• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perkecambahan Benih Padi

Menurut Byrd (1983) perkecambahan adalah berkembangnya struktur-struktur penting dari embrio benih dan menunjukkan kemampuannya untuk menghasilkan tanaman normal pada keadaan yang menguntungkan. Kuswanto (1997) menyatakan kecambah normal adalah kecambah yang memiliki kemampuan untuk tumbuh menjadi tanaman normal jika ditanam pada lingkungan yang optimum dapat berkembang dengan baik, tanpa kerusakan terutama pada jaringan pendukung (contact tissue). Bewley & Black (1985) menyatakan perkecambahan yang sempurna ditandai dengan penetrasi struktur embrio berupa radikula dari testa benih. Plumula dan radikula yang tumbuh diharapkan dapat menghasilkan kecambah yang normal, jika faktor lingkungan mendukung. Pada tingkat sel, tahapan metabolisme dan imbibisi terjadi pada benih dorman dan benih non-dorman saat sebelum perkecambahan. Benih dorman mengalami semua proses metabolisme perkecambahan, tetapi radikula gagal memanjang.

Perkecambahan padi merupakan suatu rangkaian perubahan-perubahan morfologi, fisiologi dan biokimia. Copeland & Mc.Donald (2001) menyatakan bahwa perkecambahan benih, secara fisiologi adalah muncul dan berkembangnya struktur-struktur penting dari embrio benih sampai dengan akar menembus kulit benih. Proses metabolisme perkecambahan benih ditentukan oleh faktor genetik dan lingkungan. Faktor genetik yang berpengaruh terhadap perkecambahan benih adalah sifat dormansi dan komposisi kimia benih. Faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap perkecambahan benih adalah air, gas, suhu dan cahaya.

Bewley & Black (1985) menyatakan bahwa keseluruhan proses perkecambahan melewati tiga fase, yaitu fase I (fase imbibisi), fase II (lag phase) dan fase III (fase pertumbuhan). Fase I diawali dengan proses penyerapan air oleh benih, baik benih dorman dan dorman, benih viabel maupun benih non-viabel. Proses penyerapan air berlangsung karena adanya perbedaan potensial air di dalam benih dengan air disekitarnya. Potensial air di dalam benih kering dapat mencapai -1000 bar, sementara pada air disekitarnya 0 bar. Fase II atau lag phase

adalah periode mulai aktifnya metabolisme sebagai persiapan perkecambahan pada benih non-dorman, sementara pengaktifan metabolisme tidak terjadi pada

benih mati. Fase III atau fase pertumbuhan terjadi hanya pada benih non-dorman yang viabel, ditandai dengan munculnya akar dan diikuti dengan proses pembelahan sel yang ekstensif, peningkatan laju penyerapan air dan perombakan cadangan makanan.

Air adalah kebutuhan dasar untuk perkecambahan benih yang penting untuk aktivasi enzim, perombakan cadangan makanan, translokasi dan penggunaan cadangan makanan. Proses pertama yang terjadi selama perkecambahan adalah pengambilan air melalui proses imbibisi. Copeland & Mc.Donald (2001) menyatakan imbibisi tergantung pada komposisi kimia benih, permeabilitas kulit benih dan ketersediaan air.

Benih viabel dan non-dorman akan berkecambah sempurna. Benih yang viabel dapat diidentifikasi dari pertumbuhan organ seminalnya, bahkan bisa diketahui pada saat munculnya radikula dari testa benih tanpa perlu mengetahui pertumbuhan tanaman secara keseluruhan (Sadjad 2008). Menurut Sadjad (1994) viabilitas benih merupakan daya hidup benih yang ditunjukkan oleh fenomena pertumbuhan benih, gejala metabolisme, kinerja kromosom atau keadaan organel sitoplasma atau garis viabilitas. Pengujian viabilitas benih dapat dilakukan melalui beberapa pendekatan, salah satunya adalah melalui pendekatan fisiologi, yaitu mengamati proses pertumbuhan di laboratorium dan di lapangan. Viabilitas benih dapat diindikasikan oleh tolok ukur secara langsung dengan menilai pertumbuhan dengan pendekatan fisiologi. Salah satu indikasi langsung menggunakan tolok ukur daya berkecambah (DB), dan untuk padi sendiri perhitungan DB pada hari ke-5 dan hari ke-7.

Dormansi Benih

Menurut Sutopo (2002), benih dikatakan dorman apabila benih tersebut sebenarnya hidup tetapi tidak berkecambah meskipun diletakkan pada keadaan yang umum dianggap memenuhi persyaratan bagi suatu perkecambahan. Copeland & Mc.Donald (2001) menyatakan dormansi merupakan fenomena fisiologis yang menunjukkan ketidakmampuan benih hidup untuk berkecambah pada kondisi optimum. Dormansi benih dapat berlangsung beberapa hari, beberapa minggu hingga beberapa bulan tergantung pada jenis tanaman.

Bewley & Black (1985) maupun Copeland & Mc.Donald (2001) membagi dua tipe dormansi yaitu dormansi primer dan sekunder. Dormansi primer adalah dormansi yang berasal dari dalam benih yang dihasilkan selama pembentukan benih, sedangkan dormansi sekunder merupakan dormansi yang terjadi karena faktor lingkungan.

Dormansi primer merupakan tipe dormansi yang umum paling sering terjadi. Copeland & Mc.Donald (2001) mengelompokkan dormansi primer menjadi dua sifat yaitu (1) dormansi eksogenus yaitu tipe dormansi yang berhubungan dengan sifat fisik dari kulit; (2) dormansi endogenus yaitu dormansi yang disebabkan sifat-sifat tertentu yang melekat pada benih, embrio benih yang rudimenter dan kepekaan terhadap suhu dan cahaya. Mugnisjah (2007) menambahkan, dormansi endogenus terdiri dari (1) dormansi endogenus morfologis yaitu dormansi yang disebabkan karena embrio yang belum berkembang; (2) dormansi endogenus fisiologis yaitu dormansi yang disebabkan oleh impermeabilitas benih terhadap gas, kebutuhan embrio akan penyimpanan kering, kebutuhan embrio akan cahaya serta kebutuhan embrio akan suhu dingin; (3) dormansi endogenus morfofisiologis yaitu dormansi yang disebabkan oleh kombinasi antara penyebab dormansi endogenus morfologis dengan penyebab dormansi endogenus fisiologis.

Penyebab dormansi antara lain embrio yang tidak sempurna, embrio belum masak, kulit benih tebal, kulit benih impermeabel, dan terdapat senyawa-senyawa yang menghambat perkecambahan (Copeland & Mc.Donald 2001). Hambatan perkecambahan dapat disebabkan oleh kulit benih dan bahan kimia. Bahan kimia dapat menciptakan suatu tekanan osmotik yang tidak menguntungkan pada proses pertumbuhan, ada juga yang membentuk senyawa-senyawa penghambat pertumbuhan, membatasi pertumbuhan.

Faktor utama yang mempengaruhi lamanya dormansi endogenus pada benih adalah faktor lingkungan selama pertumbuhan dan pembungaan (Baskin & Baskin 2001). Copeland & Mc.Donald (2001) menambahkan faktor lingkungan yang mempengaruhi dormansi endogenus antara lain panjang hari, naungan, posisi benih pada buah atau bunga, umur tanaman induk dan suhu selama pembungaan. Dormansi pada padi terjadi sejak benih masih berada pada tanaman induk, setelah

embrio berkembang penuh, yang disebut sebagai innate dormancy atau dormansi primer. Penyebab dormansi pada padi adalah impermeabilitas kulit benih terhadap oksigen serta adanya zat penghambat perkecambahan (Salisburry & Ross 1995; Copeland & Mc.Donald 2001).

Kandungan hormon ABA dalam benih padi semakin meningkat dengan meningkatnya kemasakan benih pada proses perkembangan benih padi. Sebaliknya kandungan hormon IAA selama perkembangan benih akan menurun sejalan dengan peningkatan kemasakan benih. Hal ini menunjukkan bahwa ABA merupakan salah satu penyebab dormansi. Menurut Gardner et al. (1991) bahan perangsang pertumbuhan semakin menurun selama pembentukan benih, sedangkan penghambat pertumbuhan seperti ABA meningkat. Akibatnya terjadi dormansi benih pada saat benih masak, karena ketidakseimbangan hormon dalam benih.

Adanya lemma dan palea dapat memperpanjang daya simpan dan menyebabkan dormansi. Ketebalan lemma dan palea pada benih juga diduga menghambat perkecambahan. Menurut Bewley & Black (1985) dormansi benih disebabkan adanya inhibitor pada kulit benih.

Banyak spesies tanaman yang apabila benihnya sudah terlepas dari tanaman induknya, tidak berkecambah meskipun berada pada lingkungan yang optimal untuk perkecambahannya. Benih tersebut akan berkecambah setelah melalui proses penyimpanan dalam jangka waktu tertentu. Jangka waktu tersebut disebut dengan periode after-ripening (Sutopo 2002).

Dormansi primer yang dialami benih padi adalah after-ripening. Benih yang mengalami after-ripening akan berkecambah setelah disimpan dalam jangka waktu tertentu. Menurut Sadjad (1980) benih padi yang mengalami after-ripening

akan berkecambah sampai kadar air berkurang selama pengeringan. Periode after-ripening berbeda-beda antar varietas tergantung dari jenis benihnya, dari hanya beberapa hari sampai beberapa minggu. Periode after ripening adalah lamanya minggu atau bulan suatu biji berada dalam keadaan dorman dihitung sejak dipanen.

Bewley & Black (1985) menyatakan bahwa kondisi lingkungan berupa suhu, kelembaban dan oksigen berpengaruh terhadap periode after-ripening.

Keadaan benih dalam kadar air minimum diperlukan dalam proses after-ripening , tetapi apabila terlalu kering (sebagai contoh pada kadar air 5%) maka proses after-ripening akan tertunda. Kadar oksigen yang rendah juga menunda proses after-ripening, sebaliknya kadar oksigen yang tinggi akan mempercepat proses after-ripening.

Santika (2006) melaporkan bahwa varietas padi yang berumur pendek atau genjah (100-115 hari) tidak selalu memiliki periode after-ripening yang pendek. Dormansi akibat kebutuhan akan after-ripening ini dapat dipatahkan dengan perlakuan suhu tinggi, pengupasan kulit, dan perendaman pada larutan kimia baik larutan organik maupun larutan anorganik.

Menurut Nugraha & Soejadi (1989) daya simpan dan ketahanan benih terhadap deraan di lapang dipengaruhi oleh perilaku dormansi (persistensi dan intensitas). Soejadi & Nugraha (2001a) berpendapat bahwa persentase benih nondorman meningkat seiring dengan semakin lamanya waktu penyimpanan. Jumlah benih nondorman mencapai 80% atau lebih setelah disimpan 2-8 minggu. Perbedaan persistensi dormansi antar varietas diduga disebabkan oleh faktor yang mempengaruhi masa dormansi. Menurut Soejadi & Nugraha (2001b) intensitas dormansi adalah persentase benih viabel yang tidak berkecambah, yang dapat ditentukan dengan mengurangi angka 100% dengan persentase daya berkecambah benih yang tanpa perlakuan pematahan dormansi dan persentase benih mati. Intensitas dormansi tergantung dari beberapa faktor yaitu spesies, varietas, musim tanam, tempat panen, dan tahap perkecambahan.

Menurut Sutopo (2002), beberapa zat penghambat tumbuh telah ditemukan pada biji padi sehubungan dengan dormansi embrio tersebut antara lain asam absisat (ABA) dan koumarin yang dapat berada pada sekam, aleuron, atau embrio. Kondisi lingkungan selama pertumbuhan dan pembungaan benih mempengaruhi lamanya durasi dormansi endogenus. Faktor lingkungan yang mempengaruhi dormansi endogenus diantaranya adalah panjang hari, naungan, posisi benih pada buah atau bunga, umur tanaman induk, serta suhu selama pembungaan (Copeland & Mc.Donald 2001). Padi hibrida Varietas Ariza patah dormansinya pada minggu kedua setelah panen, sedangkan padi hibrida varietas Sunggal patah dormansi pada minggu keempat setelah panen. Kandungan hormon

ABA pada benih padi hibrida Ariza dan Sunggal semakin meningkat dengan meningkatnya stadia kemasakan benih, sebaliknya kandungan hormon IAA pada perkembangan benih menurun dengan semakin meningkatnya stadia kemasakan benih (Sinambela 2008).

Perlakuan Pematahan Dormansi Benih Padi

Ellis et al. (1983) melaporkan dari tiga tipe Oryza sativa, kultivar Indica memperlihatkan derajat dormansi benih yang paling besar, diikuti oleh kultivar Javanica, kemudian Japonica adalah yang mempunyai masa dormansi pendek. Pada kultivar Indica, dormansi benih dapat disebabkan oleh zat penghambat asam absisat (Hayashi 1987) atau perikarp yang impermeabel terhadap oksigen (Bewley & Black 1985). Penggunaan hormon seperti GA3, etilen, sitokinin dan KNO3 merupakan perlakuan pematahan dormansi pada kasus dormansi endogenous.

Santika (2006) melaporkan benih padi gogo varietas Sentani patah sempurna dormansinya pada minggu kedua. Varietas yang patah sempurna dormansi pada minggu keempat Arias, sedangkan varietas Laut Tawar patah dormansinya pada minggu kesepuluh. Padi pasang surut varietas Kapuas patah sempurna dormansinya pada minggu ketiga, sedangkan varietas Bondoyodo, Kalimas dan Barito patah dormansinya pada minggu ketujuh. Varietas Nagara pada minggu keduabelas dormansinya patah sempurna. Padi sawah varietas Cipunegara, Cikapundung dan Bahbolon patah sempurna dormansi pada minggu keempat. Varietas Cisadane, Progo dan Citanduy patah sempurna dormansi pada minggu kelima. Ciherang patah sempurna dormansinya pada minggu kesembilan. Minggu keenam dan ketujuh merupakan puncak patah dormansi benih padi.

Penelitian Ellis et al. (1983) menyatakan nitrit atau nitrat yang berasal dari larutan KNO3 diketahui memiliki stimulatory effect terhadap perkecambahan benih melalui perannya sebaga ion penerima elektron. Hasanah (1989) menyatakan meningkatnya daya berkecambah benih padi diduga karena pematahan dormansi oleh impermeabilitas kulit benih terhadap oksigen dapat diatasi dengan perendaman dalam larutan KNO3 3%. Soejadi & Nugraha (2001a) melaporkan perendaman benih padi dalam larutan KNO3 3% selama dua hari nyata meningkatkan daya berkecambah.

Impermeabilitas kulit benih terhadap air yang menyebabkan dormansi pada benih padi dapat diatasi dengan perendaman dalam air (Hasanah 1989). Perendaman dalam air diduga dapat menghilangkan/menurunkan konsentrasi zat penghambat perkecambahan dan merangsang aktivasi enzim yang berperan pada tahap awal perkecambahan benih. Perendaman benih dalam air pada suhu kamar (29,2 – 31,30C) selama dua hari efektif mematahkan dormansi benih varietas Maros, Digul, Ciherang, Towuti dan Cilosari. Penyebab dormansi benih tersebut diduga karena impermebilitas kulit benih terhadap air dan adanya senyawa inhibitor perkecambahan (Soejadi & Nugraha 2001a).

Pematahan dormansi menggunakan larutan KNO3 berdasarkan SNI 01-6233.3-2003 dapat dilakukan dengan Co-aplikasi larutan KNO3 0.2% untuk membasahi substrat, perendaman KNO3 3% selama 1 hari serta perendaman pada KNO3 2-3% selama 1-2 hari tergantung varietas. Pematahan dormansi dengan KNO3 diduga berhubungan dengan aktivitas lintasan pentose fosfat, oksigen yang terbatas mengakibatkan lintasan pentose fosfat menjadi inaktif karena oksigen digunakan untuk aktivitas respirasi melalui lintasan lain (Bewley & Black 1985). Perendaman dalam larutan KNO3 dapat meningkatkan daya berkecambah benih yang diduga karena impermeabilitas kulit benih terhadap air dan oksigen (Hasanah, 1989). Ilyas & Diarni (2007) melaporkan bahwa perlakuan perendaman dalam KNO3 1% selama 48 jam merupakan pematahan dormansi yang paling efektif pada benih padi gogo varietas Kalimutu, Way Rarem dan Gajah Mungkur pada 0 MSP (masa sesudah panen). Perendaman dalam larutan KNO3 selama dua hari efektif mematahkan dormansi benih varietas Maros, Digul, Ciherang, Towuti dan Cilosari (Soejadi & Nugraha 2001a). Pematahan dormansi dengan KNO3 2% selama 48 jam sebelum benih disimpan (Periode simpan 0 minggu) efektif untuk genotipe BP23F-PN-11, B10386E-KN-36-1 dan B9645E-MR-1 (Rosmawati 2003).

Perlakuan perendaman dalam air mengalir berfungsi untuk mencuci zat-zat yang menghambat perkecambahan dan dapat melunakkan kulit benih. Perendaman dapat merangsang penyerapan air lebih cepat. Perendaman adalah prosedur yang sangat lambat untuk mengatasi dormansi fisik, selain itu ada resiko bahwa benih akan mati jika dibiarkan dalam air sampai seluruh benih menjadi

permeabel (Schmidt 2000). Ketebalan lemma dan palea pada benih padi diduga menghambat perkecambahan benih, dengan perlakuan pengelupasan kulit benih masa dormansi dapat dipatahkan (Soejadi & Nugraha 2001a).

METODOLOGI PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Benih, Departemen Agronomi dan Hortikultura, IPB, Leuwikopo Darmaga, pada bulan Oktober 2010 hingga Maret 2011.

Bahan dan Alat Penelitian

Bahan yang digunakan adalah benih padi yang baru dipanen. Tiga varietas benih padi merah yaitu Aek Sibundong, Bah Butong dan Lokal Batang. Empat varietas benih padi hibrida yaitu Bernas Prima, TEJ, SL-8 dan Bernas Rokan. Benih yang diujikan telah melalui proses pengeringan di setiap produsen benih. Benih yang didapatkan tidak memerlukan proses pengeringan kembali. Bahan yang digunakan adalah KNO3 3%, air dan kertas merang.

Peralatan yang digunakan antara lain neraca digital, alat pengecambah benih tipe IPB 73-2 A/B, alat pengepres kertas merang IPB 75-1, pinset,

handsprayer, dan beaker glass.

Metode Penelitian

Penelitian terdiri atas tujuh percobaan terpisah menurut varietas. Informasi tentang masing-masing benih yang diuji disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Informasi masing-masing benih yang diuji

Varietas Sumber Benih Kondisi

Penyimpanan Benih

Tanggal Panen

Aek Sibundong BB Padi Suhu kamar 12 Oktober 2010

Bah Butong BB Padi Suhu kamar 12 Oktober 2010

Lokal Batang Pemda Kab. Batang Suhu kamar 31 Agustus 2010

Bernas Prima PT. Sumber Alam Sutera

Ruang penyimpanan suhu 18-22oC

12 Desember 2010

TEJ PT. Bayer Indonesia Ruang penyimpanan

suhu 18-22oC

3 Februari 2011

SL-8 BUMN Sang Hyang

Seri

Ruang penyimpanan suhu 18-22oC

18 Oktober 2010 Bernas Rokan PT. Sumber Alam

Sutera

Ruang penyimpanan suhu 18-22oC

19 Januari 2011

Rancangan percobaan menggunakan Rancangan Petak Terbagi (Split-plot) dengan rancangan lingkungan berupa Rancangan Kelompok Lengkap Teracak (RKLT). Petak utama adalah pematahan dormansi yang terdiri atas tiga perlakuan yaitu perlakuan kontrol (D1), perlakuan perendaman KNO3 3% selama 24 jam

(D2) dan perlakuan perendaman air selama 24 jam (D3). Jumlah anak petak (periode after-ripening) berbeda-beda untuk setiap varietas tergantung ketersedian dari masing-masing varietas. Jumlah anak petak (periode after-ripening) dari masing-masing varietas disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Jumlah periode after-ripening pada masing-masing varietas yang diuji Varietas Taraf Periode After-ripening

Aek Sibundong 8 0 minggu (P1) - 7 minggu (P8)

Bah Butong 8 0 minggu (P1) - 7 minggu (P8)

Lokal Batang 8 5 minggu (P6) - 7 minggu (P8)

Bernas Prima 3 0 minggu (P1) - 7 minggu (P8)

TEJ 8 2 minggu (P3) - 9 minggu (P10)

SL-8 5 0 minggu (P1) - 4 minggu (P5)

Bernas Rokan 5 0 minggu (P1) - 4 minggu (P5)

Setiap perlakuan diulang tiga kali. Benih yang digunakan pada setiap satuan percobaan 50. Model percobaan yang digunakan adalah:

Yij = µ + Gk + Di + dik + Pj + (DP)ij + eijk

Keterangan

Yijk = nilai pengamatan pada kelompok ke-k metode

pematahan dormansi ke-i dan periode after-ripening ke-j µ = nilai tengah hasil pengamatan

Gk = pengaruh kelompok ke-k (k = 1, 2, 3)

Di = pengaruh metode pematahan dormansi ke-i (i = 1, 2, 3)

dik = pengaruh galat yang muncul pada ke-i dari metode pematahan dormansi dalam kelompok ke-k.

Pj = pengaruh periode after-ripening ke-j (j = 0, 1, 2, 3,…, n)

(DP)ij = pengaruh interaksi metode pematahan dormansi ke-i dan periode after-ripening ke-j.

eijk = pengaruh galat percobaan pada kelompok ke-k, metode pematahan dormansi ke-i dan periode after-ripening ke-j.

Data yang diperoleh dianalisis ragam (uji F). Bila ada pengaruh pada taraf nyata 5% maka dilanjutkan uji lanjut menggunakan Duncan’s Multiple Range

Pelaksanaan Penelitian

Penelitian tentang periode after-ripening pada padi merah dan padi hibrida memerlukan benih yang baru dipanen, sehingga penelitian tidak dilakukan secara serempak tetapi tergantung dari ketersediaan benih padi merah dan padi hibrida yang baru dipanen. Benih yang baru dipanen dikelompokkan dalam tiga perlakuan, yaitu benih tanpa perlakuan, perlakuan KNO3 3% selama 24 jam dan perendaman dengan air selama 24 jam.

Percobaan periode after-ripening 0 minggu, benih langsung diberi perlakuan dan ditanam, sedangkan sisanya untuk periode after-ripening 1, 2, 3 sampai dengan 9 minggu disimpan dalam plastik seal dan ditempatkan dalam wadah toples. Benih disimpan pada suhu kamar. Setiap periode after-ripening, masing-masing varietas padi merah dan padi hibrida dikecambahkan menggunakan metode penanaman UKDdp dan dikecambahkan dalam APB IPB 73-2 A/B dengan modifikasi substrat menggunakan kertas merang sampai hari ketujuh. Setiap minggu dilakukan pengamatan kadar air pada setiap varietas yang diujikan.

Pengamatan

1. Kadar Air

Kadar air benih ditetapkan dengan metode langsung menggunakan oven. Jumlah benih yang digunakan yaitu sebanyak 2.5 gram untuk setiap ulangan yang dihaluskan terlebih dahulu dengan menggunakan grinder. Benih kemudian dimasukan ke dalam cawan alumunium dan dioven pada suhu 105oC selama 17 ± 1 jam . Kadar air benih dihitung dengan rumus :

KA (%)

=

x 100% Keterangan

M1 = berat cawan porselin + tutup

M2 = berat benih + cawan porselin + tutup sebelum dioven M3 = berat benih + cawan porselin + tutup setelah dioven 2. Potensi Tumbuh Maksimum

Potensi tumbuh maksimum dihitung berdasarkan persentase jumlah benih yang tumbuh dengan kriteria minimal tumbuh radikula pada akhir pengamatan yaitu hari ketujuh, dengan rumus :

PTM (%)

=

3. Daya Berkecambah

Daya berkecambah dihitung berdasarkan jumlah kecambah normal pada hari pengamatan pertama dan pengamatan kedua. Pengamatan daya berkecambah benih masing-masing varietas dari tiap ulangan dilakukan pada hari ke-5 dan ke-7 setelah pengecambahan. Daya berkecambah dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

DB (%)

=

x 100%

4. Indeks Vigor

Indeks Vigor diukur berdasarkan persentase jumlah kecambah normal pada hari pengamatan pertama yaitu hari ke-5. IV diukur dengan rumus:

IV (%) = x 100%

5. Kecepatan Tumbuh (KCT)

Pengamatan dilakukan terhadap kecambah normal sejak hari pertama hingga ketujuh setelah tanam. Perhitungan dengan cara menjumlahkan hasil pembagian antara persentase kecambah normal yang tumbuh pada tiap pengamatan dengan waktu pengamatannya (Sadjad, 1994).

6. Intensitas Dormansi (ID)

Intensitas dormansi merupakan persentase benih segar yang tidak tumbuh diakhir pengamatan dan benih tersebut masih dalam keadaan hidup. ID yang tinggi menunjukkan bahwa benih yang diuji dengan perlakuan tersebut memiliki tingkat perkecambahan yang rendah. Persentase intensitas dormansi dihitung dengan rumus:

7. Persistensi Dormansi

Persistensi benih adalah periode simpan pada suhu kamar yang diperlukan benih dari saat panen sampai persentase benih non-dormannya mencapai 80% atau lebih, dinyatakan dalam minggu.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Umum

Penelitian ini menggunakan 4 varietas padi hibrida, 2 varietas padi merah dan 1 kultivar lokal padi merah. Varietas hibrida yang digunakan adalah SL-8, TEJ, Rokan dan Bernas Prima. Varietas padi merah yang digunakan adalah Aek Sibundong dan Bah Butong, serta satu kultivar padi merah yang berasal dari daerah Batang yang dinamakan Lokal batang. Deskripsi masing-masing varietas dapat dilihat di Lampiran 1-7.

Kendala ketersediaan benih padi hibrida menjadi salah satu faktor pembatas pada penelitian ini. Kendala tersebut adalah (1) benih hibrida tidak selalu tersedia setiap waktu. Produsen padi hibrida biasanya memproduksi benih untuk satu varietas cukup satu atau dua tahun sekali; (2) perusahaan benih hibrida memiliki gudang penyimpanan yang memadai yang memungkinkan benih padi hibrida disimpan dalam waktu yang relatif lama; (3) selain itu, masing-masing produsen padi tidak selalu memproduksi hanya satu varietas hibrida saja, sehingga diberlakukan sistem perputaran produksi benih padi; (4) sistem perputaran produksi benih padi berkaitan dengan kemurnian benih selama di lapang maupun pada saat prosessing benih sampai kepada penyimpanan; (5) kendala lain, apabila satu produsen benih memproduksi banyak varietas adalah dengan penempatan satu varietas di satu lokasi, sehingga musim tanam mengikuti musim dimana padi hibrida tersebut akan diproduksi.

Pola tanam yang tidak serempak di masing-masing daerah menyebabkan benih yang digunakan dalam penelitian ini dimulai dari umur yang berbeda-beda. Varietas Bah Butong, Aek Sibundong, SL-8 dan Bernas Prima dimulai pada saat berumur 0 minggu setelah panen, sedangkan varietas TEJ, Rokan dan Lokal Batang masing-masing dimulai pada umur 2 minggu, 3 minggu dan 5 minggu setelah panen. Semua benih yang diuji, saat penerimaan benih, keadaan benih sudah diolah dan dikemas.

Kadar air merupakan salah satu faktor penting dalam kelangsungan hidup

Dokumen terkait