• Tidak ada hasil yang ditemukan

5.3. Zonasi CTN Nantu-Boliyohuto

5.3.1. Analisis Sensitivitas Ekologi

Sensitivitas ekologi dimaknai sebagai wilayah habitat yang sesuai untuk satu jenis atau banyak jenis satwa dan atau jenis tumbuhan. Dalam kajian ini sensitivitas ekologi dipengaruhi oleh faktor-faktor biofisik, antara lain jenis ketinggian tempat, kelerengan, tutupan lahan, dan sensitivitas satwa. Faktor-faktor tersebut secara rinci sebagai berikut:

Analisis Ketinggian Tempat

Kawasan CTNNB merupakan wilayah dataran rendah hingga pegunungan dengan variasi nilai ketinggian antara 124 – 2065 m dpl. Nilai paling tinggi

terletak di Pegunungan Boliyohuto. Sepanjang kawasan bagian utara dari arah barat hingga ke timur merupakan daerah pegunungan ketinggian yang berkisar antara 1200 – 2065 mdpl, yang terdiri dari G. Boluo (1357 mdpl), G. Manatimu (1367 mdpl), G. Ponasana (1317 mdpl), G. Olibiahi (1204 mdpl), G. Sumalata (1403 mdpl), G. Botutombaha (1363 mdpl), G. Pomonto (1510 mdpl), G. Tombulato (1421 mdpl), G. Polalodupoto (1552 mdpl), G. Abapi (1371), G. Lamu (1530), G. Boliyohuto (2065 mdpl), G. Dulukapa (1746 mdpl), dan G. Tohulite (1416 mdpl).

Ketinggian tempat diklasifikasikan menjadi 3 kelas, seperti yang ditunjukkan dalam Tabel 5.8. Daerah ketinggian <700 m dpal seluas 34.898,65 Ha mendominasi kawasan ini. Tersebar pada wilayah bagian tengah hingga bagian selatan, sepanjang kawasan dari bagian barat hingga bagian timur. Daerah ketinggian antara 700–1400 m dpal seluas 26,282.23 Ha tersebar pada kawasan bagian tengah ke bagian utara sepanjang kawasan dari bagian barat hingga bagian timur. Kawasan CTNNB bagian HL Boliyohuto sebagian besar berada pada ketinggian kelas ini. Sedangkan wilayah ketinggian >1400 m dpal tersebar pada kawasan CTNNB bagian HL Boliyohuto dengan luasa 2.315,21 Ha. Peta sebaran ketinggian tempat disajikan pada Gambar 5.10.

Tabel 5.8. Kelas Ketinggian CTN Nantu-Boliyohuto

Kelas Ketinggian (mdpl) Luas (Ha)

< 700 34.898,65 700 – 1400 26.282,23 >1400 2.315,21

Ga mbar 5.10. P eta Ke las Ke ti nggian di C TNN B

Analisis Kelerengan

CTN Nantu-Boliyohuto mempunyai kelerengan bervariasi dari datar/landai sampai dengan sangat curam (Tabel 5.9). Daerah datar/landai–miring (<15%)

mempunyai luasan 20.660,39 Ha, tersebar di seluruh bagian kawasan CTNNB. Kawasan CTNNB bagain HPT Boliyohuto umumnya berada pada kategori ini.

Daerah miring-curam (15%-26%) mempunyai luasan terbesar yaitu 23.446,89 Ha, tersebar di seluruh bagian kawasan CTNNB. Daerah curam – sangat curam (>25%) mempunyai luasan 19.388,11 Ha, tersebar di seluruh bagian kawasan CTNNB. Kawasan bagian HL Boliyohuto umumnya merupakan daerah dengan kelerengan kategori ini. Gambaran kondisi penyebaran kelerengan di CTNNB dapat dilihat pada Gambar 5.11.

Tabel 5.9. Klasifikasi Kemiringan lereng di CTNNB

Klasifikasi Kemiringan Lereng Luas (Ha)

Landai-Miring <15 % 20.660,39 Miring-Curam 15% – 25% 23.446,89 Curam-Sangat Curam >25% 19.388,11

Ga mbar 5.11. P eta Ke las Le re ng di C TNN B

Analisis Tutupan Lahan

Kategori tutupan lahan pada kawasan CTN Nantu-Boliyohuto ditampilkan pada Tabel 5.10. dan petanya pada Gambar 5.12. Hutan primer dengan luasan 40.181,87 mendominasi tutupan lahan di CTNNB, tersebar pada kawasan bagian tengah ke utara, dari barat sampai ke timur. Pada umumnya hutan primer berisi pohon-pohon besar berumur panjang, berseling dengan batang-batang pohon mati yang masih tegak, tunggal, serta kayu-kayu rebah. Robohnya kayu- kayu tersebut biasa membentuk celah atau rumpang tegakan, yang memungkinkan masuknya cahaya matahari ke lantai hutan, dan merangsang pertumbuhan vegetasi lapisan bawah. Hutan ini ditandai dengan adanya pohon-pohon berakar tunjang besar dan tajuk datar yang mencapai ketinggian 45 m. Hutan ini sangat lebat dengan pepohonan paling beragam diantara semua habitat. Ada banyak pandan, palem dan rotan serta perambat lainnya. Spesies palma yang paling umum dijumpai adalah Arenga sp, Caryota mitis, Livistonia rotundifolia. Spesies pohon meliputi Cananga odorata, Palaquium spp, Ficus spp, Eugenia, dan Pterospermum. Hutan primer seringkali merupakan rumah bagi spesies-spesies tumbuhan dan hewan yang langka, rentan atau terancam kepunahan, yang menjadikan hutan ini penting secara ekologi. Kawasan CTNNB bagian SM Nantu dan HL Boliyohuto sebagian besar merupakan hutan primer. Hutan sekunder

mempunyai luasan 19.654,04 Ha muncul setelah dibukanya hutan alam untuk kegiatan peternakan dan pertanian. Kawasan CTNNB bagian HPT Boliyohuto sebagian besar merupakan hutan sekunder. Jenis pohon di tipe habitat ini lebih kecil, tajuknya lebih kecil dan terbuka, tumbuhan bawahnya lebih banyak, tumbuhan epifit lebih banyak dan keanekaragaman pohonnya berkurang. Disamping hutan primer dan hutan sekunder, tutupan lahan di CTNNB terdiri dari

perkebunan seluas 378,96 Ha, pertanian lahan kering seluas 668,38 Ha, semak dan belukar seluas 2.536,83 Ha, dan badan air seluas 76,02 Ha.

Tabel 5.10. Klasifikasi Penutupan Lahan di CTN Nantu-Boliyohuto Klasifikasi Luas (Ha)

Hutan Primer 40.181,87 Hutan Sekunder 19.654,04 Perkebunan 378,96 Pertanian Lahan Kering 668,38 Semak & Belukar 2.536,83

Ga mbar 5.12 P eta Penut upa n La ha n di C TNN B

Analisis Sensitivitas Satwa dan Tumbuhan

Kawasan CTN Nantu-Boliyohuto memiliki keanekaragaman hayati yang cukup tinggi, dengan tumbuhan sebanyak 204 jenis, 49 jenis burung (24 jenis diantaranya merupakan endemik Sulawesi), dan mamalia yang mendiami hampir seluruh tipe habitat kawasan hutan hujan tropis CTNNB. Penelitian Dunggio (2005) pada kawasan SM Nantu menghasilkan peta penyebaran satwa dan tumbuhan endemik dan dilindungi, yang dilakukan dengan pendekatan tipe habitat sebagai tempat hidup dan berkembangbiak, serta daerah jelajahnya. Habitat adalah suatu lingkungan dengan kondisi tertentu dimana suatu spesies atau komunitas hidup, sedangkan daerah jelajah (home range) adalah luas areal yang digunakan suatu kelompok satwa dari suatu spesies dalam melakukan aktivitasnya pada kurun waktu tertentu (Rowe, 1996). Daerah jelajah terbentuk berdasarkan jelajah harian suatu kelompok yang merupakan rata-rata jarak tempuh suatu kelompok dalam melakukan aktivitas hariannya.

Sesuai dengan tujuan penunjukan saat ini, SM Nantu yang merupakan bagian CTNNB, merupakan kawasan perlindungan satwa endemik antara lain babirusa dan anoa, sehingga dalam kajian ini parameter sensivitas satwa dihasilkan dari analisa daerah jelajah babirusa dan anoa. Daerah jelajah babirusa dan anoa dianalisa berdasarkan penampakan, jejak, korotan, spot pakan, dan kubangan.

Penelitian Clayton (1996) tentang habitat dan perilaku babirusa di SM Nantu seluas 32.000 ha, memperkirakan terdapat 500 ekor babirusa, namun jumlah ini terus menurun karena tingginya tingkat kerusakan hutan dan perburuan. Habitat babirusa berupa hutan hujan dataran rendah, menyukai kawasan hutan dimana terdapat aliran sungai, sumber air, rawa, dan cerukan- cerukan air yang memungkinkannya mendapatkan air minum dan berkubang. Satwa ini mengunjungi tempat-tempat air dan tempat mengasin (salt-lick) secara teratur untuk mendapatkan garam-garam mineral untuk membantu pencernaannya. Sebagai herbivora babirusa menyukai makanan berupa dedaunan dari jenis pohon kayu kuning, gondal dan daun meranti yang jatuh. Selain itu babirusa juga menyukai jenis umbi-umbian seperti kilo, tunas globa dan rebung, juga jamur dan buah-buahan seperti mangga. Kadangkala babirusa terlihat suka

mengais pohon-pohon tumbang yang telah membusuk, kemungkinan untuk mendapatkan sumber protein hewani berupa ulat atau cacing. Makanan utama babirusa adalah berbagai jenis buah, namun satwa ini juga mengkonsumsi buah, daun, rumput, dan bahan-bahan dari satwa (diantaranya daging, ikan, burung dan serangga) dalam jumlah yang kecil. Wilayah jelajah babirusa menggunakan minimum convex polygon berkisar 0,8-12,8 km2 (Clayton 1996).

Secara umum, karakteristik habitat anoa yaitu hutan rapat yang terdiri dari beberapa strata tajuk, kombinasi dari pohon tinggi, perdu, semak belukar, tegakan bambu. Komposisi jenis tumbuhan yang ada merupakan jenis-jenis yang dapat dimakan oleh anoa baik daun, pucuk, terubusan, bungan bahkan buahnya. Pada habitat itu, terdapat sumber air baik berupa air yang mengalir seperti sungai, danau dan rawa atau berupa cerukan-cerukan air. Secara umum anoa dataran rendah ditemukan mulai dari hutan pantai sampai hutan pada ketinggian sekitar 1000 m dpl, dengan kisaran suhu udara harian 22-27 0C, Anoa dataran rendah menyukai hutan di sepanjang aliran sungai yang disebut hutan riparian. Anoa membutuhkan air setiap hari baik untuk minum maupun untuk berendam ketika terik matahari menyengat. Karena itu aktivitas anoa tidak jauh dari sumber sumber air berupa sungai, mata air, rawa dan danau, terlebih dalam musim kemarau dimana persediaan air di dalam hutan terbatas. Meskipun anoa dapat dijumpai pada radial yang agak jauh dari sumber air namun anoa akan selalu mempertimbangkan bahwa wilayah jelajah hariannya tetap ada air. Anoa membutuhkan air setiap hari, baik untuk minum maupun untuk berkubang.Demikian pula hutan bambu sangat disukai anoa (Mustari,

http://www.scribd.com/doc/22143969/Kharakteristik-Habitat-Anoa)

Selain melalui perjumpaan langsung, kehadiran anoa dalam Kawasan CTNNB dapat diketahui dari jejak yang ditinggalkannya baik berupa jejak kaki maupun kotorannya serta tempat anoa berkubang dan berendam (Gambar 5.13.). Pada beberapa batang pohon, sering terdapat lumpur gesekan badan anoa setelah berkubang. Selain itu anoa memiliki kebiasaan mengasah tanduknya dengan cara menggosokkannya pada batang pohon tertentu. Bekas renggutan makan anoa pada tumbuhan bawah juga dapat menjadi petunjuk keberadaannya. Jejak anoa juga dapat berupa tulang belulang yang ditinggalkan oleh anoa yang mati secara alami

pun menjadi bukti bahwa ada anoa di kawasan ini. Akan tetapi dari sekian banyak tanda atau jejak yang ditinggalkan satwa ini, jejak kaki dan kotoranlah yang paling mudah dikenali. Kotoran anoa serupa dengan kotoran sapi atau kerbau yaitu berupa compokan, menyatu, berbeda dengan kotoran rusa atau kambing yang berupa butiran. Jejak kaki dan kotoran banyak ditemukan di sekitar sumber air (sungai). Secara teratur anoa mengunjungi tempat berkubang salt-lick untuk untuk mendapatkan garam mineral yang sangat diperlukan dalam proses metabolisme pencernaan makanannya.

Gambar 5.13. Jejak kaki dan kotoran Babirusa dan Anoa

Berdasarkan pola tipe habitat dan daerah jelajah satwa endemik babirusa dan anoa, maka habitat salt-lick Adudu merupakan habitat terbaik bagi jenis-jenis satwa dan tumbuhan yang berada dalam Kawasan CTNNB. Pada lokasi ini sangat mudah ditemukan berbagai jenis satwa dan tumbuhan (Tabel 5.3). Selain itu hutan dataran rendah, hutan pegunungan bawah dan sungai juga merupakan habitat terbaik satwa dan tumbuhan. Pada tipe hutan dataran rendah kondisi vegetasinya sangat rapat sehingga sangat ideal bagi berbagai jenis fauna untuk melakukan aktifitas mulai dari makan, bermain dan berisitirahat. Habitat lain yang tak kalah penting adalah sungai yang merupakan sumber makanan dan minuman bagi berbagai macam jenis satwa. Berbagai macam jenis burung seperti raja udang (Ceyfallax) yang merupakan jenis yang sangat dilindungi dapat ditemukan di sekitar sungai Nantu.

Berdasarkan analisis sistem informasi geografi maka wilayah yang mempunyai tingkat endemisme tinggi dan status keberadaannya dilindungi diberi buffering selebar 1 Km (masing-masing 500 m dari batas terluar sungai). Wilayah yang diberikan buffering adalah sungai yang terdapat di dalam kawasan CTNNB. Sungai sangat berperan penting bagi kelangsungan berbagai jenis satwa dan flora karena sungai sebagai sumber makanan dan minuman utama. Buffering ini dimaksudkan untuk menjaga kelangsungan hidup dari satwa liar tersebut. Menurut Gunn (1994), flora fauna yang mempunyai tingkat endemisme tinggi dan statusnya dilindungi undang-undang harus di buffer maksimal seluas 1 mil. Gambaran daerah sensitivitas satwa endemik di CTNNB dapat dilihat pada Gambar 5.14.

Ga mbar 5.1 4. P eta s ensit ivi tas sa twa e nde mi k di C TNN B

Analisis Sensitivitas Ekologi

Penilaian selanjutnya ditujukan untuk melihat tingkat sensitivitas ekologi yang hasilnya menjadi dasar penentuan potensi zona pengelolaan. Penilaian sensitivitas ekologi didasarkan pada kriteria-kriteria ekologi baik dari unsur fisik maupun biologi, yaitu kelerengan, ketinggian tempat, tipe penutupan lahan, dan sensitivitas satwa dan tumbuhan. Dengan menggunakan kerangka penilaian seperti yang ditunjukan dalam Gambar 3.3 diperoleh tingkat sensitivitas ekologis kawasan CTNNB sebagaimana ditunjukan Tabel 5.11 dan Gambar 5.15.

Klasifikasi sensitivitas ekologi terbagi menjadi tiga kelas yaitu sangat sensitif, sensitif, dan tidak sensitif. Kelas sangat sensitif seluas 27.276,18 Ha sangat dipengaruhi oleh faktor daerah jelajah satwa endemik babirusa dan anoa, dalam hal ini merupakan daerah aliran sungai sebagai habitatnya. Daerah sangat sensitif mempunyai kondisi umum merupakan hutan primer, hutan sekunder, dengan ketinggian dan kelerangan bervariasi. Daerah sangat sensitif direkomendasikan untuk menjadi zona inti. Kelas sensitif seluas 32.451,09 Ha merupakan wilayah terbesar pada kawasan CTNNB yang menyangga daerah sangat sensitif. Kondisi umum daerah ini adalah hutan primer dan hutan sekunder dengan kelas ketinggian dan kelerengan yang bervariasi. Kelas ini direkomendasikan sebagai zona rimba. Kelas tidak sensitif seluas 3.769,60 Ha tersebar pada daerah ekologi berada pada ketinggian <700 m dpal. Daerah ini kondisi umumnya merupakan ladang, perkebunan masyarakat, pemukiman, dan lokasi pengambilan hasil hutan non kayu (HHNK). Kelas tidak sensitif berpeluang untuk dijadikan zona pemanfaatan atau zona budidaya terbatas.

Tabel 5.11. Hasil penilaian potensi zona berdasarkan sensitivitas ekologi

Skor Predikat Luas (ha) Kondisi Umum Potensi zona

23 – 30 Sangat

sensitif 27.276,18

Daerah jelajah babirusa dan anoa; h.primer, h.sekunder; kelerengan landai – sangat terjal; ketinggian bervariasi

Inti

16 – 22 Sensitif 32.451,09

Buffer dari zona sangat sensitif (buffer daerah jelajah); h. primer; h. sekunder; kelerengan dan ketinggian bervariasi;

Rimba

10 - 15 Tidak

sensitif 3.769,87

Ladang, perkebunan rakyat, pemukiman, lokasi pengambilan HHNK oleh masyarakat; kelerengan bervariasi; ketinggian <700 m dpal; berada pada pinggiran kawasan (dekat)

Ga mbar . 5.15. P eta Sens it ivi tas Ekologi di C TNN B

Dokumen terkait