• Tidak ada hasil yang ditemukan

SIKAP DAN PERSEPSI MASYARAKAT BERPENDAPATAN RENDAH TERHADAP IMBAUAN JAGA JARAK DELFIRMAN RUDY G. ERWINSYAH BILAL AS ADHANAYADI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SIKAP DAN PERSEPSI MASYARAKAT BERPENDAPATAN RENDAH TERHADAP IMBAUAN JAGA JARAK DELFIRMAN RUDY G. ERWINSYAH BILAL AS ADHANAYADI"

Copied!
54
0
0

Teks penuh

(1)

SIKAP DAN PERSEPSI

MASYARAKAT BERPENDAPATAN RENDAH

TERHADAP IMBAUAN JAGA JARAK

S T U D I P A D A M A S A P A N D E M I C O V I D - 1 9

DELFIRMAN

RUDY G. ERWINSYAH BILAL AS’ADHANAYADI

(2)

SIKAP DAN PERSEPSI

MASYARAKAT BERPENDAPATAN RENDAH TERHADAP IMBAUAN JAGA JARAK

STUDI PADA MASA COVID -19

Penulis: Delfirman Rudy G. Erwinsyah Bilal As’adhanayadi

(3)

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial Kementerian Sosial RI, Jakarta

(iv, 52 hlm)

Judul Buku Sikap dan Persepsi Masyarakat Berpendapatan Rendah

terhadap Imbauan Jaga Jarak: Studi pada Masa Pandemi COVID-19

Penulis 1. Delfirman 2. Rudi G. Erwinsyah 3. Bilal As’Adhanayadi Penerbit Cetakan I ISBN : : : : :

Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial Juli 2020

978-623-7806-14-1

Dilarang keras memperbanyak, memfotokopi sebagian atau seluruh isi buku ini, serta memperjualbelikannya tanpa mendapat izin tertulis dari Penerbit

(4)

KATA PENGANTAR

Puji Syukur kehadirat Tuhan yang Maha Esa, atas berkat serta limpahan rahmatnya buku ini dapat diterbitkan. Buku dengan judul “Sikap dan Persepsi Masyarakat Berpendapatan Rendah terhadap Imbauan Jaga Jarak: Studi pada Masa Pandemi COVID-19” merupakan salah satu buku hasil penelitian dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial (Puslitbangkesos) Kementerian Sosial RI.

Pemerintah pada masa pandemi COVID-19 ini mengimbau kepada seluruh masyarakat di Indonesia agar mulai menerapkan protokol kesehatan jaga jarak. Hal tersebut dilakukan untuk mencegah penularan virus COVID-19. Melalui penelitian “Sikap dan Persepsi Masyarakat Berpendapatan Rendah terhadap Imbauan Jaga Jarak: Studi pada Masa Pandemi COVID-19” para peneliti berusaha untuk menggambarkan sikap dan persepsi terhadap imbauan jaga jarak pada masa pandemi COVID -19. Responden yang menjadi sasaran penelitian tersebut adalah masyarakat berpendapatan rendah. Selain memotret tentang sikap dan persepsi, penelitian ini juga menggambarkan pengaruh faktor sosio-demografi pada sikap dan persepsi tentang imbauan jaga jarak sosial/fisik.

Masih banyak kekurangan yang terdapat di dalam penyusunan buku ini. Namun kami berharap buku ini dapat bermanfaat serta menambah wawasan pengetahuan bagi para pembaca. Akhir kata kami

(5)

mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah mendukung terbitnya buku hasil penelitian ini.

Jakarta, Juli 2020 Kapuslitbangkesos,

(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Permasalahan C. Tujuan

D. Konsep dan Teori E. Metode Penelitian

BAB II DESKRIPSI DATA

A. Demografi Responden

B. Sikap Masyarakat Berpendapatan Rendah terhadap Imbauan Jaga Jarak

C. Persepsi Masyarakat Berpendapatan Rendah terhadap Pandemi COVID-19

BAB III ANALISIS DATA BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan B. Rekomendasi DAFTAR PUSTAKA BIODATA PENULIS i iii 1 1 3 4 5 10 13 13 16 23 27 35 35 37 39 43

(7)
(8)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Virus Corona Baru atau yang dikenal dengan COVID-19 sudah dikategorikan sebagai pandemi global oleh World Health Organization (WHO) dan menyebar ke berbagai negara di dunia termasuk Indonesia. Pada saat tulisan ini disusun, data terakhir dari Kementerian Kesehatan RI (per 30 April 2020) menyatakan angka positif COVID-19 di Indonesia adalah 10.118 kasus terkonfirmasi, dengan 792 orang meninggal dunia. Sedangkan data secara global mencapai 3.191.827 orang yang terjangkit, dengan jumlah kematian sebanyak 227.535 orang.

Menanggapi hal itu pemerintah Republik Indonesia melalui Presiden Joko Widodo menyerukan masyarakat untuk melakukan beberapa langkah pencegahan, salah satunya yaitu dengan melakukan social distancing atau jaga jarak sosial (Herdiana, 2020). Praktik jaga jarak sosial, social distance atau social distancing, adalah sebuah praktik dalam kesehatan masyarakat untuk mencegah orang sakit melakukan kontak dengan orang sehat guna mengurangi peluang penularan penyakit (Pearce, 2020; Reluga, 2010). Tindakan ini bisa dilakukan dengan cara seperti membatalkan acara kelompok atau menutup ruang publik, serta menghindari keramaian. Sementara menurut Center for Disease Control (CDC) atau Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit di Amerika Serikat, social distancing adalah menjauhi perkumpulan, menghindari pertemuan massal, dan menjaga jarak

(9)

antar fisik invididu manusia (Maharaj & Kleczkowski, 2012; Tiffany, 2020).

Jaga jarak sosial dilakukan karena diyakini para ahli merupakan cara paling mudah untuk mengurangi risiko tertular dan memutus mata rantai penyebarannya (Stein, 2020; Tuite et al., 2020). Memang cara ini bukanlah satu-satunya dan yang paling efektif, namun perlu dilakukan untuk menunda pertumbuhannya yang sangat pesat sampai ditemukan vaksinnya. Penerapan jaga jarak sosial ini jelas memerlukan partisipasi aktif semua pihak, dengan mempertegas hal-hal apa saja yang perlu dilakukan dan keuntungan dari melakukan hal tersebut (Yanti et al., 2020).

Inti dari penerapan jaga jarak sosial ada pada individu dan masyarakat untuk mengubah gaya hidup menjadi lebih bersih dan mengurangi kontak dengan orang lain. Hal ini tentu menyebabkan perubahan dalam interaksi dan kebiasaan masyarakat, dampak sosial ekonomi seperti menurunnya pendapatan, waktu untuk bersosialisasi dan lainnya menjadi dikorbankan, namun itu harga yang memang harus dibayar untuk sebuah kesehatan bersama (Lewnard & Lo, 2020; Maharaj & Kleczkowski, 2012).

Dalam perkembangannya memang istilah jaga jarak sosial atau social distancing dianggap kurang tepat, WHO menyatakan telah mengubah penggunaan istilah social distancing menjadi physical distancing atau jaga jarak fisik (Bergman et al., 2020; Gale, 2020). Hal ini pun diikuti oleh pemerintah, Menkopolhukam Mahfud MD mengatakan pemerintah mengubah imbauan dalam mencegah penyebaran virus corona dari “pembatasan interaksi sosial (social distancing)” menjadi “menjaga jarak secara fisik

(10)

(physical distancing)”. Penyebutan physical distancing dirasa lebih pas untuk konteks menjaga jarak fisik terkait pencegahan penularan COVID-19.

Namun, apapun istilahnya menjaga jarak untuk mengurangi dan memutus mata rantai pandemi sangat perlu dilakukan oleh masyarakat, karena itu menjadi tugas pemerintah untuk terus memberikan pengertian bahkan memberikan sanksi bila diperlukan untuk mempertegas pemberlakuan aturan tersebut.

B. Permasalahan

Luasnya wilayah Indonesia, dan begitu beragamnya masyarakat baik dari segi status sosial ekonomi, jenis pekerjaan, tingkat pendidikan, wilayah geografis, dan faktor lainnya menjadi permasalahan tersendiri dalam penerapan imbauan jaga jarak sosial/ fisik. Pemerintah dan berbagai pihak terkait sudah melakukan berbagai upaya agar masyarakat mulai melakukan jaga jarak sosial/ fisik, namun tanggapan dan cara masyarakat menyikapi imbauan pemerintah sangat beragam.

Dengan adanya pembatasan kegiatan dan imbauan jaga jarak sosial/fisik, masyarakat terutama yang berpendapatan rendah tentu sangat merasakan dampaknya. Masyarakat berpendapatan rendah yang kebanyakan mengandalkan upah atau penghasilan harian tentunya sangat bergantung pada aktifitas ekonomi sehari-hari, seperti berjualan keliling, ojek, buruh harian dan lainnya. Kelompok masyarakat ini lebih rentan terdampak secara langsung, dibanding kelompok masyarakat lainnya.

(11)

Berdasarkan latar belakang dan permasalahan di atas, peneliti ingin melihat:

1. Bagaimana sikap masyarakat berpendapatan rendah terhadap imbauan jaga jarak saat terjadi pandemi COVID-19 di Indonesia?

2. Bagaimana persepsi masyarakat berpendapatan rendah terhadap imbauan jaga jarak saat terjadi pandemi COVID-19 di Indonesia?

3. Bagaimana pengaruh faktor sosio-demografi dengan sikap dan persepsi masyarakat berpendapatan rendah terhadap imbauan jaga jarak pandemi COVID-19 di Indonesia?

C. Tujuan

1. Mendeskripsikan sikap masyarakat berpendapatan rendah terhadap imbauan jaga jarak saat terjadi pandemi COVID-19 di Indonesia.

2. Mendeskripsikan persepsi masyarakat berpendapatan rendah terhadap imbauan jaga jarak saat terjadi pandemi COVID-19 di Indonesia.

3. Mengidentifikasi pengaruh faktor sosio-demografi dengan sikap dan persepsi masyarakat berpendapatan rendah terhadap imbauan jaga jarak pandemi COVID-19 di Indonesia.

(12)

D. Konsep dan Teori

1. Jaga Jarak Sosial/Fisik (Social/Physical Distancing)

Jaga jarak sosial mengacu pada pengadopsian perilaku oleh individu dalam suatu komunitas yang mengurangi risiko individu tersebut terinfeksi dengan membatasi kontak mereka dengan individu lain atau mengurangi risiko penularan selama setiap kontak (Bergman et al., 2020; Reluga, 2010; Weill et al., 2020). Biasanya jarak sosial menimbulkan pengorbanan dalam hal kebebasan, modal sosial, waktu, kenyamanan, Kesehatan mental, dan uang, sehingga orang-orang hanya akan mengadopsi tindakan-tindakan ini ketika ada insentif khusus untuk melakukannya (Lewnard & Lo, 2020; Reluga, 2010).

Awalnya WHO menjadikan istilah social distancing untuk mencegah penyebaran virus dengan upaya menghindari pertemuan dengan skala besar dan menjaga jarak fisik dengan yang lainnya (Gale, 2020). Akan tetapi hal itu menuai kritik dari para ahli, bahwa istilah yang tepat apabila mengacu pada upaya menghindari pertemuan dan menjaga jarak fisik adalah physical distancing, bahwa upaya yang dilakukan untuk memperlambat penyebaran COVID-19 harus mendorong penguatan ikatan sosial akan tetapi tetap menjaga jarak fisik (Bergman et al., 2020). Hal yang membedakan istilah social distancing menjadi physical distancing, yaitu seseorang benar-benar terpisah secara fisik akan tetapi dari sisi kehidupan sosial tetap bersatu (Bergman et al., 2020; Herdiana, 2020). Namun, istilah social distancing telah mengakar di masyarakat, penggunaan istilah apapun yang ada pada saat ini yang terpenting menurutnya

(13)

bahwa pesan yang tersampaikan di masyarakat adalah jelas bahwa mereka harus tetap menjaga jarak secara fisik dan setuju bahwa masyarakat harus tetap menjaga ikatan sosialnya untuk bertahan dan pulih dari bencana ini.

2. Sikap

a. Konsep Sikap

Menurut Thurstone dan Osgood, sikap merupakan suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan. Sikap seseorang terhadap objek adalah perasaan mendukung atau memihak (favorable) ataupun perasaan tidak mendukung (unfavorable) objek tersebut (Azwar, 2011). Formulasi oleh Thurstone sendiri mengatakan bahwa sikap adalah derajat afek positif atau afek negatif yang dikaitkan dengan suatu objek psikologis.

Menurut Berhowitz, sikap merupakan suatu respon evaluatif (Azwar, 2011). Walaupun pembentukan sikap seringkali tidak sadari oleh orang yang bersangkutan, akan tetapi sikap bersifat dinamis dan terbuka terhadap kemungkinan perubahan dikarenakan interaksi seseorang dengan lingkungan di sekitarnya. Kemudian, sikap hanya akan ada artinya bila ditampakkan dalam bentuk pernyataan perilaku, baik perilaku lisan maupun perilaku perbuatan. Memang benar bahwa apa yang dinyatakan seseorang sebagai sikapnya secara terbuka tidak selalu sesuai dengan sikap hatinya yang sesungguhnya. Kondisi lingkungan dan situasi di suatu saat serta di suatu tempat tidak disangsikan

(14)

lagi pengaruhnya terhadap pernyataan sikap seseorang. Sementara itu Sax menunjukkan beberapa karakteristik sikap, yang meliputi arah, intensitas, keluasan, konsitensi dan spontanitasnya (Azwar, 2011). Suatu sikap mempunyai arah, artinya, sikap akan menunjukkan apakah seseorang menyetujui atau tidak menyetujui, apakah mendukung atau tidak mendukung, apakah memihak atau tidak memihak terhadap suatu objek sikap.

b. Pembentukan Sikap

Sikap merupakan produk dari proses sosialisasi dimana seseorang bereaksi sesuai dengan rangsang yang diterimanya (Azwar, 2011). Jika sikap mengarah pada obyek tertentu, berarti bahwa penyesuaian diri terhadap obyek tersebut dipengaruhi oleh lingkungan sosial dan kesedian untuk bereaksi dari orang tersebut terhadap obyek. Sikap memerlukan kecenderungan yang ada untuk menanggapi objek sosial yang dalam interaksi dengan variabel situasional dan disposisi lainnya, memandu dan mengarahkan perilaku nyata individu (Azwar, 2011; Notoatmodjo, 2003).

Hal ini ditekankan pula oleh Mead, di mana pembentukan sikap tidak terlepas dari adanya persepsi pada individu (Ritzer & Goodman, 2008). Menurutnya persepsi merukapan hasil dari rangsangan yang berasal dari impuls (reaksi terhadap rangsangan). Stimulus atau rangsangan yang timbul dari adanya pemahaman dan objek yang tak dapat dipisahkan satu sama lain.

(15)

Sikap memiliki tiga komponen (Azwar, 2011) yaitu: 1) Komponen kognisi yang hubungannya dengan keyakinan

(beliefs), ide, dan konsep. Komponen kognisi melukiskan obyek tersebut sekaligus mengaitkannya dengan obyek-obyek lain di sekitarnya.

2) Komponen afeksi yang menyangkut kehidupan emosional seseorang yang memiliki penilaian yang dapat bersifat positif atau negatif. Sistem emosional yang mengakibatkan timbulnya perasaan senang atau tidak, takut atau tidak. 3) Komponen konasi yang merupakan kecenderungan

bertingkah laku.

Ketiga komponen tersebut tidak berdiri sendiri, namun merupakan interaksi dari komponen-komponen tersebut secara kompleks yang menunjukkan bahwa manusia merupakan suatu sistem kognitif. Hal ini berarti bahwa yang dipikirkan seseorang tidak akan terlepas dari perasaannya.

3. Persepsi

Persepsi merupakan proses internal yang memungkinkan seseorang untuk memilih, mengorganisir, serta menafsirkan rangsangan dari lingkungan. Proses tersebut juga dapat mempengaruhi perilaku seserorang (Mulyana, 2000). Proses persepsi selain merespon terhadap stimulus tetapi juga pengalaman-pengalaman yang dialami individu menjadi satu kesatuan dengan stimulus yang didapat sehingga seseorang tersebut dapat mempersepsikan sesuatu (Walgito, 2004).

(16)

Faktor yang berpengaruh dalam pembentukan persepsi seseorang terhadap objek sosial bisa datang dari dalam individu maupun dari lingkungannya. Beberapa faktor internal yang membentuk persepsi individu adalah motif/kepentingan, pengalaman, serta harapan yang ada pada diri individu tersebut. Sedangkan faktor eksternal yang berpengaruh dalam pembentukan persepsi adalah situasi, dalam arti situasi sebagai konteks dan rentang waktu yang berbeda akan mempengaruhi persepsi yang dibentuk (Muchlas, 2008). Faktor eksternal yang dapat berpengaruh dalam pembentukan persepsi individu dijelaskan juga antara lain seperti pengaruh agama, gender, tingkat Pendidikan, pekerjaan, penghasilan, peranan, status sosial (Mulyana, 2000).

4. Masyarakat Berpendapatan Rendah

Bank dunia menggolongkan penduduk di dunia menjadi tiga kelas, yaitu 40 persen penduduk berpendapatan rendah, 40 persen penduduk berpendapatan sedang dan 20 persen sisanya merupakan kategori penduduk dengan pendapatan tinggi (Badan Pusat Statistik, 2016). Masyarakat berpendapatan rendah yang selanjutnya disebut sebagai MBR adalah masyarakat dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan. Definisi MBR tersebut mengacu pada konsep yang dikeluarkan oleh BPS. Batasan tersebut menunjukkan bahwa 40 persen terbawah dari piramida penduduk dapat dikategorikan sebagai penduduk miskin atau penduduk dengan pendapatan rendah (Emmy & Indrastuti, 2018).

(17)

Kategori penduduk miskin terbagi ke dalam empat desil yaitu kategori desil-1 merupakan penduduk sangat miskin. Dari sisi jumlah pendapatan per kapita desil-1 nilai pendapatan per kapita sekitar Rp. 176.416,8; desil-2 merupakan penduduk dengan jumlah pendapatan per kapita sekitar 313.019,9; desil-3 merupakan jumlah penduduk dengan pendapatan sekitar 453.891,4; dan desil-4 merupakan pendudukan dengan pendapatan sekitar 840.809,2 (Emmy & Indrastuti, 2018). Garis Kemiskinan pada Maret 2018 tercatat sebesar Rp. 401.220,-/ kapita/bulan dengan komposisi Garis Kemiskinan Makanan sebesar Rp. 294.806,- (73,48 persen) dan Garis Kemiskinan Bukan Makanan sebesar Rp. 106.414,- (26,52 persen). Secara rata-rata rumah tangga miskin di Indonesia memiliki 4,59 orang anggota rumah tangga. Dengan demikian, besarnya Garis Kemiskinan per rumah tangga miskin secara rata-rata adalah sebesar Rp. 1.841.600,-/rumah tangga miskin/bulan. (Badan Pusat Statistik, 2018).

E. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan jenis deskriptif. Teknik pengumpulan data menggunakan online survey, melalui aplikasi Survey Kemsos (survey.kemsos.go.id) yang disebar menggunakan tautan melalui media sosial (Instagram, Twitter, Facebook) dan aplikasi chat (WhatsApp).

Keunggulan pengumpulan data melalui online survey antara lain: (1) dapat menjangkau wilayah yang luas, (2) tanggapan responden relatif cepat, (3) berbiaya rendah, (4) anonimitas

(18)

responden terjaga, dan (5) meminimalisir bias pewawancara (Sheehan, 2002). Lebih lanjut lagi online survey dapat digunakan untuk menyesuaikan keadaan yang tidak memungkinkan untuk dilakukan wawancara tatap muka (Van Selm & Jankowski, 2006).

Sampling dalam penelitian ini adalah masyarakat berpendapatan rendah (MBR). Dengan jumlah 42 orang responden, menggunakan jenis pengambilan sample Non Probabilitas, yaitu Convenience / Accidental Sampling. Rentang usia responden dalam penelitian ini yakni 15 sampai dengan 65 tahun, dengan lokasi domisili tersebar di seluruh wilayah Indonesia.

F. Limitasi Penelitian

Pengumpulan data penelitian ini dilakukan saat pandemi COVID-19 sedang terjadi dan bertambah cukup pesat di Indonesia, yaitu dimulai dari tanggal 1 sampai dengan 5 April 2020. Seperti yang diketahui bersama bahwa kasus pertama COVID -19 di Indonesia adalah per tanggal 2 Maret 2020, artinya penelitian ini dilakukan kurang lebih satu bulan sejak munculnya kasus pertama COVID-19 di Indonesia, dan juga dilakukan sebelum dimulainya pemberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) oleh pemerintah sesuai Permenkes No. 9 Tahun 2020 pada tanggal 10 April 2020. Sehingga data dalam hasil penelitian ini hanya memotret penerapan imbauan jaga jarak sosial/fisik pada masa itu.

(19)
(20)

13 Sikap dan Persepsi Masyarakat Berpendapatan Rendah terhadap Imbauan Jaga Jarak Studi pada Masa Pandemi COVID-19

BAB II

DESKRIPSI DATA

A. Demografi Responden

Gambaran umum demografi responden penelitian di antaranya mencakup kelompok usia, tingkat pendidikan terakhir, jenis pekerjaan, jenis kelamin, provinsi dan area sebaran responden penelitian.

Grafik 2.1 Kelompok Usia

Menurut kelompok usia seperti terlihat pada grafik 2.1, responden didominasi pada rentang usia 20-24 sebanyak 33 persen, 25-29 sebanyak 24 persen dan 35-39 tahun tahun sebanyak 17 persen. Hal tersebut menunjukkan bahwa responden penelitian yang mengisi survey kebanyakan berasal dari kelompok dewasa awal (20-39 tahun), yaitu sebesar 86 persen, sisanya masuk kategori dewasa madya sebanyak 9 persen, dan juga remaja sebanyak 5 persen.

BAB II DESKRIPSI DATA A. Demografi Responden

Gambaran umum demografi responden penelitian diantaranya mencakup kelompok usia, tingkat pendidikan terakhir, jenis pekerjaan, jenis kelamin, provinsi dan area sebaran responden penelitian.

Grafik 2.1 Kelompok Usia

Menurut kelompok usia seperti terlihat pada grafik 2.1, responden didominasi pada rentang usia 20-24 sebanyak 33 persen, 25-29 sebanyak 24 persen dan 35-39 tahun tahun sebanyak 17 persen. Hal tersebut menunjukkan bahwa responden penelitian yang mengisi survey kebanyakan berasal dari kelompok dewasa awal (20-39 tahun), yaitu sebesar 86 persen, sisanya masuk kategori dewasa madya sebanyak 9 persen, dan juga remaja sebanyak 5 persen.

Grafik 2.2 Pendidikan Terakhir

5% 33% 24% 12% 17% 5% 2% 2% 15 - 19

Tahun 20 - 24 Tahun 25 - 29 Tahun 30 - 34 Tahun 35 - 39 Tahun 40 - 44 Tahun 45 - 49 Tahun 50 - 54 Tahun

2% 38% 7% 45% 7% SD / Sederajat SMA / SMK /

(21)

Grafik 2.2 Pendidikan Terakhir

Gambaran responden berdasarkan tingkat pendidikan terakhir terlihat pada grafik 2.2. Pada Grafik tersebut menunjukkan tingkat pendidikan terakhir responden didominasi tingkat Sarjana (S1), sebesar 45 persen, kemudian diikuti jenjang pendidikan SMA/sederajat (38 persen). Pada tingkat pendidikan SD/sederajat dan SMP/sederajat memiliki presentase yang sangat kecil. Hal ini menunjukkan bahwa mayoritas responden adalah mereka yang menamatkan jenjang pendidikan menengah hingga perguruan tinggi (98 persen). Hal ini dapat dikarenakan metode pengumpulan data menggunakan kuesioner digital yang diperoleh melalui tautan, sehingga membutuhkan kemampuan penggunaan teknologi yang cukup baik untuk dapat mengisi kuesioner.

9 BAB II DESKRIPSI DATA A. Demografi Responden

Gambaran umum demografi responden penelitian diantaranya mencakup kelompok usia, tingkat pendidikan terakhir, jenis pekerjaan, jenis kelamin, provinsi dan area sebaran responden penelitian.

Grafik 2.1 Kelompok Usia

Menurut kelompok usia seperti terlihat pada grafik 2.1, responden didominasi pada rentang usia 20-24 sebanyak 33 persen, 25-29 sebanyak 24 persen dan 35-39 tahun tahun sebanyak 17 persen. Hal tersebut menunjukkan bahwa responden penelitian yang mengisi survey kebanyakan berasal dari kelompok dewasa awal (20-39 tahun), yaitu sebesar 86 persen, sisanya masuk kategori dewasa madya sebanyak 9 persen, dan juga remaja sebanyak 5 persen.

Grafik 2.2 Pendidikan Terakhir

5% 33% 24% 12% 17% 5% 2% 2% 15 - 19

Tahun 20 - 24 Tahun 25 - 29 Tahun 30 - 34 Tahun 35 - 39 Tahun 40 - 44 Tahun 45 - 49 Tahun 50 - 54 Tahun

2% 38% 7% 45% 7% SD / Sederajat SMA / SMK /

(22)

Grafik 2.3 Jenis Pekerjaan

10

Gambaran responden berdasarkan tingkat pendidikan terakhir terlihat pada grafik 2.2. Pada grafik tersebut menunjukkan tingkat pendidikan terakhir responden didominasi tingkat Sarjana (S1), sebesar 45 persen, kemudian diikuti jenjang pendidikan SMA/sederajat (38 persen). Pada tingkat pendidikan SD/sederajat dan SMP/sederajat memiliki presentase yang sangat kecil. Hal ini menunjukkan bahwa mayoritas responden adalah mereka yang menamatkan jenjang pendidikan menengah hingga perguruan tinggi (98 persen). Hal ini dapat dikarenakan metode pengumpulan data menggunakan kuesioner digital yang diperoleh melalui tautan, sehingga membutuhkan kemampuan penggunaan teknologi yang cukup baik untuk dapat mengisi kuesioner.

Grafik 2.3 Jenis Pekerjaan

Jenis pekerjaan berdasarkan grafik 2.3 menunjukkan mayoritas responden penelitian memiliki pekerjaan sebagai karyawan swasta kemudian diikuti oleh mereka yang tidak/belum bekerja masing-masing sebesar 21 persen. Selanjutnya adalah sebagai Ibu rumah tangga sebesar 14 persen dan responden pekerja lepas/freelance sebesar 12 persen. Sedangkan sisanya berstatus sebagai pedagang, ojek, buruh, mahasiswa/pelajar, dan pekerjaan lainnya.

21% 21% 14% 12% 7% 7% 5% 12% Karyawan Swasta

Tidak / Belum Bekerja Ibu Rumah Tangga Freelance / Paruh Waktu Pedagang (Eceran, Grosir) /

Wirausaha Usaha Bidang Jasa (Ojek, Supir,

Kurir, dll) Buruh (Pabrik, Tani, Bangunan, dll)

Lainnya

Jenis pekerjaan berdasarkan Grafik 2.3 menunjukkan mayoritas responden penelitian memiliki pekerjaan sebagai karyawan swasta kemudian diikuti oleh mereka yang tidak/belum bekerja masing-masing sebesar 21 persen. Selanjutnya adalah sebagai Ibu rumah tangga sebesar 14 persen dan responden pekerja lepas/freelance sebesar 12 persen. Sedangkan sisanya berstatus sebagai pedagang, ojek, buruh, mahasiswa/pelajar, dan pekerjaan lainnya.

(23)

11

Grafik 2.4 Jenis Kelamin

Sebaran responden penelitian berdasarkan jenis kelamin berdasarkan grafik 2.4 cukup berimbang antara perempuan sebesar 52 persen dan laki-laki sebesar 48 persen.

Grafik 2.5 Domisili Wilayah

Dari grafik 2.5 sebagian besar responden penelitian berasal dari Pulau Jawa (selain Jabodetabek) yaitu sebesar 52 persen, yang meliputi wilayah DIY, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan sebagian Jawa Barat. Lalu, diikuti dengan luar Pulau Jawa (Bali, Sulawesi Selatan dan Kalimantan Tengah) sebesar 26 persen dan Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi) sebesar 21 persen. Wilayah Jabodetabek yang merupakan pusat penyebaran kasus menjadi perhatian bagi peneliti untuk melihat sejauh mana masyarakat berpendapatan rendah menyikapi imbauan pemerintah terkait jaga jarak sosial/fisik.

B. Sikap Masyarakat Berpendapatan Rendah terhadap Imbauan Jaga Jarak

Untuk mengetahui bagaimana sikap masyarakat terhadap imbauan jaga jarak sosial/fisik saat pandemi COVID-19, kami menalaahnya dalam tiga komponen sikap,

48%

52% Laki-laki Perempuan

21%

52%

26%

Jabodetabek P. Jawa (Lainnya) Luar P. Jawa

Sebaran responden penelitian berdasarkan jenis kelamin berdasarkan Grafik 2.4 cukup berimbang antara perempuan sebesar 52 persen dan laki-laki sebesar 48 persen.

Grafik 2.5 Domisili Wilayah

Dari Grafik 2.5 sebagian besar responden penelitian berasal dari Pulau Jawa (selain Jabodetabek) yaitu sebesar 52 persen, yang meliputi wilayah DIY, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan sebagian Jawa Barat. Lalu, diikuti dengan luar Pulau Jawa (Bali, Sulawesi Selatan dan Kalimantan Tengah) sebesar 26 persen dan Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi) sebesar 21 persen. Wilayah Jabodetabek yang merupakan pusat penyebaran kasus menjadi perhatian bagi peneliti untuk melihat sejauh mana masyarakat berpendapatan rendah menyikapi imbauan pemerintah terkait jaga jarak sosial/fisik.

B. Sikap Masyarakat Berpendapatan Rendah terhadap Imbauan Jaga Jarak

Untuk mengetahui bagaimana sikap masyarakat terhadap imbauan jaga jarak sosial/fisik saat pandemi COVID-19, kami

(24)

17 Sikap dan Persepsi Masyarakat Berpendapatan Rendah terhadap Imbauan Jaga Jarak Studi pada Masa Pandemi COVID-19

yaitu kognisi, afeksi dan konasi. Dalam tiap komponen kami menanyakan sepuluh aspek jaga jarak sosial/fisik oleh pemerintah, mulai dari imbauan untuk tidak hadir di acara yang dihadiri banyak orang, seperti resepsi pernikahan, seminar, konser musik, dan lainnya, hingga imbauan untuk tidak nongkrong atau berlama-lama di tempat makan (kafe, restoran, warung makan, dan lainnya) dan pusat perbelanjaan (mall, pasar, dan lainnya).

1. Komponen Kognisi

Untuk mengetahui komponen kognisi peneliti bertanya seberapa besar pengetahuan responden mengenai imbauan jaga jarak yang dikeluarkan pemerintah untuk mengurangi atau mencegah penyebaran pandemi COVID-19 di Indonesia.

Grafik 2.6 Pengetahuan terhadap Imbauan Jaga Jarak Mencegah Penyebaran COVID-19

Dari hasil penelitian diketahui bahwa tingkat pengetahuan responden terhadap imbauan jaga jarak sosial/fisik untuk mengurangi atau mencegah penyebaran pandemi COVID-19 di Indonesia sudah sangat tinggi. Terdapat tujuh aspek yang memiliki persentase tertinggi sebesar 100 persen, yakni imbauan untuk bekerja/belajar dari rumah, jaga jarak 1-2 meter, tidak pergi ke luar kota, tidak berwisata, tidak nongkrong di tempat makan/mall, tidak bersalaman/bersentuhan, dan tidak hadir ke acara. Pengetahuan responden dalam imbauan jaga jarak sosial/fisik secara umum untuk mengurangi atau mencegah penyebaran COVID-19 sangat tinggi, yaitu sebesar 99 persen. 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 98% 98% 95% Bekerja / Belajar dari Rumah

Jaga Jarak 1-2 Meter Tidak Pergi Keluar Kota Tidak Berwisata Tidak Nongkrong di Tempat Makan / Mall Tidak Bersalaman / Bersentuhan Tidak Hadir ke Acara Tidak Berkumpul di Luar Himbauan Social Distancing Beribadah di Rumah

KOGNISI

menalaahnya dalam tiga komponen sikap, yaitu kognisi, afeksi dan konasi. Dalam tiap komponen kami menanyakan sepuluh aspek jaga jarak sosial/fisik oleh pemerintah, mulai dari imbauan untuk tidak hadir di acara yang dihadiri banyak orang, seperti resepsi pernikahan, seminar, konser musik, dan lainnya, hingga imbauan untuk tidak nongkrong atau berlama-lama di tempat makan (kafe, restoran, warung makan, dan lainnya) dan pusat perbelanjaan (mall, pasar, dan lainnya).

1. Komponen Kognisi

Untuk mengetahui komponen kognisi peneliti bertanya seberapa besar pengetahuan responden mengenai imbauan jaga jarak yang dikeluarkan pemerintah untuk mengurangi atau mencegah penyebaran pandemi COVID-19 di Indonesia.

Grafik 2.6 Pengetahuan terhadap Imbauan Jaga Jarak

(25)

18 Sikap dan Persepsi Masyarakat Berpendapatan Rendah terhadap Imbauan Jaga Jarak Studi pada Masa Pandemi COVID-19

Dari hasil penelitian diketahui bahwa tingkat pengetahuan responden terhadap imbauan jaga jarak sosial/fisik untuk mengurangi atau mencegah penyebaran pandemi COVID-19 di Indonesia sudah sangat tinggi. Terdapat tujuh aspek yang memiliki persentase tertinggi sebesar 100 persen, yakni imbauan untuk bekerja/belajar dari rumah, jaga jarak 1-2 meter, tidak pergi ke luar kota, tidak berwisata, tidak nongkrong di tempat makan/mall, tidak bersalaman/bersentuhan, dan tidak hadir ke acara. Pengetahuan responden dalam imbauan jaga jarak sosial/ fisik secara umum untuk mengurangi atau mencegah penyebaran COVID-19 sangat tinggi, yaitu sebesar 99 persen.

Tingginya level pengetahuan masyarakat mengenai imbauan jaga jarak sosial/fisik untuk mengurangi dan mencegah penyebaran COVID-19 dipengaruhi oleh arus informasi terutama di media digital yang begitu masif. Hal ini sesuai dengan data hasil penelitian mengenai sumber informasi tentang COVID-19 di Indonesia.

Grafik 2.7 Sumber Informasi COVID-19

Tingginya level pengetahuan masyarakat mengenai imbauan jaga jarak sosial/fisik untuk mengurangi dan mencegah penyebaran COVID-19 dipengaruhi oleh arus informasi terutama di media digital yang begitu masif. Hal ini sesuai dengan data hasil penelitian mengenai sumber informasi tentang COVID-19 di Indonesia.

Grafik 2.7 Sumber Informasi COVID-19

Media sosial seperti Instagram, Facebook dan Twitter menjadi sumber informasi utama responden dalam mengakses informasi seputar perkembangan COVID-19, termasuk mengenai imbauan jaga jarak sosial/fisik, yaitu sebesar 93 persen. Jumlah pengguna media sosial di Indonesia yang semakin besar menjadikannya sangat efektif dalam penyebaran berita dan informasi. Selain sosial media, portal berita online seperti Kompas.com, Detik.com, Tribunnnews.com dan lainnya juga menjadi media utama penyebaran informasi COVID-19, yaitu sebesar 57 persen. Bahkan WhatsApp Group juga menjadi saluran utama informasi, hanya unggul sedikit dengan media elektronik televisi, yaitu sebesar 45 persen.

Pesatnya perkembangan media digital di Indonesia tentunya memberikan banyak sisi positif dalam hal penyebaran informasi mengenai imbauan jaga jarak sosial/fisik, namun perlu diperhatikan juga sisi negatif dari media digital, salah satunya adalah hoaks atau berita bohong yang kerap memberikan distorsi informasi atau kebingungan masyarakat dalam menyerap mana informasi yang tepat, apalagi jika tidak dibarengi dengan literasi media yang baik dari masyarakat.

2. Komponen Afeksi

Komponen sikap berikutnya adalah komponen afeksi yang merupakan tahap lanjutan dari kognisi. Setelah responden mengetahui imbauan jaga jarak sosial/fisik

93% 57% 45% 40% 17% 14% Sosial Media Portal Berita WA Grup TV Teman / Kerabat Media Cetak

(26)

Media sosial seperti Instagram, Facebook dan Twitter menjadi sumber informasi utama responden dalam mengakses informasi seputar perkembangan COVID-19, termasuk mengenai imbauan jaga jarak sosial/fisik, yaitu sebesar 93 persen. Jumlah pengguna media sosial di Indonesia yang semakin besar menjadikannya sangat efektif dalam penyebaran berita dan informasi. Selain sosial media, portal berita online seperti Kompas.com, Detik.com, Tribunnnews.com dan lainnya juga menjadi media utama penyebaran informasi COVID-19, yaitu sebesar 57 persen. Bahkan WhatsApp Group juga menjadi saluran utama informasi, hanya unggul sedikit dengan media elektronik televisi, yaitu sebesar 45 persen.

Pesatnya perkembangan media digital di Indonesia tentunya memberikan banyak sisi positif dalam hal penyebaran informasi mengenai imbauan jaga jarak sosial/fisik, namun perlu diperhatikan juga sisi negatif dari media digital, salah satunya adalah hoax atau berita bohong yang kerap memberikan distorsi informasi atau kebingungan masyarakat dalam menyerap mana informasi yang tepat, apalagi jika tidak dibarengi dengan literasi media yang baik dari masyarakat.

2. Komponen Afeksi

Komponen sikap berikutnya adalah komponen afeksi yang merupakan tahap lanjutan dari kognisi. Setelah responden mengetahui imbauan jaga jarak sosial/fisik untuk mencegah dan mengurangi penyebaran COVID-19, selanjutnya adalah mengukur bagaimana responden merespon imbauan tersebut, apakah dengan mendukung atau tidak mendukung.

(27)

Grafik 2.8 Dukungan terhadap Imbauan Jaga Jarak

Dari data hasil penelitian diketahui bahwa imbauan jaga jarak sosial/fisik yang memiliki persentase dukungan terbesar adalah imbauan jaga jarak 1-2 meter dan tidak berwisata sebesar 100 persen. Imbauan untuk melakukan jaga jarak sosial/fisik secara umum memiliki persentase dukungan di atas 90 persen, sedangkan yang memiliki nilai dukungan terendah adalah imbauan untuk beribadah di rumah atau tidak melakukan ibadah bersama di tempat ibadah seperti mesjdi, gereja, wihara dan lainnya, yaitu sebesar 79 persen.

Temuan ini menjadi menarik karena dari hasil pengamatan peneliti dan pemberitaan yang ada di media massa, memang ditemukan masih cukup banyak tempat ibadah yang masih melaksanakan kegiatan ibadah bersama di tengah merebaknya pandemi COVID-19. Salah satu contohnya ialah berita mengenai kegiatan ibadah bersama dan ziarah yang dilakukan di Mesjid

untuk mencegah dan mengurangi penyebaran COVID-19, selanjutnya adalah mengukur bagaimana responden merespon imbauan tersebut, apakah dengan mendukung atau tidak mendukung.

Grafik 2.8 Dukungan terhadap Imbauan Jaga Jarak

Dari data hasil penelitian diketahui bahwa imbauan jaga jarak sosial/fisik yang memiliki persentase dukungan terbesar adalah imbauan jaga jarak 1-2 meter dan tidak berwisata sebesar 100 persen. Imbauan untuk melakukan jaga jarak sosial/fisik secara umum memiliki persentase dukungan di atas 90 persen, sedangkan yang memiliki nilai dukungan terendah adalah imbauan untuk beribadah di rumah atau tidak melakukan ibadah Bersama di tempat ibadah seperti Mesjadi, Gereja, Viraha dan lainnya, yaitu sebesar 79 persen.

Temuan ini menjadi menarik karena dari hasil pengamatan peneliti dan pemberitaan yang ada di media massa, memang ditemukan masih cukup banyak tempat ibadah yang masih melaksanakan kegiatan ibadah bersama di tengah merebaknya pandemi COVID-19. Salah satu contohnya ialah berita mengenai kegiatan ibadah bersama dan ziarah yang dilakukan di Mesjid Jami Tamansari, Kebon Jeruk Jakarta Barat, di mana terdapat beberapa jamaah yang positif terkena COVID-19, hal ini kemudian mengakibatkan seluruh Jamaah Mesjid ditetapkan sebagai ODP atau orang dalam pemantauan (Ladjar, 2020). Kejadian serupa juga terjadi di salah satu Gereja di Bandung yang akhirnya menjadi klaster penyebaran COVID-19 di Kota tersebut (Tuasikal, 2020). 100% 100% 100% 98% 95% 93% 93% 93% 90% 79%

Himbauan Social Distancing Jaga Jarak 1-2 Meter Tidak Berwisata Tidak Nongkrong di Tempat Makan / Mall Bekerja / Belajar dari Rumah Tidak Pergi Keluar Kota Tidak Berkumpul di Luar Tidak Hadir ke Acara Tidak Bersalaman / Bersentuhan Beribadah di Rumah

(28)

Jami' Tamansari, Kebon Jeruk Jakarta Barat, di mana terdapat beberapa jamaah yang positif terkena COVID-19, hal ini kemudian mengakibatkan seluruh Jamaah Mesjid ditetapkan sebagai ODP atau orang dalam pemantauan (Ladjar, 2020). Kejadian serupa juga terjadi di salah satu Gereja di Bandung yang akhirnya menjadi klaster penyebaran COVID-19 di Kota tersebut (Tuasikal, 2020).

Ada banyak faktor yang tentunya melandasi atau menyebabkan masyarakat tetap ingin melaksanakan ibadah bersama di tempat ibadah masing-masing, faktor kepercayaan, ketataan terhadap ajaran agama dan lingkungan sosial mengambil peran penting (Courtemanche et al., 2020). Hal ini harus dapat segera diantisipasi oleh pemerintah, mengingat ada beberapa kegiatan keagamaan yang akan berlangsung saat pandemi COVID-19 masih terjadi, yaitu Ibadah Puasa bulan Ramadhan, Idul Fitri serta Natal dan Tahun Baru di penghujung tahun 2020.

3. Komponen Konasi

Komponen sikap yang terakhir adalah konasi, yang menggambarkan kecenderungan untuk berperilaku atau bertindak. Di tahap ini peneliti mencoba mendeskripsikan bagaimana responden melaksanakan imbauan jaga jarak sosial/fisik, apakah sebesar komponen pengetahuan dan dukungan sebelumnya atau ada aspek-aspek imbauan yang memiliki celah atau renggang dalam pelaksanannya.

(29)

Dalam tahap pelaksanaan imbauan jaga jarak sosial/fisik, aspek yang memiliki persentase pelaksanaan terbesar adalah imbauan untuk tidak berwisata sebesar 100 persen. Hal ini dapat disebabkan berwisata merupakan kebutuhan tersier menurut masyarakat berpendapatan rendah, sehingga kemungkinan sangat kecil untuk dilaksanakan saat kondisi pandemi. Tidak berwisata juga satu-satunya aspek yang konstan memiliki nilai 100 persen di tiap komponen sikap yang diukur, tidak mengalami penurunan sikap. Temuan yang menarik lainnya adalah imbauan untuk bekerja/belajar dari rumah yang ternyata memiliki tingkat persentase pelaksanaan terendah, yaitu sebesar 79 persen artinya masih ada 21 persen responden yang tetap bekerja/belajar di luar rumah, seperti pergi bekerja di kantor, ke pasar, ke jalan atau ke lapangan untuk yang bekerja di luar ruangan.

Memang imbauan ini terutama ditujukan kepada orang yang bisa atau memiliki pilihan untuk melakukan pekerjaannya dari

Grafik 2.9 Pelaksanaan Imbauan Jaga Jarak

15

Ada banyak faktor yang tentunya melandasi atau menyebabkan masyarakat tetap ingin melaksanakan ibadah bersama di tempat ibadah masing-masing, faktor kepercayaan, ketataan terhadap ajaran agama dan lingkungan sosial mengambil peran penting (Courtemanche et al., 2020). Hal ini harus dapat segera diantisipasi oleh pemerintah, mengingat ada beberapa kegiatan keagamaan yang akan berlangsung saat pandemi COVID-19 masih terjadi, yaitu Ibadah Puasa bulan Ramadhan, Idul Fitri serta Natal dan Tahun Baru di penghujung tahun 2020.

3. Komponen Konasi

Komponen sikap yang terakhir adalah konasi, yang menggambarkan kecenderungan untuk berperilaku atau bertindak. Di tahap ini peneliti mencoba mendeskripsikan bagaimana responden melaksanakan imbauan jaga jarak sosial/fisik, apakah sebesar komponen pengetahuan dan dukungan sebelumnya atau ada aspek-aspek imbauan yang memiliki celah atau renggang dalam pelaksanannya.

Grafik 2.9 Pelaksanaan Imbauan Jaga Jarak

Dalam tahap pelaksanaan imbauan jaga jarak sosial/fisik, aspek yang memiliki persentase pelaksanaan terbesar adalah imbauan untuk tidak berwisata sebesar 100 persen. Hal ini dapat disebabkan berwisata merupakan kebutuhan Tersier menurut masyarakat berpendapatan rendah, sehingga kemungkinan sangat kecil untuk dilaksanakan saat kondisi pandemi. Tidak berwisata juga satu-satunya aspek yang konstan memiliki nilai 100 persen di tiap komponen sikap yang diukur, tidak mengalami penurunan sikap. Temuan yang menarik lainnya adalah imbauan untuk

100% 95% 95% 93% 93% 88% 86% 86% 81% 79% Tidak Berwisata

Tidak Pergi Keluar Kota Social Distancing Tidak Nongkrong di Tempat Makan / Mall Tidak Hadir ke Acara Jaga Jarak 1-2 Meter Tidak Bersalaman / Bersentuhan Beribadah di Rumah Tidak Berkumpul di Luar Bekerja / Belajar dari Rumah

(30)

rumah, sedangkan pekerja lapangan, pekerja informal (pedagang, wirausaha, jasa transportasi dan lainnya) serta orang yang bekerja di sektor strategis seperti telekomunikasi, media massa, pemerintahan, kesehatan dan lainnya masih harus bekerja di luar rumah.

Perlu diperhatikan juga beberapa aspek yang memiliki tingkat pelaksanaan lebih rendah dari rata-rata aspek lainnya, seperti tidak berkumpul di luar rumah (81 persen), beribadah di rumah (86 persen), dan tidak bersalaman/bersentuhan (86 persen). Karena jika tidak diperhatikan tentu pelaksanaannya dikhawatirkan akan terus turun dari waktu ke waktu, mengingat belum diketahui secara pasti kapan pandmi ini akan berakhir.

C. Persepsi Masyarakat Berpendapatan Rendah Terhadap Pandemi COVID-19

Terdapat tiga aspek utama persepsi masyarakat terhadap COVID-19 yang peneliti lihat, yakni persepsi terhadap pandemi penyakit, terhadap imbauan untuk mencegah penularan, dan kinerja pemangku kebijakan. Di sini tiga aspek itu diturunkan menjadi tiga pertanyaan, yakni mengenai bahaya pandemi COVID-19 itu sendiri, persepsi terhadap imbauan jaga jarak sosial/fisik untuk mengurangi penyebaran COVID-19, dan persepsi mengenai kinerja pemerintah dalam menangani pandemi COVID-19.

(31)

24 Sikap dan Persepsi Masyarakat Berpendapatan Rendah terhadap Imbauan Jaga Jarak Studi pada Masa Pandemi COVID-19

Grafik 2.10 Persepsi terhadap Bahaya Pandemi COVID-19

Mengenai persepsi mengenai bahaya COVID-19, 100 persen menyatakan bahwa pandemi ini berbahaya, dengan rincian 71 persen menyatakan bahaya dan sisanya 29 persen menyatakan sangat bahaya. Temuan ini sesuai dengan asumsi bahwa sebagian besar masyarakat melihat bahwa pandemi ini berbahaya, terlihat dari semua responden sudah menyadari mengenai bahaya yang ditimbulkan oleh pandemi COVID-19.

Grafik 2.11 Persepsi terhadap Imbauan Jaga Jarak

Mengenai persepsi mengenai bahaya COVID-19, 100 persen menyatakan bahwa pandemi ini berbahaya, dengan rincian 71 persen menyatakan bahaya dan sisanya 29 persen menyatakan sangat bahaya. Temuan ini sesuai dengan asumsi bahwa sebagian besar masyarakat melihat bahwa pandemi ini berbahaya, terlihat dari semua responden sudah menyadari mengenai bahaya yang ditimbulkan oleh pandemi COVID-19.

Grafik 2.11 Persepsi terhadap Imbauan Jaga Jarak

Dalam aspek persepsi terhadap persepsi terhadap imbauan jaga jarak sosial/fisik untuk mengurangi penyebaran COVID-19, sebagian besar responden yakni 57 persen menyatakan sangat yakin dan 31 persen yakin bahwa Tindakan jaga jarak sosial/fisik ini dapat mengurangi penyebaran COVID-19, sementara sisanya 10 persen menyatakan tidak yakin dan 2 persen sangat tidak yakin.

Temuan ini dapat dikaitkan dengan temuan mengenai sikap pada bagian sebelumnya. Hal ini cukup berkaitan karena tanggapan pada komponen sikap (kognitif, afektif, dan konatif) rata-rata berada di angka 90 persen.

Grafik 2.12 Persepsi terhadap Kinerja Pemerintah dalam Menangani Pandemi COVID-19

57%

31%

10%

2% Sangat Yakin Yakin Tidak Yakin Sangat Tidak Yakin

7%

50%

29%

14%

(32)

17

Mengenai persepsi mengenai bahaya COVID-19, 100 persen menyatakan bahwa pandemi ini berbahaya, dengan rincian 71 persen menyatakan bahaya dan sisanya 29 persen menyatakan sangat bahaya. Temuan ini sesuai dengan asumsi bahwa sebagian besar masyarakat melihat bahwa pandemi ini berbahaya, terlihat dari semua responden sudah menyadari mengenai bahaya yang ditimbulkan oleh pandemi COVID-19.

Grafik 2.11 Persepsi terhadap Imbauan Jaga Jarak

Dalam aspek persepsi terhadap persepsi terhadap imbauan jaga jarak sosial/fisik untuk mengurangi penyebaran COVID-19, sebagian besar responden yakni 57 persen menyatakan sangat yakin dan 31 persen yakin bahwa Tindakan jaga jarak sosial/fisik ini dapat mengurangi penyebaran COVID-19, sementara sisanya 10 persen menyatakan tidak yakin dan 2 persen sangat tidak yakin.

Temuan ini dapat dikaitkan dengan temuan mengenai sikap pada bagian sebelumnya. Hal ini cukup berkaitan karena tanggapan pada komponen sikap (kognitif, afektif, dan konatif) rata-rata berada di angka 90 persen.

Grafik 2.12 Persepsi terhadap Kinerja Pemerintah dalam Menangani Pandemi COVID-19

57%

31%

10%

2% Sangat Yakin Yakin Tidak Yakin Sangat Tidak Yakin

7%

50%

29%

14%

Sangat Baik Baik Buruk Sangat Buruk

Dalam aspek persepsi terhadap persepsi terhadap imbauan jaga jarak sosial/fisik untuk mengurangi penyebaran COVID-19, sebagian besar responden yakni 57 persen menyatakan sangat yakin dan 31 persen yakin bahwa Tindakan jaga jarak sosial/fisik ini dapat mengurangi penyebaran COVID-19, sementara sisanya 10 persen menyatakan tidak yakin dan 2 persen sangat tidak yakin.

Temuan ini dapat dikaitkan dengan temuan mengenai sikap pada bagian sebelumnya. Hal ini cukup berkaitan karena tanggapan pada komponen sikap (kognitif, afektif, dan konatif) rata-rata berada di angka 90 persen.

Grafik 2.12 Persepsi terhadap Kinerja Pemerintah dalam

Menangani Pandemi COVID-19

Apabila pada dua aspek sebelumnya persepsi responden lebih condong pada satu jawaban dengan kecenderungan corak yang positif, maka pada aspek persepsi terhadap kinerja pemerintah dalam menangani pandemi COVID-19 ini tanggapan responden agak berimbang, yakni 57 persen menyatakan kinerja pemerintah baik dan sangat baik, dan 43 persen menyatakan kinerja pemerintah

(33)

buruk dan sangat buruk. Artinya pekerjaan rumah pemerintah untuk meyakinkan masyarakat mengenai penanganan pandemi ini masih cukup berat. Tentunya akan sangat sulit untuk membentuk sikap yang mendukung imbauan pemerintah kedepannya jika masih ada persepsi buruk mengenai kinerja pemerintah dalam menangani pandemi.

(34)

27 Sikap dan Persepsi Masyarakat Berpendapatan Rendah terhadap Imbauan Jaga Jarak Studi pada Masa Pandemi COVID-19

BAB III

ANALISIS DATA

Pada bagian analisis data, akan dijelaskan secara lebih rinci temuan penelitian, terutama dalam sikap dan persepsi responden terhadap pandemi COVID-19 di Indonesia. Seperti yang telah dijelaskan dalam bagian sebelumnya, bahwa komponen kognitif responden dalam imbauan jaga jarak sosial/fisik tergolong sangat tinggi, yaitu mencapai 99 persen artinya pengetahuan responden terhadap imbauan jaga jarak sosial/fisik untuk mencegah atau mengurangi penyebaran pandemi COVID-19 sudah sangat tinggi, secara rata-rata (Mean) berada di skor 3,60 (skala 1:4).

Selanjutnya, komponen afektif sebesar 94 persen atau rata-rata skor 3,50 yang artinya tingkat dukungan responden terhadap imbauan jaga jarak sosial/fisik juga tergolong tinggi. Komponen terakhir, yaitu konatif memiliki persentase 89 persen, tergolong tinggi namun paling rendah dibanding dua komponen sebelumnya, dengan skor rata-rata sebesar 3,39 atau di bawah rata-rata variabel sikap, yaitu 3,52 (94,21 persen).

Tabel 3.1 Persentase dan Rata-rata Variabel Sikap

BAB III ANALISIS DATA

Pada bagian analisis data, akan dijelaskan secara lebih rinci temuan penelitian, terutama dalam sikap dan persepsi responden terhadap pandemi COVID-19 di Indonesia. Seperti yang telah dijelaskan dalam bagian sebelumnya, bahwa komponen kognitif responden dalam imbauan jaga jarak sosial/fisik tergolong sangat tinggi, yaitu mencapai 99 persen artinya pengetahuan responden terhadap imbauan jaga jarak sosial/fisik untuk mencegah atau mengurangi penyebaran pandemi COVID-19 sudah sangat tinggi, secara rata-rata (Mean) berada di skor 3,60 (skala 1-4).

Selanjutnya, komponen afektif sebesar 94 persen atau rata-rata skor 3,50 yang artinya tingkat dukungan responden terhadap imbauan jaga jarak sosial/fisik juga tergolong tinggi. Komponen terakhir, yaitu konatif memiliki persentase 89 persen, tergolong tinggi namun paling rendah dibanding dua komponen sebelumnya, dengan skor rata-rata sebesar 3,39 atau di bawah rata-rata variabel sikap, yaitu 3,52 (94,21 persen).

Tabel 3.1 Persentase dan Rata-rata Variabel Sikap

Komponen Sikap Persentase Mean

Kognisi 99,0% 3,66

Afeksi 94,0% 3,50

Konasi 89,5% 3,39

ALL Sikap 94,21% 3,52

Dalam komponen kognisi seluruh aspek memiliki tingkat pengetahuan yang tinggi, sedangkan di komponen afeksi ada satu aspek yang memiliki persentase atau rata-rata persetujuan yang lebih rendah, yaitu dalam dukungan terhadap imbauan untuk beribadah di rumah atau tidak melakukan ibadah bersama di tempat ibadah seperti mesjid, geraja, wiraha dan lainnya, yaitu sebesar 79 persen atau memiliki rata-rata 3,19.

(35)

28 Sikap dan Persepsi Masyarakat Berpendapatan Rendah terhadap Imbauan Jaga Jarak Studi pada Masa Pandemi COVID-19

Dalam komponen kognisi seluruh aspek memiliki tingkat pengetahuan yang tinggi, sedangkan di komponen afeksi ada satu aspek yang memiliki persentase atau rata-rata persetujuan yang lebih rendah, yaitu dalam dukungan terhadap imbauan untuk beribadah di rumah atau tidak melakukan ibadah bersama di tempat ibadah seperti mesjid, gereja, wihara dan lainnya, yaitu sebesar 79 persen atau memiliki rata-rata 3,19.

Grafik 3.1 Tabulasi Silang Konasi Bekerja di Rumah

dengan Jenis Pekerjaan

Grafik 3.1 Tabulasi Silang Konasi Bekerja di Rumah dengan Jenis Pekerjaan

Dari hasil tabulasi silang dapat terlihat bahwa ada perbedaan sikap terhadap imbauan bekerja di rumah dengan jenis pekerjaan. Bagi ibu rumah tangga dan responden yang tidak/belum memiliki pekerjaan, 100 persen responden menyatakan menerapkan imbauan untuk bekerja di rumah. Untuk ibu rumah tangga hal ini dapat disebabkan pekerjaan yang dilakukan memang mayoritas sifatnya domestik atau di dalam rumah, sehingga tidak terlalu banyak berpengaruh. Sementara untuk pelaksanaan imbauan bekerja di rumah bagi kalangan usaha bidang jasa, karyawan swasta, dan buruh pabrik tergolong seimbang antara yang melaksanakan dengan yang tidak melaksanakan. Sedangkan, sebagian besar responden yang bekerja sebagai pedagang/wirausaha, mayoritas yakni 67 persen menyatakan tidak melaksanakan imbauan untuk bekerja di rumah.

Dari data ini dapat dilihat bahwa walaupun imbauan bekerja di rumah mendapatkan tingkat pemahaman yang tinggi, namun tidak semua masyarakat berpendapatan rendah bisa melaksanakannya, terutama mereka yang bekerja di bidang informal seperti pedagang dan usaha bidang jasa yang penghasilannya bersifat harian. Selain itu juga, imbauan ini cukup sulit dan berat dilakukan oleh pekerja-pekerja lainnya yang berada di sektor strategis seperti kesehatan, layanan sosial, media massa, keuangan dan sektor strategis lainnya.

20% 33%

44% 50% 67%

Ibu Rumah

Tangga Lainnya Tidak / Belum Bekerja Freelance / Paruh Waktu Usaha Bidang Jasa (Ojek, Supir, Kurir, dll) Karyawan Swasta (Pabrik, Buruh

Tani, Bangunan, dll) Pedagang (Eceran, Grosir) / Wirausaha

Setuju Tidak Setuju

Dari hasil tabulasi silang dapat terlihat bahwa ada perbedaan sikap terhadap imbauan bekerja di rumah dengan jenis pekerjaan. Bagi ibu rumah tangga dan responden yang tidak/belum memiliki pekerjaan, 100 persen responden menyatakan menerapkan imbauan untuk bekerja di rumah. Untuk ibu rumah tangga hal ini dapat disebabkan pekerjaan yang dilakukan memang mayoritas sifatnya domestik atau di dalam rumah, sehingga tidak terlalu banyak berpengaruh. Sementara untuk pelaksanaan imbauan bekerja di rumah bagi kalangan usaha bidang jasa, karyawan swasta, dan buruh pabrik tergolong seimbang antara

(36)

29 Sikap dan Persepsi Masyarakat Berpendapatan Rendah terhadap Imbauan Jaga Jarak Studi pada Masa Pandemi COVID-19

Grafik 3.2 Tabulasi Silang Konasi Tidak Berkumpul dengan Jenis Pekerjaan

Masih berkenaan dengan jenis pekerjaan responden, tabulasi silang berikutnya adalah penerapan imbauan tidak berkumpul dengan jenis pekerjaan. Semua responden yang bekerja sebagai buruh dan ibu rumah tangga menyatakan telah menerapkan imbauan untuk tidak berkumpul. Sementara itu responden yang bekerja sebagai pedagang, usaha bidang jasa, dan karyawan swasta sedikit berimbang antara melaksanakan dan tidak melaksanakan terhadap imbauan ini. Karyawan swasta menjadi kelompok pekerjaan yang memiliki tingkat penerapan imbauan untuk tidak berkumpul paling rendah, yaitu 56 persen atau 44 persen tidak menerapkan imbauan ini. Tuntutan pekerjaan sebagai karyawan swasta, usaha bidang jasa dan pedagang yang sering bertemu dengan orang lain tentu menjadi hambatan tersendiri dalam penerapan imbauan untuk tidak berkumpul.

Selain sikap, penelitian ini juga menanyakan persepsi responden terhadap pandemi COVID-19 di Indonesia. Di bagian ini kami hanya akan melakukan analisis lebih lanjut mengenai persepsi masyarakat berpendapatan rendah terhadap kinerja pemerintah dalam penanganan pandemi COVID-19 di Indonesia, hal ini menjadi menarik untuk ditelaah karena dalam deskripsi hasil terlihat bahwa ada dikotomi dalam persepsi responden terhadap pemerintah, dimana 43 persen mengangap kinerja pemerintah tergolong buruk dalam penanganan pandemi ini, sedangkan 57 persen menilai baik.

11% 20% 33% 33% 44% Buruh (Pabrik, Tani, Bangunan, dll) Ibu Rumah

Tangga Lainnya Tidak / Belum Bekerja Freelance / Paruh Waktu Pedagang (Eceran, Grosir) / Wirausaha Usaha Bidang Jasa (Ojek, Supir, Kurir, dll) Karyawan Swasta

Setuju Tidak Setuju

yang melaksanakan dengan yang tidak melaksanakan. Sedangkan, sebagian besar responden yang bekerja sebagai pedagang/wirausaha, mayoritas yakni 67 persen menyatakan tidak melaksanakan imbauan untuk bekerja di rumah.

Dari data ini dapat dilihat bahwa walaupun imbauan bekerja di rumah mendapatkan tingkat pemahaman yang tinggi, namun tidak semua masyarakat berpendapatan rendah bisa melaksanakannya, terutama mereka yang bekerja di bidang informal seperti pedagang dan usaha bidang jasa yang penghasilannya bersifat harian. Selain itu juga, imbauan ini cukup sulit dan berat dilakukan oleh pekerja-pekerja lainnya yang berada di sektor strategis seperti kesehatan, layanan sosial, media massa, keuangan dan sektor strategis lainnya.

Grafik 3.2 Tabulasi Silang Konasi Tidak Berkumpul

dengan Jenis Pekerjaan

Masih berkenaan dengan jenis pekerjaan responden, tabulasi silang berikutnya adalah penerapan imbauan tidak berkumpul dengan jenis pekerjaan. Semua responden yang bekerja sebagai buruh dan ibu rumah tangga menyatakan telah menerapkan imbauan untuk

(37)

30 Sikap dan Persepsi Masyarakat Berpendapatan Rendah terhadap Imbauan Jaga Jarak Studi pada Masa Pandemi COVID-19

tidak berkumpul. Sementara itu responden yang bekerja sebagai pedagang, usaha bidang jasa, dan karyawan swasta sedikit berimbang antara melaksanakan dan tidak melaksanakan terhadap imbauan ini. Karyawan swasta menjadi kelompok pekerjaan yang memiliki tingkat penerapan imbauan untuk tidak berkumpul paling rendah, yaitu 56 persen atau 44 persen tidak menerapkan imbauan ini. Tuntutan pekerjaan sebagai karyawan swasta, usaha bidang jasa dan pedagang yang sering bertemu dengan orang lain tentu menjadi hambatan tersendiri dalam penerapan imbauan untuk tidak berkumpul.

Selain sikap, penelitian ini juga menanyakan persepsi responden terhadap pandemi COVID-19 di Indonesia. Di bagian ini kami hanya akan melakukan analisis lebih lanjut mengenai persepsi masyarakat berpendapatan rendah terhadap kinerja pemerintah dalam penanganan pandemi COVID-19 di Indonesia, hal ini menjadi menarik untuk ditelaah karena dalam deskripsi hasil terlihat bahwa ada dikotomi dalam persepsi responden terhadap pemerintah, dimana 43 persen mengangap kinerja pemerintah tergolong buruk dalam penanganan pandemi ini, sedangkan 57 persen menilai baik.

Grafik 3.3 Tabulasi Silang Persepsi Kinerja Pemerintah

dengan Jenis Pekerjaan

Grafik 3.3 Tabulasi Silang Persepsi Kinerja Pemerintah dengan Jenis Pekerjaan

Dari hasil tabulasi silang diketahui bahwa persepsi buruk terhadap kinerja pemerintah dalam penanganan COVID-19 terutama dari responden dengan jenis pekerjaan pedagang (67 persen) dan diikuti oleh paruh waktu (60 persen) serta karyawan swasta (56 persen). Hal ini menjadi temuan yang menarik karena tingkat penilaian buruk lebih dominan dari pekerja yang harus bekerja di luar rumah. Sedangkan dalam jenis pekerjaan lainnya yang terdiri dari buruh dan ibu rumah tangga menilai kinerja pemerintah baik dalam penanganan COVID-19 di Indonesia. Untuk mempertajam analisa kami akan melakukan tabulasi silang persepsi terhadap kinerja pemerintah ini dengan wilayah domisili responden.

Grafik 3.4

Tabulasi Silang Persepsi Kinerja Pemerintah Menangani COVID-19 dengan Wilayah

17% 33% 40% 44% 56% 60% 67% Buruh (Pabrik, Tani, Bangunan, dll) Ibu Rumah Tangga Bidang Jasa Usaha

(Ojek, Supir, Kurir, dll) Lainnya Tidak / Belum Bekerja Karyawan Swasta Freelance / Paruh

Waktu Pedagang (Eceran, Grosir) / Wirausaha Baik Buruk 56% 55% 64% 44% 45% 36%

Jabodetabek Other Java Outside Java Baik Buruk

(38)

Dari hasil tabulasi silang diketahui bahwa persepsi buruk terhadap kinerja pemerintah dalam penanganan COVID-19 terutama dari responden dengan jenis pekerjaan pedagang (67 persen) dan diikuti oleh paruh waktu (60 persen) serta karyawan swasta (56 persen). Hal ini menjadi temuan yang menarik karena tingkat penilaian buruk lebih dominan dari pekerja yang harus bekerja di luar rumah. Sedangkan dalam jenis pekerjaan lainnya yang terdiri dari buruh dan ibu rumah tangga menilai kinerja pemerintah baik dalam penanganan COVID-19 di Indonesia. Untuk mempertajam analisis kami akan melakukan tabulasi silang persepsi terhadap kinerja pemerintah ini dengan wilayah domisili responden.

Grafik 3.4 Tabulasi Silang Persepsi Kinerja Pemerintah

Menangani COVID-19 dengan Wilayah

22

Grafik 3.3 Tabulasi Silang Persepsi Kinerja Pemerintah dengan Jenis Pekerjaan

Dari hasil tabulasi silang diketahui bahwa persepsi buruk terhadap kinerja pemerintah dalam penanganan COVID-19 terutama dari responden dengan jenis pekerjaan pedagang (67 persen) dan diikuti oleh paruh waktu (60 persen) serta karyawan swasta (56 persen). Hal ini menjadi temuan yang menarik karena tingkat penilaian buruk lebih dominan dari pekerja yang harus bekerja di luar rumah. Sedangkan dalam jenis pekerjaan lainnya yang terdiri dari buruh dan ibu rumah tangga menilai kinerja pemerintah baik dalam penanganan COVID-19 di Indonesia. Untuk mempertajam analisa kami akan melakukan tabulasi silang persepsi terhadap kinerja pemerintah ini dengan wilayah domisili responden.

Grafik 3.4

Tabulasi Silang Persepsi Kinerja Pemerintah Menangani COVID-19 dengan Wilayah

17% 33% 40% 44% 56% 60% 67% Buruh (Pabrik, Tani, Bangunan, dll) Ibu Rumah Tangga Bidang Jasa Usaha

(Ojek, Supir, Kurir, dll) Lainnya Tidak / Belum Bekerja Karyawan

Swasta Freelance / Paruh Waktu Pedagang (Eceran, Grosir) / Wirausaha Baik Buruk 56% 55% 64% 44% 45% 36%

Jabodetabek Other Java Outside Java Baik Buruk

Hasil tabulasi silang persepsi responden terhadap kinerja pemerintah dalam penanganan COVID-19 berdasarkan wilayah menunjukkan hasil yang cukup berimbang. Di wilayah Jabodetabek persentasi cukup imbang yakni 56 persen menilai baik dan 44 persen menilai buruk. Hal senada juga ditemukan pada wilayah di Pulau Jawa selain Jabodetabek, yakni 55 persen menilai baik dan 45 menilai

(39)

buruk. Sementara itu di luar Pulau Jawa, Sebagian besar responden yakni 64 persen menilai baik dan hanya 36 persen yang menilai buruk.

Banyaknya program pemerintah yang difokuskan untuk masyarakat berpendapatan rendah seharusnya dapat menjadi faktor yang mempengaruhi persepsi positif dari responden. Seperti yang telah diketahui bahwa sangat banyak program dan bantuan sosial yang ditujukan untuk masyarakat berpendapatan rendah, seperti yang menjadi program dari Kementerian Sosial RI, mulai dari: (1) perluasan program sembako menjadi 20 juta keluarga penerima manfaat (KPM) dan peningkatan indeksnya menjadi Rp.200.000/KPM/bulan; kemudian (2) peningkatan dan percepatan penyaluran bantuan sosial Program Keluarga Harapan (PKH) di tengah pandemi, dari 9,2 juta menjadi 10 juta KPM dan penyalurannya menjadi per bulan; serta ada juga (3) bantuan sosial khusus dari Presiden di Jabodetabek sebagai antisipasi mudik dan Bantuan Sosial Tunai (BST) untuk seluruh wilayah, kecuali Jabodetabek.

Lain lagi dengan yang diterima masyarakat terdampak pandemi di Provinsi Jawa Barat, di mana terdapat hingga sembilan jenis bantuan yang terutama ditujukan ke masyarakat dengan pendapatan menengah ke bawah, yaitu Program Keluarga Harapan (PKH), Kartu Sembako, serta Bantuan Sosial (Bansos) Presiden khusus perantau Jabodetabek. Selain itu, ada juga Dana Desa untuk kabupaten, Kartu Pra Kerja, bantuan tunai Kementerian Sosial (Kemensos), bansos kabupaten atau kota, bansos gubernur, dan Gerakan Nasi Bungkus dari Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jabar. Belum lagi bantuan yang datang dari lembaga non-pemerintah atau swasta yang sebagian besar menyasar masyarakat berpendapatan rendah. Hal ini tentunya dapat

(40)

menjadi bahan evaluasi juga bagi pemerintah pusat maupun daerah untuk membuat program yang lebih efektif lagi untuk penanganan pandemi, baik dari segi ekonomi dan aspek kesehatan masyarakat.

(41)
(42)

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Secara keseluruhan, sikap masyarakat berpendapatan rendah terhadap imbauan jaga jarak sosial/fisik, yaitu 94,21 persen atau dengan rata-rata 3,52 (skala 1-4). Dari komponen sikap kognisi, pengetahuan terhadap imbauan jaga jarak sosial/fisik untuk mencegah dan mengurangi penyebaran COVID-19 tergolong sangat tinggi yaitu sebesar 99 persen. Hal ini menunjukkan bahwa pada dasarnya informasi, ide, gagasan tentang jaga jarak sosial/ fisik sebagai cara untuk mencegah dan mengurangi penyebaran COVID-19 ini sudah diketahui secara luas. Selanjutnya, dari komponen afeksi, yakni bagaimana masyarakat merespon imbauan jaga jarak sosial/fisik apakah dengan mendukung atau tidak, memiliki besaran nilai yang beriringan dengan tingkat kognisi responden. Komponen afeksi memiliki besaran nilai 94 pesen, artinya hampir seluruh responden penelitian merespon positif terhadap berbagai imbauan untuk melakukan jaga jarak sosial/ fisik.

Meskipun ada salah satu imbauan yang memiliki persentase nilai rendah, yaitu imbauan untuk beribadah di rumah yang memiliki nilai kognisi 95 persen, namun hanya 79 persen untuk afeksi dan 86 persen untuk konasi, yang mana lebih rendah dibandingkan dengan imbauan lainnya yang nilainya rata-rata di atas 90 persen. Sikap masyarakat untuk mematuhi imbauan beribadah di rumah layaknya patut menjadi perhatian, mengingat di beberapa kasus

(43)

rumah ibadah yang masih melaksanakan ritual keagamaan didapati kasus positif COVID-19 pada beberapa jamaahnya, sehinga menjadi salah satu klaster penyebaran.

Komponen yang terakhir yaitu konasi, di mana masyarakat menilai apakah mereka telah melaksanakan imbauan jaga jarak sosial/fisik. Hasilnya adalah responden penelitian rata-rata sudah melaksanakan secara nyata berbagai imbauan jaga jarak sosial/ fisik. Namun terdapat persentase aspek yang rendah pada bagian imbauan untuk bekerja dari rumah (79 persen), hal ini dikarenakan imbauan ini hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang bekerja di sektor formal atau di kantor, sementara yang bekerja di sektor informal seperti tukang ojek, pedagang atau yang sejenisnya akan sulit dilaksanakan, karena pekerjaan yang menuntut mereka untuk tetap keluar rumah.

Selain itu, penelitian ini juga menilai bagaimana persepsi masyarakat secara umum tentang bahaya COVID-19, upaya jaga jarak sosial/fisik sebagai jalan pencegahan COVID-19, dan kinerja pemerintah dalam penanganan COVID-19. Hasilnya adalah 100 persen responden menganggap COVID-19 sebagai virus yang berbahaya, serta 88 persen percaya bahwa imbauan jaga jarak sosial/fisik dapat membantu mencegah dan mengurangi penyebaran COVID-19. Namun, dalam persepsi terhadap kinerja pemerintah, ada 43 persen responden yang menilai bahwa kinerja pemerintah dalam penanganan COVID-19 ini buruk atau belum maksimal, di mana persepsi buruk ini terutama dari responden yang berprofesi sebagai pedagang.

(44)

B. Rekomendasi

Dari hasil penelitian, kami melihat pentingnya peningkatan kesadaran masyarakat terhadap imbauan jaga jarak sosial/fisik melalui tokoh masyarakat di sekitar lingkungan tempat tinggal. Media massa, terutama media digital telah memberikan informasi dan sosialisasi kepada masyarakat umum, namun ada beberapa aspek dalam imbauan yang membutuhkan pendekatan lebih persuasif dan personal, karena menyangkut masalah keyakinan dalam masyarakat, seperti imbauan untuk melakukan ibadah di rumah saja yang dapat dilakukan oleh tokoh agama setempat dan imbauan untuk tidak berkumpul di luar rumah yang dapat dilakukan kontrolnya oleh RT/RW dan tokoh setempat.

Berikutnya, setelah imbauan jaga jarak sosial/fisik ini, pemerintah mengeluarkan dan memberlakukan peraturan mengenai Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di beberapa wilayah yang memiliki kasus COVID-19 tinggi dan beresiko sesuai Permenkes No. 9 Tahun 2020. Ada beberapa point yang perlu diperhatikan dalam implementasi peraturan tersebut melihat hasil penelitian ini, yaitu dalam hal pembatasan terhadap pekerja (terutama informal) yang masih terpaksa untuk bekerja di luar rumah. Dengan adanya landasan hukum tentu diharapkan pelaksanaannya akan lebih maksimal, karena memiliki sanksi yang lebih jelas bagi masyarakat yang melanggar. Namun, untuk menilai efektifitas pelaksanaan peraturan ini, juga diperlukan suatu penelitian lanjutan, agar dapat mendapat gambaran perbedaan pelaksanaan saat sebelum dan sesudah pemberlakuaan PSBB. Sehingga pemerintah dapat mengeluarkan kebijakan yang tepat sasaran dan efektfif untuk mencegah dan mengurangi penyebaran

(45)
(46)

DAFTAR PUSTAKA

Azwar, S. (2011). Sikap Manusia: Teori dan Pengukurannya. Pustaka Pelajar.

Badan Pusat Statistik. (2016). Penghitungan dan Analisis

Kemiskinan Makro Indonesia Tahun 2016.

Badan Pusat Statistik. https://www.bps.go.id/

publication/2016/12/05/1afc0411b95d91576eef9873/ penghitungan-dan-analisis-kemiskinan-makro-indonesia-tahun-2016.html

Badan Pusat Statistik. (2018). Profil Kemiskinan di Indonesia. In Berita Resmi Statistik (Issue 57/07/Th. XXI). https:// www.bps.go.id/pressrelease/2018/07/16/1483/persentase-pen-duduk-miskin-maret-2018-turun-menjadi-9-82-persen.html Bergman, D., Bethell, C., Gombojav, N., Hassink, S., & Stange, K.

C. (2020). Physical Distancing With Social Connectedness. The Annals of Family Medicine, 18(3), 272–277. https://doi. org/10.1370/afm.2538

Courtemanche, C., Garuccio, J., Le, A., Pinkston, J., & Yelowitz, A. (2020). Strong Social Distancing Measures In The United States Reduced The COVID-19 Growth Rate. Health Affairs, 39(7), 1237–1246. https://doi.org/10.1377/hlthaff.2020.00608 Emmy, Y. T., & Indrastuti, R. (2018). Determinan Preferensi Masyarakat

Berpendapatan Rendah Terhadap Redenominasi (WP/8/2018; Working Paper Redenominasi). https://econpapers.repec.org/ paper/idnwpaper/wp82018.htm

(47)

Gale, R. (2020). Is ’physical distancing better than “social distancing”? The Washington Post. https://www.washingtonpost. com/lifestyle/wellness/social-distancing-coronavirus- physical-distancing/2020/03/25/a4d4b8bc-6ecf-11ea-aa80-c2470c6b2034_story.html

Herdiana, D. (2020). Social Distancing: Indonesian Policy Reponse to the Corona Virus Disease 2019 (COVID-19). Jurnal Ilmu Administrasi: Media Pengembangan Ilmu Dan Praktek Administrasi, 17(1), 93–110. https://doi.org/10.31113/jia. v17i1.555

Ladjar, B. M. W. (2020). Kronologi 3 Jemaah Masjid Jami Kebon Jeruk Positif Covid-19, Ratusan Lainnya Jadi ODP. Kompas.Com. https://megapolitan.kompas.com/read/2020/03/30/16554001/ kronologi-3-jemaah-masjid-jami-kebon-jeruk-positif-covid-19-ratusan?page=all

Lewnard, J. A., & Lo, N. C. (2020). Scientific and ethical basis for social-distancing interventions against COVID-19. The Lancet Infectious Diseases, 20(6), 631–633. https://doi.org/10.1016/ S1473-3099(20)30190-0

Maharaj, S., & Kleczkowski, A. (2012). Controlling epidemic spread by social distancing: Do it well or not at all. BMC Public Health, 12(679), 1–16. https://doi.org/10.1186/1471-2458-12-679 Muchlas, M. (2008). Perilaku Organisasi. Gadjah Mada University

Press.

Mulyana, D. (2000). Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Remaja Rosdakarya.

(48)

Notoatmodjo, S. (2003). Ilmu Kesehatan Masyarakat: Prinsip-Prinsip Dasar. Rineka Cipta.

Pearce, K. (2020). What is social distancing and how can it slow the spread of COVID-19? John Hopkins University. https://hub. jhu.edu/2020/03/13/what-is-social-distancing/

Reluga, T. C. (2010). Game Theory of Social Distancing in Response to an Epidemic. PLoS Computational Biology, 6(5), e1000793. https://doi.org/10.1371/journal.pcbi.1000793

Ritzer, G., & Goodman, D. J. (2008). Teori Sosiologi Modern. Kencana. Sheehan, K. B. (2002). Online Research Methodology. Journal of

Interactive Advertising, 3(1), 56–61. https://doi.org/10.1080/1 5252019.2002.10722068

Stein, R. A. (2020). COVID‐19 and rationally layered social distancing. International Journal of Clinical Practice, 74(7), 1–3. https://doi.org/10.1111/ijcp.13501

Tiffany, K. (2020). The Dos and Don’ts of ‘Social Distancing.’ The Atlantic. https://www.theatlantic.com/family/archive/2020/03/ coronavirus-what-does-social-distancing-mean/607927/

Tuasikal, R. (2020). 226 Jemaat Gereja Bethel di Bandung Terindikasi COVID-19. VOA Indonesia. https://www.voaindonesia. com/a/jemaat-gereja-bethel-di-bandung-terindikasi-covid-19/5360038.html

Tuite, A. R., Fisman, D. N., & Greer, A. L. (2020). Mathematical modelling of COVID-19 transmission and mitigation strategies in the population of Ontario, Canada. Canadian

Gambar

Grafik 2.1 Kelompok Usia
Grafik 2.2 Pendidikan Terakhir
Grafik 2.3 Jenis Pekerjaan
Grafik 2.4 Jenis Kelamin
+7

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Penelitian ini menggambarkan masyarakat dalam mempersepsikan risiko terhadap adanya penyebaran virus Corona dan imbauan social distancing. Temuan pada penelitian

penilaian terhadap orang lain, atau menilai orang lain akan berakibat buruk terhadap diri kita, tetapi, artinya adalah…bahwa kita tidak akan dapat mengatakan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pinjaman dana bergulir dari Dinas Koperasi dan Usaha Mikro Kota Semarang dapat membantu meningkatkan produk, omzet penjualan,

berkaitan sebab ada kemungkinan mendapatkan inspirasi dari salah satu ayat di dalam Alquran sebagaimana sudah diulas sebelumnya, Abdul Hadi WM dengan argumen yang berbeda

Mahasiswi dalam belajar biasanya didasari oleh motivasi instrinsik dimana lebih mengacu kepada mastery goal orientation yaitu untuk mempelajari secara mendalam

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Magister Manajemen Teknologi.. UNIVERSITAS MULTIMEDIA NUSANTARA FAKULTAS EKONOMI

Berdasarkan uraian di atas, maka dilakukan penelitian mengenai penerapan strategi jigsaw- lesson study untuk meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar IPA materi sistem