• Tidak ada hasil yang ditemukan

BOGOR

ABSTRAK

ACHMAD RIYADI

.

Uji Kemampuan Makan pada Burung Gereja (Passer montanus Oates) dan Uji Preferensi Pakan serta Umpan Beracun pada Bondol Jawa (Lonchura leucogastroides Horsfield & Moore) dan Bondol Peking (Lonchura punctulata Linnaeus). Dibimbing oleh SWASTIKO

PRIYAMBODO.

Padi merupakan salah satu komoditi pangan yang sangat besar peranannya bagi mayoritas penduduk dunia terutama Indonesia, yang merupakan sumber karbohidrat utama. Salah satu faktor pembatas dalam produksi padi yaitu hama burung. Jenis-jenis hama burung yang cukup penting pada pertanaman padi yaitu burung gereja (Passer montanus Oates), bondol jawa (Lonchura leucogastroides

Horsfield & Moore) dan bondol peking (Lonchura punctulata Linnaeus). Diperlukan adanya alternatif cara pengendalian untuk menekan serangan hama burung tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat konsumsi makan burung gereja terhadap gabah dan biji-bijian lainnya, mengetahui jenis pakan yang disukai oleh burung bondol serta mengetahui jenis racun yang disukai sehingga dapat dijadikan sebagai umpan dalam pemerangkapan maupun umpan beracun sebagai cara alternatif pengendalian burung. Pengujian dalam pernelitian ini yaitu pengujian individu dengan tiga perlakuan. Perlakuan pertama yaitu uji kemampuan makan burung gereja terhadap gabah. Tingkat konsumsi burung gereja rata-rata 1.969 g per hari. Perlakuan kedua yaitu uji preferensi pakan dengan metode pilihan (choice test) dan tanpa pilihan (no choice test). Pada uji preferensi pakan burung gereja dengan metode pilihan diletakkan enam jenis pakan (gabah, milet, jewawut, pelet, jagung pipilan, dan beras merah) secara bersamaan pada kandang. Pada uji preferensi burung bondol dengan metode pilihan diletakkan enam jenis pakan (gabah, ulat hongkong, ketan putih, ketan hitam, beras, dan sorgum). Sedangkan dengan metode tanpa pilihan dilakukan uji kemampuan makan burung bondol tiga jenis pakan (beras, ketan putih dan ketan hitam). Jenis pakan yang paling banyak dikonsumsi oleh bondol pada uji preferensi pakan dengan metode pilihan maupun tanpa pilihan setelah gabah yaitu ketan putih. Perlakuan ketiga yaitu uji preferensi racun dengan metode pilihan. Pada pengujian menunjukkan konsumsi racun yang paling banyak dikonsumsi adalah yang berbahan aktif bromadiolon.

ABSTRACT

ACHMAD RIYADI. Feeding Test on Sparrow (Passer montanus Oates), Feed Preference and Poison Bait Test on Javan Munia (Lonchura leucogastroides

Horsfield & Moore) and Scaly-Breasted Munia (Lonchura punctulata Linnaeus). Adviced by SWASTIKO PRIYAMBODO.

Rice is the most important food commodity role for the majority of people in the world, especially Indonesia, which is the main carbohydrate source. One of the limiting factor of rice production is bird as a pest. There are several important species of birds in the rice crop : sparrow (P. montanus Oates), javan munia (L. leucogastroides Horsfield & Moore) and scaly-breasted munia (L. punctulata

Linnaeus). The alternative method to control the population and reduce the damage is necessary. The aim of research is to understand the consumption level of the sparrows on grain, feed preference of scaly-breasted birds to the grain and poisons which are effective. Therefore could be used as bait in trapping or poison baits as an alternative method to control this pest. The test in this experiment is individual of bird with three treatment. The first experiment is consumption of sparrows on grain. Consumption level of sparrow is per 10 g of body weight 1.969 grams a day. The second experiment is feeding preference by choice test and no choice test. On feeding preference treatment of sparrow by choice test, there were six kinds of feed (grain, millet, barley, pellet, corn grain, and brown rice) simultaneously on each cage, and for scaly-breasted birds treated with grain, hongkong caterpillar, white sticky rice, black sticky rice, rice, and sorghum. In no choice test, the ability eat of scaly-breasted to three types of feed (unhulled rice, white sticky rice, and black sticky rice). The most consumed by the scaly-breasted on feed preference test with choice test and no choice test after unhulled rice is white sticky rice. The third experiment is poisons bait preference treatment by choice test. In this test, showed consumption of the most consumed poison is a feed with bromadiolon active ingredient.

Keywords: Sparrow, Javan Munia, and Scaly-breasted Munia, feed preference test, poison bait test.

1

PENDAHULUAN

Latar belakang

Pertanian di Indonesia merupakan salah satu sektor penting yang menunjang perekonomian, dimana sektor pertanian terdiri atas subsektor tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, perikanan, peternakan, dan perkebunan (Rahim dan Diah 2008). Salah satu subsektor pertanian yang terpenting yaitu pangan, yang merupakan kebutuhan mendasar bagi manusia untuk dapat mempertahankan hidup dan karenanya kecukupan pangan bagi setiap orang merupakan hak asasi yang layak dipenuhi.

Salah satu komoditi pangan yang berperan penting adalah padi, yang merupakan sumber karbohidrat utama bagi mayoritas penduduk dunia terutama Indonesia. Dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk dari tahun ke tahun membuat kebutuhan padi di negara kita tidak pernah berkurang, melainkan bertambah, sehingga untuk mencukupi kebutuhan tersebut sudah merupakan masalah yang cukup besar. Produksi padi tahun 2011 diperkirakan sebanyak 67,31 juta ton gabah kering giling (GKG), meningkat sebanyak 895,86 ribu ton dibandingkan pada tahun 2010 yang sebanyak 66,41 juta ton GKG (BPS 2011). Beras sebagai bahan makanan pokok sebagian besar penduduk Indonesia berperan penting dalam mewujudkan stabilitas nasional (Hafsah dan Sudaryanto 2004). Perekonomian beras merupakan pendukung pesatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia sejak tahun 1960 (Timmer 1996). Pangan khususnya beras, merupakan pertahanan terakhir perekonomian Indonesia (Amang dan Sawit 2001). Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang dan mempunyai jumlah penduduk yang banyak ini, sangat merasakan adanya program penyediaan pangan terutama beras. Namun, hal itu dihadapkan pada salah satu kendala yaitu keberadaan organisme pengganggu tanaman (OPT) sebagai faktor pembatas dalam usaha peningkatan produksi beras. Salah satu kelompok OPT tersebut yaitu hama burung.

Burung merupakan hewan vertebrata (hewan yang bertulang belakang) yang termasuk ke dalam kelompok aves. Berdasarkan data dari lembaga Burung Indonesia, jumlah jenis burung di Indonesia sebanyak 1598 jenis. Dengan ini membawa Indonesia menempati urutan pertama sebagai negara yang memiliki jumlah jenis burung terbanyak se-Asia.

2 Penelitian tentang burung, baik yang sudah menjadi hama dan yang berpotensi sebagai hama di Indonesia masih belum banyak. Hal ini diketahui dengan kurangnya informasi dan publikasi tentang sifat dan kemampuan makan burung yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam pengendalian hama burung terhadap tanaman padi. Berdasarkan latar belakang tersebut, mendorong peneliti untuk melakukan penelitian terhadap ketiga jenis burung berikut yaitu : burung gereja (Passer montanus Oates), bondol jawa (Lonchura leucogastroides

Horsfield & Moore), dan bondol peking (Lonchura punctulata Linnaeus).

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: Tingkat konsumsi makan burung gereja terhadap gabah dan beberapa pakan lainnya, jenis pakan yang disukai oleh burung bondol dan tingkat konsumsinya, serta jenis racun yang efektif, sehingga dapat dijadikan sebagai umpan dalam pemerangkapan maupun umpan beracun sebagai alternatif teknik pengendalian burung bondol.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai: Besaran konsumsi burung gereja dan bondol terhadap jenis pakan yang diuji sebagai acuan dalam mengetahui kerugian di lapangan, jenis pakan yang disukai, dan jenis racun yang efektif untuk pengendalian burung.

3

TINJAUAN PUSTAKA

Hama Burung

Burung yang menjadi hama tanaman pertanian, terutama pada komoditas serealia (padi, jagung dan sorgum) sebagian besar adalah jenis pipit, yang termasuk ke dalam Kelas Aves, Ordo Passeriformes, Famili Ploceidae. Ciri morfologi secara umum dari jenis-jenis burung pipit adalah: ukuran tubuh relatif kecil, paruh pendek dan kokoh sesuai dengan pakannya yaitu biji-bijian, dan tungkai diadaptasikan untuk bertengger, misalnya bertengger pada malai, batang tanaman, dan sebagainya. Dari famili ini terdapat beberapa spesies penting yang dapat dianggap sebagai hama, yaitu: burung gereja (Passer montanus), burung manyar (Ploceus manyar), burung manyar raja (Ploceus philippinus), burung gelatik (Padda oryzivora), burung pipit/emprit (Lonchura leucogastroides), burung peking (Lonchura punctulata), burung bondol (Lonchura ferruginosa), dan burung bondol uban/haji (Lonchura maja) (Priyambodo 1996). Salsabila (1991), menjelaskan bahwa burung bondol peking (L. punctulata (L)) adalah burung pemakan padi dimana daerah pilihannya untuk mencari makan adalah persawahan yang biasanya jauh dari perkotaan. Menurutnya, satu ekor burung bondol peking memakan padi rata-rata sebanyak lima gram sehari. Jenis burung yang sering menyerang biji-bijian selain padi seperti milet adalah bondol, emprit, dan gelatik (Andoko 2001). Burung gereja, bondol jawa, dan bondol peking mempunyai kebiasaan hidup berkelompok, mencari makan, dan mengunjungi lahan pertanian terutama menyerbu sawah pada musim panen padi (MacKinnon, Phillipps, dan Balen 2010). Serangan burung pipit/bondol telah banyak meresahkan para petani padi, seperti yang terjadi di Kemukiman Pirak, Kecamatan Matangkuli, Kabupaten Aceh Utara, Aceh, diserang oleh hama burung pipit. Serangan burung pipit juga dirasakan oleh beberapa daerah lainnya seperti Kabupaten Ciamis, Subang, dan Bogor. Akibat serangan burung tersebut produksi padi mengalami penurunan produksi sebanyak 30-50 %. Burung pipit biasanya mulai memakan bulir padi yang sedang memasuki masa masak susu atau masa tanam 70 hari. Serangan terjadi saat kondisi cuaca teduh dan burung menyerang secara bergerombol.

4

Burung Pemakan Biji-Bijian

Berdasarkan tipe makanannya, burung dikelompokkan ke dalam tiga kelompok: pemakan biji, buah, dan serangga. Di alam, pembagian tersebut sesungguhnya lebih luas lagi dengan adanya burung pemakan ikan, pemakan mamalia kecil, pengisap nektar bunga, dan lain-lain. Kekhususan burung terhadap makanannya ini tidak berlaku mutlak karena hanya berdasarkan pada jenis makanan utamanya. Hampir seluruh burung pemakan biji-bijian tersebar di wilayah Indonesia. Burung seperti ini biasanya bertubuh kecil dan bergerak cukup gesit serta lincah sehingga dalam keadaan liar sukar ditangkap. Burung tersebut antara lain parkit, gelatik, dan pipit/bondol. Beberapa jenis burung pemakan biji antara lain jenis bondol seperti bondol jawa (Lonchura leucogastroides), cerukcuk (Pycnonotus goiaver), dan burung cabe (Dicaeum trochileum) (Suaskara, Ginatra, & Muksin 2010). Burung pemakan biji ini mengonsumsi biji sebanyak 10% dari berat tubuhnya. (Soemadi dan Mutholib 2003). Sebelum makan, burung mengupas kulit biji dengan cara meremuk, memotong, atau mengirisnya dengan bantuan sisi paruh yang tajam. Ada pula burung yang langsung menelan biji tanpa perlu bersusah-payah mengupasnya.

Ada beberapa burung yang karena kesukaannya pada biji-bijian menjadi hama tanaman. Kakatua, nuri, bayan, dan gagak sering menjadi hama tanaman pertanian. Burung-burung itu menyukai biji dan kecambah yang muncul di atas permukaan tanah. Di negara lain dilaporkan bahwa gagak telah menjadi hama karena memakan biji jagung yang baru ditanam oleh petani sehingga kejadian ini tentu saja sangat merepotkan dan merugikan petani (Soemadi dan Mutholib 2003).

Adapun yang termasuk hama burung pada padi adalah dari ordo Passeriformes antara lain : burung pipit pinang/bondol peking (Lonchura punctulata), pipit/bondol haji (Lonchura maja), burung manyar (Ploceus manyar), burung gelatik (Padda oryzivora) dari Famili Estrildidae, dan burung gereja (Passer montanus) dari Famili Ploceidae (Soemadi dan Mutholib 2003).

Burung Gereja (Passer montanus Oates)

Burung ini suka hinggap berderet pada tiap atap atau berkeliaran di halaman gereja sehingga disebut burung gereja. Ukuran burung ini sebesar anak ayam yang

5 baru menetas, berwarna coklat kehitaman dengan semu keabuan pada dada dan perut, serta paruh dan kaki berwarna hitam.

Burung gereja bertelur sekali setahun. Telurnya sebesar biji salak berbentuk lonjong, berwarna putih kehijau-hijauan. Jumlah telur 3 – 6 butir dalam satu sarang yang terbuat dari alang-alang, batang padi (jerami) dan ranting-ranting kecil. Di Jawa Barat, burung gereja bertelur sepanjang tahun, kecuali pada bulan Februari, sedang di Jawa Tengah burung ini bertelur pada masa dari Maret sampai Agustus. Sampai kini burung gereja tercatat tersebar dari India sampai Kalimantan, mencapai ketinggian penyebaran dari tempat-tempat setinggi permukaan laut sampai 1800 m dpl (LIPI, 1980).

Makanan burung gereja ialah biji rumput-rumputan, termasuk padi. Burung ini meningkat menjadi hama padi jika biji-biji rumput yang di sekitar sarangnya habis dan burung gereja ini datang ke persawahan dalam jumlah yang banyak. Gerombolan burung gereja dapat mencapai 50 – 100 ekor tiap gerombol dan mendatangi sawah yang sama berkali-kali.

Gambar 1. Burung gereja

Burung Bondol atau Pipit

Bondol adalah jenis burung kecil yang tergolong ke dalam ordo Passeriformes, famili Estrildidae. Sebelumnya burung yang termasuk dalam genus Lonchura ini dimasukkan ke dalam famili manyar-manyaran, Ploceidae. Genus atau marga ini hidup menyebar luas di Afrika dan Asia bagian selatan, mulai dari India dan Sri Lanka ke timur hingga Indonesia dan Filipina. Secara umum, bondol juga dikenal luas sebagai burung pipit. Yang termasuk ke dalam golongan bondol ini yaitu bondol jawa (Lonchura leucogastroides) dan bondol peking (Lonchura punctulata).

6

Bondol Jawa (Lonchura leucogastroides Horsfield & Moore)

Bondol jawa (L. leucogastrioides) adalah sejenis burung kecil pemakan padi dan biji-bijian. Burung ini juga disebut dengan nama lain seperti pipit bondol, piit bondol, emprit bondol dan lain-lain, mengikuti suara yang dihasilkannya. Burung ini berbadan kecil, dari paruh hingga ujung ekor sekitar 11 cm. Burung dewasa dominan coklat tua di punggung, sayap dan sisi atas tubuhnya, tanpa coretan-coretan. Muka, leher dan dada atas berwarna hitam, dada bawah, perut dan sisi tubuh putih bersih, tampak kontras dengan bagian atasnya. Sisi bawah ekor kecoklatan. Burung muda dengan dada dan perut coklat kekuningan kotor.

Penyebaran burung ini tercatat di Sumatera, Jawa, Bali, dan Lombok. Kemungkinan kini burung ini sudah meluas mengikuti penyebaran pertanaman padi di kepulauan lainnya. Ketinggian penyebaran belum diketahui. Membuat sarang dari alang-alang, batang padi atau rerumputan lainnya. Hidupnya selalu bergerombol sampai dalam satu pohon terdapat beberapa sarang. Dalam satu sarang terdapat 5 ekor burung. Masa bertelur sepanjang tahun dengan bentuknya lonjong berwarna putih kelabu. Dalam satu kali masa telur seekor induk dapat menghasilkan 4 – 5 butir telur, kadang-kadang sampai 6 butir telur. Menyukai lingkungan yang bersemak-semak, hutan sekunder, persawahan atau pekarangan, terutama yang berdekatan dengan pertanaman padi. Di jawa, burung ini pernah merupakan hama padi yang gawat, walaupun demikian, secara terperinci kerugian yang ditimbulkan oleh serangan bondol jawa ini belum diperhitungkan. Pada saat padi menguning, burung ini dating bergerombol berkali-kali untuk mendapatkan makanan yang berupa padi masak (LIPI 1980).

Gambar 2. Burung bondol jawa

Bondol Peking (Lonchura punctulata Linnaeus)

Bondol peking atau pipit peking (L. punctulata) adalah sejenis burung kecil pemakan padi dan biji-bijian. Nama punctulata berarti berbintik-bintik, menunjuk

7 kepada warna bulu-bulu di dadanya. Orang Jawa menyebutnya emprit peking, prit peking; orang Sunda menamainya piit peking atau manuk peking, meniru bunyi suaranya. Burung yang berukuran kecil, dari paruh hingga ujung ekor sekitar 11 cm. Burung dewasa berwarna coklat kemerahan di leher dan sisi atas tubuhnya, dengan coretan-coretan agak samar berwarna muda. Sisi bawah putih, dengan lukisan serupa sisik berwarna coklat pada dada dan sisi tubuh.

Makanan utama burung ini adalah biji rerumputan, di antaranya yang paling disukai yaitu padi. Karena kebiasaannya dalam mencari makan selalu bergerombol sampai mencapai 50 ekor atau lebih tiap gerombol, burung ini dapat bertindak sebagai hama.

Penyebaran burung tersebar dari India sampai Filipina, ke selatan mencapai Jawa, Kalimantan dan Sulawesi. Penyebaran ini mengikuti daerah penyebaran padi. Ke arah gunung, burung ini dijumpai sampai ketinggian 1500 m dpl.

Sarang burung ini berbentuk genta. Sarang tersebut dibuat dari rerumputan atau alang-alang. Dalam satu sarang biasanya terdapat beberapa induk. Bila akan bertelur burung betina membuat sarang sendiri-sendiri. Sarang burung ini dapat dijumpai di pekarangan, perkebunan dan persawahan. Seekor peking betina sekali bertelur menghasilkan 4 – 5 butir. Masa bertelur berlangsung sepanjang tahun, tetapi burung ini hanya bertelur sekali dalam satu tahun. Telur berbentuk bulat dengan garis tengah 1,5 – 2 cm dan berwarna putih keabu-abuan (LIPI 1980).

Gambar 3. Burung bondol peking

Pakan Burung

Menurut Soemadi dan Mutholib 2003, pakan burung yang biasa diberikan kepada burung pemakan biji-bijian adalah gabah, ulat hongkong, sorgum, beras, jewawut, milet, jagung, pelet, dan ketan. Gabah sering dijadikan sebagai pakan burung pipit, gelatik, kenari, merpati, puter, dan perkutut. Ulat hongkong atau biasa dikenal sebagai ulat taiwan atau ulat bangkok merupakan larva kumbang

8

Tenebrio molitor. Setelah berumur dua bulan, ulat ini mencapai ukuran panjang 1,5 – 2 cm dan siap dijadikan sebagai pakan burung yang merupakan sumber protein dengan kadar lemak tinggi. Biji sorgum (Sorghum vulgare) sering digunakan sebagai campuran pakan burung merpati dan dapat menggantikan biji jagung dan padi. Secara umum, beras mengandung karbohidrat (berbentuk pati), protein, vitamin, mineral, dan air sehingga beras sangat penting karena mengandung unsur-unsur yang penting dalam pakan burung. Unsur-unsur yang penting dalam pakan burung antara lain karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan mineral (Prahara 2000). Jewawut sering diberikan pada burung dalam bentuk malai atau pipilan. Beberapa burung seperti puter, pipit, gelatik, perkutut, parkit, merpati, dan kenari sangat lahap memakan biji ini, karena kandungan gizinya dapat disamakan dengan jagung dan padi. Di Indonesia milet hanya dijadikan sebagai pakan burung pemakan biji-bijian seperti bondol, pipit, gelatik, dan perkutut.

Tongkol jagung muda sangat disukai oleh burung berparuh bengkok seperti kakatua, nuri, parkit, dan bayan. Burung dengan paruh kerucut (pemakan biji) lebih menyukai jagung berbentuk pipilan, yaitu biji jagung yang sudah dipecah atau ditumbuk kasar.

Pelet merupakan pakan buatan yaitu, bahan makanan yang dibuat dan diramu untuk melengkapi kebutuhan pakan burung. Pelet biasanya diberikan sebagai makanan burung perkutut, murai batu, cucakrawa, kacer, jalak, poksay, cucak ijo, sambo, larwo, dan merpati. Hal ini diperkuat oleh Khairuman dan Amri 2002, yang juga menyebutkan bahwa pelet merupakan pakan ikan buatan berbentuk butiran dengan dua jenis pelet yang banyak dikenal yaitu berupa pelet basah dan pelet kering.

Menurut Mujiman 1994, pelet merupakan bahan yang berupa tepung kering yang dibagi menjadi dua golongan yaitu golongan yang berjumlah banyak (dedak, tepung ikan, tepung kedelai, dan lain-lain), dan golongan yang berjumlah sedikit (vitamin dan mineral).

9

Racun Seng Fosfida (Zn3P2)

Seng fosfida tergolong dalam jenis racun akut. Racun akut adalah racun yang menyebabkan kematian setelah mencapai dosis letal dalam waktu 24 jam atau kurang (Buckle & Smith 1996). Menurut Priyambodo (2003), racun akut bekerja cepat dengan cara merusak sistem syaraf. Seng fosfida berbentuk tepung yang berwarna hitam keabu-abuan dengan bau seperti bawang putih yang diproduksi dengan cara mengkombinasikan antara seng dan fosfor (Buckle 1996). Bau bawang tersebut tidak menarik bagi manusia dan hewan peliharaan, tetapi menarik bagi tikus. Seng fosfida telah dikenal sejak dulu sebagai racun tikus yang efektif dan tidak dapat larut dalam alkohol dan air. Racun ini termasuk racun akut yang efektif (Corrigan 1997). Selain tikus, burung juga sangat sensitif terhadap racun ini. Racun akut ini telah digunakan secara luas terhadap tikus (Sikora 1981). Lama kematian tikus setelah mengonsumsi racun ini adalah antara 17 menit sampai dengan beberapa jam. Tikus yang mengonsumsi racun ini dengan dosis rendah dapat bertahan hidup selama beberapa hari. Tikus yang mati karena mengonsumsi racun ini akan mengalami kerusakan pada bagian hati dan seperti mengalami gagal ginjal (Corrigan 1997).

Bromadiolon (C30H23BrO4)

Bromadiolon merupakan jenis racun kronis (Priyambodo 2003). Racun kronis yaitu racun yang bekerja secara lambat dengan cara mengganggu metabolisme vitamin K serta mengganggu proses pembekuan darah. Gejala keracunan dapat terlihat dalam waktu 24 jam atau lebih dan kematian dapat mencapai beberapa hari setelah aplikasi (Buckle & Smith 1996). Bromadiolon merupakan jenis rodentisida yang digunakan untuk mengendalikan hewan pengerat pada bidang pertanian dan juga bekerja dengan cara mengganggu peredaran darah normal. Bromadiolon digunakan dalam bentuk umpan siap pakai dengan konsentrasi rendah, yaitu sekitar 0,005 %. Selain itu, racun ini juga diproduksi dalam bentuk tepung atau bubuk, dimana tikus yang mengonsumsi racun ini dengan dosis yang mematikan biasanya akan mengalami kematian pada hari ketiga setelah konsumsi (Corrigan 1997).

10

Kumatetralil (C19H16O3)

Kumatetralil adalah suatu bubuk berwarna biru yang tidak dapat larut dalam air tetapi dapat larut dalam aseton dan ethanol. Rodentisida ini diproduksi dalam bentuk tepung dan umpan siap pakai. Kumatetralil efektif terhadap spesies tikus Norway (Rattus norvegicus) yang resisten terhadap racun antikoagulan lainnya, misalnya terhadap warfarin (Sikora 1981). Rodentisida ini merupakan suatu antikoagulan yang tidak menyebabkan jera umpan. Antidote dari racun ini adalah vitamin K1. LD50 sub kronis untuk tikus rumah (Rattus rattus) adalah 0,3 ppm (Sikora 1981), dan untuk R. norvegicus adalah 16,5 ppm. Racun ini digunakan dengan kandungan bahan aktif yang rendah. Resiko keracunan terhadap organisme buka sasaran termasuk manusia sangat kecil (Prakash 1988)

Kumatetralil merupakan jenis racun kronis (antikoagulan) yang bekerja lambat dengan cara menghambat proses koagulasi atau penggumpalan darah serta memecah pembuluh darah kapiler (Priyambodo 2003).

11

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Vertebrata Hama, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, dari bulan Maret sampai Juni 2011.

Bahan dan Alat Hewan Uji

Hewan uji yang digunakan dalam penelitian adalah burung gereja (P. montanus), bondol jawa (L. leucogastroides) dan bondol peking (L. punctulata) yang diperoleh dari penjual burung di Pasar Bogor, di simpangan Bogor Trade

Dokumen terkait