• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Refleksi Teologis Praksis UPP GMIT terhadap Persoalan Perdagangan Manusia

Melalui hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis pada UPP TBAK GMIT, penulis menemukan bahwa UPP TBAK beserta jaringan-jaringan terkait yang berada di NTT memahami manusia sebagai ciptaan istimewa dengan gambar dan rupa Allah, sehingga perlu untuk diperlakukan dengan tidak melanggar Hak Asasi Manusia (HAM), terutama hukum kasih. Hal ini kemudian memberikan penyadaran bagi gereja suatu perjuangan bagi mereka yang tertindas dengan menyuarakan keadilan dan tindakan gereja terhadap penderitaan yang dialami.

Perdagangan manusia adalah dosa sosial yang memberikan penderitaan besar. NTT yang memiliki slogan di daerah Kupang sebagai kota kasih berubah menjadi provinsi jenazah. Banyak yang tidak menghargai keberadaan Allah di dalam diri para korban dengan tragedi jual-beli manusia. Hal ini memberikan desakan bagi UPP TBAK untuk selalu peka terhadap setiap persoalan yang terjadi. Menuntut UPP TBAK untuk tidak melewatkan setiap kesempatan maupun peluang untuk berjuang bagi para korban perdagangan manusia. Menuntut untuk tidak ada lagi manusia yang diperdagangkan seperti barang dengan tipu daya

79

Hasil Wawancara dengan Pdt. Emmy Sahertian, tanggal 15 Juli 2019, pukul 12.00 WITA.

80

Sinode GMIT, Keputusan Persidangan, 154.

81

22

agama dan budaya. Menuntut untuk dapat memastikan bahwa para pekerja asal NTT dalam keadaan aman di negara tempat mereka bekerja. Hal ini memberikan kesempatan bagi GMIT untuk dapat menunjukkan sisi politiknya di tengah masyarakat, yaitu mengembangkan mediasi iman Kristen yang akan mengubah masyarakat dan budaya, sehingga menyembuhkan keadaan yang menyebarkan ketidakadilan sosial.82

Pendeta Slamet mengungkapkan bahwa berpikir dan menimbang adalah hal yang baik, tapi jangan belarut. Kita harus melihat sendiri apa yang korban alami, memastikan korban perdagangan maupun pekerja migran aman di tempat berada, memperjuangkan hak mereka sebagai manusia, terutama mencegah terjadinya dan meluasnya perdagangan manusia.83 Hal ini dikarenakan teologi bukanlah sistem yang hanya berbicara tentang Tuhan dan hubungan-Nya dengan manusia, tetapi juga merupakan refleksi aktif yang diwujudkan dalam keterlibatan dan tindakan gereja, pelayan, dan jemaat dalam berhadapan dengan soal-soal dunia.84 Kemudian keterlibatan itu perlu dibuktikan dan pendeta Slamet menantang GMIT untuk dapat merealisasikan rencana studi banding ke luar negeri dan pengutusan vikaris ke tempat-tempat pekerja migran.

Panca pelayanan yang diakui dalam GMIT menjadi fondasi yang kuat bagi TBAK dalam setiap program dan perjuangannya.85 Panca Pelayanan GMIT menggambarkan perjuangan UPP TBAK untuk menghadirkan syalom di Nusa Tenggara Timur dengan berjuang melawan ketidakadilan. Hal ini memberikan penyadaran bagi UPP TBAK untuk berjejaring dengan jaringan, komunitas, lembaga terkait untuk dapat berjuang bersama dengan strategi yang besar. UPP TBAK berhasil membangun kerja sama dalam bentuk ruang diskusi maupun praksis. Tetapi hal tersebut bukanlah hal yang mudah. Dalam menjalani perjuangannya, masih terdapat harapan-harapan yang belum dapat terlaksana sesuai dengan harapan maupun target. Hal ini dikarenakan UPP TBAK harus bergerak berdasarkan sistim organisasi, baik dalam waktu dan keputusan.86

82

Eddy Kristiyanto, OFM, Sakramen Politik, 47-48.

83

Hasil Seminar GMIT dan Gereja Selomon Hongkong dengan Narasumber Pdt. Slamet Yahya Hakim, 16 Juli 2019, 10.00 WITA.

84

Eddy Kristiyanto, OFM, Sakramen Politik, xxi.

85

Hasil Wawancara dengan Pdt. Paoina Bara Pa, tanggal 11 Juli 2019, pukul 09.30 WITA.

86

23

UPP GMIT menyadari bahwa dalam perjuangan melawan perdagangan manusia, GMIT belum memiliki satu suara yang sama.87 Hal ini dikarenakan masih terdapat pendeta-pendeta yang memahami bahwa tugas gereja adalah mengenai gedung dan peribadahan. Hal yang sangat disayangkan karena GMIT melalui pokok eklesiologis pada tata gerejanya telah dengan jelas mengungkapkan misi GMIT, hubungan antara gereja dan HAM, gereja dan masyarakat sosial, maupun gereja dan politik yang mendukung pergerakan melawan perdagangan manusia. Masih terdapat pendeta yang yang berhermeneutik secara pasif. Hal ini menjadi pergumulan dari UPP TBAK agar dapat memberikan penyadaran kepada para pendeta dan seluruh jemaat GMIT bahwa gereja adalah rumah, sebuah instansi politik yang memiliki sebuah tugas politis (basileia). Pada titik inilah melalui studi teologi politik, GMIT disadarkan untuk mengusahakan agar dapat keluar secara utuh dari pola hermeneutik yang pasif dan buta terhadap konteks masyarakat.88

Dalam menghadapi berbagai pro dan kontra, UPP TBAK tetap berusaha agar persoalan perdagangan manusia dapat diterima dan diperjuangkan bersama oleh seluruh anggota GMIT. Pemahaman iman GMIT tentang gereja adalah rumah Allah yang menghadirkan syalom dan keberpihakan gereja kepada kaum yang tertindas menjadi landasan yang perlu diperhatikan. Dipahami bahwa sebagai Allah yang menjadi manusia, Kristus telah menunjukkan keberpihakan-Nya kepada mereka yang sakit, terlantar, hidup dengan disabilitas, dan terstigma dipulihkan oleh Yesus. Yesus sendiri bahkan masuk dalam penderitaan manusia melalui peristiwa penyaliban. GMIT yang melalui UPP TBAK dan rumah Harapan, meyakini untuk menciptakan suatu masyarakat yang bebas dari kejahatan perbudakan modern dan perdagangan orang.89 Dalam tahap ini GMIT menunjukkan sebuah perjuangan dalam berteologi politik, baik itu dalam tahap berrefleksi terhadap firman Tuhan dan dokumen gerejawi GMIT, maupun dalam tahap praksis sebagai wujud nyata dari kehadiran dan misi GMIT.

UPP menyadari bahwa GMIT memiliki tanggung jawab untuk masuk dan belajar tentang kerentanan umat dan masyarakat di NTT, memahami

87

Hasil Wawancara dengan Pdt. Emmy Sahertian, tanggal 15 Juli 2019, pukul 12.00 WITA.

88

Eddy Kristiyanto, OFM, Sakramen Politik, 35.

89

24

penyebabnya, mencari kehendak Allah mengenai kerapuhan itu, dan berjuang bersama korban untuk misi Allah bagi keselamatan.90 GMIT menunjukkan ketidakinginannya untuk tidak peduli terhadap korban dan nyawa mereka yang selalu terancam oleh karena kasus perdagangan manusia. Hal ini menunjukkan kesadaran GMIT yang tidak ingin membunuh Tuhan karena tidak mempedulikan kehidupan ciptaan-Nya. Kemudian juga menunjukkan hadirnya teologi demi Tuhan yang ada dalam pemahaman UPP GMIT. Di mana suatu upaya berteologi untuk memperjuangkan pembebasan bagi mereka yang tertindas untuk dapat mencapai teologi kerajaan Allah, yakni menghadirkan kerajaan Allah di tengah-tengah dunia.

UPP GMIT menunjukkan sebuah refleksi dan pemahaman dari GMIT bahwa gereja memiliki peran penting di tengah masyarakat. Oleh karena itu, gereja perlu berkontribusi dalam ruang publik. Kontribusi tidak hanya dalam bentuk khotbah maupun refleksi, tetapi dalam upaya penyadaran. Memperjuangkan keadilan dalam tugas gereja untuk menghadirkan kerajaan Allah.91 GMIT mengusahakannya dalam program internal maupun dalam berjejaring. Mengusahakan gerakannya agar dapat menghancurkan gerakan mafia perdagangan manusia. Menunjukan kehadirannya bagi jemaat dan menunjukan teologi harapan di tengah penderitaan yang terjadi. Mengusahakan kepentingan umum seluas-luasnya sehingga seluruh jemaat, terutama korban perdagangan manusia dapat merasakan kehadiran kerajaan Allah.

Pemahaman UPP GMIT mengenai manusia sebagai makhluk istimewa yang segambar dan serupa dengan Allah membawa GMIT untuk mempraktekkan panca pelayanannya, yakni mengusahakan keberpihakan dan solidaritas GMIT terhadap kaum lemah, orang miskin, orang tertindas, orang asing, dan kaum terpinggirkan lainnya dalam gereja dan masyarakat.92 Kemudian pergerakan UPP untuk dapat berada langsung bersama korban melalui jaringan di segala tempat di wilayah NTT, terutama wilayah yang rentan, menunjukkan GMIT sebagai utusan Allah yang berjuang bersama para korban. Pemahaman ini tentunya menguatkan suatu landasan teologi politik dalam kitab Lukas 4:18-19. Di mana sebagai utusan

90

Merry Kolimon dkk, Menolak Diam, 14.

91

Jurgen Moltmann, God For, 5, diakses 10 Mei 2019.

92

25

Allah, yakni pengikut Kristus, UPP GMIT menunjukkan dirinya untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin, memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, penglihatan kepada orang-orang buta, membebaskan orang-orang tertindas. Dengan jelas hal tersebut untuk memberitakan rahmat Tuhan melalui susasana kerajaan Allah yang dihadirkan di tengah-tengah para korban, serta masyarakat yang rentan menjadi korban. Tentunya hal ini juga menunjukkan keberadaan teologi politik dalam usahanya agar gereja dan jemaatnya dapat menyesuaikan hidup dengan kriteria pemuridan Kristus yang dapat ditemukan dalam khotbah di Bukit, yaitu budaya tanpa kekerasan.93

5. Kesimpulan dan Saran

Dokumen terkait