enzim tripsin dan

pepsin (Sumardjo, 2006).

Protein yang berperan dalam sistem imun tubuh adalah immunoglobulin

yang secara otomatis dibentuk oleh tubuh bila ada antigen yang masuk ke tubuh.

Sebagai zat pengangkut protein membawa ion dan molekul tertentu dari suatu

organ ke organ lainnya melalui aliran darah. Contohnya hemoglobin untuk

mengangkut oksigen dari paru-paru ke jaringan (Sumardjo, 2006).

Mengingat fungsi protein yang sangat penting, sudah selayaknya bila

protein ini diberikan perhatian dan tempat penting dalam penyediaan pangan, baik

bagi anak-anak maupun orang tua (Sediaoetama, 2008).

2.2 Pencernaan dan Metabolisme Protein

(10)

polipeptida membentuk dipeptida yang kemudian oleh dipeptidase diubah menjadi

asam amino (Sumardjo, 2006).

Selanjutnya asam amino diabsorpsi, asam amino akan terdeposito di dalam

hati atau otot di dalam kantong asam amino untuk dapat digunakan pada sintesis

protein dalam tubuh. Setelah selesai makan, tubuh dalam kondisi anabolik. Ini

berarti bahwa tubuh telah siap untuk sintesis protein. Materi genetik dalam tubuh

yaitu

Deoxyribo Nucleic Acid

(DNA) menyediakan “

blueprint

” untuk sintesis

protein. DNA menyediakan informasi asam amino mana yang diperlukan dan

urutan protein apa yang harus disintesis. Selama seluruh asam amino tersedia di

dalam kantungnya, sintesis protein akan terus berlangsung. Sangatlah penting

bahwa semua asam amino tersedia dalam jumlah yang cukup ketika protein

disintesis. Struktur dan fungsi dari setiap rantai protein tergantung pada urutan

daripada asam-asam aminonya (Forsythe, 1995).

2.3 Penyakit yang berhubungan dengan Protein

Penyakit yang berkaitan dengan protein yaitu: 1) berdasarkan defisiensi

protein (penyakit utama) dan 2) penyakit penyerta.

1.

Berdasarkan defisiensi protein

(11)

Manifestasi dari marasmus adalah pertumbuhan yang terhambat. Berat

badan penderita dibawah 60% berat badan standar sehingga penderita terlihat

sangat kurus seperti hanya terbungkus oleh kulit, di jaringan subkutan tidak

ditemukan adanya jaringan otot dan lemak. Keadaan ini disebut p

aniculus

adiposus

. Karena tidak adanya jaringan otot dan lemak di subkutan, kulit

penderita menjadi kusut dan berlipat kurus (

oldman face/monkey face)

. Pada

penderita kwashiorkor tubuhnya kurus tetapi berat badan penderita diatas 60%

berat badan standar. Penderita tampak apatis, kadar albumin dalam darah juga

turun drastis, terjadi udema akibat akumulasi cairan pada jaringan limfa dan

abdomen. Warna rambut penderita belang (

flag sign phenomena),

kulitnya juga

kasar, kering dan tampak garis-garis permukaan yang nyata (

mosaic skin)

(Crowley, 2011).

2.

Penyakit penyerta

Menurut Sediaoetama (2008), penderita defisiensi protein biasanya akan

mengalami infeksi yang merupakan penyakit penyerta. Hal ini terjadi karena

menurunnya daya imun tubuh secara umum sehingga lebih rentan terhadap

serangan berbagai penyakit infeksi. Karena infeksi penderita akan mengalami

demam, diare, dehidrasi, dan kadang kejang. Penyakit infeksi yang sering

dijumpai adalah:

a.

Infeksi saluran nafas, terutama saluran nafas bagian atas.

(12)

Terapi untuk penderita defisiensi protein yang pertama harus ditanggulangi

adalah gejala infeksi akut seperti kejang, diare, dan dehidrasi. Kemudian

menangani infeksi spesifik sambil menangani kondisi kekurangan kalori protein

(KKP). Penanganan penyakit dilakukan dengan memberi makanan cair terlebih

dahulu dengan kalori dan zat gizi yang cukup. Konsentrasi zat diberi secara

parsial dan bertingkat. Bila penderita telah dapat bertahan dengan makanan cair

konsentrasi tinggi maka dilanjutkan dengan pemberian makanan semi padat

kemudian makanan padat (Sediaoetama, 2008).

2.4

Pengaruh Pengolahan Terhadap Protein

(13)

amino yang mengandung sulfur akibat teroksidasi radikal bebas (Palupi, dkk.,

2007).

Penelitian oleh Sumiati (2008) pada ikan mujair (

Tilapia moasambica

)

membuktikan bahwa proses pengolahan yang berbeda akan mempengaruhi nilai

gizi terutama kandungan proteinnya. Kandungan protein ikan mujair menurun dari

62,97 g/100 g menjadi 59,84 g/100 g pada perebusan, 59,05 g/100 g pada

pengukusan, 57,78 g/100 g pada pemanggangan dan penurunan paling drastis

terjadi pada penggorengan yaitu menjadi 33,32 g/100 g.

2.5 Analisis Protein

Analisis protein dapat dilakukan dengan dua cara yaitu 1) secara langsung

menggunakan zat kimia yang spesifik terhadap protein, contohnya seperti dengan

pereaksi Biuret, Lowry, Bradford atau dengan metode pengikatan warna dimana

konsentrasi ditentukan berdasarkan kompleks warna yang terbentuk; 2) secara

tidak langsung dengan menghitung jumlah nitrogen yang terkandung di dalam

bahan, contohnya metode Kjeldahl dan metode Dumas dimana kadar protein

sebanding dengan total N yang terkandung di dalamnya (Rhee, 2005).

2.5.1 Metode Kjeldahl

Sejak abad ke-19, metode Kjeldahl telah dikenal dan diterima secara

universal sebagai metode untuk analisis protein dalam berbagai variasi produk

makanan dan produk jadi (Rhee, 2005). Penetapan kadar protein dengan metode

Kjeldahl merupakan metode empiris (tidak langsung) yaitu melalui penetapan

kadar N dalam bahan yang disebut protein kasar (Estiasih, dkk., 2012).

(14)

bereaksi dengan asam pekat membentuk garam amonium. Kemudian ditambahkan

basa untuk menetralisasi suasana reaksi dan kemudian didestilasi dengan asam

dan dititrasi untuk mengatahui jumlah N yang dikonversi (Estiasih, dkk., 2012).

Tahapan kerja pada metode Kjeldahl dibagi tiga yaitu:

a.

Tahap Dekstruksi

Pada tahap ini, sampel dipanaskan dengan asam sulfat pekat sehingga

terjadi destruksi menjadi unsur karbon (C), hidrogen (H), oksigen (O) dan

nitrogen (N) kemudian teroksidasi menjadi karbon monoksida (CO), karbon

dioksida (CO

2

) dan air. Unsur N akan bereaksi dengan asam sulfat membentuk

garam amonium sulfat. Untuk mempercepat proses destruksi maka ditambahkan

katalisator berupa campuran Na

2

SO

4

dan HgO atau K

2

SO

4

dan CuSO

4

. Gunning

menyarankan penggunaan katalisator K2SO4 dan CuSO4 karena sifat kalium sulfat

yang dapat menaikkan titik didih sehingga destruksi berlangsung lebih cepat dan

sempurna. Terkadang dapat pula ditambahkan selenium untuk mempercepat

proses oksidasi akan tetapi, selenium sifatnya lebih reaktif sehingga oksidasi

berlangsung sangat cepat yang memungkinkan hilangnya unsur nitrogen (Rohman

dan Sumantri, 2007). Menurut Chang (1998), reaksi pada tahap destruksi adalah:

H H H

-OOC-C- NH

-C- COO- NH- C- COO- (NH

4

)

2

SO

4

R R R

b.

Tahap Destilasi

Garam amonium sulfat yang terbentuk dipecah menjadi ammonia (NH3)

dengan penambahan basa NaOH dan dipanaskan. Ammonia yang dilepas

ditampung dalam larutan asam. Agar kontak antara asam dan ammonia

H2SO4

(15)

berlangsung sempurna maka ujung tabung destilasi harus tercelup sedalam

mungkin dalam larutan asam. Pada tahap destilasi dapat juga ditambahkan logam

Zn agar tidak terjadi

superheating

(percikan cairan atau timbulnya gelembung gas

yang besar) (Rohman dan Sumantri, 2007). Menurut Chang (1998), reaksi pada

tahap destilasi adalah:

(NH

4

)

2

SO

4

+ H

2

O + 2 NaOH 2 NH

4

OH + Na

2

SO

4

NH

4

OH

+ H

2

SO

4

NH

4

HSO

4

+ H

2

O

c.

Tahap Titrasi

Bila larutan asam yang digunakan untuk penampung destilat adalah asam

klorida dan asam sulfat maka sisa asam yang tidak bereaksi dengan amonia akan

bereaksi dengan larutan pentiter yaitu NaOH. Tetapi bila digunakan larutan

penampung destilat berupa asam borat maka banyaknya asam borat yang bereaksi

dengan ammonia dapat diketahui dengan mentritrasi ion amonium dengan

menggunakan pentiter HCl (Rohman dan Sumantri, 2007). Menurut Chang

(1998), reaksi pada tahap titrasi adalah sebagai berikut:

H2SO4 + 2NaOH Na2 SO4 + 2 H2O

Menurut Rohman dan Sumantri (2007), kadar protein dalam sampel dapat

dihitung dengan rumus:

Kadar =

(𝑉𝑉 𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏 −𝑉𝑉 𝑠𝑠𝑏𝑏𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑏𝑏) 𝑥𝑥𝑁𝑁𝑁𝑁𝑏𝑏𝑁𝑁𝑁𝑁𝑥𝑥𝑏𝑏,𝑏𝑏14 𝑥𝑥𝐹𝐹𝐹𝐹

𝐵𝐵𝐵𝐵

𝑥𝑥

100%

dimana :

(16)

Faktor konversi untuk berbagai macam bahan dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Faktor konversi untuk berbagai macam bahan

N

o

Bahan

Faktor Konversi (FK)

1

Bir, sirup, biji-bijian, ragi, makanan

ternak, buah-buahan, teh, anggur

6,25

2

Beras

5,95

3

Roti, gandum, makaroni, bakmi

5,70

4

Kacang tanah

5,46

5

Kedelai

5,75

6

Kenari

5,18

7

Susu

6,38

Sumber: Rohman dan Sumantri (2007)

Keuntungan menggunakan metode Kjeldahl ini adalah dapat diaplikasikan

untuk semua jenis bahan pangan, tidak memerlukan biaya yang mahal untuk

pengerjaannya, dapat dimodifikasi sesuai kuantitas protein yang dianalisis.

Adapun kerugiannya adalah yang ditentukan adalah jumlah total nitrogen yang

terdapat didalamnya bukan hanya nitrogen dari protein, waktu yang diperlukan

relatif lebih lama (minimal 4 jam untuk menyelesaikannya), presisi yang lemah,

pereaksi yang digunakan ada yang bersifat beracun, korosif dan berbahaya bagi

kesehatan, dan adanya variasi faktor konversi untuk masing-masing sampel

(Chang, 1998).

2.5.2

Metode Spektrofotometri

(17)

1.

Metode pengukuran langsung pada panjang gelombang 205 nm dan 280 nm

Absorbansi pada panjang gelombang 205 nm dan 280 nm digunakan untuk

menghitung konsentrasi protein dengan terlebih dahulu distandarisasi dengan

protein standar. Metode ini dapat dengan mudah diaplikasikan dan sederhana,

cocok untuk larutan protein yang telah dimurnikan atau dimurnikan parsial.

Penetapannya berdasarkan absorbansi sinar ultraviolet oleh asam amino triptopan,

tirosin dan ikatan disulfida sistein yang menyerap kuat pada panjang gelombang

tersebut, terutama panjang gelombang 280 nm (Simonian, 2005).

Keuntungan metode ini adalah waktu yang diperlukan untuk analisis cepat,

memiliki sensitifitas yang baik, tidak ada gangguan dari ion ammonium dan

garam-garam buffer, larutan sampel masih dapat digunakan untuk analisis lain

selain analisis protein. Kerugian metode ini adalah asam nukleat juga memiliki

absorbansi yang kuat pada panjang gelombang 280 nm, susunan asam amino

aromatis dapat bervariasi untuk setiap sampel protein, larutan protein harus

benar-benar jernih dan tidak berwarna ataupun keruh (Chang, 1998).

2.

Metode pembentukan warna dengan pereaksi tertentu

a.

Pereaksi Biuret

Semua protein terususun dari asam-asam amino yang terhubung oleh

ikatan-ikatan peptida. Ion Cu

2+

dari CuSO

4

dalam suasana basa NaOH akan

membentuk kompleks dengan ikatan peptida protein (-CO-NH-), kompleks ini

memberikan akan warna sehingga konsentrasi protein dapat ditentukan dengan

spektrofotometer sinar tampak (Estiasih, dkk., 2012).

(18)

Untuk analisis protein secara umum, standar Bovine Serum Albumin (BSA)

merupakan pilihan yang baik untuk analisis protein karena memiliki kemurnian

yang tinggi, dan harganya tidak terlalu mahal. Selain itu, Bovine Gamma Globulin

(BGG) juga merupakan pilihan yang baik bila akan digunakan untuk analisis

kadar protein immunoglobulin dalam tubuh, karena BGG memberikan warna dan

kurva yang sangat mirip dengan Immunoglobulin G (Ig G). Asam amino tunggal

dan dipeptida tidak akan memberikan reaksi dengan Biuret, akan tetapi tripeptida

dan polipeptida akan membentuk kompleks

chelat.

Satu ion Cu

2+

akan

bereaksi

dengan empat sampai enam ikatan peptida. (Krohn, 2005). Reaksi protein dengan

pereaksi Biuret dapat dilihat pada Gambar 6.

Reaksi Biuret ini menunjukkan hasil yang positif melalui pembentukan

warna ungu, merah violet, atau biru violet. Intensitas warna yang terbentuk

sebanding dengan banyaknya ikatan peptida yang bereaksi. Pereaksi Biuret

merupakan dasar dari metode pembentukan warna yang paling sederhana untuk

penetapan konsentrasi total protein secara kuantitatif (Sumardjo, 2006; Krohn,

2005).

Protein + Cu

2+

(19)

Keuntungan dari metode ini adalah prosedur yang sederhana, tidak

memerlukan biaya yang mahal, waktu yang digunakan relatif singkat, deviasai

warna sangat sedikit bila dibandingkan dengan Lowry, Bradford dan metode

turbidimetri sehingga absorpsi warnanya relatif stabil, sangat sedikit senyawa

yang berinteraksi dengan pereaksi Biuret, dan tidak mendeteksi nitrogen dari

sumber non-protein. Kerugiannya adalah kurang sensitif dibandingkan dengan

Lowry dan Bradford, absorbansinya dapat dipengaruhi oleh asam empedu,

konsentrasi garam ammonium yang sangat tinggi, adanya variasi warna untuk

beberapa protein tertentu, bila bahan mengandung lemak dan karbohidrat yang

sangat tinggi dapat menyebabkan larutan menjadi buram sehingga tidak dapat

ditembus cahaya UV, dan karena metode ini bukan merupakan metode absolut

sehingga absorpsi warnanya perlu terlebih dahulu distandarisasi terhadap protein

murni seperti Bovine Serum Albumin (BSA) (Chang, 1998).

b.

Pereaksi Lowry

(20)

Gambar 7. Reaksi protein dengan pereaksi Lowry (Krohn, 2005)

Keuntungan analisis dengan pereaksi ini adalah memiliki sensitifitas yang

lebih baik dibanding Biuret, lebih spesifik dibanding metode lain, dan waktu

untuk analisis lebih singkat bila dibandingkan dengan metode Kjeldahl (sekitar

1-1,5 jam). Kerugian analisis dengan pereaksi Lowry adalah variasi warnanya

yang lebih banyak dibanding dengan pereaksi Biuret, warna yang terbentuk tidak

secara tepat menggambarkan konsentrasi protein, reaksinya sangat dipengaruhi

oleh senyawa-senyawa pengganggu seperti glukosa, lemak, garam buffer fosfat,

senyawa-senyawa yang mengandung amin, gula pereduksi, garam ammonium

dalam konsentrasi tinggi dan senyawa sulfhidril (Chang, 1998).

c.

Pereaksi Bradford

Pada tahun 1976, Marion Bradford memperkenalkan penggunaan pereaksi

Coomassive Blue untuk penetapan secara kuantitatif konsentrasi total protein.

Coomasive Blue ini akan berinteraksi dengan gugus samping asam amino yang

memiliki ikatan rangkap sehinngga terjadi perubahan warna pereaksi dari merah

Ikatan

peptida

(21)

menjadi biru (Chang, 1998). Reaksi protein dengan pereaksi Bradford dapat

dilihat pada Gambar 8 dibawah ini.

Keuntungan analisis dengan pereaksi Bradford adalah tidak menggunakan

pereaksi yang berbahaya, hanya protein yang akan diukur, memiliki presisi yang

lebih tinggi dibanding metode Kjeldahl, waktu analisis yang diperlukan singkat,

biaya yang diperlukan tidak terlalu mahal, dan cukup akurat untuk digunakan

dalam analisis kandungan total protein dalam makanan. Adapun kerugiannya

adalah kandungan asam amino yang berbeda akan mempengaruhi kapasitas

pembentukan warna, senyawa gula, kalsium dan fosfat dapat mengganggu ikatan

warna sehingga akan mengganggu hasil analisis, dan adanya variasi absorbansi

yang signifikan tegantung jenis protein (Chang, 1998).

2.5.3

Metode Titrasi Formol

Prinsip metode ini adalah dengan adanya air dan penambahan Kalium

oksalat, protein akan dihidrolisis menjadi asam-asam amino. Selanjutnya dengan

penambahan formaldehid akan memblokade gugus basa asam amino membentuk

Gambar 8. Reaksi protein dengan pereaksi Bradford (Krohn, 2005)

Protein

(22)

gugus dimethilol sehingga tidak mengganggu reaksi antara NaOH dengan gugus

asam dari asam amino dan konsentrasi protein dapat ditentukan. Titrasi formol ini

kurang tepat untuk menentukan kadar protein dam lebih tepat digunakan untuk

menunjukkan proses hidrolisis protein (Estiasih, dkk., 2012).

2.5.4

Metode Dumas

Pada metode ini sampel dioksidasi pada suhu sangat tinggi (700-900°C).

Hasil oksidasi menghasilkan gas O2, N2 dan CO2. Gas nitrogen yang dilepaskan

dikuantitasi menggunakan kromatografi gas dengan detektor konduktivitas termal

(

Thermal Detector Conductivity/

TDC) kemudian jumlah nitrogen yang diperoleh

dikonversi. Jumlah nitrogen dalam sampel sebanding dengan kadar proteinnya

(Pomeranz dan Meloan, 1987).

Keuntungan metode ini adalah merupakan metode alternatif dari metode

Kjeldahl tetapi waktu analisis yang diperlukan lebih singkat dari metode Kjeldahl,

tidak menggunakan senyawa yang berbahaya, banyak sampel dapat diukur

sekaligus karena perkembangan alatnya yang sudah menggunakan sistem

otomatis. Adapun kekurangan metode ini adalah membutuhkan instrumen analisis

yang mahal, tidak mengukur kadar protein yang sesungguhnya karena yang diukur

adalah total nitrogen sehingga nitrogen non-protein juga terukur sebagai protein,

memiliki variasi faktor konversi, membutuhkan sampel dalam jumlah besar untuk

analisis (Chang, 1998).

2.6

Pengalengan

(23)

dalam suatu kemasan tertutup tetap awet bila kemasan tersebut tidak dibuka lagi

atau tutupnya tidak bocor. Setelah beliau menghabiskan sepuluh tahun untuk

membuktikannya, proses tersebut disebutnya dengan “seni Appertisasi”.

Berdasarkan penemuan oleh Appert inilah pengawetan dengan pengalengan mulai

dikembangkan. Pada tahun 1810, Peter Durant membuat hak paten untuk kemasan

gelas dan logam untuk mengemas bahan pangan. Kemasan logam ini terbuat dari

timah yang tebal, kasar dan sulit ditutup yang disebut

canisters.

Istilah

can

atau

kaleng diduga berasal dari kata

canisters

tersebut (Desrosier, 2008).

Appert mensyaratkan bahwa kemasan bahan pangan harus ditutup dan

dipanaskan dengan hati-hati dan kebersihan adalah hal yang penting dalam

keseluruhan proses karena mikrobalah yang merupakan agensia pembusuk. Proses

Appertisasi selalu menggunakan istilah kedap (

hermetic)

yang berarti penutupan

rapat sehingga dapat mencegah terjadinya pembusukan dan fermentasi.

Organisme tertentu masih resisten terhadap panas dan mampu membusukkan

makanan kaleng walupun sudah dipanaskan pada tingkat tertentu. Oleh karena itu,

selain proses pemanasan, proses pendinginan juga merupakan hal yang penting,

kaleng harus segera didinginkan agar organisme termofil yang masih hidup

selama proses pemanasan dapat dimatikan (Desrosier, 2008).

Pengalengan hingga kini masih dianggap sebagai salah satu metode

pengawetan pangan yang cukup efektif untuk mempertahankan daya simpan

bahan. Proses pengalengan secara umum meliputi proses preparasi bahan dimana

bahan dicuci kemudian disortasi, dikuliti dan direndam dalam air bersuhu

85-95°C yang disebut

blanching. Blanching

merupakan salah satu proses penting

(24)

mengurangi jumlah mikroba dan mengurangi gas sehingga membantu proses

pengvakuman. Setelah preparasi selesai, bahan diisikan ke dalam kaleng beserta

bahan-bahan tambahan lain yang diperlukan. Proses pengisian harus

memperhatikan berat bahan dan volume ruang pengisian. Selanjutnya, kaleng

dijenuhkan dengan metode pengaliran uap panas dan segera disegel agar tutup

kaleng dapat menutup dengan rapat dan baik. Yang terakhir adalah proses

sterilisasi. Proses ini dilakukan dengan cara sterilisasi panas pada suhu diatas

130°C (Ramaswamy dan Chen, 2004).

Keunggulan dari metode pengawetan dengan pengalengan adalah hampir

semua bahan pangan dapat diawetkan dengan metode ini, mutunya stabil baik

dalam skala besar maupun kecil, dapat digunakan segera bila diperlukan, daya

simpannya lebih lama dibandingkan bahan segarnya, teksturnya mendekati tekstur

bahan segar, kemasan kaleng melindingi bahan dari partikel-partikel asing dari

luar, gas-gas, tekanan udara baik dari dalam maupun dari luar kaleng maupun

benturan yang dapat merusak mutu bahan (Winarno, 1995).

(25)

menyebabkan penurunan kandungan nutrisi bahan makanan terutama zat yang

tidak tahan panas seperti vitamin dan protein (Ramaswamy dan Chen, 2004).

Selain suhu pemanasan dan lama pemanasan, kecepatan penetrasi panas

dalam makanan kaleng juga turut serta memberikan peranan terhadap nilai gizi

makanan kaleng. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kecepatan penetrasi

panas dalam makanan kaleng yaitu: luas permukaan kaleng, volume kaleng, sifat

dan komposisi dari wadah kaleng yang digunakan, konsistensi produk, suhu

pemanasan, kecepatan rotasi atau agitasi kaleng, isi dan ruang di atas kaleng (

head

space

) dan metode pengemasan makanan ke dalam kemasan kaleng (Buckle, dkk.,

1985).

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Aberoumand (2011) pada ikan tuna

Orcynopsis unicolor

dan

Euthynus affinis

menunjukkan kadar protein yang

Gambar

Gambar 4. Struktur Tersier Protein (Usmeningsih, 2008)
Tabel 1. Kandungan protein dari beberapa jenis kacang-kacangan
Tabel  2. Faktor konversi untuk berbagai macam bahan
Gambar 6.  Reaksi protein dengan pereaksi Biuret (Krohn, 2005)
+3

Referensi

Dokumen terkait

Scanned by CamScanner... Scanned

Sama seperti penelitian yang dilakukan saudara Abdyaskar Tasrum S.Sos dimana dalam pemenuhan kebutuhan hidup para penarik becak di kota Palopo, Sulawesi Selatan adalah

Sekretariat Pelaksana :.. Tirtomartani, Kalasan, Sleman, D.l. Yoygakarta JOGJA PLASSA HTL: Jl. Tribata 14 Timur Empire )fit Yogyakarta. SARGEDE HTL:

Kehidupan remaja yang rentan terhadap NAPZA, untuk itu perlu disikapi dengan memberikan edukasi yang lebih tentang kesehatan dan adanya sanksi hukum bagi pengguna

Vektor digambarkan sebagai ruas garis dari titik pangkal ke titik ujung dengan tanda panah diujung, dan diberi lambang huruf kecil cetak tebal.. Panjang vektor Panjang vektor v

Persepsi remaja tentang kekerasan pada siswi SMK Negeri 1 Nanggulan Kulon Progo adalah baik sebanyak 89 siswi (62,2%), hal ini dapat disimpulkan bahwa persepsi

dengan komputer yang kedua, dengan kata lain ini hanya dua computer saja. Untuk memulaimembuat jaringan peer to peer, buka aplikasi Packet Tracer. Kemudian

Untuk mengetahui pengaruh model pembelajaran reciprocal teaching (terbalik) terhadap motivasi dan hasil belajar matematika siswa pada materi turunan fungsi atau diferensial kelas