• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pada bagian analisis data, akan dijelaskan secara lebih rinci temuan penelitian, terutama dalam sikap dan persepsi responden terhadap pandemi COVID-19 di Indonesia. Seperti yang telah dijelaskan dalam bagian sebelumnya, bahwa komponen kognitif responden dalam imbauan jaga jarak sosial/fisik tergolong sangat tinggi, yaitu mencapai 99 persen artinya pengetahuan responden terhadap imbauan jaga jarak sosial/fisik untuk mencegah atau mengurangi penyebaran pandemi COVID-19 sudah sangat tinggi, secara rata-rata (Mean) berada di skor 3,60 (skala 1:4).

Selanjutnya, komponen afektif sebesar 94 persen atau rata-rata skor 3,50 yang artinya tingkat dukungan responden terhadap imbauan jaga jarak sosial/fisik juga tergolong tinggi. Komponen terakhir, yaitu konatif memiliki persentase 89 persen, tergolong tinggi namun paling rendah dibanding dua komponen sebelumnya, dengan skor rata-rata sebesar 3,39 atau di bawah rata-rata variabel sikap, yaitu 3,52 (94,21 persen).

Tabel 3.1 Persentase dan Rata-rata Variabel Sikap

BAB III ANALISIS DATA

Pada bagian analisis data, akan dijelaskan secara lebih rinci temuan penelitian, terutama dalam sikap dan persepsi responden terhadap pandemi COVID-19 di Indonesia. Seperti yang telah dijelaskan dalam bagian sebelumnya, bahwa komponen kognitif responden dalam imbauan jaga jarak sosial/fisik tergolong sangat tinggi, yaitu mencapai 99 persen artinya pengetahuan responden terhadap imbauan jaga jarak sosial/fisik untuk mencegah atau mengurangi penyebaran pandemi COVID-19 sudah sangat tinggi, secara rata-rata (Mean) berada di skor 3,60 (skala 1-4).

Selanjutnya, komponen afektif sebesar 94 persen atau rata-rata skor 3,50 yang artinya tingkat dukungan responden terhadap imbauan jaga jarak sosial/fisik juga tergolong tinggi. Komponen terakhir, yaitu konatif memiliki persentase 89 persen, tergolong tinggi namun paling rendah dibanding dua komponen sebelumnya, dengan skor rata-rata sebesar 3,39 atau di bawah rata-rata variabel sikap, yaitu 3,52 (94,21 persen).

Tabel 3.1 Persentase dan Rata-rata Variabel Sikap

Komponen Sikap Persentase Mean

Kognisi 99,0% 3,66

Afeksi 94,0% 3,50

Konasi 89,5% 3,39

ALL Sikap 94,21% 3,52

Dalam komponen kognisi seluruh aspek memiliki tingkat pengetahuan yang tinggi, sedangkan di komponen afeksi ada satu aspek yang memiliki persentase atau rata-rata persetujuan yang lebih rendah, yaitu dalam dukungan terhadap imbauan untuk beribadah di rumah atau tidak melakukan ibadah bersama di tempat ibadah seperti mesjid, geraja, wiraha dan lainnya, yaitu sebesar 79 persen atau memiliki rata-rata 3,19.

28 Sikap dan Persepsi Masyarakat Berpendapatan Rendah terhadap Imbauan Jaga Jarak Studi pada Masa Pandemi COVID-19

Dalam komponen kognisi seluruh aspek memiliki tingkat pengetahuan yang tinggi, sedangkan di komponen afeksi ada satu aspek yang memiliki persentase atau rata-rata persetujuan yang lebih rendah, yaitu dalam dukungan terhadap imbauan untuk beribadah di rumah atau tidak melakukan ibadah bersama di tempat ibadah seperti mesjid, gereja, wihara dan lainnya, yaitu sebesar 79 persen atau memiliki rata-rata 3,19.

Grafik 3.1 Tabulasi Silang Konasi Bekerja di Rumah

dengan Jenis Pekerjaan

Grafik 3.1 Tabulasi Silang Konasi Bekerja di Rumah dengan Jenis Pekerjaan

Dari hasil tabulasi silang dapat terlihat bahwa ada perbedaan sikap terhadap imbauan bekerja di rumah dengan jenis pekerjaan. Bagi ibu rumah tangga dan responden yang tidak/belum memiliki pekerjaan, 100 persen responden menyatakan menerapkan imbauan untuk bekerja di rumah. Untuk ibu rumah tangga hal ini dapat disebabkan pekerjaan yang dilakukan memang mayoritas sifatnya domestik atau di dalam rumah, sehingga tidak terlalu banyak berpengaruh. Sementara untuk pelaksanaan imbauan bekerja di rumah bagi kalangan usaha bidang jasa, karyawan swasta, dan buruh pabrik tergolong seimbang antara yang melaksanakan dengan yang tidak melaksanakan. Sedangkan, sebagian besar responden yang bekerja sebagai pedagang/wirausaha, mayoritas yakni 67 persen menyatakan tidak melaksanakan imbauan untuk bekerja di rumah.

Dari data ini dapat dilihat bahwa walaupun imbauan bekerja di rumah mendapatkan tingkat pemahaman yang tinggi, namun tidak semua masyarakat berpendapatan rendah bisa melaksanakannya, terutama mereka yang bekerja di bidang informal seperti pedagang dan usaha bidang jasa yang penghasilannya bersifat harian. Selain itu juga, imbauan ini cukup sulit dan berat dilakukan oleh pekerja-pekerja lainnya yang berada di sektor strategis seperti kesehatan, layanan sosial, media massa, keuangan dan sektor strategis lainnya.

20% 33%

44% 50% 67%

Ibu Rumah

Tangga Lainnya Tidak / Belum Bekerja Freelance / Paruh Waktu Usaha Bidang Jasa (Ojek, Supir, Kurir, dll) Karyawan Swasta (Pabrik, Buruh

Tani, Bangunan, dll) Pedagang (Eceran, Grosir) / Wirausaha

Setuju Tidak Setuju

Dari hasil tabulasi silang dapat terlihat bahwa ada perbedaan sikap terhadap imbauan bekerja di rumah dengan jenis pekerjaan. Bagi ibu rumah tangga dan responden yang tidak/belum memiliki pekerjaan, 100 persen responden menyatakan menerapkan imbauan untuk bekerja di rumah. Untuk ibu rumah tangga hal ini dapat disebabkan pekerjaan yang dilakukan memang mayoritas sifatnya domestik atau di dalam rumah, sehingga tidak terlalu banyak berpengaruh. Sementara untuk pelaksanaan imbauan bekerja di rumah bagi kalangan usaha bidang jasa, karyawan swasta, dan buruh pabrik tergolong seimbang antara

29 Sikap dan Persepsi Masyarakat Berpendapatan Rendah terhadap Imbauan Jaga Jarak Studi pada Masa Pandemi COVID-19

Grafik 3.2 Tabulasi Silang Konasi Tidak Berkumpul dengan Jenis Pekerjaan

Masih berkenaan dengan jenis pekerjaan responden, tabulasi silang berikutnya adalah penerapan imbauan tidak berkumpul dengan jenis pekerjaan. Semua responden yang bekerja sebagai buruh dan ibu rumah tangga menyatakan telah menerapkan imbauan untuk tidak berkumpul. Sementara itu responden yang bekerja sebagai pedagang, usaha bidang jasa, dan karyawan swasta sedikit berimbang antara melaksanakan dan tidak melaksanakan terhadap imbauan ini. Karyawan swasta menjadi kelompok pekerjaan yang memiliki tingkat penerapan imbauan untuk tidak berkumpul paling rendah, yaitu 56 persen atau 44 persen tidak menerapkan imbauan ini. Tuntutan pekerjaan sebagai karyawan swasta, usaha bidang jasa dan pedagang yang sering bertemu dengan orang lain tentu menjadi hambatan tersendiri dalam penerapan imbauan untuk tidak berkumpul.

Selain sikap, penelitian ini juga menanyakan persepsi responden terhadap pandemi COVID-19 di Indonesia. Di bagian ini kami hanya akan melakukan analisis lebih lanjut mengenai persepsi masyarakat berpendapatan rendah terhadap kinerja pemerintah dalam penanganan pandemi COVID-19 di Indonesia, hal ini menjadi menarik untuk ditelaah karena dalam deskripsi hasil terlihat bahwa ada dikotomi dalam persepsi responden terhadap pemerintah, dimana 43 persen mengangap kinerja pemerintah tergolong buruk dalam penanganan pandemi ini, sedangkan 57 persen menilai baik.

11% 20% 33% 33% 44% Buruh (Pabrik, Tani, Bangunan, dll) Ibu Rumah

Tangga Lainnya Tidak / Belum Bekerja Freelance / Paruh Waktu Pedagang (Eceran, Grosir) / Wirausaha Usaha Bidang Jasa (Ojek, Supir, Kurir, dll) Karyawan Swasta

Setuju Tidak Setuju

yang melaksanakan dengan yang tidak melaksanakan. Sedangkan, sebagian besar responden yang bekerja sebagai pedagang/wirausaha, mayoritas yakni 67 persen menyatakan tidak melaksanakan imbauan untuk bekerja di rumah.

Dari data ini dapat dilihat bahwa walaupun imbauan bekerja di rumah mendapatkan tingkat pemahaman yang tinggi, namun tidak semua masyarakat berpendapatan rendah bisa melaksanakannya, terutama mereka yang bekerja di bidang informal seperti pedagang dan usaha bidang jasa yang penghasilannya bersifat harian. Selain itu juga, imbauan ini cukup sulit dan berat dilakukan oleh pekerja-pekerja lainnya yang berada di sektor strategis seperti kesehatan, layanan sosial, media massa, keuangan dan sektor strategis lainnya.

Grafik 3.2 Tabulasi Silang Konasi Tidak Berkumpul

dengan Jenis Pekerjaan

Masih berkenaan dengan jenis pekerjaan responden, tabulasi silang berikutnya adalah penerapan imbauan tidak berkumpul dengan jenis pekerjaan. Semua responden yang bekerja sebagai buruh dan ibu rumah tangga menyatakan telah menerapkan imbauan untuk

30 Sikap dan Persepsi Masyarakat Berpendapatan Rendah terhadap Imbauan Jaga Jarak Studi pada Masa Pandemi COVID-19

tidak berkumpul. Sementara itu responden yang bekerja sebagai pedagang, usaha bidang jasa, dan karyawan swasta sedikit berimbang antara melaksanakan dan tidak melaksanakan terhadap imbauan ini. Karyawan swasta menjadi kelompok pekerjaan yang memiliki tingkat penerapan imbauan untuk tidak berkumpul paling rendah, yaitu 56 persen atau 44 persen tidak menerapkan imbauan ini. Tuntutan pekerjaan sebagai karyawan swasta, usaha bidang jasa dan pedagang yang sering bertemu dengan orang lain tentu menjadi hambatan tersendiri dalam penerapan imbauan untuk tidak berkumpul.

Selain sikap, penelitian ini juga menanyakan persepsi responden terhadap pandemi COVID-19 di Indonesia. Di bagian ini kami hanya akan melakukan analisis lebih lanjut mengenai persepsi masyarakat berpendapatan rendah terhadap kinerja pemerintah dalam penanganan pandemi COVID-19 di Indonesia, hal ini menjadi menarik untuk ditelaah karena dalam deskripsi hasil terlihat bahwa ada dikotomi dalam persepsi responden terhadap pemerintah, dimana 43 persen mengangap kinerja pemerintah tergolong buruk dalam penanganan pandemi ini, sedangkan 57 persen menilai baik.

Grafik 3.3 Tabulasi Silang Persepsi Kinerja Pemerintah

dengan Jenis Pekerjaan

Grafik 3.3 Tabulasi Silang Persepsi Kinerja Pemerintah dengan Jenis Pekerjaan

Dari hasil tabulasi silang diketahui bahwa persepsi buruk terhadap kinerja pemerintah dalam penanganan COVID-19 terutama dari responden dengan jenis pekerjaan pedagang (67 persen) dan diikuti oleh paruh waktu (60 persen) serta karyawan swasta (56 persen). Hal ini menjadi temuan yang menarik karena tingkat penilaian buruk lebih dominan dari pekerja yang harus bekerja di luar rumah. Sedangkan dalam jenis pekerjaan lainnya yang terdiri dari buruh dan ibu rumah tangga menilai kinerja pemerintah baik dalam penanganan COVID-19 di Indonesia. Untuk mempertajam analisa kami akan melakukan tabulasi silang persepsi terhadap kinerja pemerintah ini dengan wilayah domisili responden.

Grafik 3.4

Tabulasi Silang Persepsi Kinerja Pemerintah Menangani COVID-19 dengan Wilayah

17% 33% 40% 44% 56% 60% 67% Buruh (Pabrik, Tani, Bangunan, dll) Ibu Rumah Tangga Bidang Jasa Usaha

(Ojek, Supir, Kurir, dll) Lainnya Tidak / Belum Bekerja Karyawan Swasta Freelance / Paruh

Waktu Pedagang (Eceran, Grosir) / Wirausaha Baik Buruk 56% 55% 64% 44% 45% 36%

Jabodetabek Other Java Outside Java Baik Buruk

Dari hasil tabulasi silang diketahui bahwa persepsi buruk terhadap kinerja pemerintah dalam penanganan COVID-19 terutama dari responden dengan jenis pekerjaan pedagang (67 persen) dan diikuti oleh paruh waktu (60 persen) serta karyawan swasta (56 persen). Hal ini menjadi temuan yang menarik karena tingkat penilaian buruk lebih dominan dari pekerja yang harus bekerja di luar rumah. Sedangkan dalam jenis pekerjaan lainnya yang terdiri dari buruh dan ibu rumah tangga menilai kinerja pemerintah baik dalam penanganan COVID-19 di Indonesia. Untuk mempertajam analisis kami akan melakukan tabulasi silang persepsi terhadap kinerja pemerintah ini dengan wilayah domisili responden.

Grafik 3.4 Tabulasi Silang Persepsi Kinerja Pemerintah

Menangani COVID-19 dengan Wilayah

22

Grafik 3.3 Tabulasi Silang Persepsi Kinerja Pemerintah dengan Jenis Pekerjaan

Dari hasil tabulasi silang diketahui bahwa persepsi buruk terhadap kinerja pemerintah dalam penanganan COVID-19 terutama dari responden dengan jenis pekerjaan pedagang (67 persen) dan diikuti oleh paruh waktu (60 persen) serta karyawan swasta (56 persen). Hal ini menjadi temuan yang menarik karena tingkat penilaian buruk lebih dominan dari pekerja yang harus bekerja di luar rumah. Sedangkan dalam jenis pekerjaan lainnya yang terdiri dari buruh dan ibu rumah tangga menilai kinerja pemerintah baik dalam penanganan COVID-19 di Indonesia. Untuk mempertajam analisa kami akan melakukan tabulasi silang persepsi terhadap kinerja pemerintah ini dengan wilayah domisili responden.

Grafik 3.4

Tabulasi Silang Persepsi Kinerja Pemerintah Menangani COVID-19 dengan Wilayah

17% 33% 40% 44% 56% 60% 67% Buruh (Pabrik, Tani, Bangunan, dll) Ibu Rumah Tangga Bidang Jasa Usaha

(Ojek, Supir, Kurir, dll) Lainnya Tidak / Belum Bekerja Karyawan

Swasta Freelance / Paruh Waktu Pedagang (Eceran, Grosir) / Wirausaha Baik Buruk 56% 55% 64% 44% 45% 36%

Jabodetabek Other Java Outside Java Baik Buruk

Hasil tabulasi silang persepsi responden terhadap kinerja pemerintah dalam penanganan COVID-19 berdasarkan wilayah menunjukkan hasil yang cukup berimbang. Di wilayah Jabodetabek persentasi cukup imbang yakni 56 persen menilai baik dan 44 persen menilai buruk. Hal senada juga ditemukan pada wilayah di Pulau Jawa selain Jabodetabek, yakni 55 persen menilai baik dan 45 menilai

buruk. Sementara itu di luar Pulau Jawa, Sebagian besar responden yakni 64 persen menilai baik dan hanya 36 persen yang menilai buruk.

Banyaknya program pemerintah yang difokuskan untuk masyarakat berpendapatan rendah seharusnya dapat menjadi faktor yang mempengaruhi persepsi positif dari responden. Seperti yang telah diketahui bahwa sangat banyak program dan bantuan sosial yang ditujukan untuk masyarakat berpendapatan rendah, seperti yang menjadi program dari Kementerian Sosial RI, mulai dari: (1) perluasan program sembako menjadi 20 juta keluarga penerima manfaat (KPM) dan peningkatan indeksnya menjadi Rp.200.000/KPM/bulan; kemudian (2) peningkatan dan percepatan penyaluran bantuan sosial Program Keluarga Harapan (PKH) di tengah pandemi, dari 9,2 juta menjadi 10 juta KPM dan penyalurannya menjadi per bulan; serta ada juga (3) bantuan sosial khusus dari Presiden di Jabodetabek sebagai antisipasi mudik dan Bantuan Sosial Tunai (BST) untuk seluruh wilayah, kecuali Jabodetabek.

Lain lagi dengan yang diterima masyarakat terdampak pandemi di Provinsi Jawa Barat, di mana terdapat hingga sembilan jenis bantuan yang terutama ditujukan ke masyarakat dengan pendapatan menengah ke bawah, yaitu Program Keluarga Harapan (PKH), Kartu Sembako, serta Bantuan Sosial (Bansos) Presiden khusus perantau Jabodetabek. Selain itu, ada juga Dana Desa untuk kabupaten, Kartu Pra Kerja, bantuan tunai Kementerian Sosial (Kemensos), bansos kabupaten atau kota, bansos gubernur, dan Gerakan Nasi Bungkus dari Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jabar. Belum lagi bantuan yang datang dari lembaga non-pemerintah atau swasta yang sebagian besar menyasar masyarakat berpendapatan rendah. Hal ini tentunya dapat

menjadi bahan evaluasi juga bagi pemerintah pusat maupun daerah untuk membuat program yang lebih efektif lagi untuk penanganan pandemi, baik dari segi ekonomi dan aspek kesehatan masyarakat.

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Secara keseluruhan, sikap masyarakat berpendapatan rendah terhadap imbauan jaga jarak sosial/fisik, yaitu 94,21 persen atau dengan rata-rata 3,52 (skala 1-4). Dari komponen sikap kognisi, pengetahuan terhadap imbauan jaga jarak sosial/fisik untuk mencegah dan mengurangi penyebaran COVID-19 tergolong sangat tinggi yaitu sebesar 99 persen. Hal ini menunjukkan bahwa pada dasarnya informasi, ide, gagasan tentang jaga jarak sosial/ fisik sebagai cara untuk mencegah dan mengurangi penyebaran COVID-19 ini sudah diketahui secara luas. Selanjutnya, dari komponen afeksi, yakni bagaimana masyarakat merespon imbauan jaga jarak sosial/fisik apakah dengan mendukung atau tidak, memiliki besaran nilai yang beriringan dengan tingkat kognisi responden. Komponen afeksi memiliki besaran nilai 94 pesen, artinya hampir seluruh responden penelitian merespon positif terhadap berbagai imbauan untuk melakukan jaga jarak sosial/ fisik.

Meskipun ada salah satu imbauan yang memiliki persentase nilai rendah, yaitu imbauan untuk beribadah di rumah yang memiliki nilai kognisi 95 persen, namun hanya 79 persen untuk afeksi dan 86 persen untuk konasi, yang mana lebih rendah dibandingkan dengan imbauan lainnya yang nilainya rata-rata di atas 90 persen. Sikap masyarakat untuk mematuhi imbauan beribadah di rumah layaknya patut menjadi perhatian, mengingat di beberapa kasus

rumah ibadah yang masih melaksanakan ritual keagamaan didapati kasus positif COVID-19 pada beberapa jamaahnya, sehinga menjadi salah satu klaster penyebaran.

Komponen yang terakhir yaitu konasi, di mana masyarakat menilai apakah mereka telah melaksanakan imbauan jaga jarak sosial/fisik. Hasilnya adalah responden penelitian rata-rata sudah melaksanakan secara nyata berbagai imbauan jaga jarak sosial/ fisik. Namun terdapat persentase aspek yang rendah pada bagian imbauan untuk bekerja dari rumah (79 persen), hal ini dikarenakan imbauan ini hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang bekerja di sektor formal atau di kantor, sementara yang bekerja di sektor informal seperti tukang ojek, pedagang atau yang sejenisnya akan sulit dilaksanakan, karena pekerjaan yang menuntut mereka untuk tetap keluar rumah.

Selain itu, penelitian ini juga menilai bagaimana persepsi masyarakat secara umum tentang bahaya COVID-19, upaya jaga jarak sosial/fisik sebagai jalan pencegahan COVID-19, dan kinerja pemerintah dalam penanganan COVID-19. Hasilnya adalah 100 persen responden menganggap COVID-19 sebagai virus yang berbahaya, serta 88 persen percaya bahwa imbauan jaga jarak sosial/fisik dapat membantu mencegah dan mengurangi penyebaran COVID-19. Namun, dalam persepsi terhadap kinerja pemerintah, ada 43 persen responden yang menilai bahwa kinerja pemerintah dalam penanganan COVID-19 ini buruk atau belum maksimal, di mana persepsi buruk ini terutama dari responden yang berprofesi sebagai pedagang.

B. Rekomendasi

Dari hasil penelitian, kami melihat pentingnya peningkatan kesadaran masyarakat terhadap imbauan jaga jarak sosial/fisik melalui tokoh masyarakat di sekitar lingkungan tempat tinggal. Media massa, terutama media digital telah memberikan informasi dan sosialisasi kepada masyarakat umum, namun ada beberapa aspek dalam imbauan yang membutuhkan pendekatan lebih persuasif dan personal, karena menyangkut masalah keyakinan dalam masyarakat, seperti imbauan untuk melakukan ibadah di rumah saja yang dapat dilakukan oleh tokoh agama setempat dan imbauan untuk tidak berkumpul di luar rumah yang dapat dilakukan kontrolnya oleh RT/RW dan tokoh setempat.

Berikutnya, setelah imbauan jaga jarak sosial/fisik ini, pemerintah mengeluarkan dan memberlakukan peraturan mengenai Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di beberapa wilayah yang memiliki kasus COVID-19 tinggi dan beresiko sesuai Permenkes No. 9 Tahun 2020. Ada beberapa point yang perlu diperhatikan dalam implementasi peraturan tersebut melihat hasil penelitian ini, yaitu dalam hal pembatasan terhadap pekerja (terutama informal) yang masih terpaksa untuk bekerja di luar rumah. Dengan adanya landasan hukum tentu diharapkan pelaksanaannya akan lebih maksimal, karena memiliki sanksi yang lebih jelas bagi masyarakat yang melanggar. Namun, untuk menilai efektifitas pelaksanaan peraturan ini, juga diperlukan suatu penelitian lanjutan, agar dapat mendapat gambaran perbedaan pelaksanaan saat sebelum dan sesudah pemberlakuaan PSBB. Sehingga pemerintah dapat mengeluarkan kebijakan yang tepat sasaran dan efektfif untuk mencegah dan mengurangi penyebaran

Dokumen terkait