• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I Pendahuluan

1.5. Kerangka Teori

1.5.2.3. Analisis Sosial

Salah satu dimensi dari analisis wacana Van Dijk adalah analisis sosial. Menurut Van Dijk, wacana merupakan bagian dari masyarakat yang berkembang dalam masyarakat, sehingga dengan meneliti teks perlu dilakukan analisis intertekstual dengan meneliti bagaianaman wacana tentang suatu hal diproduksi dan dikonstruksi dalam masyarakat. Titik penting dari analisis ini adalah untuk

menunjukkan bagaimana makna yang dihayati bersama, kekusaaan sosial diproduksi lewat praktik diskursus dan legitimasi.

Dalam analisis mengenai masyarakat ini, ada dua poin yang penting yaitu kekusaan (power) dan akses (acces). Van Dijk mendefinisikan kekuasaan tersebut sebagai kepemilikan yang dimiliki suatu kelompok (atau anggotanya), satu kelompok untuk mengontrol kelompok (atau anggota) dari kelompok lain. Selain berupa kontrol yang bersifat langsung dan fisik, kekusaan yang dipahami oleh Van Dijk juga berbentuk persuasif, yaitu tindakan seseorang untuk secara tidak langsung mengontrol dengan jalan memengaruhi kondisi mental, seperti kepercayaan, sikap dan pengetahuan.

Van Dijk juga memberikan perhatian kepada akses, yaitu bagaimana akses diantara kelompok dalam masyarakat. Kelompok elit mempunyai akses yang lebih besar dibandingkan dengan kelompok yang tidak berkuasa. Oleh karena itu mereka yang berkuasa mempunyai kesempatan lebih besar untuk mempengaruhi kesadaran khalayak. Akses yang lebih besar bukan hanya memberikan kesemaptan untuk mengontrol kesadaran khalayak lebih besar tetapi juga menentukan wacana apa yang dapat disebarkan kepada khalayak.

Seperti yang diuraikan sebelumnya, Van Dijk berpendapat dalam melakukan analisis wacana ada tiga dimensi analisis, yaitu analisis teks, analisis kognisi sosial, dan analisis sosial kutural. Analisis teks dapat menjelaskan bagaimana pemikiran Sukarno serta wacana apa yang ingin dibangun dengan memperhatikan pemilihan kata, pengulangan kata, ataupun gaya bahasanya.

Seperti yang diuaraikan sebelumnya, bahwasanya dalam pidato kenegaraan ini, Sukarno mengangkat wacana demokrasi terpimpin merupakan demokrasi yang berasal dari pancasila dan demokrasi asli Indonesia. Kata crucial period

merupakan salah satu cara Sukarno membentuk wacana tersebut. Dengan menggunakan metode ini kita dapat mengetahui mengapa ia memilih istilah

crucial period untuk disampaikan di pidatonya, dan mengapa kata tersebut sampai ia sebutkan beberapa kali. Selain itu, metode ini juga digunakan untuk mengetahui teks-teks apa yang sangat erat kaitannya dengan artikulasi kekuasaan yang dilakukan Sukarno.

Sementara dengan menggunakan analisis kognisi sosial, kita dapat melihat ideologi ataupun pemikiran Sukarno yang ia tanamkan dalam setiap bahasa ataupun teks dalam pidatonya. Karena dengan menggunakan analisis ini, teks pidato yang ia sampaikan sebenarnya tidak bermakna apapun, tetapi ideologi, pemikiran dan kepercayaan Sukarno tentang sesuatu hal-lah yang membuat teks pidato tersebut memiliki makna. Dengan menggunakan analisis kognisi sosial ini, kita dapat melihat makna crucial period dalam alam pikir Sukarno. Dengan begitu, kita dapat melihat relasi antara makna crucial period dengan mengapa Sukarno menggunakan kata-kata tersebut.

Dan dimensi terakhir adalah analisis sosial kultural. Analisis ini menitikberatkan pada bagaimana wacana tentang suatu hal dikonstruksi di masyarakat. Analisis ini hampir mirip dengan pandangan Foulcault, yang menyatakan bahwa kekuasaan dapat menetukan sebuah wacana menjadi sebuah

wacana dominan, dan wacana lainnya menjadi terpinggirkan. Karena itu, analisis tidak akan peneliti gunakan dalam penelitian ini.

1.5.3. Antagonisme, Sistem Perbedaan & Persamaan dan Hegemoni

Antagonisme memainkan peran penting dalam teori diskursus Laclau dan

Mouffe. Menurut Laclau dan Mouffe, antagonisme merupakan “a failure of

difference” semenjak adanya keterbatasan-keterbatasan dalam obyektivitas sosial. Antagonisme memainkan peran penting dalam pembentukan identitas dan hegemoni, karena penciptaan suatu antagonisme sosial meliputi penciptaan musuh yang akan menjadi sesuatu yang penting bagi terbentuknya political frontier yang dikotomik. Antagonisme sosial membuat setiap makna sosial berkontestasi dan tidak akan pernah menjadi penuh/tetap (fixed), yang kemudian memunculkan

political frontier. Setiap aktor akan memahami identitas mereka melalui hubungan antagonistik, karena antagonisme mengidentifikasikan musuh mereka. Formasi hegemonik selalu memerlukan yang dibentuk di luar dirinya yang memiliki relasi antagonistik. Antagonisme sosial terjadi jika agen-agen hegemonik tidak mampu menjaga identitas mereka dan mengkonstruksi musuh mereka. Dalam hal ini, antagonisme menguak perbatasan dari batas-batas politik suatu formasi sosial sebagaimana ditunjukkan pada point di mana identitas tidak dapat lagi distabilkan dalam pemaknaan utuh dari suatu system of differences, tetapi dikontestasikan oleh kekuatan yang berdiri pada batasan tatanan tersebut. Menurut Laclau dan Mouffe, dalam hal identitas kolektif, akan selalu menghadapi penciptaan “kita” yang hanya dapat eksis hanya jika ada demarkasi dari “mereka”. Mouffe

menekankan bahwa relasi ini tidak perlu untuk selalu dilihat sebagai satu dari relasi kawan/lawan, yakni suatu relasi yang antagonistik. Tetapi hal tersebut harus diakui, dalam kondisi-kondisi tertentu selalu dimungkinkan dimana relasi kita/mereka ini dapat menjadi antagonistik, yakni itu dapat berubah menjadi suatu relasi kawan/lawan.15

Selain konsep antagonisme, sistem persamaan dan perbedaan, dalam teori diskursus Laclau juga dikenal dengan adanya konsep hegemoni. Menurut Laclau dan Mouffe, medan bagi munculnya hegemoni ialah medan bagi praktek-paktek artikulatoris, dengan kata lain suatu medan dimana „elemen-elemen‟ tidak

terkristalisasi menjadi „momen-momen‟. Dalam suatu identitas relasional yang

tertutup, dimana di dalamnya makna dari setiap momen telah fixed secara absolut, tidak ada ruang apapun bagi suatu praktek hegemonik. Namun Laclau dan Mouffe juga menambahkan bahwa agar adanya hegemoni, momen artikulasitoris saja tidaklah cukup. Artikulasi itu harus dijalankan lewat suatu konfrontasi dengan praktek-praktek artikulatoris yang antagonistik, yang dengan kata lain, hegemoni akan terjadi dalam suatu medan yang dipenuhi dengan antagonism-antagonisme dan arena itu mengandaikan adanya fenomena ekuivalensi dan efek-efek garis perbatasan.16

Sistem perbedaan dan persamaan yang diungkapkan oleh Laclau dapat menjelaskan bagaimana di dalam pidato tersebut terdapat terdapat antagonism-antagonisme. Sistem perbedaan ini menjelaskan bagaimana Sukarno yang

15

Ernesto Laclau & Chantak Mouffe. 2008. Hegemoni dan Strategi Sosialis: Postmarxisme + Gerakan Sosial Baru. Jakarta: Resist Book. Hal: xli.

16

dahulunya menjalankan pemerintahan dengan demokrasi liberal, namun karena berbagai masalah yang terjadi dan ditambah dengan imajinasi Sukarno tentang dirinya dan pemikirannya (myth), kemudian Sukarno menciptakan sebuah musuh baru yaitu demokrasi liberal. Hal ini dilakukan guna menemukan dan mentransformasikan sebuah wacana baru yaitu wacana „demokrasi terpimpin merupakan demokrasi pancasila dan demokrasi Indonesia asli‟. Sehingga pada akhirnya kita dapat melihat apakah wacana yang dikembangkan oleh Sukarno dalam pidatonya tersebut dapat menjadi sebuah hegemonic discourse.

Dokumen terkait