• Tidak ada hasil yang ditemukan

SK Db Jumlah Hasil Kali XX XY YY Perlakuan 4 414.457 693.142 6744.101 Galat 30 15647.714 -357.971 547.594 Total 34 16062.171 335.171 7291.695 Perlakuan terkoreksi Y terkoreksi terhadap X

db JK KT F hitung F tabel 0.05 F tabel 0.01

29 539.405 18.600 33 7284.701

4 6745.296 1686.324 90.66 2.70 4.04

Perlakuan Rataan Notasi (0.05) Notasi (0.01) A 96.034 a a B 95.637 a ab C 89.843 b b D 76.886 c c E 59.425 d d BNT 4.730 6.374

Effectiveness in Modifying Fatty Acid Composition in Rat as Post Ruminal Model. Under supervision of KOMANG G. WIRYAWAN, WASMEN MANALU, and DWI SETYANINGSIH.

Dietary n-3 polyunsaturated fatty acids (PUFA n-3), such as fish oil in ruminant potentially decrease cholesterol concentration in meat. Due to extensive lipolysis and hydrogenation of n-3 PUFA by rumen microorganism, n-3 PUFA was reacted with butylamine to produce fish oil amides that resist microbial breakdown in the rumen. Three in vitro trials were conducted to determine whether fish oil amides were degraded and hydrogenated by ruminal organism. The treatments consisted of ground corn hay supplemented with either no lipid, fish oil, combination of fish oil and amide, and amide alone. After 24 hours incubation, the degradation of amide was lower for 10% supplementation than for 5% supplementation (13% and 30% respectively). Fish oil amides had no effect on VFA, acetat:propionate, NH3, microbial protein, and gas production. Relative to control, fish oil amide significantly reduced the degradabilities of dry and organic matters, and protozoa population in cultures. In in vivo experiment, fish oil amide was added to rat diets as post ruminal model. This experiment was conducted to study the effectiveness of fish oil amide in decreasing plasma cholesterol and triglyceride concentrations, increasing PUFA in rat muscle and its effect on blood hematological status. Thirty five male Sprague Dawley rats of 7 weeks old were randomly divided into 5 (five) treatment groups. Control group (A) was fed with semi-purified diet containing of 8% corn oil. Treatment groups were supplemented with 4.5% fish oil (B), 3% fish oil+1.5% fish oil amide (C), 1,5% fish oil+3% fish oil amide (D), and 4.5% fish oil amide (E), respectively. The result showed that fish oil amide supplementation could maintain the number of erythrocytes and hemoglobin, while hematocrit value began to decrease with 3% amide supplementation compared to fish oil supplementation (B) and 1.5% amide supplementation (C). The number of leucocytes in group with 4.5% amide supplementation significantly increased (P<0,05) compared to the group supplementing fish oil (B). Fish oil amide supplementation had no effect on plasma cholesterol and HDL concentrations, but began markedly increased (P<0,05) plasma triglyceride, LDL concentrations, and muscle cholesterol at 3% amide supplementation. There was no enriched levels of n-3 PUFA in rat muscle with amide supplementation. It was concluded that 3% amide supplementation gave negative impact on hematological status, plasma lipid profile, mucle and adipose tissue.

Latar Belakang

Domba merupakan salah satu sumber daging yang paling banyak dikonsumsi di dunia. Produksi daging domba terus meningkat karena memiliki nilai ekonomis yang tinggi, dan sangat efisien dalam mengubah hijauan yang berkualitas rendah menjadi daging yang berkualitas tinggi. Karakteristik daging domba didominasi oleh kandungan asam lemak jenuh atau saturated fatty acids (SFA) yang tinggi, dan memiliki rasio asam lemak tak jenuh ganda atau

polyunsaturated fatty acids (PUFA) : SFA yang rendah (Cooper et al. 2004).

Berdasarkan hal tersebut maka Lee et al. (2004) menyatakan bahwa konsumsi daging merah termasuk daging domba berisiko pada kesehatan, karena tingginya kandungan SFA (40-50%) dan rendahnya kandungan PUFA. Konsumsi SFA yang tinggi merupakan salah satu faktor pemicu berkembangnya beberapa jenis kanker, penyakit jantung koroner atau coronary heart disease (CHD), diabetes, dan obesitas. Asam lemak jenuh, terutama C14:0 dan C16:0, yang berlebihan mengakibatkan otot rentan terhadap resistensi insulin sehingga timbul hiperinsulinemia, atau meningkatkan produksi trigliserida dan kolesterol oleh hati yang meningkatkan faktor risiko aterosklerosis kronis (Moibi & Christopherson 2001).

Manipulasi nutrisi merupakan salah satu jalan untuk mendapatkan komposisi lemak daging yang lebih sehat. Pakan ternak berbasis hijauan menghasilkan daging dengan sedikit lemak intramuskular dan kandungan PUFA yang lebih tinggi dibandingkan pakan ternak berbasis konsentrat. Aktivasi enzim

∆-desaturase juga dapat meningkatkan kandungan asam lemak tak jenuh tunggal atau monounsaturated fatty acids (MUFA), yang berperan menurunkan penyakit metabolis pada manusia. Pemberian asam linoleat dan asam α-linolenat juga akan meningkatkan kandungan asam linoleat terkonjugasi atau conjugated linoleic

acids (CLA), yang mempunyai aktivitas antikarsinogenik (Hausman et al. 2009).

Ponnampalan et al. (2002) melaporkan bahwa sejak pertengahan 1990-an, peran tipe lemak diet dalam mempertahankan kesehatan manusia terfokus pada PUFA n-3 dalam diet. Salah satu sumber PUFA n-3 yang potensial adalah minyak

ikan laut yang mengandung asam eikosapentanoat (EPA; 20:5) dan asam dokosaheksanoat (DHA; 22:6). Kecukupan EPA dan DHA dapat mencegah terjadinya aterosklerosis dan penyakit jantung pada manusia dewasa. Minyak ikan mengandung PUFA n-3, seperti EPA dan DHA, dalam jumlah yang berlimpah, tetapi jarang terdapat pada lemak hewan (Irie & Sakimoto 1992).

Penelitian terakhir menunjukkan bahwa pemberian pakan tinggi asam α- linolenat, khususnya asam lemak dengan rantai yang lebih panjang, yaitu EPA dan DHA, dapat memperbaiki kandungan PUFA n-3 dalam jaringan daging domba untuk memenuhi standar kesehatan yang optimal bagi diet manusia. Namun demikian, pada ruminansia, diet asam lemak mengalami hidrogenasi yang ekstensif oleh mikroorganisme rumen sehingga penyerapan didominasi oleh asam lemak jenuh yang mengarah pada pembentukan lipoprotein berdensitas sangat rendah atau very-low-density lipoprotein (VLDL). Trans-asam lemak tak jenuh tunggal atau monounsaturated fatty acids (MUFA) dan SFA yang merupakan bagian dari VLDL selanjutnya tergabung ke dalam lemak otot, yang berimplikasi pada rendahnya rasio PUFA : SFA pada daging domba (Jenkins 1993; Cooper et al. 2004).

Gulati et al. (1999) melaporkan bahwa meskipun pada beberapa penelitian didapatkan bahwa EPA dan DHA hanya mengalami modifikasi sebagian oleh mikroorganisme rumen secara in vitro, hidrogenasi ruminal yang ekstensif terjadi pada asam-asam lemak tersebut secara in vivo. Selain itu, pakan yang mengandung PUFA memiliki beberapa pengaruh inter-relasi (baik positif maupun negatif) terhadap metabolisme rumen yang mempengaruhi pola fermentasi, jumlah protozoa, kecernaan pakan, efisiensi pertumbuhan mikrob, serta situs dan kinetika pencernaan (Chikunya et al. 2004).

Biohidrogenasi asam lemak dalam rumen dapat diatasi dengan pemberian minyak yang tinggi asam lemak tidak jenuh yang dilapisi dengan suatu material yang tidak dapat dimetabolisme oleh mikroorganisme rumen, tetapi dapat dicerna dalam usus halus (Ekeren et al.1992). Penggunaan formaldehida dan mineral terutama Ca sudah banyak digunakan, meskipun hasilnya belum konsisten. Alternatif lain yang dapat dilakukan dalam melindungi asam lemak, terutama PUFA n-3, adalah dalam bentuk amida. Jenkins dan Adams (2002) mendapatkan

bahwa meskipun perlindungannya belum sempurna, ternyata linolamida dapat bertahan dari biohidrogenasi dalam rumen jauh lebih baik dari asam linoleat. Namun demikian, perlindungan dalam bentuk amida dari EPA dan DHA dalam minyak ikan masih jarang dilakukan.

Berdasarkan pernyataan di atas, perlu dikaji pengaruh amida minyak ikan pada pola fermentasi rumen, dan efektivitasnya dalam meningkatkan aliran EPA dan DHA pascarumen, memperbaiki profil asam lemak plasma, dan deposisinya dalam jaringan otot tikus sebagai hewan model pascarumen. Penggunaan tikus didasarkan asumsi bahwa pencernaan pascarumen mempunyai kemiripan dengan pencernaan monogastrik pada nonruminan.

Tujuan Penelitian

1. Mempelajari pembuatan amida minyak ikan.

2. Mengevaluasi ketahanan amida minyak ikan dalam rumen secara in vitro.

3. Mengevaluasi efektivitas amida minyak ikan pascarumen menggunakan hewan model tikus.

Manfaat Penelitian

1. Mendapatkan teknologi pembuatan amida minyak ikan.

2. Menentukan kemampuan melindungi PUFA n-3 dari degradasi sistem rumen.

3. Menentukan profil lemak pada tikus sebagai hewan model.

Hipotesis Penelitian

1. Amida minyak ikan dapat melindungi PUFA n-3 dari biohidrogenasi dalam rumen untuk pencernaan pascarumen.

2. Pemberian amida minyak ikan dapat meningkatkan kandungan PUFA n-3 dalam jaringan otot tikus.

3. Pemberian amida minyak ikan dapat memperbaiki profil lemak plasma tikus.

TINJAUAN PUSTAKA

Suplementasi Lemak dalam Pakan Ruminansia

Lipid adalah suatu substansi yang tidak larut air, tetapi larut dalam pelarut organik (eter, kloroform, heksan, dll). Lipid dalam bahan pakan biasanya dalam bentuk trigliserida yang terutama ditemukan dalam biji-bijian sereal, biji-bijian penghasil minyak, dan lemak hewan. Selain itu, lipid dalam bahan pakan juga terdapat dalam bentuk glikolipida yang terutama ditemukan dalam hijauan rumput-rumputan dan leguminosa, dan sejumlah kecil terdapat dalam bentuk fosfolipid (Wattiaux & Grummer 2006).

Ginsberg dan Karmally (2000) membagi asam lemak dalam diet menjadi 3 kelompok utama, yaitu asam lemak jenuh atau saturated fatty acids (SFA), asam lemak tak jenuh tunggal atau monounsaturated fatty acids (MUFA), dan asam lemak tak jenuh ganda atau polyunsaturated fatty acids (PUFA). Perbandingan berdasarkan bobot antara PUFA dan SFA dikenal dengan rasio PUFA : SFA. Asam lemak utama yang terdapat dalam triasilgliserol diet (lemak dan minyak) dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Asam lemak utama dalam diet

Kelompok asam lemak Nama asam lemak

Asam lemak jenuh Asam laurat (12:0)

Asam miristat (14:0) Asam palmitat (16:0) Asam stearat (18:0) Asam lemak tak jenuh Asam oleat (18:1n-6)

trans-16:1n-9 dan trans-18:1n-9 Omega 6 Asam linoleat (18:2n-6) Omega 3 Asam α-linoleat (18:3n-3) Asam eikosapentanoat (20:5n-3) Asam dokosaheksanoat (22:6n-3)

Lazimnya, pakan ternak produksi mengandung sedikit atau tanpa penambahan lemak. Sumber asam lemak satu-satunya terdapat secara alami dalam bahan pakan. Penggunaan lemak terutama terbatas pada pakan unggas dan pengganti susu pada ruminansia muda. Namun demikian, akhir- akhir ini terjadi perkembangan yang pesat dalam penambahan lemak pada pakan ternak produksi. Pemberian lemak biasanya dimaksudkan untuk meningkatkan kepadatan energi dalam pakan, di samping memiliki keuntungan lain, seperti meningkatkan penyerapan nutrien larut lemak dan mengurangi debu pada pakan (Palmquist 1988).

Sejalan dengan meningkatnya pengetahuan tentang pengaruh asam lemak tertentu pada kandungan lemak darah, dikeluarkanlah rekomendasi internasional menyangkut jumlah dan komposisi lemak diet yang dikonsumsi. Lemak hewan ternyata tidak direkomendasikan karena terlalu banyak mengandung SFA dan terlalu sedikit PUFA. Di samping itu, pentingnya PUFA n-3 telah lama diketahui sehingga rasio n-3: n-6 menjadi penting. Usaha untuk mendapatkan pangan asal hewan yang lebih sehat bertujuan untuk mengubah pola asam lemak produk, agar sedapat mungkin sesuai dengan rekomendasi kesehatan (Leibetseder 1997).

Ponnampalan et al. (2001) menambahkan bahwa tipe lemak pada pakan ternak domestikasi dapat mempengaruhi komposisi asam lemak total dan lemak netral pada jaringan otot. Asam lemak jenuh bila diberikan melebihi kebutuhan akan dideposit pada jaringan lemak sebagai trigliserida cadangan, sedangkan PUFA terutama n-3 sebagian besar dideposit dalam fosfolipid struktural. Mayoritas lipid sel terdiri atas fosfolipid dan kolesterol, yang memainkan peranan penting dalam menentukan struktur lipoprotein plasma, juga sangat mempengaruhi fungsi protein membran seperti aktivitas insulin pada jaringan lemak otot.

Komposisi asam lemak pada domba dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, kastrasi, dan pakan. Ternak yang gemuk biasanya berumur tua, sehingga pengaruh umur pada komposisi asam lemak menjadi relevan. Domba yang berumur di atas satu tahun kandungan lemaknya menjadi lebih keras, dengan peningkatan kandungan asam stearat dan penurunan kandungan asam oleat. Komposisi asam lemak pada domba betina dan domba jantan kastrasi hanya sedikit berbeda,

namun terdapat perbedaan yang besar antara komposisi asam lemak subkutan pada domba jantan dan domba jantan kastrasi. Perbedaan ini disebabkan domba betina dan domba jantan kastrasi lebih gemuk daripada domba jantan pada umur yang sama. Pengaruh penambahan lemak pada pakan relatif kecil dalam mempengaruhi komposisi lemak karena asam lemak segera terhidrogenasi dalam rumen, kecuali bila diberikan dalam bentuk terproteksi. Komponen pakan selain lemak mempunyai pengaruh yang besar pada jenis asam lemak dalam depot lemak, dalam kaitannya dengan sintesis asam lemak de nuvo (Enser 1991). Komposisi asam lemak depo dari beberapa jenis ternak dapat dilihat pada Tabel 2 berikut ini.

Tabel 2 Asam lemak komponen lemak depo ternak (%)

Komposisi asam lemak Hewan 12:0 14:0 16:0 18:0 20:0 16:1 18:1 18:2 18:3 20:1 Sapi - 6.3 27.4 14.1 - - 49.6 2.5 - - Babi - 1.8 21.8 8.9 0.8 4.2 53.4 6.6 0.8 0.8 Domba - 4.6 24.6 30.5 - - 36.0 4.3 - - Kambing 3.5 2.1 25.5 28.1 2.4 - 38.4 - - - Kuda 0.4 4.5 25.9 4.7 0.2 6.8 33.7 5.2 16.3 2.3 Ayam 1.9 2.5 36.0 2.4 - 8.2 48.2 0.8 - - Kalkun 0.1 0.8 20.0 6.4 1.3 6.2 38.4 23.7 1.6 - Sumber: deMan (1997).

Suplementasi lemak merupakan alternatif yang relatif murah dalam formulasi pakan ternak pedaging, dan penggunaannya dapat memodifikasi komposisi asam lemak daging. Namun, pemberian lemak dalam ransum ruminansia terbatas sampai tingkat yang relatif rendah untuk mencegah timbulnya masalah pada fermentasi rumen. Pemberian lemak dapat menurunkan pencernaan serat karena menghambat fermentasi mikrob yang terjadi dalam rumen. Penurunan kecernaan serat lebih parah pada pemberian sumber lemak yang tak jenuh dibandingkan sumber lemak jenuh. Kandungan lemak dalam ransum ruminansia berkisar antara 4-5%, sementara pada tingkat yang lebih tinggi berpengaruh negatif pada fermentasi mikrob dalam rumen. Rekomendasi yang

umum untuk kandungan lemak dalam ransum tidak melebihi 6-7% dari bahan kering ransum (Jenkins 1998; Bauman et al. 2003).

Penambahan lemak dalam pakan ruminansia dapat mengganggu fermentasi dalam rumen, sehingga menyebabkan menurunnya kecernaan energi dari sumber bukan lemak. Kecernaan karbohidrat struktural dalam rumen dapat menurun 50% atau lebih dengan penambahan lemak kurang dari 10%. Penurunan kecernaan berbarengan dengan turunnya produksi metan, hidrogen, dan VFA, serta turunnya rasio asetat:propionat. Metabolisme protein dalam rumen juga mengalami perubahan dengan terganggunya fermentasi rumen akibat penambahan lemak. Penurunan kecernaan protein dalam rumen berbarengan dengan turunnya konsentrasi amonia, dan meningkatnya aliran N ke dalam duodenum (Jenkins 1993).

Sintesis asam lemak de novo dipengaruhi oleh densitas energi pakan. Pakan hijauan mempunyai densitas yang rendah, sehingga membatasi deposisi lemak. Penambahan konsentrat biji-bijian yang kaya pati pada hijauan akan meningkatkan densitas energi. Pati akan difermentasi dalam rumen menjadi asam lemak terbang atau volatile fatty acids (VFA), terutama asam asetat dan asam propionat yang segera diserap dan digunakan sebagai substrat dalam sintesis asam lemak (Enser 1991)

Penambahan lemak dalam ransum ruminansia juga dapat mengakibatkan turunnya kecernaan asam lemak, yang umumnya berhubungan dengan sifat dari komposisi asam lemak itu sendiri. Pada kondisi tertentu, kecernaan SFA dapat lebih rendah dibandingkan kecernaan PUFA. Bilangan Iod atau Iodine Value (IV) 50 atau lebih berpengaruh kecil pada kecernaan asam lemak. Namun demikian, kecernaan menurun bila IV menurun di bawah 50, terutama bila IV jatuh dari nilai 27 menjadi 11. Pada asupan asam lemak yang rendah, kecernaan asam lemak sejati masing-masing mencapai 89% untuk lemak dengan IV>40 dan 74% untuk lemak dengan IV<40. Namun demikian, kecernaan asam lemak semakin menurun dengan meningkatnya asupan asam lemak dengan IV>40 (Jenkins 1998).

Komposisi lemak daging mencerminkan metabolisme lipid ransum dalam rumen. Jaringan tubuh ruminansia tidak mensintesis PUFA, sehingga konsentrasinya dalam jaringan tubuh bergantung pada jumlah yang keluar dari

rumen. Untuk mendapatkan produk daging yang lebih sehat, terutama dengan peningkatan PUFA dan mendapatkan rasio n-3:n-6 yang lebih baik, dilakukan penambahan sumber PUFA n-3 dalam pakan ternak, terutama yang berasal dari minyak ikan. Minyak ikan mengandung dua jenis asam lemak rantai panjang atau

long chain fatty acids (LCFA), yaitu EPA dan DHA yang biasanya diberikan

dalam bentuk lemak terlindungi (Chilliard et al. 2000; Bauman et al. 2003).

Metabolisme Lemak dalam Rumen

Demeyer dan Doreau (1999) menjelaskan bahwa hidrolisis merupakan langkah pertama metabolisme lipid dalam rumen. Triasilgliserol, fosfolipid, dan galaktosil lipid dalam pakan hijauan dan konsentrat segera mengalami hidrolisis dalam rumen oleh lipase ekstraselular yang dihasilkan oleh sejumlah kecil bakteri. Beberapa aktivitas kemungkinan berhubungan dengan fraksi protozoa. Produk akhir yang dihasilkan berupa asam lemak bebas, selain itu juga gliserol dan galaktosa yang diubah menjadi VFA. Tingkat hidrolisis sangat tinggi terutama pada lemak yang tidak terproteksi mencapai 85-95%, persentase hidrolisis lebih tinggi pada pakan kaya lemak dibandingkan dengan pakan konvensional, dimana sebagian besar lemak terdapat dalam struktur sel (Tamminga & Doreau 1991).

Hidrogenasi terjadi oleh berbagai jenis bakteri, dimulai dengan isomerisasi oleh enzim bakteri (Gambar 1). Asam linolenat (C18:3 n-3) umumnya mengalami hidrogenasi sempurna menjadi asam stearat (C18:0). Sebaliknya hidrogenasi asam linoleat (C18:2 n-6) berlangsung tidak sempurna. Hidrogenasi menghasilkan asam stearat dan asam trans-vaksenat (C18:1 n-7), menunjukkan tingkat hidrogenasi yang tinggi terhadap asam linoleat dan asam linolenat. Rata-rata hanya kurang dari 10% asam linoleat dan kurang dari 5% asam linolenat yang terbebas dari hidrogenasi. Tingkat hidrogenasi asam trans-vaksenat menjadi asam stearat bergantung pada kondisi rumen. Hidrogenasi menjadi asam stearat dipacu oleh adanya cairan rumen bebas sel dan partikel pakan, tetapi dihambat oleh asam linoleat dalam jumlah besar (Tamminga & Doreau 1991; Jenkins 1993)

Lipolisis dan biohidrogenasi

Lemak pakan teresterifikasi lipase

galaktosidase fosfolipase

FFA tak jenuh (Cth: cis-9, cis-12, C18:2) isomerase cis-9, trans-11 C18:2 reduktase trans-11 C18:1 reduktase C18:0

Gambar 1 Tahap kunci lemak pakan teresterifikasi menjadi asam lemak jenuh oleh lipolisis dan biohidrogenasi dalam rumen (Jenkins 1993).

Jenkins (1993) juga menambahkan bahwa tingkat hidrogenasi pada asam lemak tak jenuh bergantung pada derajat ketidakjenuhan suatu asam lemak serta jumlah dan frekuensi pemberiannya dalam pakan. Hidrogenasi yang dialami PUFA dalam rumen diperkirakan berkisar 60-90%, sedangkan asam lemak rantai panjang hanya mengalami sedikit degradasi dalam rumen. Sebagian besar asam lemak yang disintesis oleh mikrob rumen bergabung dalam fosfolipid. Kira-kira 85-90% asam lemak yang meninggalkan rumen merupakan asam lemak bebas, dan sekitar 10-15% adalah fosfolipid mikrob. Karena asam lemak bersifat hidrofobik, maka akan terikat pada partikel pakan dan mengangkutnya menuju duodenum. Lipolisis dalam rumen berlangsung sangat efisien. Oleh sebab itu, hampir semua lemak yang teresterifikasi yang mencapai duodenum dalam bentuk sel mikrob. Namun demikian, lipolisis dan biohidrogenasi menurun pada pH rumen yang rendah, seperti pada pakan kaya biji-bijian (Palmquist 1988).

Lipid yang terdapat dalam duodenum ruminansia terbagi menjadi 3 fraksi (Gambar 2), yaitu: lipid pakan yang lolos dari transformasi mikrob, lipid pakan setelah mengalami transformasi mikrob, dan lipid mikrob. Lipid pakan yang

mengalami transformasi dan lipid mikrob dalam isi duodenum tersimpan dalam jaringan ruminansia (Jenkins 1994).

Fraksi lipid dalam duodenum ruminansia

DIET DL a RUMEN DL DLt VFA c b c Mikroba DUODENUM DL ML DLt

Gambar 2 Lipid dalam duodenum ruminansia terdiri atas lipid pakan yang mencapai duodenum tanpa perubahan (DL), lipid pakan setelah hidrogenasi oleh mikrob rumen (DLt), dan lipida mikrobial (ML). Huruf merujuk pada a) konversi DL menjadi DLt oleh biohidrogenasi, b) sintesis lipid secara de novo oleh mikrob rumen dari VFA, dan c) asupan langsung DL dan DLt oleh mikrob rumen (Jenkins 1994).

Jenkins (1993) melaporkan bahwa kandungan lipid total dari massa bakteri kering dalam rumen berkisar antara 10-15%, baik yang berasal dari sumber eksogen (asupan diet LCFA) maupun sumber endogen (sintesis de novo). Sebagian asam lemak yang ditemukan dalam rumen merupakan komponen fosfolipid membran mikrob. Asam lemak yang disintesis secara de novo terutama terdiri atas C18:0 dan C16:0. Asam lemak bakteri mengandung 15-20% MUFA, yang disintesis melalui jalur anaerobik (Gambar 3).

Bakteri rumen biasanya tidak mensintesis PUFA, kecuali dari kelompok

cyanobacteria. Namun demikian, PUFA yang dilaporkan terdapat dalam mikrob

rumen tampaknya berasal dari asupan eksogen dari asam lemak yang membentuk PUFA. Tingkat suplementasi lemak dan komposisinya dapat berpengaruh pada komposisi asam lemak dari mikroorganisme rumen (Bauman et al. 2003). Lipid pascarumen terutama terdiri atas asam lemak jenuh tidak teresterifikasi atau Non-

esterified Fatty Acids (NEFA) yang berasal dari pakan dan mikrob (70%), dan sejumlah kecil (10%-20%) fosfolipid mikrob. Umumnya, koefisien penyerapan asam lemak individual dalam usus halus berkisar antara 80% (untuk SFA) sampai 92% (untuk PUFA) pada pakan konvensional dengan kandungan lemak rendah (2- 3% bahan kering) (Bauchart 1993).

Sintesis asam lemak jenuh dan asam lemak tak jenuh tunggal oleh mikrob

VFA C10 β-hidroksi C10 β, γ α, β Dehidrasi cis-3-dekanoat trans-2-dekanoat

Tanpa reduksi Dekanoat ---Pemanjangan rantai--- C16:1 C16:0 ---Penambahan unit C2--- C18:1 C18:0

Gambar 3 Sintesis MUFA oleh mikrob rumen melalui jalur anaerob (Jenkins 1993).

Pemberian sejumlah besar EPA dan DHA diduga dapat menurunkan tingkat hidrogenasinya, baik secara in vitro maupun in vivo dalam percobaan jangka pendek (3 hari). Pasokan EPA dan DHA, melalui mekanisme yang belum diketahui juga meningkatkan trans-MUFA dan conjugated linoleic acids (CLA) (Chilliard et al. 2000).

Tipe Lemak dan Kolesterol

Tingginya konsumsi lemak dan SFA dipercaya secara luas berkonstribusi terhadap meningkatnya kasus penyakit jantung koroner atau coronary heart

disease (CHD), yang merupakan penyebab kematian utama pada sebagian negara

industri. Adanya korelasi positif antara konsumsi lemak asal hewan dan kematian yang disebabkan CHD, tampaknya sangat dipengaruhi oleh konsentrasi lipoprotein berdensitas rendah atau low density lipoproteins (LDL) yang merupakan faktor risiko timbulnya CHD. Lipoprotein merupakan kompleks protein-lipid dalam darah, yang terdiri atas tiga tipe: lipoprotein berdensitas rendah atau low density lipoproteins (LDL) yang molekulnya terdiri atas 46% kolesterol; lipoprotein berdensitas tinggi atau high density lipoproteins (HDL) yang mengandung 20% kolesterol, dan lipoprotein berdensitas sangat rendah atau

very low density lipoproteins (VLDL) yang mengandung 8% kolesterol.

Tingginya kandungan kolesterol dalam LDL merupakan penyebab utama timbulnya CHD, sebaliknya HDL berperan sebagai pelindung (Bender 1992; Bandara 1997).

Bender (1992) menyatakan bahwa tingginya kandungan kolesterol total darah sangat berhubungan dengan tingginya kejadian CHD, dan tingginya asupan SFA dapat meningkatkan kandungan kolesterol darah. Miristat dan palmitat merupakan SFA utama dalam diet yang menyebabkan meningkatnya kolesterol darah, sehingga meningkatkan LDL. Stearat yang juga merupakan SFA yang utama dalam diet tidak memperlihatkan pengaruh yang sama. Hal ini karena stearat diubah menjadi oleat yang merupakan MUFA. Asam lemak dengan panjang rantai yang lebih pendek tampaknya juga tidak berpengaruh. Seperempat dari SFA dipasok dari lemak asal daging, sehingga konsumsi daging sendiri berada dalam ancaman. Komposisi lemak dari beberapa ternak dapat dilihat pada

Dokumen terkait