• Tidak ada hasil yang ditemukan

6 ANALISIS DAYA SAING USAHA PENGGEMUKAN SAPI Analisis Keuntungan Usaha Penggemukan Sapi Potong

Analisis keuntungan suatu usaha penting untuk dilakukan mengingat apakah usaha tersebut layak untuk diusahakan. Analisis keuntungan usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Bojonegoro dihitung berdasarkan biaya tunai maupun biaya non tunai. Biaya tunai adalah biaya yang dikeluarkan secara tunai oleh peternak, sedangkan biaya yang tidak termasuk kedalam biaya tunai tetapi diperhitungkan dalam suatu usaha disebut biaya non tunai. Berikut keuntungan usaha penggemukan sapi potong dapat dilihat pada Tabel 10.

Berdasarkan Tabel 11 dapat diketahui bahwa biaya tunai yang benar-benar dikeluarkan peternak pada usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Bojonegoro terdiri dari biaya pakan dan vitamin seperti dedak, molase, garam, vitamin B, dan obat cacing atau albenol. Pakan utama hijauan seperti rumput dan jerami atau tebon masuk dalam biaya non tunai karena peternak mendapatkan pakan hijauan di padang rumput dan hutan secara gratis atau tidak mengeluarkan uang secara tunai. Tenaga kerja pada usaha penggemukan sapi potong ini keseluruhan merupakan tenaga kerja dalam keluarga, hal ini disebabkan karena kepemilikan ternak yang hanya 1 sampai 4 ekor sapi mengharuskan peternak untuk mengurus sendiri dengan dibantu tenaga keluarga untuk mengelola usaha sapi potong, pertimbangan lainnya adalah karena peternak tidak mampu untuk membayar tenaga kerja luar keluarga, dan dirasa menghabiskan banyak biaya.

Alokasi biaya terbesar yang dikeluarkan peternak adalah sapi bakalan dengan persentase sebesar 50.67 persen, terbesar kedua adalah biaya tenaga kerja dalam keluarga dengan persentase sebesar 18.63 persen, dan alokasi terbesar ketiga adalah biaya sewa lahan dengan persentase sebesar 12.02 persen.

61 Berdasarkan hasil wawancara dengan responden besarnya alokasi biaya untuk tenaga kerja dalam keluarga disebabkan karena dalam pengelolaan usaha penggemukan sapi potong terdiri dari beberapa pekerjaan yang tidak sedikit menyerap tenaga kerja seperti mencari pakan, memandikan ternak, membersihkan kandang, memberikan pakan, dan kegiatan lainnya. Besarnya alokasi tenaga kerja dalam keluarga tidak dihitung peternak sebagai biaya, hal ini merupakan salah satu penyebab pendapatan atas biaya total tidak memberikan keuntungan bagi peternak akan tetapi sebaliknya peternak mengalami kerugian.

Tabel 11 Rata-rata keuntungan penggemukan sapi potong Di Kabupaten Bojonegoro (Rp/perekor/periode) dengan responden 40 peternak

Uraian Fisik Nilai (Rp) Alokasi (%)

1. Penerimaan

Penjualan Sapi Hidup (Kg) 266.75 8 807 571.00 2. Biaya Tunai :

a. Sapi Bakalan (Kg) b. Pakan & Vitamin : - Dedak (Kg) - Molase (botol) - Garam (Kg) - Vitamin B (Botol) - Albenol (Kapsul) - Obat Tradisional c. Listrik&Lampu d. Biaya Giling dedak e. Obat Nyamuk (Kotak) f. Kayu bakar (ikat) g. BBM (liter) h. Pajak (m2) 151.62 37.85 11.22 10.75 1.90 4.29 2.99 50.57 12.68 25.84 5 148 017.00 94 625.00 56 111.00 21 345.59 9 500.00 4 285.71 14 000.00 15 250.00 16 642.00 8 968.00 25 286.00 88 727.00 135.65 50.67 0.93 0.55 0.21 0.09 0.04 0.14 0.15 0.16 0.09 0.25 0.87 0.01 3. Biaya non tunai

a.Pakan

-Rumput (keranjang) - Jerami/tebon (keranjang)

b.TKDK

-Mencari Pakan (HOK)

-Memberi pakan & minum (HOK) -Membersihkan kandang (HOK) -Memandikan Ternak (HOK) -Mengambil/Memompa air (HOK) -Membeli dedak/garam (HOK) -Menggiling Dedak (HOK) c. Penyusutan investasi &Alat d. Sewa Lahan e. Bunga Modal 330.75 191.63 32.57 22.87 3.91 0.22 1.23 0.31 0.45 496 125.00 153 300.00 1 025 250.00 744 000.00 59 500.00 3 500.00 52 500.00 1 587.50 5 850.00 54 730.02 1 221 083.33 838 812.48 4.88 1.51 10.09 7.32 0.59 0.03 0.52 0.02 0.06 0.56 12.02 8.26 4. Total Biaya Tunai 5 502 712.82 100.00 5. Total Biaya (2+3) 10 158 951.14

6. Pendapatan atas Biaya Tunai 3 304 857.88 7. Pendapatan atas Biaya Total -1 351 380.45 8. R/C atas Biaya Tunai 1.60 9. R/C atas Biaya Total 0.87

Pendapatan atas biaya total bernilai negatif yaitu sebesar Rp1 351 380.45, sedangkan pendapatan atas biaya tunai yang benar-benar dikeluarkan oleh peternak adalah sebesar Rp3 304 857.88. Nilai R/C atas biaya tunai adalah 1.0,

62

nilai tersebut menunjukan bahwa usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Bojonegoro menguntungkan jika biaya yang dihitung berdasarkan biaya tunai yang dikeluarkan petani. Mayoritas peternak yang mengusahakan sapinya tidak menghitung besarnya biaya non tunai seperti biaya tenaga kerja dalam keluarga, biaya penyusutan alat-alat, biaya bunga modal, dan biaya sewa lahan. Selama ini peternak tidak menghitung biaya non tunai apabila mereka bekerja untuk mengelola sapi, peralatan ternak yang mengalami penyusutan, dan modal usaha yang memiliki bunga. Nilai R/C atas biaya total, yaitu penjumlahan antara biaya tunai dan biaya non tunai adalah 0.87, nilai tersebut menunjukan bahwa usaha penggemukan sapi potong belum memberikan keuntungan bagi peternak jika dihitung berdasarkan biaya total. Hasil analisis keuntungan penggemukan sapi potong ini juga memberikan gambaran bahwa selama ini peternak masih terus mengusahakan sapi potongnya, karena merasa sudah mendapatkan keuntungan, padahal jika dihitung berdasarkan biaya total maka peternak mengalami kerugian.

Struktur Penerimaan dan Biaya Usaha Penggemukan Sapi potong

Struktur penerimaan dan biaya pada usaha penggemukan sapi potong menjelaskan bagaimana sebaran penerimaan dan biaya apa saja yang dikeluarkan baik biaya tunai maupun biaya non tunai, dan sebaran pada harga privat atau harga pasar dengan harga sosial (harga dengan alokasi sumberdaya terbaik). Struktur penerimaan dan biaya pada usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Bojonegoro ini tidak hanya sampai pada peternak tetapi sampai pada output terakhir sapi yaitu daging sapi, sehingga melalui jasa rumah potong, pedagang yang ada di pasar besar Kabupaten Bojonegoro. Berikut sebaran penerimaan dan biaya usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten bojonegoro dapat dilihat pada Tabel 12.

Berdasarkan Tabel 12 dapat diketahui bahwa struktur penerimaan dan biaya usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Bojonegoro terdiri dua sistem yaitu sistem yang pertama adalah penerimaan dan biaya di peternak, kemudian yang kedua adalah biaya pemotongan di RPH (Rumah Potong Hewan) dan penerimaan dari jeroan, kepala, dan kulit, serta strutur biaya dan penerimaan ketika karkas sudah sampai di pedagang yang ada di pasar. Dalam penelitian usaha penggemukan sapi potong ini output yang diteliti adalah daging sapi sehingga terdapat dua sistem yang dilalui sapi potong untuk menjadi output berupa daging segar. Biaya diklasifikasikan menjadi dua berdasarkan harga privat atau harga pasar, dan harga sosial atau harga bayangan. Baik harga privat maupun harga sosial terdiri dari biaya tradable (asing), dan non tradable (domestik).

Struktur penerimaan peternak diperoleh dari penjualan sapi hidup yaitu sebesar Rp8 807 570.69 pada harga privat, dan pada harga sosial yaitu sebesar Rp9 394 632.41, harga sosial lebih tinggi dari harga privat karena pada harga sosial sapi hidup dihargai dengan harga cif (harga impor sapi hidup) ditambah dengan biaya-biaya tataniaga. Struktur penerimaan setelah dari peternak adalah ke rumah potong hewan, diasumsikan disini peternak membayar biaya-biaya untuk pemotongan sapi, penerimaan yang diterima peternak adalah penerimaan dari jeroan, kepala, tulang, dan kulit adalah sebesar Rp1 003 730.31 pada harga privat dan sosial. Selanjutnya daging yang diterima peternak dijual dipasar dengan penerimaan sebesar Rp8 764 081.92 pada harga privat dan pada harga sosial

63 sebesar Rp7 888 672.44, penerimaan pada harga privat lebih tinggi dibanding dengan harga sosial karena pada harga sosial daging atau karkas menggunakan harga cif yang lebih murah daripada harga yang diterima pedagang daging dipasar. Penerimaan total dari penjualan daging, jeroan, dan kulit pada harga privat adalah Rp9 767 812.23 dan pada harga sosialnya sebesar Rp8 892 402.75.

Tabel 12 Rata-rata struktur penerimaan dan biaya usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Bojonegoro (Rp/Kg/Periode)

Uraian

Fisik Private Budget Social Budget Unit Domestik (Rp) Asing (Rp) Domestik (Rp) Asing (Rp) I. Penerimaan Peternak : Sapi Hidup (Kg) 266.75 8 807 570.69 9 394 632.41 Biaya: 1. Bakalan (kg) 2. Pakan dan Vitamin :

a.Rumput (kr/ekor/prd) b.Jerami/tebon (kr/ek/prd) c.Dedak padi (kg/ek/prd) d.Molase (btl/ek/prd) e.Garam (kg/ek/prd) f.Vitamin B (btl/ek/prd) g.Albenol (kpsl/ek/prd) h.Obat tradisional (ek/prd)

330.75 191.63 37.80 11.22 10.75 1.90 4.29 5 148 017.49 496 125.00 153 300.00 94 625.00 56 111.11 21 345.59 1 900.00 2 785.71 14 000.00 0 0 0 0 0 0 7 600.00 1 500.00 0 4 744 419.84 496 125.00 152 300.00 94 625.00 56 111.00 12 487.74 1 787.90 2 601.75 14 000.00 0 0 0 0 0 0 7 151.60 1 400.94 0 3.Tenaga Kerja (HOK/ek/p) 61.55 1 892 187.50 0 1 055 154.33 0 4.Penyusutan (Rp/ek/p)

a.Kandang & Sumur b.Cangkul c.Sekop d.Sabit e.Keranjang f. Karung g.Pengki Bambu 46 648.19 94.33 472.92 770.83 3 033.33 325.00 3 385.42 0 0 0 0 0 0 0 46 648.19 94.33 472.92 770.83 3 033.33 325.00 3 395.42 0 0 0 0 0 0 0 5.Listrik & Lampu 15 250.00 0 15 250.00 0 6.Biaya giling dedak 16 461.54 0 16 461.54 0 7. Obat Nyamuk (bungkus) 2.99 5 829.03 2 040.16 5 829.03 3 138.71 8. Kayu (ikat) 50.57 25 285.71 0 25 285.71 0 9.BBM (liter) 12.68 3 549.09 85 178.18 4 843.26 116 238.12 10. Pajak (m2/ekor/periode) 25.83 135.65 0 135.65 0 11. Sewa Lahan 1 221 083.33 0 1 221 083.33 0 12. Bunga Modal 838 816.48 0 969 562.70 0 13. Biaya Angkut ke RPH 15 000.00 0 15 000.00 0 14. Biaya Pemotongan 60 000.00 0 60 000.00 0 15. Biaya Lainnya 20 000.00 0 20.000.00 0

II. Penerimaan (jeroan dll) 1 003 730.31 1 033 730.31 0

III. Pasar a.Biaya - daging dari RPH - biaya transportasi& Penanganan 96.03 8 764 081.92 53 856.00 0 0 0 53 856.00 7 888 672.44 0

Total Penerimaan (II + III) 9 767 812.23 8 892 402.75

Total Biaya (I + II) 10 191 534.25 96 318.34 9 095 346.47 127 929.37

Total Keuntungan -539 994.91 - 315 873.10

Total Penerimaan (Rp/Kg) 101 716.26 92 600.26

Total Biaya (Rp/Kg) 106 128.65 1 003.00 94 713.59 1 332.18

64

Struktur biaya terbesar yang dialokasikan peternak sapi potong di Kabupaten Bojonegoro adalah bakalan pada harga privat yaitu sebesar Rp5 148 017.49 merupakan komponen domestik, sedangkan pada harga sosialnya sapi bakalan komponen domestiknya sebesar Rp4 744 419.84, karena input sapi bakalan merupakan input 100 persen domestik maka untuk nilai komponen asing baik pada harga privat maupun sosial adalah 0. Komponen biaya terbesar kedua setelah bakalan adalah tenaga kerja, pada harga privat maupun harga sosialnya berasal dari komponen domestik yaitu sebesar Rp1 892 187.50, selanjutnya biaya terbesar ketiga adalah sewa lahan berasal dari input domestik yaitu sebesar Rp1 221 083.33 baik pada harga privat maupun sosial. Total biaya pada usaha penggemukan sapi potong sampai mencapai output daging adalah sebesar Rp10 191 534.25 input domestik, Rp96 318.34 input asing pada harga privat, sedangkan pada harga sosialnya adalah Rp 9 095 346.47 input domestik, dan input asingnya sebesar Rp127 929.37. Total biaya pada harga privat lebih besar dari harga sosialnya, hal ini dikarenakan biaya pada harga sosial merupakan produk impor yang harganya lebih murah dibandingkan dengan harga di pasar dalam negeri.

Keuntungan dari usaha penggemukan sapi potong bernilai negatif yaitu sebesar adalah - Rp539 944.91 pada harga privat yang menandakan bahwa peternak dirugikan dan harga privat lebih tinggi dibandingkan dengan harga sosialnya. Keuntungan pada harga sosial yaitu sebesar sampai - Rp315 873.10, menandakan bahwa pada harga sosial input yang dikeluarkan lebih kecil sehingga keuntungan yang didapatkan peternak pada harga sosial lebih besar dibanding harga privat, walaupun baik pada harga privat maupun sosial sama-sama dalam kondisi dirugikan. Keuntungan pada harga privat maupun sosial merupakan keuntungan usaha penggemukan sapi pada tingkat output daging yaitu berat 90.3 kilogram untuk perekornya, biaya yang dikeluarkan peternak per kilogram daging adalah Rp107 131.65 pada harga privat dan perkilogram daging Rp95 889.57 pada harga sosial. Untuk penerimaan perkilogram daging sapi pada harga privat yaitu sebesar Rp101 716.26, dan pada harga sosial yaitu Rp92 600.26. Penerimaan dan biaya perkilogram pada harga sosial yang lebih rendah dibandingkan harga privatnya mengindikasikan bahwa harga dalam negeri lebih mahal dibandingkan dengan harga di pasar internasional yang salah satu penyebabnya adalah akses peternak terhadap informasi dan transportasi yang sulit untuk mencapai pasar output. Usaha pengemukan sapi potong Kabupaten Bojonegoro secara keseluruhan menerima kerugian pada harga privat, dan menguntungkan pada harga sosial.

Analisis Daya Saing Usaha Penggemukan Sapi Potong di Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur

Efisiensi komoditas pertanian merupakan salah satu parameter untuk menilai daya saing suatu produk pertanian. Efisiensi digunakan untuk merujuk pada sejumlah konsep yang terkait pada kegunaan pemaksimalan serta pemanfaatan seluruh sumber daya dalam proses produksi barang dan jasa. Produk yang berdaya saing sudah dapat dipastikan produk tersebut efesien, namun produk yang efisien belum tentu berdaya saing tanpa diimbangi dengan faktor eksternal yang mendukung. Bersamaan dengan hal itu metode PAM (Policy Analysis Matrix) mempunyai tujuan untuk menghitung tingkat keuntungan sosial yang

65 dihasilkan dengan menilai output dan biaya pada tingkat harga efisiensi (harga sosial), selain melihat efisensi daya saing dengan menggunakan metode PAM juga melihat keuntungan aktual, keunggulan kompetitif, dan keunggulan komparatif.

Analisis PAM untuk mengetahui daya saing usaha penggemukan sapi potong ini berawal dengan menghitung penerimaan, biaya, dan keuntungan usaha ternak, kemudian komponen input dibedakan menjadi input tradable dan non

tradable pada tingkat harga privat maupun harga sosial. Tahap selanjutnya menghitung tingkat keuntungan pada harga privat dan sosial, keuntungan privat dan sosial menjadi data untuk menghitung tingkat keunggulan komparatif dan kompetetif usaha penggemukan sapi potong. Berikut hasil perhitungan keuntungan privat dan sosial mengunakan metode PAM pada Tabel 13. Keuntungan pada harga privat adalah keuntungan pada kondisi adanya kebijakan pemerintah yang mendistorsi dan adanya pengaruh kegagalan pasar. Keuntungan diperoleh dengan mencari selisih antara penerimaan dengan total biaya baik input domestik maupun input asing, sedangkan keuntungan sosial adalah keuntungan pada alokasi terbaik dari sumberdaya dan tanpa adanya campur tangan kebijakan pemerintah, serta kegagalan pasar.

Tabel 13 Policy Analysis Matrix (PAM) usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur (Rp/Kg)

Uraian Penerimaan Biaya Keuntungan Input Tradable Faktor Domestik

Privat 101 716.26 1 003.00 106 128.65 - 5 415.39 Sosial 92 600.26 1 332.18 94 713.59 - 3 445.52 Dampak Kebijakan 9 116.00 -329.18 11 415.06 -1 969.88 Berdasarkan Tabel 13 dapat diketahui bahwa keuntungan privat dari usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Bojonegoro adalah - Rp5 415.39, hal ini berarti usaha penggemukan sapi potong pada harga privat tidak layak untuk diusahakan. Keuntungan sosial pada usaha penggemukan sapi potong ini adalah – Rp3 445.52, hasil ini mengindikasikan bahwa keuntungan usaha penggemukan pada harga sosial juga tidak layak diusahakan karena memiliki nilai keuntungan yang kurang dari 0. Keuntungan pada harga privat lebih rendah dibanding dengan harga sosial, hal ini disebabkan karena penerimaan pada harga privat yang lebih tinggi daripada harga sosial dan biaya pada harga sosial lebih rendah dibandingkan dengan biaya pada harga privat baik alokasi input domestik maupun asing.

Penerimaan yang lebih tinggi pada harga privat dibanding pada harga sosial disebabkan karena harga daging dalam negeri yang masih tinggi, namun harga daging dalam negeri yang tinggi ini tidak memberikan insentif dan keuntungan bagi peternak karena panjangnya rantai pemasaran dalam pemasaran sapi potong, penyebab lainnya diduga bahwa penerimaan pada harga privat yang tinggi dikarenakan adanya kebijakan pemerintah yang berupa pembatasan kuota dan penetapan tarif baik untuk sapi bakalan maupun daging sapi, sehingga ketersediaan daging dalam negeri berkurang dan peternak enggan untuk menjual ternaknya karena tidak menerima insentif, akibatnya harga daging dalam negeri

66

meningkat. Keuntungan privat yang lebih rendah disebabkan karena biaya pada harga privat lebih tinggi jika dibandingkan dengan harga sosial. Input tradable

atau input asing pada harga privat yang berupa sapi bakalan, pakan dan obat- obatan yaitu garam dan albenol harganya lebih mahal dibandingkan dengan harga sosialnya.

Keuntungan pada harga sosial bernilai kurang dari nol atau bernilai negatif yaitu sebesar - Rp3 445.52, hal ini berarti peternak mengalami kerugian pada harga sosial. Kerugian pada harga sosial disebabkan karena tingginya input baik pada input domestik maupun pada input asing. Alokasi input domestik pada harga sosial tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan input asingnya yaitu berupa input tenaga kerja dan bunga modal yang merupakan alokasi komponen biaya terbesar kedua dan ketiga dalam usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Bojonegoro. Biaya input baik domestik dan asing yang lebih rendah pada harga sosial menyebabkan keuntungan peternak pada harga sosial lebih tinggi dibandingkan dengan harga pasar atau aktualnya, namun jika dilihat dari tingkat keuntungannya baik pada harga privat maupun sosial usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Bojonegoro belum layak diusahakan, karena peternak harus membayar biaya yang lebih tinggi dibandingkan dengan penerimaan yang diterima.

Setelah menganalisis keuntungan privat (Privat Profit) dan keuntungan sosial (Social Profit), indikator daya saing selanjutnya dalam metode PAM adalah keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif. Keunggulan komparatif adalah keunggulan pada kondisi dimana suatu komoditas tidak terpengaruhi oleh kebijakan pemerintah ataupun kegagalan pasar, keunggulan komporatif dinilai pada tingkat harga sosial (harga bayangan). Keunggulan kompetitif adalah keunggulan pada kondisi dimana suatu komoditas dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah dan kegagalan pasar, keunggulan kompetitif ini dinilai pada tingkat harga privat atau harga aktual. Keunggulan komparatif diukur berdasarkan indikator DRC (Rasio Biaya Sumberdaya Domestik), sedangkan keunggulan kompetetif diukur berdasarkan indikator PCR (Rasio Biaya Privat). Nilai DRC yang lebih kecil daripada 1 mengindikasikan bahwa memiliki keunggulan komparatif dan faktor domestik digunakan secara efisien. Sedangkan nilai PCR yang lebih kecil daripada 1 mengindikasikan bahwa memiliki keunggulan kompetitif, yang secara harga privat menguntungkan. Hasil analisis indikator daya saing usaha pengemukan sapi potong di Kabupaten Bojonegoro dapat dilihat pada Gambar 9.

67

Gambar 9 Keunggulan komparatif dan kompetitif usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Bojonegoro

Nilai DRC (Domestic Ratio Cost) pada usaha penggemukan usaha sapi potong di Kabupaten Bojonegoro adalah sebesar 1.04, hal berarti bahwa usaha penggemukan sapi tidak memiliki keunggulan komparatif. Nilai tersebut menunjukan bahwa untuk mendapatkan 1 unit nilai tambah pada usaha penggemukan sapi diperlukan tambahan biaya input faktor domestik sebesar 1.04 satuan pada harga sosial. Sedangkan nilai PCR (Private Cost Ratio) adalah sebesar 1.05, hal ini berarti bahwa usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Bojonegoro tidak memiliki keunggulan kompetitif. Nilai PCR tersebut menunjukan bahwa untuk mendapatkan 1 unit nilai tambah/keuntugan pada usaha penggemukan sapi diperlukan tambahan biaya input faktor domestik sebesar 1.05 pada harga privat. Hasil analisis daya saing ini berbeda dengan hasil penelitian sebelumnya yang usaha penggemukan sapi potongnya berdaya saing baik secara komparatif maupun kompetitif (Indrayani 2011; Yuzaria dan Suryadi 2011; Rouf 2014), hasil analisis daya saing penggemukan sapi di Kabupaten Bojonegoro ini menghasilkan nilai PCR dan DRC yang lebih tinggi dari 1, yang dapat disimpulkan bahwa usaha tersebut tidak berdaya saing baik secara komparatif maupun kompetetif. Tidak berdaya saingnya usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Bojonegoro disebabkan karena tingginya biaya yang harus dibayar peternak baik pada harga pasar maupun harga sosialnya, walaupun tidak berdaya saing jika dibandingkan nilai DRC dan PCR pada usaha sapi potong ini diketahui bahwa nilai DRC lebih tinggi dibandingkan dengan nilai PCR nya artinya bahwa keunggulan kompetitif lebih rendah dibandingkan dengan keunggulan komparatif, hasil ini tidak berbeda dengan penelitian Rouf (2014) yang meneliti daya saing sapi potong di Kabupaten Gorontalo.

Keunggulan komparatif yang lebih tinggi dibandingkan keunggulan kompetitif disebabkan oleh berbagai faktor diantaranya adalah besarnya biaya pada harga privat. Harga privat input sapi potong masih tinggi sehingga menyebabkan adanya tambahan biaya untuk meningkatkan nilai tambahan 1 satuan. Komponen input sapi potong yang terbesar alokasinya adalah bakalan sapi. Harga pasar atau harga privat sapi bakalan dalam negeri lebih mahal dibandingkan dengan harga sapi bakalan impor. Harga pasar sapi bakalan di Bojonegoro adalah Rp31 352.02 per kg, sedangkan harga sosial untuk sapi bakalan adalah Rp31

1,04 1,05 1,03 1,03 1,04 1,04 1,05 1,05 1,06

Domestic Ratio Cost (DRC) Private Cost Ratio (PCR)

Un

68

290.49, selisih harga hanya sebesar Rp61.53 per kg namun jika dikalikan dengan bobot sapi biaya yang dikeluarkan juga akan lebih besar pada harga privat. Perbedaan besarnya biaya juga terdapat input sapi potong lainnya yaitu garam dan albenol pada harga privat lebih tinggi dibandingkan dengan harga sosialnya. Harga privat garam adalah Rp1 985.29 per kg sedangkan harga sosialnya adalah Rp1 161.45 per kg, untuk harga privat albenol Rp1 000 per kapsul sedangkan harga sosialnya adalah Rp933.96. Perbedaan harga input pada harga privat dan sosial ini dikarenakan, biaya logistik dari negara pengekspor ke Indonesia lebih murah dibandingkan dengan biaya logistik dari sentra sapi potong atau daging sapi Jawa Timur misalnya ke daerah konsumen seperti wilayah Jabodetabek dan Jawa Barat. Sehingga keunggulan kompetitif bisa dilakukan dengan memotong biaya logistik dengan penggunaan teknologi, alat angkut yang efisien serta akses transportasi yang memadai yang memungkinkan pengiriman daging sapi dari wilayah sentra produksi ke wilayah konsumen dapat berlangsung dalam waktu yang singkat.

Nilai DRC yang lebih tinggi daripada nilai PCR mengindikasikan bahwa kebijakan pemerintah pada tahun 2013 sampai 2014 belum mendukung usaha penggemukan sapi potong. Hal ini terkait dari adanya kebijakan pemerintah seperti pembatasan kuota yang tiap kuartal berubah dan penetapan tarif impor baik sapi bakalan maupun daging sapi sebesar 5 persen diduga menyebabkan ketersediaan daging sapi dalam negeri berkurang, karena daging lokal belum mampu untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri sehingga harga pasar sapi dalam negeri akan meningkat, sehingga diduga menyebabkan perbedaan antara harga pasar dan harga sosialnya. Kenaikan harga BBM bersubsidi pada akhir tahun 2014, juga menyebabkan dampak semakin tingginya biaya privat untuk mengusahakan sapi potong di Kabupaten Bojonegoro. Selain faktor-faktor diatas penyebab rendahnya keunggulan kompetitif sapi potong di Kabupaten Bojonegoro juga disebabkan oleh pertambahan bobot sapi yang cendurung lambat, dibandingkan dengan pertambahan bobot rata-rata sapi normal, rata-rata pertambahan bobot sapi pada sapi PO (Peranakan Ongole) di Kabupaten Bojonegoro adalah kurang dari 0.7 kg per hari. Padahal menurut Yulianto dan Cahyo (2011) untuk sapi jenis PO pertambahan bobot yang ideal untuk usaha penggemukan sapi adalah diatas 0.7 kg per hari, sedangkan untuk jenis sapi keturunan seperti sapi jenis Brahman, Simental, dan Limaosin pertambahan bobot sapi yang ideal adalah diatas 0.9 kg per hari, pertambahan bobot sapi juga berkaitan dengan produktivitas sapi dalam menghasilkan daging, untuk itu salah satu cara untuk meningkatkan keunggulan kompetitif adalah peningkatan produktivitas sapi dengan cara pemberian pakan yang berkualitas, yang seimbang antara pakan hijauan dan konsentrat serta ditunjang dengan vitamin sebagai pakan penguat.

Berdasarkan hasil analisis nilai PCR dan DRC yang lebih dari 1, yang berarti usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Bojonegoro tidak berdaya saing, mengindikasikan bahwa sesuai dengan konsep daya saing David Ricardo sebaiknya Pemerintah masih mempertahankan kebijakan impor baik berupa daging maupun sapi bakalan untuk memenuhi konsumsi daging dalam negeri. Bersamaan dengan kebijakan tersebut, harus diimbangi dengan kebijakan menyeluruh terkait perbaikan sistem agribisnis usaha penggemukan sapi potong dalam negeri, agar kedepannya diharapkan produksi dalam negeri mampu untuk memenuhi permintaaan konsumsi daging. Kebijakan tersebut dapat berupa

69 kebijakan terkait karaktersitik peternakan sapi di Indonesia yang merupakan peternakan rakyat dapat dibentuk melalui sistem kemitraan sehingga dapat

Dokumen terkait