• Tidak ada hasil yang ditemukan

1974

Di dalam putusan hakim tersebut, hakim mengabulkan permohonan para pemohon untuk melangsungkan pencatatan perkawinan beda agama di Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Surakarta, Ada beberapa poin yang dikabulkan hakim yaitu :

1. Mengabulkan permohonan para pemohon.

2. Memberikan izin kepada para pemohon untuk melangsungkan perkawinan beda agama di Kantor Dinas kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota

67

Surakarta

3. Memerintahkan kepada Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Surakarta untuk melakukan pencatatan tentang perkawinan beda agama para Pemohon tersebut di atas ke dalam register pencatatan perkawinan yang digunakan untuk itu.

4. Membebankan biaya perkara permohonan ini sebesar Rp.151.000,- (seratus lima puluh satu ribu rupiah) kepada para Pemohon.

Dari beberapa poin tersebut, terdapat beberapa hal yang tidak selaras dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini, hal itu dilihat dari hakim mengabulkan dan memberikan izin untuk melangsungkan pencatatan perkawinan beda agama tersebut. Ada beberapa poin dalam alasan hakim yang dianggap sedikit keliru dalam hal ini, yaitu :

a. Menimbang bahwa kedua instansi pencatat perkawinan tersebut berdasarkan ketentuan Pasal 20 dan Pasal 21 Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak diperbolehkan dan akan menolak melangsungkan atau membantu melangsungkan perkawinan bila ia mengetahui adanya pelanggaran ketentuan dari Pasal 7 ayat (1), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 12 Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan meskipun ada pencegahan perkawinan.

b. Menimbang bahwa pelanggaran – pelanggaran ketentuan perundang – undangan tersebut antara lain dikatakan karena usia pihak – pihak yang akan kawin belum memenuhi syarat, hubungan kekeluargaan yang terlalu dekat, satu pihak masih terikat tali perkawinan dengan orang dan sebagainya.

c. Menimbang bahwa terhadap permohonan para Pemohon ini Pengadilan

Negeri Surakarta mempertimbangkan sebagai berikut :

1) Bahwa Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak memuat suatu ketentuan apapun yang menyebutkan bahwa perbedaan agama dan atau kepercayaan antara calon suami dan calon istri merupakan larangan perkawinan, hal mana adalah sejalan dengan Pasal 27 Undang – Undang Dasar 1945 yang menentukan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di hadapan hukum, tercakup di dalamnya kesamaan hak asasi untuk kawin dengan sesama warga negara sekalipun berlainan agama dan atau kepercayaan dan selama oleh undang – undang tidak ditentukan bahwa perbedaan agama dan atau kepercayaan merupakan larangan untuk melangsungkan perkawinan, maka asas ini adalah sejalan dengan jiwa Pasal 29 Undang Undang Dasar 1945 tentang dijaminnya oleh negara kemerdekaan bagi setiap warga negara untuk memeluk agama dan atau kepercayaannya masing-masing.

2) Bahwa sebagaimana telah dipertimbangkan di atas, Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak mengatur mengenai perkawinan dari pasangan yang berbeda agama, hal mana lebih dipertegas dengan adanya putusan Mahkamah Agung RI Nomor : 1400 K/Pdt/1986 tanggal 20 Januari 1989 yang berbunyi : “Bahwa perbedaan agama dari calon suami istri tidak merupakan larangan perkawinan bagi mereka”.

3) Bahwa perkawinan para Pemohon faktanya didasarkan pada perbedaan agama diantara mereka.

4) Bahwa Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 maupun dalam Peraturan Pelaksanaannya Nomor 9 Tahun 1975 tidak terdapat satu pasal pun yang

69

mengatur tentang bagaimana melangsungkan perkawinan antara orang yang berlainan agama atau kepercayaan.

Dalam pertimbangan di atas mungkin hakim benar bahwa pelanggaran-pelanggaran ketentuan perundang-undangan tidak ada satupun dari pasal di atas yang menjadikan perkawinan beda agama sebagai penghalang perkawinan, tetapi jika dilihat ke syarat sahnya perkawinan Pasal 2 ayat (1) yaitu “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Jadi, dalam hal ini agama pemohon tersebut adalah agama Islam dan Agama Kristen, di dalam ajaran agama Islam dan Kristen tidak ada satupun yang melegalkan perkawinan beda agama. Dalam Islam perkawinan beda agama termasuk kepada larangan perkawinan yang bersifat abadi atau selamanya dan tidak mungkin akan disahkan sampai kapanpun. Di sisi agama Kristen juga sudah jelas tidak diizinkan perkawinan beda agama tersebut, hal ini di kemukakan oleh Pendeta Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Bandung Timur, Jerry TP Aruan, Menurut Jerry, pernikahan beda agama bagi pemeluk agama Kristen sudah jelas hukumnya, yakni tidak diizinkan, “Pada dasarnya saya berpendapat bahwa secara iman Kristen, pernikahan beda agama itu adalah sesuatu yang tidak diizinkan”78

Hakim dalam memutuskan perkara tersebut tidak merujuk kepada Pasal 2 ayat (1) mengenai syarat sahnya suatu perkawinan, hakim hanya merujuk kepada larangan perkawinan yang diatur dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Jika dirujuk dari beberapa pasal tersebut, hakim memang benar tidak ada satupun pasal

78 https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5423d8219fb45/ini-pandangan-pendeta-hkbp-seputar-nikah-beda-agama/ diakses tgl 09 November 2019 hari Sabtu pkl.13.11 WIB.

yang mengatur bahwa perkawinan beda agama itu tidak menjadi bagian dari larangan perkawinan yang diatur dalam undang-undang tersebut, tetapi jika hakim merujuk pada Pasal 2 ayat (1) mengenai syarat materil suatu perkawinan maka mungkin saja permohonan itu harus ditolak, karena jika melihat lebih dalam mengenai Pasal 2 ayat (1) tersebut hakim akan melihat lebih dalam mengenai aturan-aturan agama yang berlaku untuk kedua belah pihak yang memohon untuk melangsungkan pencatatan perkawinan beda agama tersebut.

Di dalam KHI Pasal 40 ayat (c) “Dilarang perkawinan seorang pria beragama Islam dengan seorang wanita yang tidak beragama Islam”, pada Pasal 44 “Dilarang perkawinan antara seorang wanita beragama Islam dengan seorang pria tidak beragama Islam”. Intinya, Kompilasi Hukum Islam menyatakan dengan tegas bahwa pernikahan beda agama tidak boleh dilakukan oleh kaum muslimin di Indonesia79. Di dalam KHI juga sudah jelas bahwa perkawinan beda agama dilarang bagi kaum muslimin di Indonesia.

Di dalam Pasal 8 huruf F mengenai larangan perkawinan dijelaskan bahwa

“mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin”. Jika ditelaah lebih dalam mengenai pasal ini maka dapat dikatergorikan bahwa perkawinan beda agama dilarang dengan jelas jika dilihat lebih dalam mengenai aturan-aturan yang berlaku baik itu agama Islam atau agama Kristen dan agama-agama yang ada dan diakui di Indonesia.

Permasalahannya adalah bahwa Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 mengenai perkawinan tidak mengatur secara tegas dan jelas mengenai perkawinan beda agama, tidak ada satu pasalpun yang dengan tegas menjelaskan bahwa

79 https://www.neliti.com/id/publications/275121/pernikahan-beda-agama-dalam-perspektif-hukum-islam-dan-hukum-positif-di-indonesia diakses tgl 09 November 2019 hari Sabtu pkl.14.05 WIB.

71

perkawinan beda agama termasuk bagian dalam larangan perkawinan atau sama sekali tidak menjadi penghalang untuk melakukan perkawinan beda agama.

Hakim dalam mengambil keputusan juga mengacu pada pada putusan Mahkamah Agung No.1400 K/Pdt/1986 yang berbunyi “Bahwa perbedaan agama dari calon suami istri tidak merupakan larangan perkawinan bagi mereka”. Hakim disatu sisi tidak salah dalam mengabulkan ini jika ia mengacu pada hal-hal tersebut, mengacu pada putusan hakim terlebih dahulu yang mengatakan bahwa perkawinan beda agama tidak menjadi larangan untuk melangsungkan perkawinan beda agama akan tetapi jika hakim mengacu lebih dalam terhadap aturan agama-agama yang ada, misalnya agama-agama Islam dan agama-agama Kristen yang menjadi agama-agama Penggugat, jika dilihat dari sisi agama Islam dan agama Kristen sudah jelas bahwa permohonan untuk melangsungkan pencatatan perkawinan beda agama tidak dapat dilaksanakan.

Pencatatan perkawinan beda agama sejatinya hanya memenuhi syarat formil dari sebuah perkawinan, yaitu hanya memenuhi Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang No.1 Tahun 1974, di dalam Undang-Undang-Undang-Undang Perkawinan ada dua syarat yang harus dipenuhi untuk dapat melangsungkan perkawinan yaitu syarat materil dan syarat formil. Syarat materil dari sebuah perkawinan terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No.1 Tahun 1974 yang berbunyi “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”, bagaimana suatu perkawinan dapat dikatakan sebagai perkawinan yang sah apabila syarat materil dari sebuah perkawinan itu tidak terlaksanakan, yang mana hukum dari agamanya dikesampingkan dan hanya mencatatatkan perkawinannya saja. Terlebih bahwa salah satu dari penggugat

adalah orang yang beragama Islam yang mana bagi orang Islam pencatatan perkawinannya dilangsungkan di Kantor Urusan Agama (KUA) sesuai dengan Peraturan Menteri Agama (Permenag) 20 Tahun 2019 tentang Pencatatan Pernikahan tetapi karena pasangannya tidak beragama Islam maka pencatatan perkawinan tersebut harus dilangsungkan di Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil).

73 BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan

Berdasarkan beberapa uraian yang telah dikemukakan dari Bab I sampai dengan Bab V dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Pengaturan perkawinan beda agama di Indonesia tidak diatur secara pasti dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perkawinan beda agama di Indonesia saat ini disinggung dalam Pasal 25 huruf a jo. Penjelasan Pasal 35 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang-Undang-Undang 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Perkawinan beda agama termasuk kedalam perkawinan yang ditetapkan oleh pengadilan karena syarat untuk melaksanakan pencatatan perkawinan beda agama harus adanya izin dari pengadilan negeri setempat.

2. Dampak dari dikabulkannya permohonan pencatatan perkawinan beda agama yaitu dampak terhadap agama apa yang akan dianut anaknya ketika ia telah dilahirkan nanti. Dampak lainnya yaitu dampak psikologis yang muncul mengenai keharmonisan dalam rumah tangga dan berebut pengaruh terhadap anak mereka. Adapaun dampak lainnya yaitu dampak yuridis mengenai izin kawin beda agama tersebut bertentangan dengan hukum masing-masing agama yang ada di Indonesia, baik agama Islam, Kristen, Hindu dan agama lainnya yang diakui di Indonesia.

3. Analisis putusan hakim dalam mengabulkan permohonan pencatatan

perkawinan beda agama mengacu pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, bahwa dalam undang-undang tersebut tidak ada satupun pasal yang mengatur bahwa perkawinan beda agama itu dilarang di Indonesia, dengan kata lain perkawinan beda agama tidak termasuk ke dalam larangan perkawinan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Hakim juga mengacu pada putusan Mahkamah Agung RI : 1400 K/Pdt/1986 tanggal 20 Januari 1986 yang berbunyi : “Bahwa perbedaan agama dari calon suami istri tidak merupakan larangan perkawinan”.

B. Saran

Ada tiga tujuan hukum menurut Gustav Radbruch yaitu keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Jadi, hukum yang seharusnya ada yaitu hukum yang berjalan sesuai perkembangan dan keadaan masyarakat itu dan hukum yang baik adalah hukum yang bermanfaat dan tepat pada tujuannya. Sehingga hukum dapat berlaku adil serta berguna dalam hal menjamin hak-hak masyarakat. Saran setelah melakukan penelitian terkait pencatatan perkawinan beda agama itu yaitu sebagai berikut :

1. Perkawinan di Indonesia haruslah lebih tegas dalam membentuk peraturannya, terkait dengan ketentuan peraturan perkawinan beda agama.

Dikarenakan di dalam kehidupan masyarakat terdapat ketidaktahuan mengenai aturan yang berlaku, pemerintah juga harus melakukan sosialisasi langsung ke masyarakat untuk memberikan informasi langsung mengenai aturan-aturan perkawinan di Indonesia, khususnya tentang perkawinan beda agama.

75

2. Untuk menghindari dampak-dampak yang terjadi di dalam perkawinan beda agama, pemerintah harus lebih memperhatikan masalah ini dan lebih meminimalisir banyak perkawinan beda agama demi menghindari dampak-dampak yang terjadi di kemudian hari.

3. Hakim dalam memberikan izin perkawinan beda agama haruslah lebih mempertimbangkan Pasal 2 ayat (1) mengenai syarat materil perkawinan, karena pada dasarnya setiap agama di Indonesia tidak ada yang mengizinkan perkawinan beda agama. Pemerintah juga harus menerbitkan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 berkenaan dengan pengaturan perkawinan beda agama guna menghindari adanya kekosongan hukum.

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU

Al Jabri, Abdul Muta’al, 2003, Apa Bahayanya Menikah Dengan Wanita Nonmuslim? Tinjauan Fiqh dan Politik, Gema Insani, Jakarta.

Hadikusuma, H. Hilman, 2007, Hukum Perkawinan Indonesia, CV. Mandar Maju, Bandung.

Efendi, Joenadi dan Ibrahim, Johnny, 2018, Metode Penelitian Hukum, Pranadamedia Group (Divisi Kencana), Depok.

Rasyid, M. Hamdan, 2003, Fiqh Indonesia (Himpunan Fatwa-fatwa Aktual), Al Mawardi Prima, Jakarta.

Malik, H. Rusdi, 2010, Peranan Agama Dalam Hukum Perkawinan di Indonesia, Penerbit Universitas Trisakti, Jakarta.

Meliala, Djaja S, 2015, Perkawinan Beda Agama Dan Penghayat Kepercayaan Di Indonesia Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi, Penerbit Nuansa Aulia, Bandung

Prodjohamidjojo, Martiman, 2007, Hukum Perkawinan Indonesia, Indonesia Legal Center Publishing, Jakarta.

Rifa’I, Moh, 1978, Ilmu Fiqh Islam Lengkap, CV. Toba Putra, Semarang.

Saleh, K. Wantjik, 1976, Hukum Perkawinan Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta.

Soimin, Soedharyo, 2010, Hukum Orang dan Keluarga, Sinar Grafika, Jakarta.

Sudarso, 2005, Hukum Perkawinan Nasional, PT. Rineka Cipta, Jakarta.

B. JURNAL

Makalew, Jane Marlen, 2013, Akibat Hukum Dari Perkawinan Beda Agama di Indonesia, Jurnal Ilmu Hukum Lex Privat, Vol.1, Edisi 2.

C. INTERNET

77

https://www.jogloabang.com/budaya/pma-20-2019-pencatatan-pernikahan

https://www.kompasiana.com/hidayat21/5badcdc16ddcae0d16702cc2/pernikahan- beda-agama-dalam-hukum-positif-indonesia-suatu-tinjaun-singkat?page=all

https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5b1f94bb9a111/kenali-bentuk-perkawinan-yang-dilarang-hukum-di-indonesia/

https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/cl101/pernikahan-beda-agama/

https://www.rumahkeluargaindonesia.com/status-anak-hasil-nikah-beda-agama-menurut-islam-10957/

https://kumparan.com/@millennial/repotnya-nikah-beda-agama-1rHPghB00xo https://www.academia.edu/17983094/status_anak_dari_pernikahan_beda_agama_

dalam_perspektif_ham_dan_ham

http://www.bphn.go.id/data/documents/perkawinan_beda_agama.pdf

https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5423d8219fb45/ini-pandangan-pendeta-hkbp-seputar-nikah-beda-agama/

https://www.neliti.com/id/publications/275121/pernikahan-beda-agama-dalam-perspektif-hukum-islam-dan-hukum-positif-di-indonesia

Dokumen terkait