• Tidak ada hasil yang ditemukan

5. PEMBAHASAN

5.3 Analisis Skenario Perubahan Kerentanan Lingkungan

 

5.3. Analisis Skenario Perubahan Kerentanan Lingkungan

Sebagaimana telah diuraikan dalam Sub-bab 1.1 bahwa kelebihan konsep kerentanan yang digunakan dalam penelitian ini dikaitkan dengan pengelolaan pulau-pulau kecil adalah konsep ini lebih aplikatif yang mana mengintegrasikan ekosistem pesisir yang merupakan ekosistem utama pulau-pulau kecil sebagai parameter yang mampu mereduksi kerentanan pulau-pulau kecil. Selain itu, adanya sifat dinamis dari kerentanan, akan menyebabkan perubahan kerentanan lingkungan dari waktu ke waktu sebagaimana dikemukakan Preston dan Stafford-Smith (2009). Perubahan kerentanan ini, juga sudah diindikasikan Lewis (2009) yang menyatakan bahwa pulau-pulau kecil dengan berbagai karakteristik yang melekat padanya, menyebabkannya sebagai objek yang rentan, yang akan selalu mengalami perubahan. Ekosistem pesisir yang terdiri dari terumbu karang, mangrove dan lamun, secara alami akan mengalami pertumbuhan dan penyesuaian terhadap perubahan lingkungan, manakala tekanan terhadap lingkungan sekitarnya sesuai dengan kapasitas pemulihannya. Sayangnya, dalam banyak kasus tekanan terhadap ketiga ekosistem ini, jauh lebih besar dari kemampuan pulihnya, sehingga seringkali tekanan atau perubahan lingkungan yang terjadi semakin memberikan tekanan atau dampak negatif terhadap ekosistem pesisir. Oleh karena itu, untuk mempertahankan atau meningkatkan kualitas ketiga ekosistem ini perlu dilakukan pengelolaan. Konservasi laut merupakan instrumen pengelolaan yang sudah banyak dilakukan untuk mempertahankan atau juga meningkatkan kualitas ekosistem pesisir. Perlindungan dan preservasi (konservasi) memiliki peran dalam meningkatkan kapasitas adaptif dari ekosistem pesisir (McClanahan et al. 2008). Upaya untuk beradaptasi terhadap perubahan iklim termasuk kenaikan muka laut seharusnya didasarkan pada kapasitas alami dari sistem alam yang didukung oleh perencanaan adaptasi seperti pelindung pantai dan infrastruktur sosial (Hay et al. 2003). Melalui konservasi ini, ekosistem pesisir mampu meningkatkan kapasitasnya terhadap penyesuaian perubahan lingkungan yang terjadi. Dengan melakukan konservasi, berarti memberikan kesempatan kepada ekosistem pesisir untuk terus berkembang dengan baik, atau memulihkan diri dari kerusakan yang dialami (recovery). Hubungan antara konservasi dengan upaya penurunan

k p G p f c k k d t m p kerentanan p pada Gamba Gambar 37. Kere pulau itu sen faktor inter capacity. K kerentanan, kontribusiny dimensi ada semakin tin tersebut. D mangrove, t parameter y pulau-pulau ar 37. Algoritma entanan pulau ndiri. Faktor rnal adalah Komponen artinya sem ya terhadap aptive capac nggi kapasita Dari 5 param terumbu kara ang dapat b kecil dapat kajian keren u-pulau keci r eksternal a komponen kerentanan makin tinggi kerentanan ity berbandi as adaptif su meter keren ang dan lam erkembang digambarka ntanan pulau il dipengaruh adalah komp n dimensi s dimensi sen i nilai sensit n pulau-pula ng terbalik d uatu pulau ntanan dime mun merupak menjadi leb an dalam seb u-pulau kecil h oleh faktor onen dimens sensitivity d nsitivity ber tivitas suatu au kecil. S dengan kere semakin ren ensi adaptiv kan paramet bih baik atau

buah argorit . r eksternal d si exposure, dan dimens rbanding lur u pulau sem Sebaliknya, ntanan. Hal ndah kerenta ve capacity, er yang dina u lebih buruk tma seperti dan internal sedangkan i adaptive rus dengan makin besar komponen l ini berarti anan pulau ekosistem amik, yaitu k. Apabila

   

kondisi lingkungan mendukung persyaratan pertumbuhan ekosistem ini, maka ekosistem tersebut akan berkembang menjadi lebih baik. Sebaliknya, apabila tekanan lingkungan yang dialami lebih tinggi dari persyaratan hidupnya, maka ekosistem tersebut akan berkembang ke arah yang lebih buruk. Dari data lapangan, terlihat kecenderungan ekosistem tersebut mengalami penurunan karena tekanan penduduk yang cukup besar, terutama di Pulau Barrang Lompo dan Pulau Saonek. Oleh karena itu, konservasi laut adalah instrumen pengelolaan yang dapat digunakan untuk mempertahakan atau meningkatkan kualitas dari ketiga ekosistem tersebut. Melalui pengembangan konservasi laut, kapasitas adaptif dari pulau-pulau kecil dapat ditingkatkan.

Terkait dengan luasan kawasan konservasi, terdapat dua pendekatan yang digunakan dalam menentukan kawasan konservasi, yaitu kawasan konservasi skala luas dan skala kecil seperti daerah perlindungan laut. Konservasi skala luas di dikenal dengan nama large marine ecosystem (LMEs), yaitu sebuah pendekatan yang digunakan untuk menentukan luasan dari suatu kawasan pesisir dan laut untuk di konservasi. LMEs ini ditetapkan untuk kawasan pesisir dan laut seluas 200 000 km2 atau lebih yang dikarakteristikkan oleh kedalaman, hidrografi, produtivitas, aspek antropologi atau penduduk (Mohan et al. 2009). Konsep ini telah digunakan sekitar 25 tahun yang lalu, dan telah diinvestigasi pengaruhnya terhadap ekosistem pesisir dan laut dunia. Konsep ini digunakan untuk mengatasi isu ekosistem pesisir pada skala geografi yang banyak dipengaruhi oleh aspek biofisik. Pendekatan LMEs ini fokus pada lima hal yaitu produktivitas, ikan dan kegiatan perikanan, kesehatan ekosistem, sosial ekonomi dan tata-kelola ekosistem pesisir dan laut. Beberapa kawasan konservasi yang mengikuti pendekatan LMEs adalah kawasan konservasi Phoenix Island di di Republik Kiribati dengan luas 185 000 km2, Taman Laut Great Barrier Reef Marine dengan luas 344 000 km2, dan Taman Laut Nasional di Pulau Hawai seluas 362 000 km2 (Edward 2008). Oleh karena itu, dalam skenario penurunan kerentanan pulau-pulau kecil digunakan pendekatan areal yang lebih luas (mencapai 50 % dari habitat pesisir) dari habitat pesisir pulau-pulau kecil. Kisaran luasan konservasi juga dikemukakan Halpern (2003) yang menyebutkan bahwa kawasan konservasi berkisar antara 0.002 km2 sampai 846 km2, dengan nilai tengah 4 km2. Semua

   

kawasan konservasi tersebut memberikan manfaat dengan periode waktu yang berbeda-beda.

5.3.1 Pulau Kasu

Seperti telah diuraikan dalam Sub-bab 4.6 dan 4.7, kerentanan ketiga pulau berbeda, dimana Pulau Barrang Lompo dan Pulau Saonek memiliki kerentanan sedang, sedangkan Pulau Kasu masih dalam kategori kerentanan rendah. Setelah mencermati perilaku dari parameter kerentanan dari setiap komponen (exposure, sensitivity, dan adaptive capacity), diperoleh beberapa indikasi parameter yang akan cepat mengalami perubahan. Perubahan kerentanan Pulau Kasu dalam 2 tahun ke depan disebabkan oleh pengaruh kenaikan muka laut terhadap letak pemukiman penduduk yang umumnya dibangun di atas perairan. Hal ini telah diindikasikan oleh dampak yang sudah mulai dirasakan masyarakat, bahwa pada saat pasang tertinggi, permukaan air beberapa kali sudah mencapai lantai rumah penduduk yang berada di atas permukaan laut. Dengan demikian, parameter yang akan mempengaruhi perubahan kerentanan Pulau Kasu secara cepat adalah kenaikan muka laut dan pemukiman penduduk. Dengan mengubah nilai skor dari kedua parameter tersebut, perubahan kerentanan dapat diprediksi hingga tahun 2100. Hasil analisis menunjukkan, bahwa akan terjadi perubahan kerentanan secara signifikan pada Pulau Kasu. Tabel 22 menyajikan skenario perubahan kerentanan (tanpa pengelolaan, pengelolaan skenario 1, dan pengelolaan skenario 2).

Tabel 22. Skenario perubahan kerentanan Pulau Kasu

No. Skenario Pengelolaan Perubahan Kerentanan

Sedang Tinggi Sangat Tinggi

1. Tanpa pengelolaan 2017 2040 -

2. Pengelolaan skenario 1 2021 2060 - 3. Pengelolaan skenario 2 2032 - -

Dinamika kerentanan Pulau Kasu relatif kecil, sebagaimana diperlihatkan pada Tabel 22 di atas. Perubahan kerentanan baik tanpa dilakukan pengelolaan maupun dilakukan pengelolaan hingga tahun 2100, maksimal hanya berada pada kategori kerentanan tinggi, yang berarti tidak mencapai kategori kerentanan sangat tinggi. Hal ini disebabkan karena skor masing-masing parameter ketiga

   

dimensi kerentanan umumnya berada pada kategori rendah sampai sedang. Jika tidak dilakukan pengelolaan, dalam waktu 7 tahun akan terjadi perubahan kerentanan dari kerentanan saat ini (rendah) menjadi kerentanan sedang. Perubahan kerentanan sedang menjadi kerentanan tinggi akan terjadi dalam waktu 23 tahun. Jika dilakukan pengelolaan skenario 1 (penetapan habitat pesisir Pulau Kasu seluas 30 % menjadi kawasan konservasi), dalam jangka waktu 11 tahun dari sekarang akan terjadi perubahan dari kerentanan saat ini (rendah) menjadi kerentanan sedang. Hal ini berarti perubahan kerentanan dapat diperlambat selama 4 tahun untuk perubahan dari kerentanan rendah ke kerentanan sedang. Untuk perubahan kerentanan dari kerentanan sedang ke kerentanan tinggi dibutuhkan waktu sekitar 39 tahun, yang berarti terjadi perlambatan 20 tahun yaitu dari tahun 2040 (tanpa pengelolaan) menjadi tahun 2060 (pengelolaan skenario pengelolaan 1). Apabila dilakukan pengelolaan skenario 2 (penetapan konservasi 50 % dan pemindahan pemukiman), perubahan kerentanan dari keadaan saat ini menjadi kerentanan sedang baru terjadi pada 22 tahun ke depan.

Berdasarkan dinamika kerentanan Pulau Kasu ini, dapat disimpulkan bahwa tipologi Pulau Kasu sebagai pulau petabah (berbukit) tidak terlalu rentan terhadap perubahan kenaikan muka laut dan faktor-faktor lainnya seperti yang telah diuraikan sebelumnya. Karakteristik pulau yang relatif terlindung dengan tingkat kapasitas adaptif yang tinggi, menyebabkan kerentanan Pulau Kasu relatif rendah. Perubahan parameter komponen kerentanan yang ada juga tidak banyak, sehingga dinamika kerentanan pada masa yang akan datang relatif rendah.

5.3.2 Pulau Barrang Lompo

Kerentanan Pulau Barrang Lompo berbeda dengan kerentanan Pulau Kasu sebagaimana telah diuraikan sebelumnya. Pulau Barrang Lompo memiliki kerentanan saat ini (kerentanan awal) sudah berada pada kategori kerentanan sedang. Parameter kerentanan baik pada dimensi exposure maupun dimensi sensitivity umumnya memiliki skor yang sudah tinggi. Hal ini berarti perubahan kerentanan Pulau Barrang Lompo akan akan berubah ke tingkat yang lebih tinggi yaitu ke kerentanan tinggi dan kerentanan sangat tinggi. Pada Tabel 23 disajikan skenario perubahan kerentanan dari tiga skenario, yaitu tanpa pengelolaan, pengelolaan skenario 1, dan pengelolaan skenario 2.

   

Tabel 23. Skenario perubahan kerentanan Pulau Barrang Lompo

No. Skenario Pengelolaan Perubahan Kerentanan

Sedang Tinggi Sangat Tinggi

1. Tanpa pengelolaan - 2023 2061

2. Pengelolaan skenario 1 - 2027 2074 3. Pengelolaan skenario 2 - 2039 -

Seperti terlihat pada Tabel 23 di atas, apabila tidak dilakukan pengelolaan, dalam 13 tahun ke depan akan terjadi perubahan kerentanan dari kerentanan sedang menjadi kerentanan tinggi. Dalam kurun waktu 51 tahun dari saat ini akan berubah menjadi kerentanan sangat tinggi. Apabila dilakukan pengelolaan dengan skenario 1 (menetapkan 30 % dari habitat pesisir sebagai kawasan konservasi laut), maka perubahan kerentanan dari kerentanan sedang ke kerentanan tinggi dapat diperlambat selama 17 tahun menjadi tahun 2027, dan 47 tahun berikutnya baru mencapai kerentanan sangat tinggi (2074). Apabila pengelolaan skenario 2 dilakukan (meningkatkan kawasan konservasi menjadi 50 % dan membangun bangunan pelindung pantai) maka perubahan kerentanan dari kerentanan tinggi menjadi kerentanan sangat tinggi dapat diperlambat selama 12 tahun dari skenario 1 menjadi tahun 2039. Berdasarkan dinamika kerentanan ini, dapat disimpulkan bahwa tipologi Pulau Barrang Lompo sebagai pulau karang dengan tingkat sensitivitas yang tinggi menyebabkan kerentanan Pulau Barrang Lompo relatif tinggi. Upaya untuk meningkatkan kapasitas adaptif alami tidak terlalu signifikan dalam menurunkan kerentanan Pulau Barrang Lompo, namun penurunan kerentanan lingkungan dapat dilakukan dengan membangun bangunan pelindung pantai pada seluruh pantai Pulau Barrang Lompo. Karakteristik Pulau Barrang Lompo yang berada Selat Makasar dengan gelombang yang cukup besar menyebabkan juga perlunya membangun alat pemecah ombak pada sisi barat Pulau Barrang Lompo.

5.3.3 Pulau Saonek

Sama halnya dengan Pulau Barrang Lompo, kerentanan Pulau Saonek masih dalam kategori kerentanan sedang. Hal ini berarti perubahan kerentanan Pulau Saonek akan meningkat ke kerentanan tinggi pada masa yang akan datang. Nilai ketersingkapan dan sensitivitas Pulau Saonek yang cukup tinggi

   

menyebabkan kerentanan lingkungan saat ini cukup tinggi (kerentanan sedang). Skenario perubahan kerentanan lingkungan Pulau Saonek disajikan pada Tabel 24.

Tabel 24. Skenario perubahan kerentanan Pulau Saonek

No. Skenario Pengelolaan Perubahan Kerentanan

Sedang Tinggi Sangat Tinggi

1. Tanpa pengelolaan - 2027 2070

2. Pengelolaan skenario 1 - 2041 - 3. Pengelolaan skenario 2 - 2064 -

Berdasarkan analisis yang disajikan pada Tabel 24, perubahan kerentanan dari kerentanan sedang ke kerentanan tinggi terjadi pada tahun 2027 jika tidak dilakukan pengelolaan, dan perubahan dari kerentanan tinggi ke kerentanan sangat tinggi terjadi pada tahun 2070. Jika dilakukan pengelolaan skenario 1, perubahan kerentanan dari kerentanan sedang ke kerentanan tinggi dapat diperlambat selama 14 tahun menjadi tahun 2041, sedangkan jika dilakukan pengelolaan skenario 2, maka perubahan kerentanan dari kerentanan sedang ke kerentanan tinggi dapat diperlambat selama 37 tahun menjadi tahun 2064 jika dibandingkan dengan kondisi tidak dilakukan pengelolaan. Baik pengelolaan skenario 1 maupun pengelolaan skenario 2 tidak akan mencapai kerentanan sangat tinggi sampai tahun 2100.

5.4 Analisis Laju Perendaman Daratan Pulau

Perendaman (inundation) merupakan salah satu konsekuensi terbesar bagi pulau-pulau kecil terkait dengan kenaikan muka laut sebagaimana yang terjadi di belahan bumi (Woodroffe 2008; Mimura 1999). Perendaman berbeda dengan banjir (flooding), perendaman adalah perembesan air yang terjadi pada saat muka air naik masuk ke dalam daratan pulau, sedangkan banjir adalah aliran air yang melewati suatu daratan yang terjadi ketika curah hujan tinggi atau karena badai siklon. Perendaman pulau sangat terasa bagi pulau-pulau kecil dari kelompok pulau karang atau pulau atol, karena kedua jenis pulau ini memiliki elevasi yang sangat rendah, yang berpeluang akan mengalami perendaman.

   

Dari perkiraan laju perendaman daratan pulau yang dipaparkan pada Sub-bab 4.8, diketahui bahwa Pulau Barrang Lompo yang akan mengalami dampak yang sangat ekstrim dibandingkan dengan Pulau Saonek dan Pulau Kasu. Pada tahun 2040, sekitar 20.48 % daratan Pulau Barrang Lompo akan mengalami perendaman, sedangkan Pulau Saonek dan Pulau Kasu masing-masing hanya sekitar 13.46 % dan 5.74 %. Pada tahun 2060, daratan Pulau Barrang Lompo yang akan mengalami perendaman sekitar 40.67 %, sedangkan Pulau Saonek dan Kasu masing-masing 21.23 % dan 7.78 %. Pada tahun 2080, persentasi luas daratan Pulau Barrang Lompo yang mengalami perendaman adalah 70.41 %, sedangkan Pulau Saonek dan Kasu masing-masing sebesar 32.55 % dan 9.99 %. Pada akhir tahun 2100 sekitar 84.94 % lahan daratan Pulau Barrang Lompo akan mengalami perendaman, sedangkan Pulau Saonek dan Kasu sebesar 39.37 % dan 10.49%.

Perbedaan laju perendaman ketiga pulau tersebut disebabkan oleh perbedaan 2 faktor penting yang mempengaruhi perendaman daratan pulau, yaitu elevasi pulau dan laju kenaikan muka laut. Seperti telah diuraikan pada Sub-bab 4.2, sekitar 98.93 % daratan Pulau Barrang Lompo berada pada ketinggian kurang dari 100 cm. Dengan ketinggian daratan pulau seperti ini, maka peluang daratan tersebut mengalami perendaman karena kenaikan muka laut jauh lebih besar. Berbeda dengan Pulau Barrang Lompo, Pulau Saonek memiliki daratan pulau sekitar 71.54 % yang ketinggiannya kurang dari 100 cm, sedangkan Pulau Kasu hanya sekitar 15.52 % yang ketinggiannya kurang dari 100 cm. Faktor kedua yang menyebabkan perbedaan laju perendaman daratan pulau adalah laju kenaikan muka laut. Kenaikan muka laut tertinggi terjadi di perairan sekitar Pulau Saonek yaitu sekitar 7.06 mm/tahun, perairan Pulau Barrang Lompo sekitar 5.09 mm/tahun dan Pulau Kasu sekitar 3.99 mm/tahun. Berdasarkan laju kenaikan muka laut tersebut, pada tahun 2100 daratan dengan ketinggian kurang dari 45 cm di Pulau Barrang Lompo akan mengalami perendaman. Adapun daratan setinggi 63 cm di Pulau Saonek akan terendam pada tahun 2100, dan daratan kurang dari 36 cm di Pulau Kasu akan terendam. Perkiraan laju perendaman daratan pulau ini tidak memperhitungkan faktor subsiden dari masing-masing pulau.

   

Besarnya dampak kenaikan muka laut terhadap perendaman daratan Pulau Barrang dan Saonek merupakan konsekuensi dari pulau-pulau karang dari kelompok pulau datar, sebagaimana banyak menimpa pulau-pulau kecil di daerah Karibati-Tuvalu yang mengalami ancaman perendaman karena ketinggian kurang dari 2 m (Woodroffe 2008). Perendaman daratan pulau memberikan dampak yang cukup besar terhadap sistem lingkungan pulau-pulau kecil. Selain terganggunya sistem lingkungan pulau-pulau kecil, dampak ekstrim lainnya dari perendaman daratan pulau seperti yang terjadi di Funafuti-Tavalu adalah terjadinya migrasi atau perpindahan penduduk dari satu pulau ke pulau lainnya (Mimura 1999). Woodroffe (2008) juga menyebutkan beberapa aspek yang terkait dengan topografi yang mempengaruhi perendaman adalah luas daratan yang berada pada ketinggian kurang dari 2 m, serta kisaran pasang surut dan tinggi gelombang laut. Salah satu pendekatan yang dibutuhkan dalam kaitannya dengan kerentanan pulau dataran rendah terkait dengan kenaikan muka laut adalah pendekatan morfodinamika (Capobianco et al. 1999). Pendekatan ini didasarkan pada penilaian dinamika alami dari ekosistem pulau dan perencanaan pengelolaan untuk meningkatkan resiliensi atau kapasitas adaptif, guna meminimalisasi dampak dari kenaikan muka laut.