DENGAN PENDEKATAN EKOWISATA
(
Kasus Calon Taman Nasional Nantu-Boliyohuto
di Provinsi Gorontalo
)
MARINI SUSANTI HAMIDUN
SEKOLAH PASCA SARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Zonasi Pengelolaan Taman Nasional dengan Pendekatan Ekowisata (Kasus Calon Taman Nasional Nantu-Boliohuto di Provinsi Gorontalo) adalah karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi dimanapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Februari 2012
Ecotourism Approach (Case of Nantu-Boliyohuto National Park Candidate in Gorontalo Province), under the supervisors of; Cecep Kusmana, Ernan Rustiadi, Soehartini Sekartjakrarini, Nelson Pomalingo.
National Park is a nature conservation area which has a native ecosystem, managed by the zoning system and used for the purpose of research, science, education, culture, tourism, and recreation. Candidates for the National Park area covering 62,943 ha Nantu Boliyohuto located in Gorontalo Province, and has been proposed as a National Park under Proposal No. Letter.522.21/05/638/2003 April 8, 2003. In this regard, the main objective of this research is to produce a management zoning of CTN Nantu Boliyohuto by ecotourism based, with some of the operational objectives of the study, namely: 1) identification and analysis of ecological, social and cultural conditions in the Nantu Boliyohuto ; 2 ) review of the assessment area CTN-Nantu Boliyohuto as ecotourism area, and 3) the process of drafting zoning CTNNB region. Purposive sampling method used to select 6 villages and to select 45 respondents in each village. Techniques of data retrieval is done by observation and interviews (primary data), as well as by literature studies (secondary data). The analysis used are the analysis of vegetation, tourist attraction assessment, spatial analysis, and multicriteria analysis. The results of this study were: 1) in the region Nantu CTN-Boliyohuto much as 204 plant species were identified, of which there are 17 protected species, among others; Caryota mitis, Cycas rumphii, and Livistonia rotundifolia,; 32 species animals, some of which were endemic to Sulawesi and protected species, namely Babyrousa babyrussa, Bubalus depressicornis, Tarsius spectrum, and Macaca heckii; 49 species of birds and 24 species of which are endemic to Sulawesi; as well as the physical condition of the appeal of unique and beautiful, the salt-lick, scenery, waterfalls, harmonization of the township, fields, hills, mountains, and rivers; 2) community around the area generally consists of farmers with low education, interact with the region in the harvesting of timber and non timber, such as rattan, leaf woka, building materials, foodstuff, fruits, bamboo, honey and hunt, and use of land as a farm plantation / agriculture and residences; 3) the region has the potential of high tourist attraction, with a fairly smooth accessibility, supported by social conditions, interests and expectations of society towards the implementation of ecotourism activities, as well as support of Gorontalo Provincial Government through its superior programs in the fields of tourism, although tourism has not been supported by adequate facilities, and 4) establishment of zoning map initiated by combining elevation, slope maps, land cover map, and wildlife sensitivity map, which generates maps of ecological sensitivity. The consideration based on ecotourism criteria, namely conservation, economics, public participation, and control. The results of the ecological sensitivity map overlay of these criteria of ecotourism is CTN Nantu Boliyohuto Management Zone, which consists of a core zone covering an area of 48.380,3 Ha (76,99%), forest zone covering an area of 10.806,1 Ha (17,2%), use zone of 2.447,8 (3,9%), and traditional zone covering an area of 1.206,3 Ha (1,92%).
Pendekatan Ekowisata (Kasus Calon Taman Nasional Nantu-Boliyohuto di Provinsi Gorontalo), dibawah bimbingan: Cecep Kusmana, Ernan Rustiadi, Soehartini Sekartjakrarini, Nelson Pomalingo.
Taman Nasional merupakan kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Untuk mengelola kawasan ini diperlukan sistem zonasi yang berupa perlindungan terhadap sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam (SDA) hayati dan ekosistemnya. Zonasi ditentukan sebagai hasil analisis spasial pengelompokan yang mempunyai kemampuan dan karakteristik yang sama, dengan tujuan memberikan arah pengelolaan dan perencanaan menyeluruh pada suatu wilayah. Pengelolaan taman nasional melalui sistem zonasi bukan hanya difokuskan pada potensi flora dan fauna khas yang dilindungi, namun juga pada kebutuhan sosial ekonomi masyarakat sekitar, baik secara langsung maupun tidak langsung. Paradigma baru pengelolaan taman nasional ini bertujuan untuk mengurangi ketergantungan dana pengelolaan dari pihak luar, sehingga mendorong kemandirian dalam mengelola atau membiayai sendiri. Konsep ekowisata merupakan konsep operasional dari pembangunan berkelanjutan yang dapat menjembatani kepentingan pemerintah dalam hal konservasi dan kepentingan masyarakat sekitar dalam hal pengembangan ekonomi.
Kawasan Calon Taman Nasional Nantu Boliyohuto seluas 62.943 Ha yang terletak di Provinsi Gorontalo, merupakan gabungan dari Suaka Margasatwa Nantu (32.627 Ha), Hutan Produksi Terbatas (10.346 Ha) dan Hutan Lindung (19.970 Ha). Kawasan ini telah diajukan sebagai Taman Nasional berdasarkan Surat Usulan No. 522.21/05/638/2003 tanggal 8 April 2003. Berkenaan dengan hal tersebut, maka tujuan utama penelitian ini adalah menghasilkan zonasi pengelolaan CTN Nantu-Boliyohuto yang berbasis ekowisata, dengan beberapa tujuan operasional penelitian, yaitu: 1) identifikasi dan analisis kondisi ekologi dan kondisi sosial budaya masyarakat di kawasan CTN Nantu-Boliyohuto; 2) kajian penilaian kawasan CTN Nantu-Boliyohuto sebagai kawasan ekowisata; dan 3) proses penyusunan zonasi kawasan CTNNB. Untuk pengambilan data masyarakat, enam desa dipilih secara purposive sampling, yaitu desa-desa yang berinteraksi intensif dengan kawasan CTN Nantu-Boliyohuto, yaitu Desa Pangahu, Desa Mohiyolo, Desa Saritani, Desa Sidohardjo, Desa Kasia, dan Desa Potanga. Sedangkan data responden masyarakat, setiap desa dipilih 45 responden yang dipilih secara purposive sampling, yaitu masyarakat yang berumur diatas 20 tahun. Teknik pengambilan data dilakukan dengan cara pengamatan dan wawancara (data primer), serta dengan cara studi literatur (data sekunder) yang berasal dari hasil-hasil penelitian sebelumnya dan instansi terkait lainnya. Analisis yang digunakan pada penelitian ini adalah analisis vegetasi, analisis penilaian daya tarik wisata, analisis spasial yang menggunakan sistem informasi geografis, dan analisis multikriteria.
Kjellbergiodendron celebicum, Shorea sp, Licualla flabelum, Cratoxylum celebicum, Dillenia serrata, Grammatophyllum speciosum, Diospyros celebica dan Dillenia sp.; 32 jenis satwa, yang diantaranya jenis endemik Sulawesi dan dilindungi, yaitu Babirusa (Babyrousa babyrussa), Anoa (Bubalus depressicornis), Tarsius (Tarsius spectrum), Kuskus Sulawesi (Strigocuscus celebensis) dan Monyet Hitam Sulawesi (Macaca heckii); 49 jenis burung dengan 24 jenis diantaranya merupakan endemik Sulawesi; serta daya tarik kondisi fisik yang unik dan indah, yaitu kubangan lumpur bergaram (salt-lick), panorama alam, air terjun, harmonisasi perkampungan, ladang, bukit, pegunungan, dan sungai.
@Hak Cipta Milik IPB, tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumberdaya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
(
Kasus Calon Taman Nasional Nantu-Boliyohuto
di Provinsi Gorontalo
)
Oleh
MARINI SUSANTI HAMIDUN
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada
Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCA SARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Penguji pada Ujian Tertutup : 1. Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS
2. Dr. Omo Rusdiana, MS
Penguji pada Ujian Terbuka : 1. Dr. Ir. Bambang Supriyanto, MSc
Ekowisata (Kasus Calon Taman Nasional Nantu- Boliyohuto di Provinsi Gorontalo)
Nama Mahasiswa : Marini Susanti Hamidun
NRP : P062030181
Program Studi : Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan
Disetujui, Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr (Ketua) (Anggota)
Dr. Ir. Soehartini Sekartjakrarini, M.Sc Prof. Dr. Ir. Nelson Pomalingo, M.Pd (Anggota) (Anggota)
Diketahui,
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Pengelolaan Sumber Daya Alam & Lingkungan
Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc, Agr
Karunia-Nya sehingga penulis bisa menyelesaikan penelitian disertasi yang
berjudul: ”Zonasi Pengelolaan Taman Nasional dengan Pendekatan Ekowisata (Studi Kasus di Calon Taman Nasional Nantu-Boliyohuto Provinsi Gorontalo)”.
Penulis mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga kepada kedua
orang tua, Alm. Husain Hamidun - Alm. Hadidjah Machmud; Alm. Rudy Rudolf
Manese; Anakda Muzdalifah Manese; Ibunda Salmah Manese Monoarfa;
saudara-saudaraku: Affandi, Dewi, Norman, atas keikhlasan, kesetiaan, motivasi dan
doanya selama ini. Terimakasih yang sedalam-dalamnya penulis haturkan kepada
Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS; Dr. Ir. Ernan Rustiadi,
M.Agr; Dr. Ir. Soehartini Sekartjakrarini, M.Sc; dan Prof. Dr. Ir. Nelson
Pomalingo, M.Pd. yang selama ini telah mengikhlaskan waktu, tenaga, dan
pikiran yang begitu besar membimbing penulis, dan tak henti-hentinya memberi
semangat hingga penulis berada pada tahap akhir. Terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada Ketua Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan
Lingkungan (PS-PSL) selama masa studi saya, yaitu Alm. Prof. Dr. Ir. Sri Saeni,
MS; Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS; dan Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS;
Dr. Etty Riani, MS; Dr. Ir. Widiatmaka, DEA dan Dr. Ir. Lailan Syafina, MSc
beserta seluruh staf PS-PSL. Terima kasih setinggi-tingginya kepada Rektor
Universitas Negeri Gorontalo (UNG), rekan-rekan dosen UNG beserta seluruh
staf, dan rekan-rekan dosen Universitas Gorontalo (UG) beserta mahasiswanya.
Terima kasih yang setulus-tulusnya kepada Bapak H. Mulyono Lahay, SE dan
keluarga, Bapak Ir. Lukman Baga dan keluarga; rekan-rekan Ririungan
Mahasiswa Gorontalo Bogor (RMGB); rekan-rekan mahasiswa IPB tahun 2003;
dan rekan-rekan alumni SMANSA ‘88 Gorontalo yang senantiasa membantu, mendampingi, memberi kritikan dan semangat; serta seluruh keluarga, sahabat
dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah banyak
membantu, baik materi maupun non materi, langsung maupun tidak langsung
dalam penyelesaian studi.
Bogor, Februari 2012
Marini Susanti Hamidun dilahirkan di Gorontalo pada tanggal 4 Mei 1970, sebagai anak ke tiga dari empat bersaudara dari Ayah Drs. Husain Hamidun (Almarhum) dan Ibu Hadidjah Machmud (Almarhumah). Menikah dengan dr. Rudy Rudolf Manese (Almarhum) tahun 1994, dan dikaruniai seorang anak Muzdalifah Alya Amalia Manese.
Pendidikan Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) diselesaikan di Gorontalo. Pendidikan sarjana S-1 ditempuh di Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Hasanuddin, lulus pada tahun 1994. Pada tahun 1998, penulis melanjutkan pendidikan Magister di Program Studi Pengelolaan Lingkungan Hidup, Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin dan lulus pada tahun 2001. Kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke program doktor diperoleh pada tahun 2003 pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Institut Pertanian Bogor dengan bantuan beasiswa BPPS Ditjen Pendidikan Tinggi.
Halaman
DAFTAR TABEL ...
DAFTAR GAMBAR ...
DAFTAR LAMPIRAN ...
I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Kerangka Pikir ... 8
1.3 Perumusan Masalah ... 13
1.4 Tujuan Penelitian ... 14
1.5 Manfaat Penelitian ... 14
1.6 Kebaruan ... 15
II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taman Nasional ... 17
2.1.1. Sejarah Taman Nasional ... 17
2.1.2. Kawasan Konservasi ... 18
2.1.3. Jenis-Jenis Kawasan Konservasi ... 21
2.1.4. Pemanfaatan Kawasan Konservasi ... 23
2.1.5. Peran Serta Masyarakat Terhadap Konservasi ... 25
2.1.6. Peranan dan Manfaat Taman Nasional ... 26
2.1.7. Perubahan Kebijakan Taman Nasional ... 28
2.2. Konsep Perwilayahan (Zonasi) ... 29
2.2.1. Zoning Regulation ... 33
2.2.2. Zonasi Taman Nasional ... 34
2.3. Pariwisata ... 42
2.3.1. Definisi Pariwisata ... 42
2.3.2. Perkembangan Pariwisata Dunia ... 43
2.3.3. Perubahan pola Kepariwisataan ... 47
2.3.4. Destinasi Pariwisata ... 48
2.3.5. Ekowisata ... 50
III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ... 59
3.2. Desain Penelitian ... 59
3.3. Teknik Pengambilan Data ... 59
3.4. Analisis Data ... 65
3.5. Analisis CTNNB sebagai Kawasan Ekowisata ... 69
3.6. Menyusun Zonasi CTN Nantu-Boliyohuto ... 69
IV KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1. Letak dan Luas ... 73
4.6. Struktur Organisasi ... 79
V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Kondisi Eksisting ... 81
5.1.1. Kondisi Ekologi ... 81
5.1.2. Kondisi Sosial ekonomi dan Budaya ... 87
5.1.3. Ancaman Bagi Kawasan CTNNB ... 90
5.2. Kajian Ekowisata pada CTNNB ... 94
5.2.1. Daya Tarik Wisata Alam ... 95
5.2.2. Aksesibilitas ... 101
5.2.3. Fasilitas Wisata ... 103
5.2.4. Masyarakat dan Lingkungan ... 105
5.2.5. Potensi Pasar ... 109
5.3. Zonasi CTN Nantu-Boliyohuto ... 111
5.3.1. Analisis Sensitivitas Ekologi ... 111
5.3.2. Pertimbangan Penentuan Zona ... 125
5.3.3. Pembagian Zona Pengelolaan CTNNB ... 135
VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan ... 143
6.2. Saran ... 144
DAFTAR PUSTAKA ... 147
2.1. 2.2.
Perubahan Paradigma Pengelolaan Kawasan Konservasi ... Daftar Penelitian Penyusunan Zonasi di Kawasan Konservasi...
24 38 2.3. Batasan dan Kreiteria Tipe Zona pada Taman Nasional ... 39 2.4. Peruntukan dan Jenis Kegiatan pada Zona-Zona Taman Nasional. 40 2.5. Data Kunjungan Wisatawan Mancanegara ... 44 2.6. Perkembangan Wisatawan Nusantara Tahun 2001-2009 ... 45
1.1. Kerangka Pikir ... ... 12 2.1. Alternatif Pengelompokan dan Arah Pengelolaan Taman Nasional 27 2.2.
2.3.
Sistimatika Konsep Wilayah .... ... Flowchart Tahapan Penetapan Zonasi ...
Trend Kunjungan Wisatawan Dunia ………... Diagram Kunjungan Wisatawan Provinsi Gorontalo ... Keterkaitan antar Unsur Pembangun Sistem Pariwisata ... Kepentingan Pelaku Pariwisata Terhadap Sumberdaya ... Lokasi Penelitian di CTN Nantu-Boliyohuto... 3.3. Skema Analisis Multikriteria Zonasi CTNNB . ... 68 3.4. Kerangka Penilaian Zonasi CTNNB... ... ... 72 4.1. Peta Calon Taman Nasional Nantu-Boliyohuto... 73 5.1.
Jenis Tumbuhan Endemik dan Dilindungi pada Kawasan CTNNB.. Jenis Satwa Endemik dan Dilindungi pada Kawasan CTNNB... Pembalakan dan Pencurian Liar... Diagram Kunjungan Wisatawan ke Provinsi Gorontalo... Peta Kelas Ketinggian...
Peta Kelas Lereng………..
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam UU No. 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan
Ekosistemnya, taman nasional merupakan kawasan pelestarian alam (KPA) yang
mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan
untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya,
pariwisata, dan rekreasi. Tujuan pengelolaan di atas dapat dikelompokkan ke
dalam 4 (empat) aspek utama yaitu: konservasi, penelitian, pendidikan, dan
kepariwisataan.
Sistem zonasi merupakan cara atau metode pengelolaan taman nasional
untuk mewujudkan fungsi KPA, yaitu: perlindungan sistem penyangga
kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta
pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam (SDA) hayati dan ekosistem. Sistem
zonasi memegang peran penting dalam mengatur peruntukan kawasan dan akses
pemanfaatan. Dengan menerapkan sistem zonasi sebagai kebijakan pengelolaan,
maka kawasan taman nasional akan dipilah-pilah ke dalam beberapa zona sesuai
dengan fungsinya. Dalam hal ini akan diperlukan zona-zona yang mempunyai
fungsi utama perlindungan/konservasi, fungsi utama pendidikan, fungsi utama
rekreasi dan zona dengan fungsi utama meredam aktifitas masyarakat yang
bersifat negatif di sekitar kawasan. Zonasi ditentukan sebagai hasil analisis spasial
pengelompokan yang mempunyai kemampuan dan karakteristik yang sama,
dengan tujuan memberikan arah pengelolaan dan perencanaan menyeluruh pada
suatu wilayah, yang membagi wilayah tersebut ke dalam zona-zona yang sesuai
dengan peruntukan dan kegiatan yang bersifat saling mendukung (compatible)
serta memisahkannya dari kegiatan yang saling bertentangan (incompatible)
(Rustiadi et al., 2004).
Sistem zonasi pada taman nasional bukan berarti melarang penggunaannya
dalam zona tertentu, tetapi menandakan adanya perbedaan tujuan pengelolaan
pada bagian-bagian (zona) yang berbeda (Walter, 1986 dalam Bos, 1991). Zonasi
juga merupakan penataan ruang pada setiap kawasan taman nasional dimana
konsekuensi dari sistem zonasi tersebut, maka setiap perlakuan atau kegiatan
terhadap kawasan taman nasional, untuk kepentingan pengelolaan dan
pemanfataan, harus bercermin pada aturan yang berlaku pada setiap zona dimana
kegiatan tersebut dilakukan. Dengan demikian keberadaan zonasi dalam sistem
pengelolaan taman nasional menjadi sangat penting, tidak saja sebagai acuan
dalam menentukan gerak langkah pengelolaan dan pengembangan konservasi di
taman nasional, tetapi sekaligus merupakan sistem perlindungan yang akan
mengendalikan aktivitas di dalam dan di sekitarnya.
Namun kenyataannya tidak ada taman nasional yang tidak mengalami
tekanan, dan tidak ada yang tanpa keberadaan masyarakat. Berbagai kerusakan
sumberdaya alam (SDA) dan pencemaran lingkungan terus meningkat. Akar
masalahnya kompleks, berbagai macam bentuk tekanan yang mempengaruhi laju
kerusakan antara lain lemahnya upaya penegakan hukum, rendahnya tingkat
kesadaran masyarakat terhadap lingkungan, belum adanya koordinasi yang
terjalin secara sistematis antara pengelola taman nasional dengan pemerintah
daerah, serta penunjukan taman nasional tanpa konsultasi dengan pihak lain dan
tidak mempertimbangkan keberadaan masyarakat di kawasan tersebut. Selama
dua dekade terakhir, kegiatan pembangunan yang ada telah mengakibatkan
habitat alami dan keanekaragaman jenis mengalami penurunan akibat
eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan. Terlebih lagi sejak munculnya
era reformasi yang dipersepsikan oleh masyarakat sebagai era yang boleh
melakukan apa saja. Penjarahan kayu dan hasil hutan semakin meningkat,
sehingga sumber daya hutan yang masih tersisa dan berada dalam kawasan
konservasi terancam (Dephut, 2004). Selain itu, pertumbuhan penduduk juga
menimbulkan beberapa masalah dalam hal penggunaan ruang dan lahan yang
semakin sempit, yang mengakibatkan wilayah-wilayah dan
sumberdaya-sumberdaya yang termasuk pada kawasan konservasi telah berubah fungsi dan
peruntukannya, baik secara legal maupun ilegal. Semua kawasan konservasi yang
dikelola pemerintah untuk kepentingan umum mengalami kerusakan,
pengurangan luas, atau diperebutkan berbagai pihak yang ingin memanfaatkan
kawasan tersebut untuk kepentingan lain, seperti yang terjadi pada TN Rawa
mengalami kerusakan sebesar 41.303 Ha, atau TN Bukit Barisan yang mengalami
total kerusakan seluas 50.000 Ha dengan laju kerusakan 4000 Ha pertahun.
Menyikapi kenyataan kondisi taman nasional tersebut, maka penyusunan
zonasi tidak lagi hanya berisi pada “pelarangan atau perijinan” akses manusia terhadap pemanfaatan SDA hayati dan ekosistemnya, tetapi lebih mengarah
kepada “keberlanjutan atau ketidakberlanjutan”. Kesalahan paradigma menyebabkan pendekatan-pendekatan pengelolaan taman nasional selalu
menempatkan masyarakat sebagai bawahan yang harus mengikuti keinginan
atasan (penguasa). Akibatnya sering terjadi konflik antara pemegang kekuasaan,
pengelola, dengan masyarakat setempat. Berbagai kasus yang terjadi pada
beberapa taman nasional selama ini antara lain: pada TN Kutai terdapat areal Hak
Pengusahaan Hutan dan pertambangan milik Pertamina dan seluruh fasilitasi
perusahaan termasuk kompleks karyawan (http://www. Hamline.edu); pada TN
Bogani Nani Wartabone terdapat pemukiman masyarakat Desa Pinogu yang
berada dalam kawasan zona inti; pada zona inti TN Lore Lindu terdapat wilayah
upacara adat Suku Toro dan melarang masyarakat masuk ke zona tersebut
sehingga menimbulkan konflik antara pengelola dan masyarakat adat Suku Toro;
perladangan liar dan konversi menjadi perkebunan, pertanian dan pemukiman
yang menyebabkan hancurnya jutaan hektar hutan tropis pada taman nasional;
serta perdagangan satwa liar yang tidak bisa dikendalikan.
Indonesia memiliki 50 taman nasional (TN) dengan kondisi status rencana
pengelolaan (RP): 8% (4 TN) belum memiliki RP, 64% (32 TN) telah memiliki
RP dan telah disahkan, dan 28% (14 TN) telah memiliki RP tapi belum disahkan.
Sedangkan 50% (25 TN) belum memiliki zonasi, 44% (22 TN) sudah memiliki
zonasi dan sudah disahkan, dan 6% (3 TN) sudah memiliki zonasi tapi belum
disahkan (Dephut, 2008). Kenyataan ini menjelaskan bahwa pengelolaan suatu
taman nasional tidak mudah dilakukan. Untuk menyempurnakan pengelolaan
taman nasional, maka dibuatlah Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) No. 56
tahun 2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional yang merupakan
pengembangan dari pedoman zonasi taman nasional yang terdapat dalam
Peraturan Pemerintah No. 68 tahun 1968 tentang KSA dan KPA. Permenhut ini
tenurial khususnya di kawasan taman nasional, juga memberi peluang yang lebih
baik dan kemungkinan penerapannya jauh lebih mudah karena sudah ada zona
pengelolaan yang disepakati oleh masyarakat, baik wilayahnya maupun
regulasinya.
Dalam Permenhut No 56/2006, zonasi pada taman nasional terdiri dari zona
inti, yaitu bagian dari kawasan taman nasional yang mempunyai kondisi alam
baik biota atau fisiknya masih asli dan tidak atau belum diganggu oleh manusia
yang mutlak dilindungi, berfungsi untuk perlindungan keterwakilan
keanekaragaman hayati yang asli dan khas; zona rimba yaitu bagian taman
nasional yang karena letak, kondisi dan potensinya mampu mendukung
kepentingan pelestarian pada zona inti dan zona pemanfaatan; zona pemanfaatan,
yaitu bagian dari kawasan taman nasional yang letak, kondisi dan potensi
alamnya, yang terutama dimanfaatkan untuk kepentingan pariwisata alam dan
kondisi/jasa lingkungan lainnya; zona tradisional, yaitu bagian dari taman
nasional yang ditetapkan untuk kepentingan pemanfaatan tradisional oleh
masyarakat yang karena kesejarahan mempunyai ketergantungan dengan SDA;
zona rehabilitasi, yaitu bagian dari taman nasional yang karena mengalami
kerusakan, sehingga perlu dilakukan kegiatan pemulihan komunitas hayati dan
ekosistemnya yang mengalami kerusakan; zona religi, budaya dan sejarah, yaitu
bagian dari taman nasional yang didalamnya terdapat situs religi, peninggalam
warisan budaya dan atau sejarah yang dimanfaatkan untuk kegiatan keagamaan,
perlindungna nilai-nilai budaya atau sejarah; dan zona khusus, yaitu bagian dari
taman nasional karena kondisi yang tidak dapat dihindarkan telah terdapat
kelompok masyarakat dan sarana penunjang kehidupannya yang tinggal sebelum
wilayah tersebut ditetapkan sebagai taman nasional, antara lain sarana
telekomunikasi, fasilitas transportasi dan listrik.
Beberapa kawasan di Provinsi Gorontalo yaitu: Suaka Margasatwa (SM)
Nantu seluas 33.891 Ha, Hutan Lindung (HL) Boliyohuto ( 19.641 Ha) dan
Hutan Produksi Terbatas (HPT) Boliyohuto ( 9.991 Ha) akan digabung menjadi
satu unit pengelolaan taman nasional dengan luas 63.523 Ha berdasarkan Surat Usulan No. 522.21/05/638/2003 tanggal 8 April 2003. Usulan ini diajukan oleh
Kehutanan dengan nama Taman Nasional Nantu-Boliyohuto (BKSDA, 2002).
Sebagai kawasan yang sedang diusulkan sebagai kawasan taman nasional, Calon
Taman Nasional (CTN) Nantu-Boliyohuto membutuhkan rencana pengelolaan
yang menjamin tercapainya tujuan perlindungan sistem-sistem ekologis dan
sistem penyangga kehidupan, pengawetan sumber plasma nutfah dan pelestarian
sumberdaya hayati, dan pemanfaatan secara lestari.
Penelitian Clayton (1996) & Dunggio (2005) menemukan potensi
keanekaragaman satwa yang umumnya merupakan jenis-jenis yang endemik,
yaitu: babirusa (Babyrousa babyrussa), anoa (Bubalus depressicornis), monyet
hitam sulawesi (Macaca heckii), tarsius (Tarsius spectrum), kuskus sulawesi
(Strigocuscus celebensis), dan babi hutan sulawesi, serta 80 jenis burung (35 jenis
diantaranya merupakan endemik Sulawesi). Selain itu, kawasan ini memiliki
keanekaragaman tumbuhan, antara lain Caryota mitis, Cycas rumphii, dan
Livistonia rotundifolia atau daun woka (termasuk dalam appendix II CITES),
Macaranga crassistipulosa, Elmerillia ovalis,, Terminalia celebica, Diospyros
hebecarpa, (endemik Sulawesi), pohon rao atau Dracontomelon dao dan
Palaquium obovatum atau yang lebih dikenal dengan nama pohon Nantu yang
diameter batangnya dapat mencapai 150 cm, serta Anggrek Raksasa atau
Grammatophyllum speciosum(dilindungi berdasarkan PP No 7 tahun 1999).
Keunikan anggrek ini adalah ukuran tubuhnya yang besar dimana panjang
batangnya dapat mencapai 5 meter. Potensi lain yang dimiliki oleh CTN
Nantu-Boliyohuto adalah panorama alam/karakteristik ekosistem (sungai, air terjun,
perbukitan), dan kubangan air garam alami (salt-lick) sebagai tempat bermain dan
berkumpulnya babirusa dan jenis-jenis mamalia lainnya.
Pengelolaan taman nasional bukan hanya difokuskan pada potensi spesies
flora dan fauna khas yang dilindungi, namun juga kebutuhan sosial ekonomi
masyarakat sekitar, baik secara langsung maupun tidak langsung sehingga selain
kondisi di dalam kawasan, penentuan zona taman nasional juga harus
mempertimbangkan kondisi lingkungan daerah penyangga (buffer area).
Pembagian kawasan taman nasional ke dalam zona bersifat khas untuk
masing-masing kawasan (site spesific) sesuai dengan kondisi lingkungan (biofisik) serta
pemberian akses pemanfaatan sumberdaya hayati dan ekosistem yang lestari
dalam bentuk alokasi lahan atau zona tertentu kepada masyarakat daerah
penyangga. Upaya ini diharapkan dapat membantu peningkatan kesejahteraan
hidup masyarakat, membangun kesadaran konservasi, dan mendorong partisipasi
sosial untuk ikut mengamankan kawasan taman nasional.
Paradigma baru pengelolaan kawasan konservasi bertujuan untuk
mengurangi ketergantungan dana pengelolaan dari pihak luar dan melakukan
konservasi dengan biaya sendiri. Ini dapat dilakukan melalui pengembangan
pemanfaatan berbagai potensi kawasan dan mampu mengarahkan pada orientasi
bisnis yang dilakukan dalam koridor-koridor pemanfaatan yang menjamin
kelestariannya. Pola kemitraan yang melibatkan masyarakat lokal dan pihak
swasta tampaknya merupakan peluang yang bisa dimanfaatkan. Melibatkan dan
memberdayakan masyarakat merupakan proses untuk memfasilitasi dan
mendorong masyarakat agar mampu menempatkan diri secara proporsional dan
menjadi pelaku utama dalam memanfaatkan lingkungan strategisnya untuk
mencapai suatu keberlanjutan dalam jangka panjang. Pemberdayaan masyarakat
memiliki keterkaitan erat dengan pembangunan berkelanjutan dimana
pemberdayaan masyarakat merupakan suatu prasyarat utama serta dapat
diibaratkan sebagai gerbong yang akan membawa masyarakat menuju suatu
keberlanjutan secara ekonomi, sosial dan ekologi yang dinamis.
Ekowisata merupakan konsep operasional dari konsep pembangunan
berkelanjutan, yang merupakan kegiatan konservasi yang dapat menjembatani
kepentingan pemerintah dalam hal konservasi dan kepentingan masyarakat lokal
dalam hal pengembangan ekonomi. Pengembangan ekowisata, yang
pelaksanaanya berbasis pada masyarakat merupakan salah satu alternatif bisnis
konservasi yang potensinya sangat besar untuk dikembangkan. Ekowisata
merupakan suatu konsep pengembangan dan penyelenggaraan kegiatan pariwisata
berbasis pemanfaatan lingkungan untuk perlindungan, serta berintikan partisipasi
aktif masyarakat, dan dengan penyajian produk bermuatan pendidikan dan
pembelajaran, berdampak negatif minimal, memberikan konstribusi positif
terhadap pembangunan ekonomi daerah, dan diberlakukan bagi kawasan lindung,
diyakini mampu mempaduserasikan semua kepentingan dalam suatu hubungan
timbal balik yang saling tergantung dan saling mempengaruhi dalam pengelolaan
kawasan taman nasional yang berkelanjutan yang memperhatikan aspek ekologi,
sosial budaya, dan ekonomi (Sekartjakarini, 2004).
Pendekatan konsep ekowisata digunakan pada perencanaan pengembangan
pengelolaan kawasan CTNNB karena implementasi konsep ekowisata ini adalah :
1) dapat menghasilkan uang untuk mengelola dan melindungi habitat dan spesies;
2) melibatkan masyarakat dalam pengelolaannya; 3) memungkinkan masyarakat
setempat memperoleh manfaat ekonomi dari kawasan; dan 4) memberikan sarana
untuk meningkatkan kesadaran orang akan pentingnya pengetahuan dan
pelestarian lingkungan. Beberapa contoh taman nasional yang menjadikan
kegiatan ekowisata sebagai sumber ekonomi adalah Taman Nasional Virungan
Rwanda, yang mempunyai kekayaan satwa jenis gorila. Tingginya arus wisatawan
yang datang berkunjung pada tahun 1990 untuk melihat gorila telah
menyumbangkan perolehan sejumlah 1 juta dollar AS. Pengelolaan ekowisata
dapat juga dilakukan pada kawasan penyangga, contohnya pada Menjangan
Jungle and Beach Resort yang terletak di zona penyangga Taman Nasional Bali
Barat. Resort ini luasnya sekitar 300 Ha. Resort ini tidak menarik karcis masuk
bagi wisatawan, tetapi setiap aktivitas yang ada dalam kawasan dikenakan tarif :
1) naik kuda untuk trekking US$ 45/jam, dan naik menjadi US$ 55/2 jam; 2)
bersepeda bertualang dalam hutan US$ 50; 3) pengamatan burung US$ 40; dan
menyelam US$ 45. Penghasilan dari perolehan belanja wisatawan ini sebagian
dipergunakan untuk merehabilitasi kawasan. Contoh pengelolaan taman nasional
yang melibatkan masyarakat adalah Taman Nasional Ayers Rock yang merupakan
salah satu tempat yang sering di kunjungi di Australia. Sebagian besar
pengelolaan dan manajemen taman nasional ini dilakukan oleh pendudukk asli
(suku Aborigin), yang bekerja sama dengan pemerintah.
Potensi sumber daya alam hayati dan ekosistem yang dimiliki kawasan
CTNNB menunjukkan bahwa kawasam ini memiliki obyek dan daya tarik wisata
alam. Atraksi satwa liar dan pengamatan burung yang endemik, keunikan dan
keindahan bentang alam, serta budaya masyarakat yang ada pada kawasan CTN
minat wisatawan untuk berkunjung sehingga dapat mendatangkan dampak
ekonomi yang berarti. Hal ini juga sejalan dengan program Pemerintah Provinsi
Gorontalo yang tercantum dalam Strategi dan Pengembangan Kepariwisataan
Gorontalo (2005), yang menyebutkan bahwa air terjun Adudu Nantu dan
Kawasan SM Nantu merupakan obyek dan daerah tujuan wisata.
1.2. Kerangka Pikir
Tujuan suatu kawasan ditetapkan sebagai taman nasional untuk dapat
memberikan manfaat: 1) ekologis yang mampu melestarikan keanekagaraman
hayati dan sekosistemnya; 2) ekonomi yang berarti mampu memenuhi berbagai
kebutuhan hidup manusia; dan 3) sosial yang berarti mampu menciptakan
kesempatan kerja dan berusaha meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun
kenyataan menunjukkan bahwa tujuan tersebut belum terwujud. Keberadaan
taman nasional justru sering dianggap sebagai sumber konflik antar berbagai
pihak. Secara ekologi degradasi SDA hayati dan ekosistemnya terjadi hampir di
seluruh taman nasional dan cenderung meningkat, baik yang disebabkan oleh
illegal logging, perambahan kawasan, maupun karena desakan pembangunan
sektor non kehutanan, diantaranya untuk perkebunan, pertambangan,
perindustrian, dan pemukiman. Secara sosial ekonomi sistem pengelolaan taman
nasional belum mampu mendukung peningkatan pendapatan atau kesejahteraan
masyarakat di sekitar taman nasional secara optimal. Dari aspek persepsi dan
partisipasi masyarakat tentang konservasi SDA dan ekosistem kawasan taman
nasional masih rendah, yang ditunjukkan dengan masih maraknya illegal logging,
penambangan emas tanpa ijin (PETI), perambahan kawasan, dan perburuan satwa.
Penetapan suatu kawasan sebagai taman nasional sama dengan menutup
akses masyarakat terhadap pemanfaatan SDA dalam kawasan, sementara
masyarakat masih memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap SDA tersebut.
Keadaan ini menimbulkan kesan bahwa taman nasional tidak memberikan
manfaat ekonomi bagi masyarakat sekitar, sehingga timbullah dikotomi antara
konservasi dan ekonomi. Konservasionis memandang kawasan konservasi sebagai
ekosistem yang harus dijaga keutuhan fisik dan kelestarian SDA hayatinya,
sehingga kegiatan-kegiatan ekonomi yang terkait langsung dengan kawasan
kualitas SDA hayati dan ekosistem kawasan. Sebaliknya ekonom memandang
kawasan konservasi dengan segala potensinya sebagai aset ekonomi yang akan
memberikan manfaat ekonomi atau kesejahteraan diseksploitasi dan dimanfaatkan
secara langsung. Dikotomi ini pada akhirnya hanya akan memastikan degradasi
tetap terus terjadi. Widada (2008) menjelaskan bahwa dikotomi tidak perlu terjadi
jika memahami 5 prinsip esensi konservasi dan ekonomi, yaitu : 1) konservasi
merupakan landasan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan, tanpa adanya
jaminan ketersediaan SDA hayati, maka pembangunan ekonomi akan terhenti; 2)
ekonomi merupakan landasan pembangunan konservasi yang berkelanjutan, tanpa
adanya manfaat ekonomi bagi masyarakat secara berkelanjutan, maka program
konservasi akan terhenti karena masyarakat tidak peduli; 3) kegiatan konservasi
dan ekonomi, keduanya bertujuan meningkatkan mutu kehidupan dan
kesejahteraan masyarakat; 4) dengan pengetahuan konservasi manusia akan lebih
mampu memahami kompleksitas ekosistem alami sehingga menyadari bahwa
SDA perlu dikelola secara hati-hati agar tetap lestari meskipun SDA tersebut
dimanfaatkan secara terus menerus; dan 5) dengan pengetahuan ekonomi manusia
akan mampu menentukan pilihan-pilihan kegiatan ekonomi yang paling rasional
dalam penggunaan SDA untuk memenuhi kebutuhan hidup dan meningkatkan
kesejahteraannya secara berkelanjutan.
Dengan memahami prinsip-prinsip di atas maka pengelolaan kawasan taman
nasional seharusnya mampu mengembangkan program konservasi yang dapat
mengkaitkan kegiatan ekonomi masyarakat, atau sebaliknya mengembangkan
kegiatan ekonomi masyarakat yang dapat mengkaitkan program konservasi, yaitu
suatu konsep pemberdayaan masyarakat yang dapat membuka alternatif
peningkatan ekonomi bagi masyarakat sekitar taman nasional sekaligus
berkontribusi pada konservasi dengan meningkatkan kepedulian dan dukungan
perlindungan kawasan yang memiliki nilai biologis, ekologis, dan nilai sejarah
yang tinggi.
Ekowisata merupakan konsep operasional dari konsep pembangunan
berkelanjutan, yang merupakan kegiatan konservasi yang dapat menjembatani
kepentingan pemerintah dalam hal konservasi dan kepentingan masyarakat lokal
konservasi dan pariwisata dimana pendapatan yang diperoleh dari pariwisata
seharusnya dikembalikan kepada kawasan untuk perlindungan dan pelestarian
keanekaragaman hayati serta perbaikan sosial ekonomi masyarakat di sekitarnya.
Dalam pelaksanaannya, kegiatan ekowisata harus mempertimbangkan daya
dukung lingkungan, melibatkan secara aktif masyarakat lokal dan budayanya,
mempromosikan pendidikan lingkungan, serta memberikan manfaat ekonomi bagi
pengelolaan taman nasional dan masyarakat sekitarnya (Sekatjakrarini, 2004;
Ceballos-Lascurain, 1996; Boo, 1990). Hal ini sejalan dengan tujuan
ditetapkannya suatu kawasan menjadi taman nasional, yaitu: perlindungan
sistem-sistem ekologis dan sistem-sistem penyangga kehidupan, pengawetan sumber plasma
nutfah, pelestarian sumberdaya hayati, dan pemanfaatan secara lestari.
Merujuk pada definisi taman nasional, yaitu kawasan pelestarian alam yang
mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan
untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, penunjang budidaya,
pariwisata dan rekreasi (UU No 5/1990, Permenhut No 56/2006, PP No
28/20911), maka sistem pengelolaan pada taman nasional dilakukan dengan
sistem zonasi.
Permenhut No.56/Menhut-II/2006 tentang pedoman zonasi taman nasional,
membagi taman nasional ke dalam tujuh zona, yaitu: zona inti, zona rimba, zona
pemanfaatan, zona tradisional, zona rehabilitasi, zona religi, budaya dan sejarah,
serta zona khusus. Proses penyusunan zona pengelolaan terbagi dalam beberapa
tahapan.
Tahapan pertama yang dilakukan adalah mengidentifikasi dan menganalisis
kondisi eksisting dan potensi kawasan dari aspek ekologi, aspek sosial ekonomi
dan budaya masyarakat sekitar, dan aspek ekonomi berupa potensi jasa
lingkungan.
Tahapan kedua adalah melakukan analisis pengelolaan kawasan berdasarkan
konsep ekowisata. Analisis dilakukan berdasarkan pada beberapa unsur utama
(Shelly et al., 2001), yaitu: 1) Kualitas dan keunikan sumber daya alam,
peninggalan sejarah dan budaya sebagai obyek dan daya tarik wisata (ODTW).
Kekayaan keanekaragaman hayati merupakan daya tarik utama bagi pangsa pasar
peninggalan sejarah dan budaya menjadi sangat penting untuk ekowisata.
Pengembangan ekowisata juga memberikan peluang yang sangat besar, untuk
mempromosikan pelestarian keaneka-ragaman hayati Indonesia, khususnya
kawasan CTNNB di tingkat internasional, nasional, regional dan lokal. 2)
Pemberdayaan dan pelibatan masyarakat, mulai dari tingkat perencanaan hingga
pada tingkat pengelolaan, dengan memanfaatkan pengetahuan tentang alam dan
budaya serta kawasan daya tarik wisata, dimiliki oleh masyarakat setempat, 3)
Pendidikan dan interpretasi untuk meningkatkan kesadaran dan apresiasi terhadap
alam, nilai-nilai peninggalan sejarah dan budaya. Ekowisata memberikan nilai
tambah kepada pengunjung dan masyarakat setempat dalam bentuk pengetahuan
dan pengalaman. Nilai tambah ini mempengaruhi perubahan perilaku dari
pengunjung, masyarakat dan pengembang pariwisata agar sadar dan lebih
menghargai alam, nilai-nilai peninggalan sejarah dan budaya. 4) Ekowisata
sebagai sarana mewujudkan ekonomi berkelanjutan. Ekowisata memberikan
peluang untuk mendapatkan keuntungan bagi penyelenggara, pemerintah dan
masyarakat setempat, melalui kegiatan-kegiatan yang ekstraktif dan
non-konsumtif sehingga meningkatkan perekonomian daerah setempat.
Penyelenggaraan yang memperhatikan kaidah-kaidah ekowisata, mewujudkan
ekonomi berkelanjutan; dan 5) Pertumbuhan pasar ekowisata di tingkat
internasional dan nasional. Kenyataan memperlihatkan kecendrungan
meningkatnya permintaan terhadap produk ekowisata baik ditingkat internasional
maupun nasional. Hal ini disebabkan meningkatnya promosi yang mendorong
orang untuk berprilaku positif terhadap alam dan berkeinginan untuk
mengunjungi kawasan-kawasan yang masih alami agar dapat meningkatkan
kesadaran, penghargaan dan kepeduliannya terhadap alam, nilai-nilai peninggalan
sejarah dan budaya setempat.
Tahapan ketiga adalah menyusun zonasi pengelolaan CTNNB berdasarkan
pada kriteria dan indikator zonasi taman nasional, yang dianalisis sesuai dengan
kondisi eksisting kawasan dari aspek ekologi, sosial budaya, dan potensi ekonomi.
Beberapa parameter yang dipertimbangkan adalah: 1) kriteria ekologi: penyebaran
satwa & tumbuhan, penutupan lahan, kelerengan, ketinggian,; 2) kriteria sosial:
ODTWA. Pembobotan dan penilaian kriteria-kriteria di atas harus dilakukan
dengan teliti, akurat dan saling bersinergi antara aspek ekologi, sosial, dan
ekonomi, sehingga akan menghasilkan zonasi pengelolaan yang tepat. Skema
kerangka pikir penyusunan zonasi taman nasional dengan pendekatan ekowisata
pada CTN Nantu-Boliyohuto dapat dilihat pada Gambar 5.1.
Gambar 1.1. Kerangka pikir penyusunan zonasi CTNNB dengan pendekatan ekowisata
Hasil akhir dari proses penyusunan ini adalah ditetapkannya zonasi
pengelolaan. Dalam kawasan taman nasional sekurang-kurangnya terdiri dari
zona inti, yang diperuntukkan pada perlindungan ekosistem, pengawetan flora dan fauna khas beserta habitatnya yang peka terhadap gangguan dan perubahan,
sumber plasma nutfah dari jenis tumbuhan dan satwa liar, untuk kepentingan
penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan, penunjang
budidaya; zona rimba, kawasan penyangga antara zona inti dan zona pemanfaatan yang diperuntukan pada kegiatan pengawetan dan pemanfaatan
sumberdaya alam dan lingkungan alam bagi kepentingan penelitian, pendidikan
konservasi, wisata terbatas, habitat satwa migran dan menunjang budidaya serta
mendukung zona inti; dan zona pemanfaatan, yang diperuntukkan pada pengembangan pariwisata alam dan rekreasi, jasa lingkungan, pendidikan,
penelitian dan pengenmbangan yang menunjang pemanfaatan, kegiatan penunjang
lainnya (Permenhut No 56/2006).
1.3. Perumusan Masalah
Sebagai kawasan yang sedang diusulkan menjadi kawasan taman nasional,
pemerintah daerah harus bisa mengantisipasi dan mencegah terjadinya kesalahan
pengelolaan pada kawasan CTNNB. Pemerintah daerah harus mempunyai draft
perencanaan bagaimana arah pengelolaan kawasan ini kedepan, yang nantinya
digunakan sebagai pedoman dalam penyusunan zonasi pengelolaan dan
penyusunan rencana strategis pengelolaanya sesuai dengan kondisi kawasan dan
fungsi peruntukannya. Penyusunan zonasi harus melalui proses check and recheck
kondisi eksisting kawasan, baik dari aspek ekologi, sosial budaya masyarakat, dan
aspek ekonomi. Salah satu kendala bagi penyusunan zonasi pada kawasan CTN
Nantu-Boliyohuto adalah masih kurangnya data-data tentang kondisi eksisting
kawasan, yang merupakan hal penting dalam penyusunan zonasi. Hasil survey
pada beberapa instansi pemerintah (Dinas Kehutanan, Bappeda, BKSDA) maupun
di lokasi kawasan CTN, tidak ditemukan data-data yang akurat dan relevan.
Clayton (1996), Hiola (2004) dan Dunggio (2005) melakukan penelitian hanya
pada bagian kawasan SM Nantu. Sedangkan pada kawasan bagian HL Boliyohuto
dan HPT Boliyohuto tidak ditemukan data eksisting dan rencana pengelolaan
yang sedang berlaku.
Sebagai pendekatan yang digunakan pada penyusunan zonasi, perlu
dilakukan kajian kelayakan penyelenggaraan kegiatan ekowisata pada kawasan
CTNNB sesuai dengan persyaratan-persyaratan ekowisata. Selanjutnya
menjabarkannya ke dalam proses penyusunan kriteria dan indikator penetapan
zonasi.
Berdasarkan kondisi kawasan CTN Nantu-Boliyohuto, maka dapat
dirumuskan permasalahan yang berkaitan dengan proses penyusunan zonasinya,
1. Bagaimanakah kondisi eksisting ekologi dan kondisi sosial budaya
masyarakat di kawasan CTN Nantu-Boliyohuto ?
2. Bagaimanakah kajian CTN Nantu-Boliyohuto sebagai kawasan ekowisata ?
3. Bagaimana proses penyusunan zonasi CTN Nantu-Boliyohuto ?
1.4. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan permasalahan yang ada pada CTN
Nantu-Boliyohuto, penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan zonasi pengelolaan CTN
Nantu-Boliyohuto yang didasarkan pada keadaan kondisi ekologis (biofisik)
kawasan, kondisi sosial budaya masyarakat, dan potensi ekonomi, yang menuju
pada pengelolaan kawasan mandiri yang berbasis ekowisata. Untuk mencapai
tujuan ini ditetapkan beberapa tujuan operasional penelitian, yaitu :
1. Mengkaji kondisi ekologi dan kondisi sosial budaya masyarakat di kawasan
CTN Nantu-Boliyohuto.
2. Mengkaji penilaian kawasan CTN Nantu-Boliyohuto sebagai kawasan
ekowisata.
3. Menentukan zonasi kawasan CTNNB.
1.5. Manfaat Penelitian
Secara umum, penelitian ini diharapkan dapat memberikan konstribusi
pemikiran dan bahan kajian ilmu pengetahuan dan informasi kepada masyarakat,
peneliti, wisatawan, pengusaha, pengelola, dan stakeholder lainnya. Secara khusus
terhadap kebijakan pusat :
1. Memberikan informasi kepada pemerintah pusat tentang keberadaan CTN
Nantu-Boliyohuto, yang diharapkan bisa ditindaklanjuti dengan
menganggarkan dana bagi kegiatan pengembangan dan pengelolaan CTN.
2. Sebagai acuan untuk memberikan/menetapkan status hukum sebagai Taman
Nasional Nantu-Boliyohuto.
3. Merupakan sumbangan kajian terhadap penyusunan Rencana Pengelolaan
Taman Nasional (RPTN) dan penyusunan zonasi ketika kawasan ini telah
Terhadap kebijakan daerah :
1. Menindaklanjuti pengajuan kepada pemerintah pusat untuk segera
menetapkan status kawasan menjadi Taman Nasional Nantu-Boliyohuto.
2. Bersama-sama dengan instansi terkait (para stakeholder) merancang peraturan
daerah yang mengatur tentang pengembangan dan pengelolaan kawasan CTN
Nantu-Boliyohuto.
1.6. Kebaruan
Kebaruan (novelty) dari penelitian ini adalah: Mengembangkan
proses/mekanisme penentuan kriteria penyusunan zonasi taman nasional dengan
pendekatan yang dilakukan. Penelitian ini memadukan kriteria ekowisata sebagai
pendekatannya dengan kriteria yang dikeluarkan oleh Departemen Kehutanan
yang tertuang dalam Permenhut No.56/Menhut-II/2006 tentang pedoman zonasi
taman nasional. Perpaduan ini menghasilkan metodologi penyusunan zonasi
taman nasional yang didasarkan pada kondisi ekologis kawasan, kondisi sosial
budaya masyarakat setempat, dan potensi ekonomi kawasan, serta melibatkan
masyarakat sebagai pelaku utama bersama para pihak yang berkepentingan.
Zonasi pengelolaan yang terbentuk akan menghasilkan program pengelolaan yang
dalam pelaksanaannya dapat meminimalkan konflik antar kepentingan para
stakeholder, tumpang tindihnya peruntukan dan pemanfatan kawasan, kerusakan
kawasan, memberikan insentif ekonomi berupa PAD, serta mampu meningkatkan
kesejahteraan masyarakat sekitar dengan tetap menjaga kelestarian keberadaan
sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, yang pada akhirnya terwujudnya
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Taman Nasional
2.1.1 Sejarah Taman Nasional
Yellowstone National Park di Amerika Serikat yang di bangun pada tahun
1872 merupakan pelaksanaan dari konsepsi Taman Nasional yang pertama di
dunia. Kemudian sejarah mencatat bahwa Yellowstone National Park ini
merupakan unsur pendorong sebagai model pembentukan Taman-Taman Nasional
di negara-negara lain. Namun bagi beberapa negara ada kecenderungan bervariasi
didalam penerapannya, yang dikarenakan baik oleh pola pengelolaannya maupun
karena keadaan geografi, kekayaan sumber daya alam, dan pandangan masyarakat
terhadap lingkungan hidupnya. Pada Sidang Umum IUCN (The International
Union for Conservation of Nature Resources) yang diadakan di New Delhi pada
tahun 1969, menetapkan batasan Taman Nasional sebagai prinsip pokok yang
harus dipunyai oleh setiap Taman Nasional, sehingga mempunyai keseragaman di
tiap Negara. Dalam Protect Area Category IUCN, taman nasional termasuk dalam
kategori II (1994) dan didefinisikan sebagai wilayah alamiah di daratan atau
lautan yang ditunjuk untuk: 1) melindungi integritas ekologi satu atau lebih untuk
kepentingan generasi kini dan yang akan datang; 2) melarang eksploitasi dan
okupasi yang bertentanan dengan tujuan penunjukkannya; 3) memberikan
landasan untuk penembangan spiritual, ilmu pengetahuan, rekreasi, dan
kesempatan bagi pengunjung yang ramah secara ekologi dan budaya (Wiratno et
al., 2004).
Di Indonesia, sampai awal dekade tahun 1980-an, konsep taman nasional
sebenarnya belum begitu dikenal dalam pengelolaan kawasan pelestarian alam.
Undang-undang No.5 tahun 1967 menyebutkan bahwa kawasan pelestarian alam
terdiri atas cagar alam, suaka margasatwa, serta hutan wisata yang terbagi lagi
menjadi taman buru dan hutan wisata. Namun demikian, pemikiran kearah itu
telah berkembang di jajaran Direktoret PPA, hingga pada tahun 1977 lembaga ini
memunculkan kriteria taman nasional dengan definisi yang persis sama dengan
kesepakatan IUCN tahun 1969, yaitu ‘kawasan pelestarian yang luas, baik di darat
utuh tidak terganggu; didalamnya terdapat jenis-jenis tumbuhan atau satwa beserta
habitatnya, juga tempat-tempat yang secara geomorfologis bernilai untuk
kepentingan ilmu pengetahuan, ilmu pengetahuan, pendidikan, budaya, rekreasi
dan pariwisata, panorama alam yang menonjol; dimana masyarakat diperbolehkan
masuk kedalam kawasan untuk berbagai kepentingan tersebut. Didalam
Indonesian Conservation Plan, taman nasional didefinisikan sebagai kawasan luas
dan relatif belum terganggu yang memiliki nilai alam tinggi, mudah dikunjungi
dan bermanfaatn bagi daerah. Sedangkan dalam UU No.5/1990 taman nasional
didefinisikan sebagai kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli,
dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu
pengetahuan, pendidikan, penunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi (Wiratno
et al., 2004).
Kriteria penunjukan suatu kawasan menjadi taman nasional tertuang dalam
UU No 5/1990, Permenhut No 56/2006, PP No 28/2011, yaitu :
1. Kawasan yang ditetapkan mempunyai luas yang cukup untuk menjamin
kelangsungan proses ekologis secara alami;
2. Memiliki sumber daya alam yang khas dan unik baik berupa jenis tumbuhan
maupun satwa dan ekosistemnya serta gejala alam yang masih utuh dan
alami;
3. Memiliki satu atau beberapa ekosistem yang masih utuh;
4. Memiliki keadaan alam yang asli dan alami untuk dikembangkan sebagai
pariwisata alam;
5. Merupakan kawasan yang dapat dibagi ke dalam zona inti, zona
pemanfaatan, zona rimba dan zona lain yang karena pertimbangan
kepentingan rehabilitasi kawasan, ketergantungan penduduk sekitar
kawasan, dan dalam rangka mendukung upaya pelestarian sumber daya alam
hayati dan ekosistemnya, dapat ditetapkan sebagai zona tersendiri.
2.1.2. Kawasan Konservasi
Istilah kawasan dalam Undang – Undang No.26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, diartikan sebagai wilayah dengan fungsi utama lindung atau
budidaya. Dalam Ensiklopedia Indonesia (Redaksi Ensiklopedia Indonesia 1983),
dari kerusakan. Akibatnya banyak kalangan yang memandang pembangunan dan
konservasi sebagai dua kutub yang bertentangan. Di satu sisi pembangunan
menghendaki adanya perubahan dan di sisi lain konservasi tidak menghendaki
adanya perubahan, karena perubahan dapat menimbulkan kerusakan. Pemahaman
tersebut menimbulkan anggapan konservasi sebagai penghambat pembangunan.
Padahal tujuan konservasi adalah menunjang pembangunan berkelanjutan.
Undang – Undang No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, menggunakan istilah Kawasan Lindung, yaitu kawasan yang ditetapkan dengan
fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber
daya alam dan sumber daya buatan. Sedangkan dalam Undang-Undang No.5
tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya
cenderung menggunakan istilah konservasi. Aoyoma (2000) mendefinisikan
kawasan konservasi adalah kawasan yang ditetapkan untuk melindungi dan
melestarikan sumber daya kehidupan, yang pada akhirnya menjamin
kesejahteraan dan ketentraman masyarakat yang mempunyai kepentingan bersama
(stakeholder) dengan pengelolaan secara berkelanjutan.
Menurut Mac Kinnon et al. (1993), kawasan konservasi didefinisikan
sebagai kawasan yang dilindungi karena memiliki ciri-ciri tertentu, yaitu : 1)
karakteristik atau keunikan ekosistem, misalnya hutan hujan tropik; 2) adanya
spesies khusus yang terancam kepunahan, endemik, spesifik, dan/atau langka; 3)
tempatnya memiliki keanekaragaman spesies (megabiodiversity); 4) landskap atau
ciri geofisik yang bernilai estetik atau pengetahuan, misalnya glasier, air terjun;
5) fungsi perlindungan hidrologi untuk pengaturan air, erosi, dan kesuburan tanah;
6) fasilitas untuk rekreasi alam, misalnya danau, pantai, pemandangan
pegunungan, satwa liar yang menarik, misalnya danau, pantai, sungai,
pegunungan; dan 7) tempat peninggalan budaya, misalnya candi, kuil, atau galian
purbakala.
Pada tahun 1980, World Wild Fund for Nature (WWF) bekerja sama
dengan International Union for the Conservation of Nature (IUCN) dan United
Nations Environmental Programme (UNEP) menerbitkan dokumen Strategi
Konservasi Dunia (BAPPENAS, 2003; MacKinnon et al, 1993). Dokumen yang
alam, mungkin sekali tidak mempunyai masa depan di planet bumi ini, kecuali
bila alam dan sumber daya alaminya dilindungi dan dipelihara. Strategi
Konservasi Dunia juga menekankan pentingnya pesan baru bahwa konservasi
tidak bertentangan dengan pembangunan dimana konservasi mencakup baik
perlindungan alam maupun penggunaan sumber daya alam secara rasional dan
bijaksana. Karena itulah, Strategi Konservasi Dunia memberi tekanan pada tiga
tujuan utama, yaitu :
1. Perlindungan proses-proses ekologi dan sistem-sistem penyangga
kehidupan.
Kehidupan adalah merupakan suatu sistem yang terdiri dari proses berkait
satu dengan yang lainnya dan saling mempengaruhi, yang apabila terputus
akan mempengaruhi kehidupan. Agar manusia tidak dihadapkan pada
perubahan yang tidak diduga yang akan mempengaruhi kemampuan
pemanfaatan sumber daya alam, maka proses ekologis yang mengandung
kehidupan itu perlu dijaga dan dilindungi. Perlindungan sistem penyangga
kehidupan ini meliputi usaha-usaha dan tindakan-tindakan yang berkaitan
dengan perlindungan mata air, tebing, tepian sungai, danau dan jurang,
pengelolaan akiran sungai; perlindungan terhadap gejala keunikan dan
keindahan alam, dan lain-lain.
2. Pelestarian keanekaragaman hayati dan sumber-sumber plasma nutfah.
Sumber daya alam terdiri dari unsur-unsur hayati dan nonhayati (fisik dan
nonfisik). Semua unsur ini saling terkait dan saling mempengaruhi.
Punahnya salah satu unsur tidak dapat diganti dengan unsur lain.
pengawetan jenis tumbuhan dan satwa dapat dilakukan secara in-situ
ataupun ex-situ.
3. Pemanfaatan sumber daya alam dan ekosistem secara lestari.
Pada hakekatnya merupakan usaha pengendalian/pembatasan dalam
pemanfaatan sumber daya alam sehingga pemanfaatan tersebut dapat
2.1.3. Jenis-Jenis Kawasan Konservasi
Berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh IUCN-The World Conservation
Union (MacKinnon et al.,1993), ada sepuluh jenis kawasan konservasi yang
dikenal di dunia, yaitu :
1. Cagar Alam, bertujuan untuk melindungi alam dan menjaga proses alami
dalam kondisi yang tidak terganggu dengan maksud untuk memperoleh
contoh-contoh ekologis yang mewakili lingkungan alami, yang dapat
dimanfaatkan bagi keprluan studi ilmiah, pemantauan lingkungan,
pendidikan, dan pemeliharaan sumberdaya plasma nutfah dalam suatu
keadaan dinamis dan berevolusi;
2. Taman Nasional, bertujuan untuk melindungi kawasan alami dan
berpemandangan indah yang terpenting secara nasional atau internasional
serta memiliki nilai bagi pemanfaatan ilmiah, pendidikan, dan rekreasi;
3. Monumen Alam/Landmark Alam, bertujuan untuk melindungi cirri-ciri alami
yang bernilai secara nasional karena menarik perhatian atau mempunyai
karakteristik yang unik;
4. Suaka Margasatwa, bertujuan untuk menjamin kondisi alami yang perlu
bagi spesies, kumpulan spesies, komunitas hayati, atau cirri-ciri lingkungan
fisik yang penting secara nasional, mungkin diperlukan campur tangan
manusia yang spesifik untuk menjaga kelestariannya;
5. Bentang Alam, bertujuan untuk melindungi dan menjaga bentang alam yang
penting secara nasional, yang memiliki karakteristik interaksi yang serasi
antara manusia dan lingkungannya;
6. Cagar Sumberdaya, bertujuan untuk melindungi sumberdaya alam kawasan
tersebut bagi penggunaan di masa depan dan mencagah kegiatan
pembangunan yang dapat mempengaruhi sumberdaya;
7. Cagar Budaya, bertujuan untuk memungkinkan berlangsungnya cara hidup
masyarakat yang serasi dengan lingkungannya;
8. Kawasan Pengelolaan Sumberdaya Ganda, bertujuan untuk menyediakan
produksi air, kayu, satwa, padang penggembalaan dan obyek wisata secara
berkelanjutan, dengan pelestarian alam terutama ditujukan untuk
9. Cagar Biosfir, bertujuan untuk melestarikan keanekaragaman dan keutuhan
komunitas tumbuhan dan satwa dalam ekosistem alaminya bagi penggunaan
masa sekarang dan masa depan, dan untuk menjaga keanekaragaman plasma
nutfah dari spesies yang merupakan bahan baku bagi evolusinya; dan
10. Taman Warisan Dunia, bertujuan untuk melindungi bentang alam yang
dianggap memiliki nilai universal yang menonjol dan merupakan daftar
pilihan dari kawasan alami dan budaya yang unik di bumi.
Di Indonesia, jenis-jenis kawasan konservasi disebutkan dalam UU No. 5
Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya,
yaitu:
1. Kawasan suaka alam yang memegang peranan penting dalam perlindungan
sistem penyangga kehidupan selain berfungsi sebagai kawasan pengawetan
keanekaragaman hayati dan ekosistemnya, terdiri atas : 1). Cagar Alam adalah
kawasan suaka alam yang karena keadaan alamnya mempunyai kekhasan
tumbuhan, satwa dan ekosistemnya atau ekosistem tertentu yang perlu dilindungi
dan perkembangannya berlangsung secara alami; dan 2) Suaka Margasatwa
merupakan kawasan suaka alam yang mempunyai ciri khas berupa
keanekaragaman dan/atau keunikan jenis satwa yang untuk kelangsungan
hidupnya dapat dilakukan pembinaan terhadap habitatnya. Fungsi pokok suaka
margasatwa adalah sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan,
satwa beserta ekosistemnya dan sebagai wilayah perlindungan sistem penyangga
kehidupan. Di dalam suaka margasatwa dapat dilakukan kegiatan untuk
kepentingan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan, wisata
dan kegiatan lainnya yang menunjang budidaya.
2. Kawasan pelestarian alam yang terdiri atas : 1) Taman nasional, yaitu
kawasan yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang
digunakan untuk keperluan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang
budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Taman nasional ditata dalam tiga zona, yaitu
zona inti, zoba rimba, dan zona pemanfaatan. Zona inti dilindungi secara mutlak
dan tidak diperbolehkan adanya perubahan apapun oleh aktivitas manusia. Zona
bagian kawasan yang dapat dijadikan pusat rekreasi dan kunjungan wisata; 2).
Taman Wisata Alam adalah kawasan yang tujuan utamanya untuk dimanfaatkan
bagi kepentingan pariwisata dan rekreasi alam; dan 3) Taman Hutan Raya
(Tahura) adalah kawasan untuk tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa yang
alami atau bukan alami, jenis asli atau bukan asli (eksotik) yang dimanfaatkan
bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya,
budaya, pariwisata dan rekreasi.
Setiap kategori kawasan konservasi memiliki fungsi, karakteristik, dan
manajemen yang berbeda karena memiliki tujuan penetapan dan pengelolaan yang
berbeda. Akan tetapi semua kawasan konservasi mempunyai fungsi pokok yang
sama yaitu :
1. sebagai wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan;
2. sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan atau
satwa beserta ekosistemnya;
3. untuk pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya.
2.1.4. Pemanfaatan Kawasan Konservasi
Untuk mengakomodir adanya sejumlah masyarakat di dalam dan sekitar
hutan dan kawasan konservasi yang masih menggantungkan hidupnya pada hutan
dan hasil hutan, pemerintah mengeluarkan beberapa bentuk kebijakan antara lain:
1. Pada kawasan hutan produksi, masyarakat lokal diperbolehkan memungut
hasil hutan (kayu, rotan, dan hasil hutan lainnya) untuk kepentingan hidup
sehari-hari.
2. Pada kawasan konservasi (Taman Nasional) disediakan zona pemanfaatan
tradisional.
3. Adanya program HPH Bina Desa Hutan sebagai upaya meningkatkan
kehidupan masyarakat sekitar hutan
Pemanfaatan kawasan konservasi diluar fungsinya tidak jarang
menimbulkan berbagai tekanan terhadap keutuhan kawasan dan potensinya. Tidak
ada kawasan konservasi yang terbebas dari kegiatan illegal, baik berupa
penebangan liar, perburuan liar, perambahan hutan untuk peladangan dan
penggunaan lahan dan penggunaan lainnya. Tekanan terhadap kawasan konservasi
semakin diperparah karena pihak yang berwenang mengelola kawasan konservasi
berjalan di tengah kompleksnya konflik kepentingan antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah, dan juga antara pemerintah daerah dengan masyarakat.
Masalah ekologis terjadi pula, terutama disebabkan kesalahpahaman dan
ketidakpedulian terhadap ekologi didalam merencanakan alokasi dan pemanfaatan
lahan. Konflik-konflik kepentingan antara pembangunan dan konservasi akhirnya
menghasilkan kesan bahwa kawasan konservasi hanya merupakan kawasan sisa
dari alokasi lahan kegiatan lain.
Dari sudut pandang keefektifan pengelolaannya, keberadaan kawasan
konservasi di Indonesia masih belum dikelola secara optimal. IUCN (2003) dalam
Soekmadi (2003) telah menganalisis berbagai permasalahan yang dihadapi dalam
pengelolaan kawasan konservasi, khususnya di negara berkembang dan
menawarkan sebuah pergeseran paradigma yang mendasar, seperti yang
dikemukakan pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1. Perubahan paradigma pengelolaan kawasan konservasi
Topik Paradigma Lama Paradigma Baru
Tujuan 1.Hanya untuk tujuan konservasi 2.Dibangun utamanya hanya untuk
1.Mencakup tujuan sosial dan ekonomi 2.Dikembangkan juga untuk alasan ilmiah,
ekonomi, dan budaya
3.Dikelola bersama masyarakat lokal 4.Mencalkup nilai budaya dari sifat liar yang
dilindungi
5. Also about restoration, rehabilitation, and social economic purposes
Pengelolaan Oleh pemerintah pusat Melibatkan para pihak yang berkepentingan Masyarakat
lokal
1.Perencanaan & pengelolaan ’memusuhi’ masyarakat
2.Pengelolaan tanpa memperdulikan opini pendapat masyarakat
1.Dikelola bersama untuk dan dikelola oleh masyarakat setempat
1.Direncanakan & dikembangkan sebagai bagian dat sistem nasional, regional, & internasional 2.Dikembangkan dalam bentuk ’jaringan’ (PAN
Protected Area Network) Persepsi 1.Dipandang utamanya sebagai asset
nasional (milik pemerintah) Pendanaan Dibayarkan hanya dari pajak (taxpayer)
oleh pemerintah
Dibiayai dari berbagai sumber keuangan yang memungkinkan
Kemampuan manajemen