• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Daya Saing Usaha Penggemukan Sapi Potong Di Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Daya Saing Usaha Penggemukan Sapi Potong Di Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur"

Copied!
110
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS DAYA SAING USAHA PENGGEMUKAN SAPI

POTONG DI KABUPATEN BOJONEGORO, JAWA TIMUR

RETNA DEWI LESTARI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Daya Saing Usaha Penggemukan Sapi Potong di Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2016

Retna Dewi Lestari

(4)

RINGKASAN

RETNA DEWI LESTARI. Analisis Daya Saing Usaha Penggemukan Sapi Potong di Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur. Dibimbing oleh LUKMAN MOHAMMAD BAGA dan RITA NURMALINA.

Sapi merupakan salah satu komoditas yang mempunyai potensi untuk dikembangkan di Indonesia. Populasi sapi potong skala peternakan rakyat mengalami peningkatan mulai tahun 2007 sampai tahun 2013 sebesar 3 188 juta ekor (Ditjennak 2014). Walaupun Indonesia memiliki potensi pengembangan peternakan, untuk pemenuhan konsumsi daging sapi dalam negeri masih dicukupi dengan daging sapi impor, tahun 2014 untuk konsumsi dan industri sebanyak 620 ribu ton, sedangkan produksi daging sapi sebanyak 539 ribu ton (86.93 persen), sehingga terdapat kekurangan penyediaan sebesar 81 ribu ton (13.07 persen). Dengan kondisi peternakan sapi yang belum mampu memenuhi kebutuhan daging dalam negeri pada era globalisasi ini, usaha peternakan di Indonesia dihadapkan pada perdagangan bebas, sehingga diharapkan produk-produk peternakan memiliki daya saing. Sentra populasi sapi potong terbesar berada di Provinsi Jawa Timur dengan Kabupaten Bojonegoro merupakan Kabupaten yang tingkat pertumbuhan populasi sapinya terbesar tahun 2009 sampai 2013 dibandingkan dengan Kabupaten lainnya di Provinsi Jawa Timur yaitu sebesar 13.99 persen.

Tujuan dari penelitian ini yaitu menganalisis daya saing dan dampak kebijakan pemerintah terhadap usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Bojonegoro. Analisis dan pengolahan data dilakukan secara kualitatif dan juga kuantitatif. Pengolahan data dengan metode kualitatif digunakan untuk menguraikan secara deskriptif gambaran umum lokasi penelitian dan usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Bojonegoro. Pengolahan data dengan metode kuantitatif menggunakan metode PAM (Policy Analysis Matrix). Penelitian ini dilakukan di di Desa Napis, Kecamatan Tambakrejo, Kabupaten Bojonegoro dengan responden peternak sebanyak 40 orang yang melakukan usaha penggemukan sapi potong. Data yang dikumpulkan merupakan data primer melalui teknik wawancara menggunakan kuisioner.

Berdasarkan analisis keuntungan diketahui bahwa keuntungan usaha pengemukan sapi potong di Kabupaten Bojonegoro pada harga privat dan harga sosial bernilai negatif yaitu masing-masing sebesar Rp5 415.39 per kilogram dan Rp3 445.52 per kilogram, hal ini menunjukan bahwa usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Bojonegoro tidak menguntungkan. Analisis daya saing dihitung dengan pendekatan keunggulan komparatif (Domestic Resources Cost Ratio) dan keunggulan kompetitif (Privat Cost Ratio), berdasarkan hasil penelitian nilai DRC dan PCR masing-masing adalah 1.04 dan 1.05, hasil ini menunjukan bahwa usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Bojonegoro tidak memiliki daya saing.

(5)

transfer output usaha pengemukan sapi di Kabupaten Bojonegoro lebih besar dari pada 0, yaitu sebesar Rp9 116.00, mengindikasikan bahwa peternak menerima harga output daging sapi lebih besar dari harga sosialnya. Secara keseluruhan, dampak kebijakan input-output usaha sapi potong di Kabupaten Bojonegoro belum mampu untuk mendukung daya saing usaha penggemukan sapi potong, ditunjukan dengan nilai transfer bersih –Rp1 969.88, nilai koefisien proteksi efektif (EPC) sebesar 1.10, nilai koefisien keuntungan (PC) sebesar 0.64, dan nilai rasio subsidi produsen (SRP) sebesar -0.02.

Berdasarkan hasil analisis sensitivitas dan elastisitas diketahui bahwa kebijakan yang paling peka dalam meningkatkan daya saing adalah kebijakan peningkatan PBBH (Pertambahan Bobot Badan Harian) sapi potong. Implikasi kebijakan yang dapat diterapkan agar usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Bojonegoro berdaya saing adalah dengan meningkatkan PBBH sebesar 17.33 persen atau setara dengan 0.11 kg per harinya dari PBBH sebelumnya yaitu 0.55 kg per hari, salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan pemberian input pakan dan konsentrat yang berkualitas. Selain itu berdasarkan karakterisitik peternak di Kabupaten Bojonegoro adalah masih rendahnya tingkat pendidikan dan pengalaman beternak maka diperlukan penyuluhan kepada peternak mengenai pentingnya pakan yang berkualitas dan untuk meningkatkan kemampuan peternak diperlukan adanya pelatihan dan pendampingan dari Pemerintah Kabupaten Bojonegoro terkait teknologi peningkatan kualitas pakan yaitu fermentasi jerami, fermentasi silase (pakan hijauan) seperti daun jagung dan daun tebu, sumplemen UMB (Urea Molasis Block) yang merupakan percampuran antara molase (tetes tebu) dengan urea, serta pemanfaatan limbah sapi untuk meningkatkan pendapatan peternak.

(6)

SUMMARY

RETNA DEWI LESTARI. Competitiveness Analysis Beef Cattle Fattening in Bojonegoro District, East Java. Supervised by LUKMAN MOHAMMAD BAGA and RITA NURMALINA.

Beef is one commodity that has the potential to be developed in Indonesia. Beef cattle population increased micro scale farm starting from 2007 until 2013 amounted to 3 188 million head (Ditjennak 2014). Although Indonesia has the potential for development of animal husbandry, for the fulfillment of the consumption of beef in the country remains satisfied with imported beef, in 2014 for consumption and industry as much as 620 thousand tons, while beef production as much as 539 thousand tonnes (86.93 percent), so that there is a deficiency of supply of 81 thousand tonnes (13.07 percent). With the condition of beef cattle that have not been able to the needs of domestic meat in this era of globalization, livestock operations in Indonesia are faced with free trade, so expect farm products competitive. The beef cattle population centers are Bojonegoro in East Java with a district that is the biggest beef population growth rate in 2009 until 2013 compared to other districts in East Java Province in the amount of 13.99 percent.

The purpose of this study is to analyze the competitiveness and impact of government policy on beef cattle fattening in Bojonegoro. Analysis and data processing is done qualitatively and quantitatively. Processing of data with qualitative methods are used for descriptive outlines a general overview of the study site and beef cattle fattening in Bojonegoro. Quantitative data processing methods using PAM (Policy Analysis Matrix). This research was conducted in the village Napis, Tambakrejo District, Bojonegoro with farmers respondents as many as 40 respondents doing beef cattle fattening. The data collected is of primary data through interview using a questionnaire.

Based on the analysis of the advantages in mind that profits fattening beef cattle in Bojonegoro in private and social price is negative, Rp5 415.39 per kilogram and Rp3 445.52 per kilogram, indicating that fattening beef cattle in Bojonegoro not profitable. Analysis of competitiveness calculated by the approach of comparative advantage (Domestic Resources Cost Ratio) and competitive advantage (Private Cost Ratio), based on the results of the research value of the DRC and PCR respectively 1.04 and 1.05, these results show that fattening beef cattle in Bojonegoro not competitiveness.

(7)

1.10, the value of gain coefficient (PC) at 0.64, and the ratio of subsidies producers (SRP) of -0.02.

Based on the analysis of sensitivity and elasticity is known that the most sensitive policy in improving competitiveness is the policy of increasing ADBW (Added Daily Body Weight) beef cattle. Policy implications that can be applied in order fattening beef cattle in Bojonegoro competitiveness is to increase PBBH of 17.33 percent, equivalent to 0.11 kg per day of ADBW previous 0.55 kg per day, one of the efforts that can be done is by providing input feed and quality concentrates. Also based on the characteristics of farmers in Bojonegoro is still low level of education and experience of breeding it is necessary to educate farmers about the importance of quality feed and to improve the ability of farmers needed training and assistance from the Government of Bojonegoro related technologies improve the quality of beef cattle feed is fermented straw, fermentation silage (forage) such as corn leaves and leaves of sugarcane, UMB suplements (Urea Molasis Block) which is a mixture of molasses with urea, as well as waste utilization beef cattle to increase the income of farmers.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

ANALISIS DAYA SAING USAHA PENGGEMUKAN SAPI

POTONG DI KABUPATEN BOJONEGORO, JAWA TIMUR

RETNA DEWI LESTARI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Agribisnis

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(10)

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Amzul Rifin, SP., MA

(11)

Judul Tesis Analisis Daya Saing Usaha Penggemukan Sapi Potong di Kabupaten Bojonegoro, J awa Timur

Nama NIM

Retna Dewi Lestari

H351130181

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

_.-t

Dr Ir Lukman M MAEc Ketua

Prof Dr Ir Rita MS

Anggota

Diketahui oleh

Ketua Proram Studi Agribisnis

·

Prof Dr Ir Rita Numalina, MS

Tangga1 Ujian: 16 Desember 2015

Sekolah Pascasarjana

(12)
(13)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2015 ini ialah daya saing, dengan judul Analisis Daya Saing Usaha Penggemukan Sapi Potong di Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Lukman M Baga, MAEc dan Ibu Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS selaku pembimbing yang telah memberikan arahan dan bimbingan sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Dr Amzul Rifin, SP., MA selaku penguji luar komisi dan Dr Ir Suharno, M.ADev selaku penguji dari program studi yang telah banyak memberi saran. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada bapak, ibu, nenek, mbak, mas, dan seluruh keluarga besar, serta sahabat-sahabat penulis atas segala doa, kasih sayang, dan dukungannya kepada penulis. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Dinas Peternakan Kabupaten Bojonegoro, KSU Lembu Seto Desa Napis dan Bapak Supriyanto beserta keluarga besar yang telah membantu selama pengumpulan data. Terakhir penulis sampaikan terima kasih atas segala doa dan dukungan kepada tim JAI, keluarga O61 dan rekan-rekan Magister Sains Agribisnis Angkatan IV. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2016

(14)
(15)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL viii

DAFTAR GAMBAR viii

LAMPIRAN ix

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 4

Tujuan Penelitian 6

Manfaat Penelitian 6

Ruang Lingkup Penelitian 7

2 TINJAUAN PUSTAKA 7

Kebijakan Pemerintah Terkait Peternakan Sapi Potong 7

Daya Saing Peternakan Sapi Potong 9

Pengaruh Kebijakan PemerintahTerhadap Daya Saing Ternak 11 Pengukuran Daya Saing dengan Analisis PAM (Policy Analysis Matrix) 12

3 KERANGKA PEMIKIRAN 14

Kerangka Pemikiran Teoritis 14

Perdagangan Internasional 14

Konsep Daya Saing 15

Keunggulan Komparatif 17

Keunggulan Kompetetif 18

Konsep Kebijakan Pemerintah 19

Kebijakan Pemerintah terhadap Barang Impor dan Hambatan (Retriksi) 22

Kebijakan Pemerintah pada Harga Input 24

Policy Analysis Matrix 26

Analisis Sensitivitas 27

Kerangka Pemikiran Operasional 28

4 METODE PENELITIAN 30

Lokasi dan Waktu Penelitian 30

Jenis dan Sumber Data 31

Metode Penentuan Responden 31

Metode Pengolahan dan Analisis Data 32

PAM (Policy Analysis Matrix) 32

Indikator Dampak Kebijakan Pemerintah 34

Penentuan Alokasi Komponen Input Output 36

Penentuan Harga Bayangan 37

Identifikasi Kebijakan 39

(16)

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 43

Gambaran Umum Wilayah Penelitian 43

Karakteristik Peternak Responden 45

Kepemilikan Ternak 48

Lama Penggemukan Sapi Potong 49

Keragaan Usaha Penggemukan Sapi Potong 50

Kesehatan Ternak dan Pertambahan Bobot Ternak 52

Saluran Pemasaran 53

Kebijakan Input Usaha Penggemukan Sapi Potong 55 Kebijakan Output Usaha Penggemukan Sapi Potong 58 Kebijakan Input Output Usaha Penggemukan Sapi Potong 59 6 ANALISIS DAYA SAING USAHA PENGGEMUKAN SAPI 60 Analisis Keuntungan Usaha Penggemukan Sapi Potong 60 Struktur Penerimaan dan Biaya Usaha Penggemukan Sapi 62 Analisis Daya Saing Usaha Penggemukan Sapi Potong di Bojonegoro 64 Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Daya Saing 68 Analisis Sensitivitas dan Elastisitas Usaha Penggemukan Sapi Potong 74

Implikasi Kebijakan 80

7 SIMPULAN DAN SARAN 82

Simpulan 82

Saran 83

DAFTAR PUSTAKA 84

LAMPIRAN 89

(17)

DAFTAR TABEL

1 Perkembangan produksi daging di Jawa Timur tahun 2011-2013 4 2 Klasifikasi kebijakan harga pada komoditas pertanian 20 3 Populasi sapi potong dan produksi daging di Kabupaten Bojonegoro

tahun 2013 30

4 Policy Analisis Matrix (PAM) 33

5 Alokasi komponen input dan output 36

6 Identifikasi kebijakan pemerintah terkait usaha penggemukan sapi

potong 40

7 Penggunaan lahan di Kecamatan Tambakrejo, Bojonegoro 45 8 Karakteristik peternak responden di Kabupaten Bojonegoro 46 9 Sebaran peternak menurut kepemilikan ternak sapi potong di

Kabupaten Bojonegoro 48

10 Lama penggemukan sapi potong di Kabupaten Bojonegoro 49 11 Keuntungan usaha penggemukan sapi potong di Bojonegoro 61 12 Struktur penerimaan dan biaya usaha penggemukan sapi potong 63 13 PAM usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Bojonegoro 65 14 Hasil indikator dampak kebijakan input terhadap usaha pengemukan

sapi potong di Kabupaten Bojonegoro 69

15 Indikator dampak kebijakan output terhadap usaha penggemukan sapi

potong di Kabupaten Bojonegoro 70

16 Indikator dampak kebijakan input-output terhadap usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Bojonegoro 71 17 Dampak perubahan input dan output terhadap keuntungan privat dan

sosial usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Bojonegoro 72 18 Dampak perubahan input dan output terhadap daya saing usaha

penggemukan sapi potong di Kabupaten Bojonegoro 75 19 Dampak perubahan input dan output terhadap daya saing usaha

penggemukan sapi potong di Kabupaten Bojonegoro 76 20 Elastisitas perubahan daya saing terhadap harga output dan input 79 21 Analisis switching value PBBH untuk mencapai daya saing 79

DAFTAR GAMBAR

1 Dampak subsidi positif terhadap produsen dan konsumen barang

impor 22

2 Kebijakan hambatan perdagangan barang impor dan barang ekspor 24 3 Penerapan kebijakan sajak dan subsidi pada input tradable 24 4 Penerapan kebijakan pajak dan subsidi pada input non tradable 26 5 Kerangka pemikiran daya saing ternak sapi potong di Kabupaten

Bojonegoro 29

(18)

9 Keunggulan komparatif dan kompetitif usaha penggemukan sapi

potong di Kabupaten Bojonegoro 67

DAFTAR LAMPIRAN

1 Perhitungan standar convertion factor dan shadow price exchange rate,

tahun 2014 89

2 Penentuan harga bayangan sapi bakalan 89

3 Penentuan harga bayangan sapi hidup 90

4 Penentuan harga bayangan daging sapi 90

5 Penentuan harga bayangan bensin 90

6 Penentuan harga bayangan garam 90

7 Penentuan harga bayangan vitamin b complex 91

(19)

1

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sapi merupakan salah satu komoditas yang mempunyai potensi untuk dikembangkan di Indonesia. Hal ini didukung dengan adanya sumber daya alam yang berlimpah, seperti untuk pakan dan daya dukung dari segi iklim tropis yang cocok untuk peternakan sapi. Selain didukung dengan kondisi alam yang cukup baik, permintaan akan pangan hewani asal ternak seperti daging sapi, cenderung meningkat sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk, pendapatan, kesadaran gizi, dan perbaikan tingkat pendidikan. Berdasarkan pangsa konsumsi daging penduduk Indonesia pada tahun 2013 (BPS 2014), daging sapi menempati posisi ketiga yaitu sebesar 16.16 persen, sedangkan konsumsi daging unggas sebesar 56.98 persen, kemudian sisanya 26.86 merupakan konsumsi daging ternak lainnya.

Populasi sapi potong skala peternakan rakyat mengalami peningkatan mulai tahun 2007 sampai tahun 2013 sebesar 3 188 juta ekor (Ditjennak 2014). Sementara itu secara nasional berdasarkan data BPS 2014 kebutuhan daging sapi tahun 2014 untuk konsumsi dan industri sebanyak 620 ribu ton, sedangkan produksi daging sapi sebanyak 539 ribu ton (86.93 persen), sehingga terdapat kekurangan penyediaan sebesar 81 ribu ton (13.07 persen). Kekurangan ini dipenuhi dari impor berupa sapi hidup dan daging sapi yaitu sapi hidup sebanyak 296 ribu ekor (setara dengan daging 52 ribu ton) dan impor daging sapi beku sebanyak 29 ribu ton.

Berdasarkan data tersebut untuk pemenuhan konsumsi daging sapi dalam negeri masih dicukupi dengan daging sapi impor. Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah agar Indonesia tidak semakin tergantung dengan impor daging sapi, yaitu salah satunya dengan pencanangan PSDSK (Program Swasembada Daging Sapi dan Kerbau). PSDSK yang dicanangkan untuk dicapai pada tahun 2014 merupakan bagian dari sasaran utama pembangunan pertanian periode 2010-2014. Berbagai peraturan telah dikeluarkan pemerintah untuk mendukung PSDSK. Demikian juga berbagai program di daerah dibuat untuk meningkatkan populasi sapi demi keberhasilan PSDSK. Peningkatan populasi sapi melalui upaya perbenihan, khususnya inseminasi buatan (IB), masih merupakan pilihan utama disamping pembibitan rakyat dengan cara alami (VBC), (Reza 2012). Namun, pada kenyataannya PSDSK yang dicanangkan Pemerintah, dirasakan masih sulit untuk menjadikan Indonesia berswasembada daging tahun 2014. Pada tahun 2013 impor sapi hidup adalah 130 041 ton atau senilai dengan 338 juta U$D, dan untuk impor daging sapi yaitu sebesar 48 000 ton yang senilai dengan 223 U$D (Basis Data Ekspor-Impor Deptan 2014).

PSDSK 2014 sebenarnya merupakan program lanjutan yang telah dicanangkan sebelumya sejak tahun 2001-2005. Pada waktu itu, program bernama Program Kecukupan Daging Sapi yang diartikan tersedianya secara cukup pangan hewani berupa ternak khususnya daging sapi sampai tingkat rumah tangga. Pengertian ketersediaan tersebut adalah paling tidak 90 persen tersedia dari supply

(20)

2

Pada kenyataannya tanda-tanda keberhasilan PSDSK 2014 belum tercapai sampai sekarang. Jumlah populasi sapi potong di Indonesia tersisa hanya 12.68 juta ekor. Ini berarti penurunan 24.07 persen bila dibanding angka populasi sapi pada 2011 yang mencapai 16.70 juta ekor (Sensus Pertanian 2013). Dalam dua tahun, populasi sapi berkurang 4.02 juta ekor. Hal ini terjadi diduga terkait dengan kebijakan Kementerian Pertanian yang memperketat impor sapi bakalan mau pun sapi potong. Akibatnya, permintaan yang meningkat menyebabkan sapi yang dipotong jauh lebih banyak daripada sapi yang lahir. Peternak di daerah sentra sapi saat ini enggan menjual sapi karena harganya yang rendah. Para peternak mengeluhkan hal ini karena insentif pasar yang sangat rendah membuat peternak enggan beternak sapi. Mereka menahan sapinya untuk menunggu sampai harga membaik. Harga yang rendah dan lesunya transaksi penjualan sapi ini ditengarai karena adanya stock sapi dalam negeri yang berlebihan akibat impor. Di balik pesatnya impor sapi bakalan dan sapi siap potong, sektor ini diduga telah menjadi penyebab tidak berkembangnya peternakan rakyat, padahal dengan adanya bakalan impor dapat menjadi pengendali terhadap pengurasan sapi impor yang jumlahnya semakin menurun karena pemotongan yang tidak terkendali termasuk pemotongan sapi betina produktif.

Permintaan, dan konsumsi daging sapi yang berfluktuasi, bahkan cenderung meningkat menyebabkan harga daging sapi juga akan meningkat. Pada tahun 2010 sampai 2012 harga daging sapi rata rata meningkat yaitu sebesar 12.3 persen, dan pada tahun 2012 akhir sampai tahun 2014 harga daging sapi meningkat cukup tajam yaitu 22.5 persen, dengan harga tertinggi terjadi bulan oktober 2014 yaitu mencapai Rp102 000,00 per kilogramnya (Kemendag, 2015). Harga daging sapi yang meningkat ini seharusnya bisa memacu peternak lokal, namun kenyataan malah sebaliknya kenaikan harga daging tidak membuat peternak terpacu untuk meningkatkan kuantitas ternaknya, hal ini terjadi karena tidak adanya insentif dari Pemerintah, sehingga dari segi penawaran dari peternak lokal masih cukup rendah. Selain jumlah permintaan dan penawaran daging sapi yang tidak seimbang, peternakan sapi di Indonesia masih didominasi oleh peternakan rakyat. Secara teoritis, relatif mahalnya harga daging sapi di pasar domestik akan merangsang produsen sapi potong untuk meningkatkan produksinya. Fenomena ekonomi ini tampaknya tidak berjalan pada peternak rakyat. Hal ini banyak disebabkan karena usaha sapi potong bagi peternak rakyat masih bersifat sambilan dan cenderung berfungsi sebagai tabungan dan atau status sosial. Pada pola dan peran usaha sapi potong peternak rakyat yang pengambilan keputusan bagi peternak rakyat, melainkan lebih banyak ditentukan oleh pertimbangan non ekonomi.

(21)

3 penyebab fluktuasi harga daging sapi tidak responsif terhadap penawaran domestik daging sapi.

Pada era globalisasi saat ini, melihat kondisi usaha peternakan yang demikian tentunya usaha peternakan di Indonesia dihadapkan pada persaingan yang makin ketat. Di dalam negeri sendiri, usaha peternakan rakyat yang mengusahakan secara komersial dihadapkan pada usaha penggemukan sapi (feedlot) pada tingkat perusahaan yang mengaplikasikan teknologi pakan dalam usahanya. Sedangkan di luar negeri, perdagangan bebas menjadi salah satu tantangan terbesar produk-produk peternakan Indonesia seperti daging sapi dan susu. Tahun 2015 Indonesia dihadapkan pada MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN), yang merupakan kesepakatan antar Negara ASEAN termasuk Indonesia untuk menyatukan perekonomian ASEAN yang berarti menyepakati pembebasan arus barang, jasa, tenaga kerja, investasi, dan modal. Selain itu kesepakatan di bidang Pertanian (Agreement on Agriculture, AoA), yang merupakan bagian dari Kesepakatan Umum di bidang Tarif dan Perdagangan (General Agreement on Tarif and Trade, GATT), dalam wadah Organisasi Perdagangan Dunia (World

Trade Organization),dan kebijakan pembentukan kawasan perdagangan bebas

ASEAN Australia Selandia Baru (Agreement Establishing the ASEAN Australia

New Zealand Free Trade Area) adanya pembebanan tariff bea masuk atas barang

impor berdasarkan Harmonized System Tahun 2012 dari Negara anggota ASEAN, Australia, dan Selandia Baru, kemudian dalam rangka AANZFTA mulai pada tahun 2014 sampai dengan tahun 2020 telah disepakati skema penurunan tarif bea masuk. Adanya berbagai kesepakatan perdagangan yang diikuti oleh Indonesia memberikan sinyal bahwa produk-produk pertanian termasuk produk perternakan harus memiliki daya saing, untuk menghadapi persaingan bebas secara global. Sesuai dengan kondisi tersebut maka diperlukan penelitian daya saing sapi potong di daerah sentra, yang bertujuan untuk mengetahui, menganalisis, dan implikasi kebijakan apa yang tepat untuk meningkatkan daya saing komoditas sapi potong di daerah sentra.

(22)

4

Tabel 1 Pertumbuhan populasi sapi di kabupaten sentra, Provinsi Jawa Timur tahun 2009-2013

Keterangan 2009 2010 2011 2012 2013 Growth(%)

1. Sumenep 296 978 316 571 357 038 360 862 349 095 4.02 2. Tuban 221 122 202 835 312 013 314 810 311 359 11.33 3. Probolinggo 188 929 177 170 287 480 296 867 239 564 10 4. Jember 225 417 237 675 324 230 350 170 217 763 3.01 5. Malang 142 344 147 865 225 895 240 746 189 145 10.44 6. Bondowoso 164 316 172 877 203 735 212 621 188 740 4.04 7. Bangkalan 155 454 164 201 193 576 205 157 186 027 5.04 8. Kediri 114 751 123 954 138 139 217 943 141 727 10.56 9. Sampang 123 597 176 076 196 414 196 807 140 849 6.44 10. Bojonegoro 127 624 182 297 290 879 201 992 170 037 13.99 Sumber : BPS, Jawa Timur Dalam Angka Tahun 2012-2014 (Diolah)

Berdasarkan Tabel 1 dapat diketahui bahwa Kabupaten Bojonegoro merupakan Kabupaten yang tingkat pertumbuhan populasi sapinya terbesar tahun 2009 sampai 2013 dibandingkan dengan Kabupaten lainnya di Provinsi Jawa Timur. Bojonegoro juga merupakan satu dari dua Kabupaten di Provinsi Jawa Timur yang dijadikan sebagai Kabupaten penerapan Sistem Integrasi Padi-Sapi (SIPT) yang berlangsung selama 2 tahun yaitu tahun 2004 sampai 2005. Selain itu Kabupaten Bojonegoro juga merupakan daerah yang terpilih menjadi Klaster Pembibitan Sapi Potong Lokal Nasional pada tahun 2011 sampai 2013 yang diadakan oleh Bank Indonesia Surabaya. Kemudiaan pada tahun 2014 ini Kabupaten Bojonegoro bekerjasama dengan PSP3 IPB (Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Perdesaan) dalam rangka pengadaan Sekolah Peternak Rakyat (SPR) yang bertujuan untuk meningkatkan populasi sapi impor dan menjaga indukan lokal agar tidak punah, serta berusaha meningkatkan kesejahteraan peternak lokal melalui aliansi bisnis dan peternak yang berdaulat. Banyaknya program untuk peternak sapi potong yang diselenggarakan di Kabupaten Bojonegoro, harus diimbangi dengan kualitas usaha sapi tersebut. Apabila jumlah populasi sapi potong meningkat namun tidak diimbangi dengan adanya daya saing maka produk-produk peternakan lokal di Indonesia tidak akan mampu bersaing dengan produk peternakan impor, untuk itu penting untuk diteliti daya saing sapi potong skala peternakan rakyat di Kabupaten Bojonegoro. Diharapkan dengan produk-produk peternakan yang berdaya saing mampu mengurangi impor, dan Indonesia mampu memenuhi kebutuhan dan permintaan daging sapi dalam negeri.

Perumusan Masalah

(23)

5 Indonesia mayoritas merupakan peternak dengan skala kecil. Terlebih lagi, di Indonesia tidak ada wadah yang cukup kuat untuk mengorganisir peternak-peternak kecil tersebut. Akibatnya, peternak-peternak kecil tidak mempunyai daya tawar yang kuat.

Pada era perdagangan bebas seperti ini, diharapkan produk-produk peternakan di Indonesia mempunyai daya saing dengan produk-produk impor. Pada tahap awal Indonesia harus mampu memenuhi kebutuhan daging sapi dalam negeri, dengan cara memperbanyak populasi sapi dalam negeri yang berkualitas, sehingga semakin memperkecil jumlah impor daging sapi. Namun pada kenyataannya sapi-sapi potong skala peternakan rakyat masih belum berdaya saing jika dilihat dari sisi harga, seperti salah satunya yang terjadi di Kabupaten Bojonegoro. Berdasarkan informasi yang didapat di lokasi penelitian, bahwa harga sapi impor yaitu rata-rata berkisar Rp34 000 per kilogram bobot hidup, sedangkan untuk sapi impor hidup yaitu berkisar antara Rp30 000 sampai Rp31 000. Dalam kondisi seperti ini mengharuskan peternak untuk dapat menawarkan sapi potong dengan kualitas yang baik dan harga bersaing. Selain masalah tersebut peternak dihadapkan pada sulitnya mendapatkan akses permodalan, ada berbagai lembaga seperti Bank Indonesia dan PT. Petrokimia Gresik yang menginvestasikan dananya untuk pengembangan klaster sapi potong di Desa Napis, Kecamatan Tambakrejo, pada tahun 2012 lalu sampai sekarang. Namun Kecamatan yang lain belum mendapatkan bantuan permodalan tersebut. Untuk itu perlu dilakukan peningkatkan daya saing, agar investor tertarik untuk menanamkan modal pada usaha penggemukkan sapi potong di Kabupaten Bojonegoro. Jika dilihat pada pertumbuhan populasi yang meningkat pada tahun 2009 sampai 2013 (Tabel 1) di Kabupaten Bojonegoro, diharapkan kondisi ini dapat memacu meningkatnya daya saing sapi potong.

(24)

6

tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan RI Nomor 46/MDAG/PER/8/2013, dan Nomor 24/MDAG/PER/89/2011, serta Keputusan Menteri Perdagangan RI Nomor 699/MDAG/KEP/7/2013, yang mengatur mengenai penghapusan peraturan pembatasan kuota impor sapi hidup dan daging sapi, juga belum dirasakan memihak ke peternak.

Kebijakan penghapusan kuota impor daging hanya bertahan beberapa bulan saja, pada pertengahan tahun 2014 pemerintah mengeluarkan pelaksanan kebijakan pembatasan kuota kembali yang dilakukan sejak tahun 2011, pembatasan kuota ini dilakukan secara bertahap sampai pada tahap yang disesuaikan dengan kondisi ketersediaan daging sapi di dalam negeri, sejak tahun 2011 sampai tahun 2013 kuota impor terus dikurangi namun pada tahun 2014 kuota impor daging sapi meningkat mencapai 70 000 ton daging beku. Besarnya jumlah impor daging sapi beku ini diakibatkan dari permintaan daging sapi dari sektor industri, perhotelan, catering, dan restoran yang sangat tinggi yaitu sebesar 63 800 ton daging beku (BPS 2015), untuk permintaan daging sapi rumah tangga sebenarnya sudah dipenuhi dari produksi daging dalam negeri dan impor sapi hidup, namun karena banyaknya permintaan untuk sektor industri dan perhotelan maka impor daging beku sangat diperlukan. Kondisi defisit daging seperti inilah yang belum bisa dipenuhi dari produksi peternak lokal, sehingga diharapkan dengan berdaya saingnya usaha sapi potong dapat memenuhi kebutuhan daging dalam negeri, dengan berdaya saing artinya usaha tersebut sudah mencapai tingkat efisiensi. Berdasarkan permasalahan yang dihadapi peternak, maka penting untuk menganalisis daya saing sapi potong skala peternakan rakyat di Kabupaten Bojonegoro. Permasalahan dapat dirumuskan sebagai berikut :

1. Apakah usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Bojonegoro sudah berdaya saing?

2. Bagaimana dampak kebijakan pemerintah terhadap usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Bojonegoro?

3. Bagaimana dampak perubahan harga input output dan faktor lain terhadap daya saing usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Bojonegoro?

Tujuan Penelitian

Terkait dengan pertanyaan-pertanyaan yang melandasi dilakukannya penelitian, maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Menganalisis daya saing usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Bojonegoro.

2. Menganalisis dampak kebijakan pemerintah terhadap usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Bojonegoro.

3. Menganalisis pengaruh perubahan harga input output dan faktor lain terhadap daya saing usaha penggemukan sapi potong di Kabupaten Bojonegoro.

Manfaat Penelitian

(25)

7 diharapkan dapat memberikan informasi kepada peternak terkait tingkat daya saing usaha penggemukan sapi potong yang dijalankan sehingga ada upaya untuk melakukan perbaikan kedepannya. Bagi peneliti, penelitian ini dapat dijadikan rujukan untuk melakukan penelitian yang lebih lanjut mengenai daya saing usaha peternakan khususnya usaha sapi potong.

Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini adalah menganalisis daya saing komoditas sapi potong yang meliputi daya saing komparatif dan kompetitif melalui indikator perhitungan nilai sumberdaya domestic (DRC), Private Cost Ratio (PCR), analisis efisiensi yang berupa keuntungan privat maupun sosial, dan dampak kebijakan pemerintah terhadap daya saing sapi potong di Kabupaten Bojonegoro. Penghitungan keunggulan komparatif melalui indikator DRC (Domestic Resource Cost) menggunakan satuan per Kg (Kilogram) daging sapi. Penelitian ini meneliti daya saing usaha penggemukan sapi potong pada skala peternakan rakyat bukan tingkat perusahaan (pengolahan) baik usaha utama bagi peternak maupun usaha sampingan. Analisis kualitatif yang berupa analisis agribisnis usaha ternak sapi potong di Kabupaten Bojonegoro, hanya sebatas untuk mengetahui potensi dan informasi penting terkait agribisnis usaha ternak sapi potong.

2 TINJAUAN PUSTAKA

Kebijakan Pemerintah terkait Peternakan Sapi Potong

Suatu kebijakan sangat diperlukan dalam mengatur dan menunjang berjalannya suatu sistem agribisnis, salah satunya dalam agribisnis sapi potong. Kebijakan merupakan suatu upaya Pemerintah dalam mengatasi permasalahan di dalam suatu negara, dan sudah seharusnya mendukung kepentingan rakyat kecil. Beberapa penelitian menunjukan bahwa kebijakan pemerintah yang tepat dapat mengatasi permasalahan yang dihadapi peternak rakyat, seperti yang diungkapkan oleh Maltsoglou dan George (2010) bahwa kebijakan pemerintah Vietnam dalam sektor peternakan menurunkan tingkat kemiskinan peternak hingga 20 persen, kebijakan tersebut berupa keharusan peternak untuk mengkomersilkan dan mendifersivikasikan usaha ternaknya. Selain itu kebijakan juga merupakan alat Pemerintah dalam menyelesaikan konflik yang dialami peternak, seperti yang diungkapkan oleh Kim et al. (2009) bahwa kebijakan Pemerintah North Carolina yang membagi kawasan peternakan menjadi berbagai level (26 Craven County) dan membatasi pengeluaran biaya untuk pakan konsentrat dalam wadah parcel, kebijakan ini mengurangi konfik antara masyarakat dengan peternak. Kebijakan yang terkait dalam mendukung suatu program harus tepat, sehingga dapat tepat sasaran.

(26)

8

Pemerintahan setempat sangat mempengaruhi kehidupan peternak yang rata-rata masih hidup dalam kemiskinan, seperti penelitian yang dilakukan oleh Martha (2011) bahwa kebijakan pemerintah Burkina Faso yaitu membentuk kebijakan yang membatasi kontribusi distribusi ternak. Selain itu organisasi dan asosiasi yang terbentuk tidak mampu memenuhi kebutuhan peternak dan kurang memberikan pelayanan yang nyata kepada para anggotanya. Namun hanya ada dua asosiasi yang sedikit mempunyai peranan yaitu asosiasi regional dan asosiasi perkotaan yang secara signifikan meningkatkan akumulasi sumber daya peternak. Seperti halnya yang terjadi di Filipina, penelitian yang dilakukan oleh Lapar et al.

(2003), hasil menunjukan bahwa kebijakan yang ada menghambat peternak dalam mengikuti program. Kemudian partispasi peternak juga ditentukan oleh preferensi pasar. Hasil-hasil penelitian diatas menunjukan bahwa kebijakan pemerintah tidak semuanya memberikan dampak yang baik, akan tetapi juga ada yang menghambat.

(27)

9 Kelima, kebijakan kuota menghambat gairah persaingan antara daerah produksi sehingga tidak mendorong perbaikan mutu.

Tidak jauh berbeda dengan negara berkembang seperti Bangladesh kebijakan di sektor peternakan menjadi alat untuk mengembangkan sektor pertanian yang pada akhirnya berdampak pada kesejahteraan peternak, seperti kajian yang dilakukan oleh Shamsuddoha (2009) bahwa perubahan kebijakan Pemerintah Bangladesh yang mendorong LSM dan sektor swasta untuk ikut dalam pengembangan peternakan di Bangladesh. Kebijakan pemerintah Bangladesh tersebut berupa penerapan program BRAC (Bangladesh Rural

Advancement Committee), kebijakan ini memberikan dampak yang positif berupa

peningkatan kesejahteraan bagi peternak yang rata-rata merupakan keluarga miskin. Dampak kebijakan peternakan yang tepat selain untuk kesejahteraan petani juga mengakibatkan kemudahan bagi peternak dalam mengakses informasi pasar, kredit, akses lahan dan lainya. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Benin

et al. (2001) bahwa kebijakan Pemerintah Ethiopia yang terdiri dari tiga program yaitu ACSI (Amhara Credit and Saving Institution), PADETES (Participatory Agricultural Demonstration Extennsion and Training System), dan program dari BOA (Bereau of Agriculture), hanya 1 program yang memberikan dampak positif kepada peternak yaitu adalah program PADETES. Program PADETES sangat bermanfaat bagi peternak di Ethiopia dalam mengakses informasi pasar dan kredit sehingga usaha ternak yang dijalankan semakin berkembang.

Revitalisasi kebijakan peternakan juga terjadi di negara Yunani, yang dulu merupakan negara maju semenjak tahun 2007 kembali menjadi negara berkembang, perubahan ini mengakibatkan adanya revitalisasi kebijakan peternakan. Berdasarkan penelitian dari Andreopoulou et al. (2014) kebijakan pemerintah Yunani yaitu CAP (Common Agricultural Policy) yang merupakan bagian dari program Uni Eropa pada tahun 2003 kemudian direvitalisasi menjadi EDA (Evaluation of the Implementation of the Farm Advisory System) memberikan dampak yang baik kepada peternak, dibuktikan melalui keterlibatan peternak dalam program konsultasi dan informasi yang dibentuk oleh pemerintah Yunani. Jumlah peternak yang mengikuti program tersebut adalah 67 persen dari total responden sedangkan sisanya 37 persen peternak masih merasa ragu dalam mengikuti program konsultasi peternakan tersebut. Peternak yang mengikuti program konsultasi tersebut mendapatkan manfaat konsultasi permasalah peternak dalam berbagai hal seperti inovasi, pemasaran, kewirausahaan, informasi pasar ternak dan masalah-masalah lainnya secara gratis.

Daya Saing Peternakan Sapi Potong

(28)

10

melimpah melalui sistem penggembalaan dan tanaman Sistem ternak dapat memberikan keunggulan komparatif ; (2) jenis sapi potong yang dipelihara mampu berdaya saing (3) upah tenaga kerja secara bersamaan dapat membuat daya saing ; (4) faktor teknologi di tingkat petani menunjukkan bahwa semakin tinggi teknologi yang diterapkan akan membuat daya saing meningkat; dan (5) jumlah petani. Penelitian yang ada menunjukkan bahwa usaha penggemukan sapi di beberapa tempat di Indonesia telah memiliki daya saing yang baik (DRC lebih kecil daripada 1), tetapi di beberapa daerah, nilainya mendekati satu (kurang kompetitif). Oleh karena itu, dalam rangka meningkatkan daya saing, perumusan dan pelaksanaan kebijakan pertanian subsektor harus dianggap sebagai suatu sistem termasuk hulu ke hilir subsistem sehingga diharapkan koordinasi dan sinergi kebijakan antar pemangku kepentingan dan pelaku ekonomi akan lebih baik.

Penelitian di Indonesia mengenai daya saing usaha ternak sapi potong di Kabupaten Agam, Provinsi Sumatera Barat dilakukan oleh Indrayani (2011) meneliti di Kecamatan Puar dan Kecamatan Tilatang Kamang, hasil penelitian menunjukkan bahwa peternak di kedua lokasi penelitian memiliki keunggulan kompetitif (PCR lebih kecil daripada 1) dan komparatif (DRC lebih kecil daripada 1). Nilai PCR untuk Kecamatan Sungai Puar adalah 0.856 dan Kecamatan Tilatang Kamang 0.725, yang menunjukkan bahwa masing-masing peternak hanya mengeluarkan tambahan biaya kurang dari satu untuk dapat bersaing dengan produk sejenis. Nilai indikator keunggulan komparatif yang dilihat dari nilai DRC, diperoleh 0.947 untuk Kecamatan Sungai Puar dan 0.812 untuk Kecamatan Tilatang Kamang. Hal ini berarti di Kabupaten Agam akan lebih menguntungkan jika kebutuhan sapi potong dipenuhi dari pengusahaan sendiri dari pada mengimpornya. Berdasarkan nilai DRC yang diperoleh dikedua kecamatan menunjukkan Kecamatan Tilatang Kamang lebih unggul secara kompetitif dan komparatif dibandingkan Kecamatan Sungai Puar.

Penelitian yang sama juga dilakukan oleh Marques et al. (2011) pada peternak sapi potong di Rio Grande do Sul State, Brazil, yang hasil penelitiannya menunjukkan bahwa daya saing usaha ternak sapi potong ditentukan oleh

Technology (TEC), management (MAN), market relationships (MR) and

(29)

11 inefisiensi ini ditentukan oleh pendidikan, jarak ke pasar, ukuran pasar, akses informasi dan akses terhadap penghasilan dari produksi tanaman.

Berdasarkan hasil dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa akses pasar mempunyai peranan yang penting terhadap daya saing usaha ternak sapi potong, namun akses non pasar (produksi) ternyata juga signifikan mempengaruhi daya saing usaha ternak seperti hasil penelitian dari Ouma et al. (2004) terhadap 250 peternak rakyat Kenya yang terbagi menjadi tiga sistem usaha (intensif, semi intensif, dan ekstensif) untuk menilai kontribusi keuntungan non pasar ternak untuk daya saing dan kelangsungan hidup petani kecil. Hasil menunjukkan bahwa hingga 50 sampai 70 persen perolehan manfaat dari sistem ternak petani yang berorientasi non-pasar. Analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa sistem produksi ternak petani relatif kompetitif dan efisien dalam pemanfaatan faktor-faktor produksi rumah tangga, ketika manfaat non pasar dipertimbangkan, khususnya bagi sistem yang luas yang berorientasi non pasar.

Pengaruh Kebijakan Pemerintah Terhadap Daya Saing Ternak

Kebijakan merupakan kebutuhan bagi setiap negara, khususnya dalam konteks pemerintahan. Kebijakan dapat mendorong atau menekan aktivitas masyarakat pada satu negara. Keunggulan suatu negara ditentukan oleh keunggulan kebijakannya, dengan demikian daerah yang unggul adalah daerah yang mempunyai kebijakan publik yang tepat (effectiveness, efficiency, responsiveness, equity, accountability, rule of law). Kebijakan publik tertinggi di daerah adalah peraturan daerah. Peran setiap negara/daerah (Pemerintah Pusat /daerah) semakin penting, dalam rangka membangun daya saing global bagi negara atau daerahnya. Pencapaiannya sangat bergantung pada kebijakan publik yang ditetapkan. Pada hakekatnya kebijakan publik adalah intervensi pemerintah yang bertujuan untuk mengubah yang ada atau mempengaruhi arah dan kecepatan dari perubahan yang sedang berlangsung dalam masyarakat, guna mewujudkan kondisi yang diinginkan. Intervensi itu dilakukan melalui suatu atau serangkaian strategi kebijakan dengan menggunakan berbagai instrumen kebijakan (Bachtiar 2005). Kebijakan yang tepat akan menciptakan keunggulan yang berdaya saing, seperti yang terjadi di Perancis, penelitian yang dilakukan oleh Brette dan Yves (2007) menunjukan hasil bahwa kebijakan baru Pemerintah Perancis mengenai Pengembangan dan Perencanaan Regional (CIADT), semenjak dua tahun diimplementasikan mendapatkan hasil 67 klaster industri yang berdaya saing dari 105 proyek klaster yang dibentuk. Klaster industri yang berdaya saing tersebut telah melakukan inovasi dan penelitian untuk mengembangkan usahanya. Selain itu klaster yang berdaya saing juga memiliki hubungan mitra yang baik dengan para peternak dan petani yang merupakan penyedia bahan mentah untuk klaster industri.

Intervensi pemerintah dalam bentuk kebijakan merupakan salah satu upaya pemerintah dalam meningkatkan daya saing usaha ternak rakyat. Penelitian pengaruh kebijakan pemerintah terhadap daya saing usaha ternak diteliti oleh Kavcic dan Emil (2003) pada peternak di Slovenia. Terdapat tiga skenario yaitu

(30)

12

meningkatkan pendapatan agregat dengan perubahan moderat pada komoditas dasar. Diskriminasi negara aksesi di bidang pembayaran langsung dan sektor hilir non-kompetitif diasumsikan oleh skenario EuP memburuk situasi pendapatan produsen dalam negeri. Bagi banyak komoditas, daya saing industri pengolahan makanan dengan asumsi tingkat harga yang berbeda untuk bahan baku bisa berdampak lebih besar pada situasi ekonomi ternak produksi dari lingkungan kebijakan pertanian itu sendiri. Intervensi kebijakan juga dilakukan Pemerintah Amerika Selatan dalam meningkatkan tingkat daya saing produk pertaniannya. Seperti penelitian yang dilakukan Jolly et al. (2007) yang hasil penelitiannya menunjukan bahwa kebijakan pemerintah dalam menerapkan bioteknologi bagi tanaman pangan memberikan dampak peningkatan daya saing genetik kapas, namun untuk komoditas jagung dan kedelai tidak memberikan dampak yang signifikan karena adanya risiko pasar, dan risiko produksi.

Kebijakan input berupa subsidi dan pajak terhadap produsen maupun konsumen akan mempengaruhi daya saing baik keunggulan komparatif maupun kompetitif, seperti penelitian yang dilakukan oleh Sargazi dan Hasanvand (2013), kebijakan pemerintah Provinsi Lorestan, Iran yang menetapkan pajak tak langsung pada sapi bakalan yang diimpor menyebabkan nilai keunggulan komparatif (DRC) sebesar 0,44, dan nilai NPC input (Nominal Protection Coefisient) sebesar 1,57. Hal ini menunjukan bahwa sapi potong di Provinsi Lorestan, Iran memiliki keuntungan sosial. Kebijakan output yang dilakukan oleh pemerintah Maroko (Mekki et al. 2006) berkaitan dengan penetapan tarif nol persen dan membuka akses pasar terhadap daging sapi impor menyebabkan peningkatan daya saing keunggulan komparatif (DRC) sebesar 21 persen, hal ini diakibatkan karena pemerintah tidak memproteksi daging lokal dari pemasukan impor daging sapi.

Pengukuran Daya Saing dengan Analisis PAM (Policy Analysis Matrix)

Dalam upaya meningkatkan produktivitas pertanian Pemerintah Pusat, Provinsi, maupun Pemerintah Daerah bisa mengintervensi sektor pertanian melalui kebijakan, baik kebijakan harga, kebijakan investasi public, dan kebijakan makroekonomi. Dampak intervensi dar ketiga bentuk kebijakan tersebut dapat diukur melalui metode PAM (Policy Analysis Matrix). Hasil analisis PAM dapat menunjukkan pengaruh individual maupun kolektif dari kebijakan harga dan kebijakan faktor domestik. PAM juga memberikan base line information yang penting bagi Benefit-Cost analysis untuk kegiatan investasi di bidang pertanian. Menurut Pearson (2005), tiga tujuan utama dari metode PAM adalah (1) memberikan informasi dan analisis untuk membantu pengambil kebijakan pertanian, (2) menghitung tingkat keuntungan sosial sebuah usahatani, yang dihasilkan dengan menilai output dan biaya pada tingkat harga efisiensi (social opportunity costs), (3) tujuan ketiga dari analisis PAM adalah menghitung transfer effects, sebagai dampak dari sebuah kebijakan.

(31)

13 (Domestic Cost Ratio) adalah lebih kecil daripada 1, menunjukkan usaha penggemukan mempunyai keunggulan kompetitif dan komparatif. Metode PAM juga digunakan untuk melihat bagaimana perubahan harga input maupun output terhadap daya saing suatu produk. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Babu dan Muhammad (2013) yang melakukan penelitian daya saing peternakan dengan produksi susu segar di Karantanka, India. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ukuran daya saing global seperti Effective Protection Coefisients (EPC), Domestic

Resources Coefisien (DRC) dan Nominal Protection Coefisient (NPC)

menunjukkan bahwa nilai daya saing global produksi susu 0.80, ini berarti bahwa sektor susu dapat menahan persaingan dari impor. Akan tetapi tidak semua bisa merasakan dampak ekspor susu, hanya memiliki potensi untuk meningkatkan kualitas. Surplus produksi susu akibat globalisasi serta modernisasi akan menimbulkan tantangan pemasaran yang serius untuk industri. Pada intinya sektor susu di India harus mengurangi biaya produksi dan meningkatkan kualitas, dan juga diharapkan mampu mingkatkan produksi susu dari daerah agar mampu mendorong investasi di sektor industri susu.

Penelitian daya saing usaha sapi perah juga dilakukan di Indonesia, oleh Feryanto (2010) di Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Penelitian tersebut dilakukan di tiga Kecamatan yaitu Kecamatan Lembang, Kecamatan Pangalengan, dan Kecamatan Cikajang. Berdasarkan analisis PAM, hasil penelitian menunjukkan bahwa ketiga Kecamatan tersebut memiliki keuntungan privat dan ekonomi, hal ini ditunjukkan dari keuntungan privat dan ekonomi yang besar dari nol untuk ketiga lokasi. Berdasarkan nilai PCR dan DCR yang diperoleh ketiga lokasi memiliki keunggulan kompetetitif, yakni 0.79 (Kecamatan Lembang), 0.94 (Kecamatan Pangalengan), dan 0.9 (Kecamatan Cikajang) yang menunjukkan masing-masing peternak hanya mengeluarkan tambahan biaya kurang dari satu untuk dapat bersaing dengan produk sejenis. Terakhir metode PAM juga dapat digunakan untuk membandingkan daya saing antara dua komoditas. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Kreuter dan Workman (1994), yang membandingkan daya saing ternak sapi dan sapi liar di Zimbabwe, hasil menunjukkan bahwa keuntungan sosial ternak lebih rendah dibandingkan sapi liar, hal ini mengindikasikan bahwa adanya inefisiensi pada produksi daging sapi.

3

KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS

Perdagangan Internasional

Pengertian perdagangan internasional adalah perdagangan yang dilakukan oleh penduduk suatu negara dengan penduduk negara lain atas dasar kesepakatan bersama. Penduduk yang dimaksud dapat berupa antar perorangan (individu dengan individu), antara individu dengan pemerintah suatu negara atau pemerintah suatu negara dengan pemerintah negara lain1. Bila dibandingkan

1

(32)

14

dengan pelaksanaan perdagangan di dalam negeri, perdagangan internasional sangatlah rumit dan kompleks. Kerumitan tersebut antara lain disebabkan karena adanya batas-batas politik dan kenegaraan yang dapat menghambat perdagangan, misalnya dengan adanya bea, tarif, atau kuota barang impor. Menurut Tambunan (2000) perdagangan internasional didefinisikan sebagai perdagangan antar atau lintas Negara, yang mencakup ekspor dan impor. Perdagangan internasional dibagi menjadi dua kategori, yakni perdagangan barang (fisik) dan perdagangan jasa. Perdagangan jasa, antara lain, terdiri dari biaya transportasi, perjalanan (travel), asuransi, pembayaran bunga, dan remittance seperti gaji tenaga kerja Indonesia (TKI) di luar negeri dan pemakaian jasa konsultan asing di Indonesia serta fee atau royalty teknologi (lisensi). Berikut teori yang menerangkan tentang timbulnya perdagangan internasional (Noor 2007).

Teori Pra Klasik (Merkantilisme)

Merkantilisme adalah falsafah ekonomi yang menganut konsep bahwa penting bagi sebuah negara untuk mengakumulasi pesediaan logam–logam berharga demi mencapai kesejahteraan. Para penganut merkantilisme berpendapat bahwa cara bagi suatu negara untuk menjadi kaya dan kuat adalah dengan melakukan sebanyak mungkin ekspor dan sedikit mungkin impor. Surplus ekspor yang dihasilkannya selanjutnya akan dibentuk dalam aliran emas lantakan, atau logam-logam mulia, khususnya emas dan perak. Semakin banyak emas dan perak yang dimiliki oleh suatu negara maka semakin kaya dan kuatlah negara tersebut. Dengan demikian, pemerintah harus menggunakan seluruh kekuatannya untuk mendorong ekspor, dan mengurangi serta membatasi impor (khususnya impor barang-barang mewah). Namun, oleh karena setiap negara tidak secara simultan dapat menghasilkan surplus ekspor, juga karena jumlah emas dan perak adalah tetap pada satu saat tertentu, maka sebuah negara hanya dapat memperoleh keuntungan dengan mengorbankan negara lain.

Teori Klasik

Teori Keunggulan Mutlak (Absolute Advantage Theory)

(33)

15

Teori Keunggulan Komparatif (Comparative Advantage Theory)

Keunggulan komparatif merupakan kemampuan suatu negara untuk memproduksi beberapa produk lebih murah atau lebih baik dari pada negara lain. Suatau negara dikatakan memiliki keunggulan komparatif (comparative advantage) akan suatu produk apabila dapat memproduksi secara efisien atau lebih baik dari pada barang-barang lainnya. Teori ini dikemukakan oleh David Ricardo untuk melengkapi teori Adam Smith yang tidak mempersoalkan kemungkinan adanya negara-negara yang sama sekali tidak mempunyai keuntungan mutlak dalam memproduksi suatu barang terhadap negara lain misalnya negara yang sedang berkembang terhadap negara yang sudah maju. Melengkapi kelemahan-kelemahan dari teori Adam Smith, David Ricardo membedakan perdagangan menjadi dua keadaan yaitu perdagangan dalam negeri dan perdagangan luar negeri. Menurut Ricardo keuntungan mutlak yang dikemukakan oleh Adam Smith dapat berlaku di dalam perdagangan dalam negeri yang dijalankan atas dasar ongkos tenaga kerja, karena adanya persaingan bebas dan kebebasan bergerak dari faktor-faktor produksi tenaga kerja dan modal.

Teori Modern (Teori Heckscher-Ohlin (H-O)

Teori Perdagangan Internasional modern dimulai ketika ekonom Swedia yaitu Eli Hecskher (1919) dan Bertil Ohlin (1933) mengemukakan penjelasan mengenai perdagangan internasional yang belum mampu dijelaskan dalam teori keunggulan komparatif. Ada beberapa kelemahan teori klasik yang mendorong munculnya teori H-O, dan kemudian menjadi acuan hingga saat ini. Kelemahan tersebut diantaraya, teori klasik comparative advantage menjelaskan bahwa perdagangan internasional dapat terjadi karena adanya perbedaan dalam

productivity of labor (faktor produksi yang secara eksplisit dinyatakan)

antarnegara (Salvatore 2006). Namun teori ini tidak memberikan penjelasan mengenai penyebab perbedaan produktivitas tersebut. Teori H-O kemudian mencoba memberikan penjelasan mengenai penyebab terjadinya perbedaan produktivitas tersebut. Teori H-O menyatakan penyebab perbedaan produktivitas karena adanya jumlah atau proporsi faktor produksi yang dimiliki (endowment

factors) oleh masing-masing negara, sehingga selanjutnya menyebabkan

terjadinya perbedaan harga barang yang dihasilkan. Oleh karena itu teori modern H-O ini dikenal sebagai. The Proportional Factor Theory. Selanjutnya negara-negara yang memiliki faktor produksi relatif banyak atau murah dalam memproduksinya akan melakukan spesialisasi produksi untuk kemudian mengekspor barangnya. Sebaliknya, masing-masing negara akan mengimpor barang tertentu jika negara tersebut memiliki faktor produksi yang relatif langka atau mahal dalam memproduksinya.

Konsep Daya saing

Daya saing merupakan proses untuk pencapaian sebuah tujuan yang lebih baik kedepan dalam meningkatkan pertumbuhan dan pendapatan sebuah Negara.

(34)

16

untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan. Daya saing menurut Pusat Studi dan Pendidikan Bank Indonesia (2002) harus mempertimbangkan beberapa hal:

1. Daya saing mencakup aspek yang lebih luas dari sekadar produktivitas atau efisiensi pada level mikro. Hal ini memungkinkan kita lebih memilih mendefinisikan daya saing sebagai “kemampuan suatu perekonomian” daripada “kemampuan sektor swasta atau perusahaan”

2. Pelaku ekonomi atau economic agent bukan hanya perusahaan, akan tetapi juga rumah tangga, pemerintah, dan lain-lain. Semuanya berpadu dalam suatu sistem ekonomi yang sinergis. Peran besar perusahaan swasta dalam sektor perekonomian, fokus perhatian akan diperluas, tidak hanya terbatas akan hal itu saja dalam rangka menjaga luasnya cakupan konsep daya saing.

3. Tujuan dan hasil akhir dari meningkatnya daya saing suatu perekonomian tak lain adalah meningkatnya tingkat kesejahteraan penduduk di dalam perekonomian tersebut. Kesejahteraan atau level of living adalah konsep yang maha luas yang pasti tidak hanya tergambarkan dalam sebuah besaran variabel seperti pertumbuhan ekonomi.

Pertumbuhan ekonomi hanya satu aspek dari pembangunan ekonomi dalam rangka peningkatan standar kehidupan masyarakat. Kata kunci dari konsep daya saing adalah kompetisi. Disinilah peran keterbukaan terhadap kompetisi dengan para kompetitor menjadi relevan. Kata daya saing menjadi kehilangan maknanya pada suatu perekonomian yang tertutup. Menurut Porter (1990), pada dasarnya ada 4 (empat) faktor yang mempengaruhi daya saing suatu negara, yaitu:

1. Strategi, struktur, dan tingkat persaingan perusahaan, yaitu bagaimana unit-unit usaha di dalam suatu negara terbentuk, diorganisasikan, dan dikelola, serta bagaimana tingkat persaingan dalam negerinya.

2. Sumber daya di suatu negara, yaitu bagaimana ketersediaan sumber daya di suatu negara, yakni sumber daya manusia, bahan baku, pengetahuan, modal, dan infrastruktur. Ketersediaan tersebut menjadi penentu perkembangan industri di suatu negara. Ketika terjadi kelangkaan pada salah satu jenis faktor tersebut maka investasi industri di suatu negara menjadi investasi yang mahal. 3. Permintaan domestik, yaitu bagaimana permintaan di dalam negeri terhadap produk atau layanan industri di negara tersebut. Permintaan hasil industri, terutama permintaan dalam negeri, merupakan aspek yang mempengaruhi arah pengembangan faktor awalan keunggulan kompetitif sektor industri. Inovasi dan kemajuan teknologi dapat terinspirasi oleh kebutuhan dan keinginan konsumen.

4. Keberadaan industri terkait dan pendukung, yaitu keberadaan industri pemasok atau industri pendukung yang mampu bersaing secara internasional. Faktor ini menggambarkan hubungan dan dukungan antar industri, dimana ketika suatu perusahaan memiliki keunggulan kompetitif, maka industri-industri pendukungnya juga akan memiliki keunggulan kompetitif.

(35)

17 perdagangan dapat saling menguntungkan atas dasar perbedaan selera (preferensi) dimasing-masing negara. Perbedaan biaya berkaitan dengan biaya produksi, yang menyebabkan setiap negara akan berspesialisasi dalam memproduksi komoditasnya. Jika negara-negara melakukan spesialisasi, maka skala ekonomi akan tercapai dan biaya produksi per unit akan semakin murah. Selain itu hubungan saling ketergantungan antara negara satu dengan yang lain dan peranan perdagangan internasional dari setiap negara akan berkembang dan menjadi penting. Namun daya saing tidak hanya mencakup suatu negara, melainkan juga dapat ditetapkan pada suatu komoditas, sektor atau bidang, dan wilayah. Esterhuizen et al. (2010) mendefinisikan “Daya saing sebagai kemampuan suatu sektor, industri, atau perusahaan untuk bersaing dengan sukses untuk mencapai pertumbuhan yang berkelanjutan di dalam lingkungan global selama biaya imbangannya lebih rendah dari penerimaan sumberdaya yang digunakan” dengan kata lain, daya saing merupakan suatu konsep yang menyatakan suatu produsen untuk menghasilkan produk sesuai dengan permintaan konsumen dengan mutu yang cukup baik dan biaya produksi rendah. Menggunakan asumsi biaya produksi rendah sehingga produk dapat di produksi dan di pasarkan oleh produsen sehingga dapat mempertahankan keberlangsungan produksinya. Konsep dayasaing terdiri dari dua aspek yang berbeda, yakni konsep daya saing ekonomi mikro dan ekonomi makro.

Daya saing mikro secara umum didefinisikan sebagai kemampuan suatu perusahaan atau usahatani bertambah besar, baik dari segi pangsa pasar dan profit. Sedangkan konsep dayas aing makro koheren dengan dayasaing suatu negara atau perekonomian. Sehingga mendefinisikan daya saing adalah kemampuan suatu negara dalam pasar terbuka untuk menghasilkan barang dan jasa sesuai dengan selera konsumen asing dan mempertahankan dan memperluas tingkat pendapatan domestiknya. Sedangkan menurut Kagochi (2007) mendefinisikan daya saing adalah kemampuan untuk menjual produk yang menguntungkan dan untuk menjadi kompetitif, produsen harus melemahkan harga atau menawarkan produk-produk yang lebih baik dari segi kualitas atau pelayanan yang lebih baik dibandingkan dengan kompetitornya. Pendekatan yang sering digunakan untuk mengukur daya saing suatu komoditas adalah tingkat keuntungan yang dihasilkan dan efisiensi dalam pengusahaan komoditas tersebut. Keuntungan dapat dilihat dari dua sisi, yakni keuntungan privat dan keuntungan sosial. Sementara itu, efisiensi pengusahaan komoditas dapat dilihat dari dua indikator yaitu keunggulan komparatif dan kompetitif. Berdasarkan hal tersebut konsep daya saing yang digunakan adalah daya saing menurut Esterhuizen et al. (2008), dimana memungkinkan ditingkat produsen suatu komoditas dapat memiliki keunggulan komparatif yakni memiliki biaya opprtunity cost yang relatif lebih rendah, namun ditingkat konsumen komoditas tersebut tidak memiliki keunggulan kompetitif karena adanya distorsi pasar. Sebaliknya karena ada intervensi dari pemerintah suatu komoditas memiliki keunggulan kompetitif namun tidak memiliki keunggulan komparatif.

Keunggulan Komparatif

(36)

18

dalam artian daya saing yang akan dicapai apabila perekonomian tidak mengalami distorsi. Komoditas yang memiliki keunggulan komparatif dikatakan juga memiliki keunggulan efisiensi secara ekonomi. Istilah keunggulan komparatif (Comparative Adventage) pertama kali dikenalkan oleh David Ricardo, yang menyatakan bahwa meskipun suatu negara kurang efisien dibanding dengan negara lain dalam memproduksi dua komoditas, namun masih dapat melakukan perdagangan yang saling menguntungkan untuk kedua belah pihak, dengan asumsi proporsi kerugian absolut satu negara pada komoditas tersebut tidak sama (Salvaltore 1997). Kelemahan keunggulan komparatif yang dikemukakan oleh David Ricardo ini hanya didasarkan pada perbedaan produktivitas setiap tenaga kerja saja. Tenaga kerja bukanlah satu-satunya factor produksi yang berpengaruh dalam menentukan keunggulan komparatif melainkan masih terdapat faktor lain seperti teknologi, modal, tanah, dan sumberdaya lainnya. Teori keunggulan komparatif disempurnakan dengan Teori Biaya Imbangan (Opportunity Cost Teory). Teori ini berdasarkan biaya imbangan, biaya sebuah komoditas adalah jumlah komoditas kedua yang harus dikorbankan untuk memperoleh sumberdaya yang cukup untuk memproduksi satu unit tambahan komoditas pertama, artinya setiap negara yang memiliki biaya imbangan lebih rendah dalam memproduksi sebuah komoditas akan memiliki keunggulan komparatif dalam komoditas tersebut dan memiliki kerugian komparatif dalam kondisi kedua (Salvaltore 1997).

Heckscher dan Ohlin melakukan perbaikan terhadap hukum keunggulan komparatif yang dikemukakan oleh David Ricardo. Heckscher dan Ohlin menyatakan bahwa setiap negara akan melakukan spesialisasi produksi dan mengekspor komoditas yang banyak menyerap faktor produksi yang tersedia dinegara itu dalam jumlah dan harga yang relatif murah, serta mengimpor komoditas yang padat dengan faktor produksi yang mahal dan langka (Salvaltore 1997). Keunggulan komparatif akan menjadi ukuran daya saing, apabila perekonomian tidak mengalami gangguan atau distorsi. Pearson et al. (2005), mengemukakan bahwa keunggulan komparatif bersifat dinamis, dengan kata lain keunggulan komparatif tidak stabil dan dapat diciptakan karena dipengaruhi oleh perubahan dalam sumberdaya alam, perubahan faktor-faktor biologi, perubahan harga input, perubahan teknologi, dan biaya transportasi. Suatu daerah yang memiliki keunggulan komparatif di sektor tertentu secara potensial harus mampum empertahankan dan bersaing dengan negara lain. Komoditas yang memilki keunggulan komparatif dapat dikatakan telah mencapai efisiensi ekonomi yang terkait dengan kelayakan secara ekonomi. Artinya kelayakan ekonomi menilai aktivitas ekonomi bagi masyarakat secara general atau menyeluruh, tanpa meliihat siapa yang terlibat dalam aktivitas ekonomi tersebut.

Keunggulan Kompetitif

Konsep keunggulan kompetitif (Competitive Adventage) dikembangkan oleh Porter. Menurut Porter (1990), dalam era persaingan global saat ini suatu negara yang memiliki competitive advantage of nation dapat bersaing di pasar internasional bila memiliki empat faktor penentu yakni, pertama, factor conditions

(37)

19

relating and supporting industries, berupa kehadiran industri pemasokatau pendukung dan lain-lain dalam suatu negara sangat berkaitan dengan kemampuan dayasaing industri-industri di pasar internasional. Keempat, Firmstrategy, structure and rivalary, yakni kondisi permerintahan di dalam suatu negara bagaimana perusahaan diciptakan, diorganisasi dan dikelola, sebaik persaingan domestik secara ilmiah. Keunggulan kompetitif (Competitive Advantage) juga dapat didefinisikan sebagai alat bantu untuk mengukur dayasaing suatu aktivitas berdasarkan perekonomian aktual atau harga pasar. Hal ini berbeda dengan konsep keunggulan komparatif yang mengukur manfaat aktivitas ekonomi dari segi masyarakat keseluruhan atau general. Keunggulan kompetitif dalam perkembangannya merupakan konsep yang sesuai untuk mengukur kelayakan secara finansial. Sehingga konsep keunggulan kompetitif bukan untuk menggantikan konsep keunggulan komparatif, namun saling melengkapi antara satu dengan yang lain. Artinya jika suatu komoditas memiliki keunggulan secara kompetitif dan komparatif, maka komoditas tersebut layak dan menguntungkan untuk diproduksi dan dapat bersaing di pasar internasional. Jika keunggulan komparatif berfungsi sebagai alat untuk mengukur keuntungan sosial dan dihitung berdasarkan harga sosial dan harga bayangan nilai tukar, maka keunggulan kompetitif berfungsi sebagai alat untuk mengukur keuntungan privat dan dihitung berdasarkan harga pasar dan nilai tukar resmi yang berlaku. Akan tetapi jika suatu komoditas hanya memiliki keunggulan komparatif namun tidak memiliki kunggulan kompetitif, dapat diasumsikan telah terjadi distorsi pasar atau terdapat hambatan-hambatan yang mengganggu kegiatan produksi seperti administrasi, perpajakan dan lain-lain. Sebaliknya jika suatu komoditas hanya memiliki keunggulan kompetitif dan tidak memiliki keunggulan komparatif berarti pemerintah memberikan proteksi terhadap komoditas tersebut seperti melalui stabilitas harga, kemudahan perizinan, dan lainnya.

Konsep Kebijakan Pemerintah

Snodgrass dan Wallace (1975) mendefenisikan kebijakan pertanian sebagai usaha pemerintah untuk mencapai tingkat ekonomi yang lebih baik dan kesejahteraan yang lebih tinggi secara bertahap dan kontinu melalui pemilihan komoditas yang diprogramkan, produksi bahan makanan dan serat, pemasaran, perbaikan structural, politik luar negeri, pemberian fasilitas dan pendidikan. Widodo (1990) mengemukakan bahwa politik pertanian adalah bagian dari politik ekonomi di sektor pertanian, sebagai salah satu sektor dalam kehidupan ekonomi suatu masyarakat. Secara umum tujuan kebijakan pemerintah dapat dibagi ke dalam tiga tujuan utama yaitu efisiensi (efficiency), pemerataan (equity), dan ketahanan (security). Efisiensi tercapai apabila alokasi sumberdaya ekonomi yang langka mampu menghasilkan pendapatan maksimum, serta alokasi barang dan jasa yang menghasilkan tingkat kepuasaan yang paling tinggi.

(38)

20

pengeluaran investasi (modal) yang bersumber dari anggaran belanja negara. Kebijakan yang ditetapkan Pemerintah pada komoditas pertanian terbagi menjadi dua bentuk subsidi, serta hambatan perdagangan. Subsidi terdiri dari subsidi positif dan subsidi negatif (pajak), sedangkan hambatan perdagangan terdiri dari pajak atau kuota yang sifatnya membatasi impor atau ekspor. Kebijakan tersebut diberlakukan untuk output maupun input yang menyebabkan terjadinya perbedaan harga input dan harga output yang diminta produsen (harga privat) dengan harga yang sebenarnya terjadi (harga sosial). Berikut ini kebijakan yang diterapkan pemerintah dalam meningkatkan ekspor ataupun sebagai usaha untuk melindungi produk dalam negeri agar dapat bersaing dengan produk luar negeri. Menurut Monke dan Pearson (1989) perbedaan kebijakan perdagangan dengan subsidi berbeda dalam tiga aspek yaitu pada budget pemerintah, tipe alternatif kebijakan yang dilakukan, dan tingkat kemampuan penerapan kebijakannya. Beberapa tipe klasifikasi kebijakan harga komoditas disajikan dalam Tabel 2 untuk membantu menjelaskan dampak kebijakan perubahan.

Tabel 2 Klasifikasi kebijakan harga pada komoditas pertanian Instrumen Dampak pada Produsen

Kebijakan Subsidi

Dampak pada Konsumen

Kebijakan Subsidi Subsidi pada produsen Subsidi pada Konsumen 1. Tidak Merubah Harga

Hambatan pada barang ekspor (TPE)

Sumber : Monke dan Pearson, 1989 Keterangan :

S+ : Subsidi S- : Pajak

PE : Produsen Barang Orientasi Ekspor CE : Konsumen Barang Orientasi Ekspor CI : Konsumen Barang Substitusi Impor TCE : Hambatan Barang Ekspor

TPI : Hambatan Barang Impor

Kebijakan harga, dibedakan berdasarkan tiga kriteria yaitu jenis instrumen (subsidi atau perdagangan kebijakan), berdasarkan yang dimaksudkan sebagai penerima (produsen atau konsumen), dan jenis komoditas (diimpor atau diekspor). 1. Tipe Instrumen

Gambar

Tabel 2 Klasifikasi kebijakan harga pada komoditas pertanian
Gambar 1 Dampak subsidi positif terhadap produsen dan konsumen barang  impor
Gambar 2 Penerapan kebijakan hambatan perdagangan berupa tarif pada barang  impor (2a) dan barang ekspor (2b)
Gambar 3a  : Penerapan pajak pada input tradable  Gambar 3b  : Penerapan subsidi pada input tradable  Pw  : Harga di pasar internasional
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian tentang efisiensi ekonomi dari usaha penggemukan ternak sapi potong di Thailand yang dilakukan Krasachat (2007), mengestimasi nilai efisiensi dengan menggunakan

Kemajuan dan perkembangan usaha peternakan sapi potong perlu dilakukan analisis terhadap kondisi keuangan, salah satunya dengan menggunakan analisis finansial sangat

Manfaat yang diharapkan adalah sebagai sarana penambah wawasan dan pengetahuan serta dapat mengetahui secara jelas manajemen penggemukan dan analisis usaha peternakan

Manajemen produksi sapi potong yang mencakup usaha penggemukan sapi dari hulu hingga ke hilir meliputi pemilihan bakalan, manajemen penggemukan, manajemen pemberian

Berkenaan dengan potensi usaha penggemukan sapi potong (PO) jantan dalam menyerap tenaga kerja keluarga, maka penelitian mengenai penyerapan tenaga keluarga petani dilakukan

Penelitian ini bertujuan untuk 1) memilih Kabupaten yang tepat sebagai basis pengembangan usaha penggemukan sapi potong di Bali, 2) menyusun alternatif strategi yang tepat

Adapun fenomena yang terjadi di lokasi penelitian yang mempengaruhi usaha penggemukan ternak sapi potong yaitu kualitas bakalan sapi, pakan ternak, kandang sapi,

Penelitian ini bertujuan untuk 1) memilih Kabupaten yang tepat sebagai basis pengembangan usaha penggemukan sapi potong di Bali, 2) menyusun alternatif strategi yang tepat