• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Wacana Kritis Terhadap Pidato Kenegaraan Presiden Soekarno pada Tanggal 17 Agustus 1966

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Analisis Wacana Kritis Terhadap Pidato Kenegaraan Presiden Soekarno pada Tanggal 17 Agustus 1966"

Copied!
188
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS WACANA KRITIS TERHADAP PIDATO KENEGARAAN PRESIDEN SOEKARNO PADA TANGGAL 17 AGUSTUS 1966

Farah Annisa Harahap 110906011

Dosen Pembimbing: Drs. H.Ahmad Taufan Damanik, MA

DEPARTEMEN ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTASI ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU POLITIK

FARAH ANNISA HARAHAP (110906011)

ANALISIS WACANA KRITIS TERHADAP PIDATO KENEGARAAN PRESIDEN SUKARNO PADA TANGGAL 17 AGUSTUS 1966

Rincian Isi Skripsi, 168 halaman, 2 tabel, 1 gambar, 27 buku, 2 jurnal, 2 skripsi,situs internet

ABSTRAK

Penelitian ini mencoba menjelaskan tentang wacana yang terdapat dalam pidato kenegaraan Presiden Sukarno pada tanggal 17 Agustus 1966. Pidato kenegaraan menarik untuk diteliti karena pidato kenegaraan itu disampaikan secara luas dan merupakan keterangan resmi Presiden yang memuat berbagai tanggapan masalah yang muncul. Dengan demikian, pidato kenegaraan merupakan variasi resmi dari jargon, janiji, sarana untuk menyampaikan masalah atau prestasi yang telah dilakukan. Pidato kenegaraan ini merupakan satu-satunya pidato kenegaraan yang disampaikan pada rentang masa peralihan kekuasaan. Setelah pemberontakan 30 September, pamor dan kejayaan Sukarno semakin menurun. Untuk itu melalui pidato kenegaraan, Sukarno membangun kembali citranya dan berusaha menarik simpati rakyat Indonesia.

(3)

Crucial Period menjadi kata kunci dalam membentuk wacana ini. Wacana ini disampaikan dengan mereview masa lalu yang ia sebut dengan crucial period.

Crucial period ini tidak lain adalah masa pemerintahan demokrasi liberal. Dalam menyampaikan pidato ini, Demokrasi Terpimpin merupakan solusi dari crucial period tersebut, karena Demokrasi Terpimpin merupakan demokrasi Pancasila dan demokrasi Indonesia asli. Dari sini, dapat dilihat bahwa adanya antagonism yang terjadi antara Demokrasi Liberal dan Demokrasi Terpimpin. Wacana ini dapat terbentuk karena myth yang mempengaruhi pribadi Sukarno. Mitos ini merupakan imajinasi tentang dirinya dan pemikiran-pemikirannya. Kemudian wacana ini dapat menjadi sebuah wacana yang hegemonik, karena wacana ini disampaiakan dalam situasi yang antagonistic. Demokrasi Terpimpin yang Sukarno sampaikan dalam pidato ini dikonfrontasi dengan Demokrasi Liberal, sehingga masyarakat kemudian menjadi membandingkan kedua bentuk demokrasi ini. Pada akhirnya, wacana ini menjadi sebuah perdebatan. Maka, wacana „Demokrasi Terpimpin merupakan demokrasi Pancasila dan Demokrasi Indonesia asli, telah berhasil menjadi wacana yang hegemonik.

(4)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FACULTY OF SOCIAL AND POLITICAL SCIENCE DEPARTEMENT OF POLITICAL SCIENCE

FARAH ANNISA HARAHAP (110906011)

CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS TOWARDS THE STATE SPEECH OF PRESIDENT SUKARNO ON AUGUST 17 1966

Content : 168 pages, 2 tables, 27 books, 2 journals, 2 thesis, 2 websites.

ABSTRACT

This research was trying to explain about the discourse that is within the presidential speech of President Sukarno on August 17 1966. The presidential speech was interesting to be researched because that speech was delivered widely and that was an official statement from President which was contained variation of issues. Thus, the state addressed a formal variation of jargon, promises, a means to convey a problem or achievements that have been made. This state speech is the only state speech which was delivered in the range of the transition of power. After the rebellion Sept. 30, the prestige and glory of Sukarno had been declining. For that through the state speech, Sukarno rebuild its image and trying to attract the sympathy of the people of Indonesia.

This research used critical analysis discourse as the method. Critical discourse analysis is used to dissect the text or language, both contained in the median text and text from communicative events such as speech and rhetoric. In this research, the issue would be explained through analysis discourse by . Foucault's perspective could explain how power relations are formed when President Sukarno read the speech. This relation could be seen how Sukarno with power to form a discourse through speech. In addition, Sukarno also used language in a speech to power. Van Dijk‟s perspective used to examine Sukarno‟s thought and what discourse that wanted to form by. While Laclau‟s discourse theory was used to explain the antagonism that was in the discourse. After that, it would be known how such discourse could be formed and subsequently became the hegemonic discourse.

(5)
(6)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

Halaman Persetujuan

Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan dan diperbanyak oleh: Nama : Farah Annisa Harahap

NIM : 110906011 Departemen : Ilmu Politik

Judul :Analisis Wacana Kritis Terhadap Pidato Kenegaraan Presiden Sukarno Tanggal 17 Agustus 1966

Menyetujui:

Ketua Departemen Ilmu Politik Dosen Pembimbing

(Dra. T. Irmayani, M.Si) (Drs. Ahmad Taufan Damanik,MA) NIP. 196806301994032001 NIP. 196506291988031001

Mengetahui: Dekan FISIP USU

(7)

Karya ini dipersembahkan untuk Mama, Papa, dan Ompung Mami Tercinta

(8)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirrabilalamin, puji skuyur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan nikam yang berlebih, nikmat kesehatan, kesempatan dan juga nikmat materi sehingga, sampai saat ini penulis masih bisa menyelesaikan tugas akhir dalam keadaan yang berbahagia. Dan juga penulis ingin menyampaikan sholawat dan beriring salam kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW, beserta para keluarga dan sahabatnya, yang telah memberikan penerangan kepada seluruh umat manusia di dunia.

Skripsi ini berjudul Analisis Wacana Kritis Terhadap Pidato Kenegaraan Presiden Sukarno Tanggal 17 Agustus 1966. Pemilihan judul ini tidak lain, karena penulis tertarik pada kajian sejarah. Dan Alhamdulillah, banyak orang yang mendukung untuk meneliti masalah ini. Sukarno adalah seorang orator ulung. Menurut penulis, beliau adalah orang yang unik. Dalam berpidato atau dialog kenegaraan resmi, ia tidak segan-segan menggunakan kata-kata kasar, umpatan atau bahasa-bahasa yang tidak lazim digunakan oleh pemimpin negara. Namun, disisi lain, ia juga sangat mahir menggunakan kata-kata puistis yang sanggup menggerakkan hati-hati rakyat kecil karena memiliki makna yang dalam. Akhir tahun 1965 sampai awal tahun 1967 merupakan masa yang berat bagi Sukarno. Banyak oaring yang berpaling darinya, kata-katanya tidak terdengar, bahkan pidatonya bagaikan angina lalu. Sehingga pidato kenegaraan yang disampaikan pada tanggal 17 Agustus 1966 sangat menarik untuk diteliti karena merupakan satu-satunya pidato kenegaraan yang disampikan dalam rentang masa peralihan.

(9)

ingin mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga kepada seluruh keluarga tercinta, terutama Mama Hj. Tapi Srieyani Lubis dan Papa H. Sorimuda Harahap atas cinta dan kasih sayangnya, juga untuk dukungan materi hingga semangat kepada penulis. Terima kasih juga kepada Abang Faisal Bukhory Harahap atas dukungannya, dan juga kepada kedua adik penulis Fadli Adinda Harahap dan Fikri Fansyuri Harahap, yang telah banyak membantu penulis. Terima kasih juga kepada seluruh keluarga besar, Ompung Hj Farida Nasution yang senyumannya juga menguatkan penulis, Bujing Indriyana yang sudah seperti mama bagi penulis, dan juga kepada Tulang, Nantulang serta sepupu-sepupu yang selalu memberikan doa dan semangat kepada penulis. Dan juga kepada teman yang sudah tujuh tahun bersama Resi Pratiwi dan Putti Maulita Anisa. Semoga Allah SWT membalas kebaikan kalian semua dengan pahala dan nikmat yang berlipat ganda.

Dalam kesempatan ini penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

2. Ibu Dra. T. Irmayani selaku Ketua Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

3. Bapak Drs. Ahmad Taufan Damanik, selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing serta tetap percaya kepada penulis dalam mengerjakan skripsi ini.

4. Dosen dan staf pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu politik Universitas Sumatera Utara.

5. Kak Ema, Pak Burhan yang selalu membantu dalam setiap urusan administrasi. Dan juga kepada Kak Siti Nuraini yang selalu meluangkan waktunya untuk berdiskusi dengan penulis.

(10)

lain yang tidak dapat disebutkan disini, tetapi pasti akan penulis ingat. Terima kasih untuk waktu yang kurang lebih 4 tahun ini menjadi teman untuk berbagi tawa, dan tempat berdiskusi. Banyak pelajaran yang penulis dapatkan selama berteman dengan kalian. Semoga kita semua dapat mewujudkan impian masing-masing. Tetap semangat !

Medan, 29 Juli 2015

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

Halaman Judul ... i

Abstrak ... ii

Abstract ... iv

Halaman Pengesahan ... vi

Halaman Pesetujuan ... vii

Lembar Persembahan ... viii

Kata Pengantar ... ix

Daftar Isi ... xii

BAB I Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Masalah ………... 1

1.2. Perumusan Masalah ……… 6

1.3. Tujuan Penelitian ……… 8

1.4. Manfaat Penelitian ……….. 8

1.5. Kerangka Teori ………... 9

1.5.1. Wacana Menurut Perspektif Foulcault ………. 9

1.5.2. Analisis Wacana Teun van Dijk ……….. 12

1.5.2.1. Analisis Teks ………... 13

(12)

1.5.2.3. Analisis Sosial ………... 14

1.5.3. Antagonisme, Sistem Perbedaan & Sistem Persamaan dan Hegemoni ………... 17

1.6. Metode Penelitian ………... 19

1.6.1. Jenis Penelitian ………. 20

1.6.2. Teknik Pengumpulan Data ………... 20

1.6.3. Teknik Analisa Data ……… 21

1.7. Sistematika Penulisan ………. 22

BAB II Sukarno, Masa Pemerintahan, dan Isi Pidato Kenegaraan 17 Agustus 1966 2.1. Biografi Sukarno ……… 25

2.1.1. Masa Muda Sukarno ……… 25

2.1.2. Masa Pergerakan Nasional ………... 30

2.1.3. Proklamasi Kemerdekan 1945 ………. 32

2.2. Masa Pemerintahan ………. 37

2.2.1. Masa Demokrasi Liberal ……….. 37

2.2.1.1. Kabinet Mohammad Natsir ……… 41

2.2.1.2. Kabinet Sukiman Wirjosandjojo ………. 43

2.2.1.3. Kabinet Wilopo ………... 44

2.2.1.4. Kabinet Ali Sastroamidjojo ………. 45

(13)

2.2.1.6. Kabinet Ali Sastroamidjojo II ………. 49

2.2.2. Masa Demokrasi Terpimpin ……… 51

2.2.2.1. Awal Demokrasi terpimpin ………. 52

2.3. Isi Pidato Kenegaraan Sukarno tanggal 17 Agustus 1966 ….. 68

BAB III Wacana dalam Pidato Kenegaraan 17 Agustus 1966 3.1. Analisis van Dijk ………. 106

3.1.1. Analisis Teks ………... 106

3.1.1.1. Tematik ………... 107

3.1.1.2. Skematik ………. 110

3.1.1.3. Semantik ………. 117

3.1.1.4. Sintaksis ……….. 125

3.1.1.5. Leksikon ……….. 129

3.1.2. Analisis Kognisi Sosial ……… 131

3.2. Analisis Foulcault ………... 135

3.3. Analisis Laclau dan Mouffe ……… 141

3.4. Wacana dalam Pidato Kenegaraan 17 Agustus 1966……….. 160

BAB IV Penutup 4.1. Kesimpulan ………. 164

4.2. Saran ………... 167

(14)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTASI ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU POLITIK

FARAH ANNISA HARAHAP (110906011)

ANALISIS WACANA KRITIS TERHADAP PIDATO KENEGARAAN PRESIDEN SUKARNO PADA TANGGAL 17 AGUSTUS 1966

Rincian Isi Skripsi, 168 halaman, 2 tabel, 1 gambar, 27 buku, 2 jurnal, 2 skripsi,situs internet

ABSTRAK

Penelitian ini mencoba menjelaskan tentang wacana yang terdapat dalam pidato kenegaraan Presiden Sukarno pada tanggal 17 Agustus 1966. Pidato kenegaraan menarik untuk diteliti karena pidato kenegaraan itu disampaikan secara luas dan merupakan keterangan resmi Presiden yang memuat berbagai tanggapan masalah yang muncul. Dengan demikian, pidato kenegaraan merupakan variasi resmi dari jargon, janiji, sarana untuk menyampaikan masalah atau prestasi yang telah dilakukan. Pidato kenegaraan ini merupakan satu-satunya pidato kenegaraan yang disampaikan pada rentang masa peralihan kekuasaan. Setelah pemberontakan 30 September, pamor dan kejayaan Sukarno semakin menurun. Untuk itu melalui pidato kenegaraan, Sukarno membangun kembali citranya dan berusaha menarik simpati rakyat Indonesia.

(15)

Crucial Period menjadi kata kunci dalam membentuk wacana ini. Wacana ini disampaikan dengan mereview masa lalu yang ia sebut dengan crucial period.

Crucial period ini tidak lain adalah masa pemerintahan demokrasi liberal. Dalam menyampaikan pidato ini, Demokrasi Terpimpin merupakan solusi dari crucial period tersebut, karena Demokrasi Terpimpin merupakan demokrasi Pancasila dan demokrasi Indonesia asli. Dari sini, dapat dilihat bahwa adanya antagonism yang terjadi antara Demokrasi Liberal dan Demokrasi Terpimpin. Wacana ini dapat terbentuk karena myth yang mempengaruhi pribadi Sukarno. Mitos ini merupakan imajinasi tentang dirinya dan pemikiran-pemikirannya. Kemudian wacana ini dapat menjadi sebuah wacana yang hegemonik, karena wacana ini disampaiakan dalam situasi yang antagonistic. Demokrasi Terpimpin yang Sukarno sampaikan dalam pidato ini dikonfrontasi dengan Demokrasi Liberal, sehingga masyarakat kemudian menjadi membandingkan kedua bentuk demokrasi ini. Pada akhirnya, wacana ini menjadi sebuah perdebatan. Maka, wacana „Demokrasi Terpimpin merupakan demokrasi Pancasila dan Demokrasi Indonesia asli, telah berhasil menjadi wacana yang hegemonik.

(16)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FACULTY OF SOCIAL AND POLITICAL SCIENCE DEPARTEMENT OF POLITICAL SCIENCE

FARAH ANNISA HARAHAP (110906011)

CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS TOWARDS THE STATE SPEECH OF PRESIDENT SUKARNO ON AUGUST 17 1966

Content : 168 pages, 2 tables, 27 books, 2 journals, 2 thesis, 2 websites.

ABSTRACT

This research was trying to explain about the discourse that is within the presidential speech of President Sukarno on August 17 1966. The presidential speech was interesting to be researched because that speech was delivered widely and that was an official statement from President which was contained variation of issues. Thus, the state addressed a formal variation of jargon, promises, a means to convey a problem or achievements that have been made. This state speech is the only state speech which was delivered in the range of the transition of power. After the rebellion Sept. 30, the prestige and glory of Sukarno had been declining. For that through the state speech, Sukarno rebuild its image and trying to attract the sympathy of the people of Indonesia.

This research used critical analysis discourse as the method. Critical discourse analysis is used to dissect the text or language, both contained in the median text and text from communicative events such as speech and rhetoric. In this research, the issue would be explained through analysis discourse by . Foucault's perspective could explain how power relations are formed when President Sukarno read the speech. This relation could be seen how Sukarno with power to form a discourse through speech. In addition, Sukarno also used language in a speech to power. Van Dijk‟s perspective used to examine Sukarno‟s thought and what discourse that wanted to form by. While Laclau‟s discourse theory was used to explain the antagonism that was in the discourse. After that, it would be known how such discourse could be formed and subsequently became the hegemonic discourse.

(17)
(18)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang Masalah

Bahasa adalah sebuah media komunikasi yang digunakan manusia dalam berinteraksi. Bahasa sebagai lambang bunyi yang arbitrer digunakan oleh masyarakat untuk berhubungan dan bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri.1 Bahasa erat kaitannya dengan cara berpikir seseorang. Pola pikir seseorang terlihat dari cara ia membahasakan segala sesuatu hal.

Untuk dapat memahami bahasa, kita dapat melakukannya melalui kajian teks. Menurut Van Dijk2 teks sama dengan discourse, yaitu kesatuan dari beberapa kalimat yang satu dengan yang lain saling terikat erat. Pengertian satu kalimat harus dihubungkan dengan kalimat yang lain dan tidak dapat ditafsirkan satu-satu kalimat. Dengan kata lain, teks adalah satu kesatuan semantik bukan kesatuan gramatikal. Kesatuan yang bukan dikarenakan bentuknya tetapi kesatuan artinya. Teks adalah suatu contoh proses dan hasil dari makna dalam konteks situasi tertentu. Pemahaman terhadap teks tidak terlepas dari konteks yang menyertai teks tersebut. Teks dan konteks merupakan aspek dari proses yang

1

Harimurti Kridalaksana. 2001. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia, hal.94.

(19)

sama. Pengertian mengenai konteks tidak hanya meliputi hal-hal tertulis melainkan juga hal-hal yang tanpa kata atau nonverbal.3

Analisis wacana kritis merupakan salah satu metode dalam memahami bahasa tersebut. Menurut pandangan kritis bahasa merupakan representasi subjek tertentu, tema tertentu, dan strategi-strategi tertentu. Selain itu dalam pandangan ini wacana tidak hanya dipahami sebagai studi bahasa, tetapi juga dihubungkan dengan konteks yang berarti bahwa bahasa dipakai untuk tujuan praktik tertentu. Selain itu wacana juga merupakan bentuk dari praktik sosial yang berkaitan dengan situasi, institusi dan struktur sosial yang membentuknya. Analisis wacana kritis ini dapat digunakan untuk membedah teks atau bahasa, baik yang terdapat pada teks media ataupun teks yang berasal dari peristiwa komunikatif seperti pidato atau retorika.

Pidato merupakan hasil proses pemikiran seseorang yang dituangkan dengan berbicara kepada khalayak umum dengan memberikan urutan pemaparan dalam bentuk sistematis yang berupa sebuah topik informasi dengan tujuan khalayak pendengar dapat mengetahui dan mengikuti maksud komunikator tersebut.4 Pidato, retorika, dan propaganda sering kali dipakai sebagai alat komunikasi politik, karena ketiga-tiganya mempunyai bentuk, tujuan dan fungsi yang hampir sama yaitu untuk mempengaruhi orang lain agar dapat mengikuti kemauan dari orang yang melakukan ketiga kegiatan seni berbahasa tersebut.

3 M.A.K. Halliday dan Ruqaiya Hasan. 1992. Bahasa, Konteks, dan Teks. Yogyakarta: Gajah Mada University Press, hal. 6.

(20)

Berbicara mengenai komunikasi politik tentulah yang tergambar adalah unsur-unsur politik yang melingkupi dan mendasari kegiatan pidato, retorika dan propaganda.

Sebuah kelaziman bahwa setiap pemimpin, penguasa, elit politik, atau kelas berkuasa senantiasa memanfaatkan kekuatan bahasa untuk memperkuat konsolidasi guna mempertahankan kelangsungan kekuasaannya. Oleh karena itu, komunikasi politik yang dijalankan tidak terlepas dari penggunaan bahasa, istilah, simbol verbal, yang memfokuskan perhatian pada topik dan aspek tertentu. Pemakaian istilah, kata, kalimat dapat mengarahkan khalayak pada pikiran dan perasaan tertentu, bahkan dapat mempengaruhi perilakunya. Leksikon tertentu, misalnya, dipilih pejabat pemerintah untuk menekankan sikap politik dan pendapat, mengumpulkan dukungan, memanipulasi opini publik, mengkonstruksi kesadaran politik publik atau legitimasi kekuatan politik. Untuk itu, seorang komunikator akan menyeleksi topik pembicaraan, memilih latar wacana tertentu, memakai retorika tertentu, menyusun dan mengatur ucapan, memakai interaksi tertentu, dan sebagainya5.

Bahasa juga membatasi persepsi dan mengkonstruksi cara berpikir dan berkeyakinan khalayak. Pilihan kata (diksi) dan pemakaian gaya bahasa, kata, kalimat oleh komunikator adalah bagian strategi komunikator yang berkaitan erat dengan politik. Pemakaian kata, kalimat, gaya tertentu, tidak semata-mata

5

(21)

dipandang sebagai cara berkomunikasi, tetapi harus pula dipahami sebagai politik berkomunikasi, sebagai cara untuk mempengaruhi opini publik, menciptakan dukungan, memperoleh legitimasi, dan juga menyingkirkan kelompok lawan.6

Pidato presiden memiliki posisi penting dalam wacana politik. Segala yang dikatakan Presiden lebih mempunyai pengaruh terhadap masyarakat dibandingkan pidato lainnya. Pidato Presiden selalu menunjukkan kebijakan publik, apa yang dikatakan oleh Presiden dianggap sebagai isu yang penting oleh pemerintah. Pidato Presiden juga mempengaruhi bagaimana masyarakat berpikir tentang realitas sosial politik yang ada.7

Sukarno merupakan Persiden Indonesia pertama yang menjabat pada periode 1945-1966. Sukarno dikenal dunia internsional sebagai pejuang dan konseptor kemerdekaan RI yang handal. Banyak konsepnya sangat dikagumi oleh dunia karena itu ia sering kali diundang oleh banyak negara. Undangan itu ia manfaatkan untuk mengungkapkan konsepnya tentang pembangunan dan perjuangan yang disampaikannya dengan menarik yang membuat orang terkagum padanya. Sukarno dikenal sebagai pejuang dan peletak dasar RI yang punya kemampuan berpidato yang baik yang dapat ditunjukkan di level internasional dan dalam negara Indonesia.

Periode 1965-1967 dapat dilihat sebagai masa peralihan kekuasaan dari Sukarno kepada Soeharto. Dalam buku sejarah versi pemerintah, masa ini

6 Jupriono D. Ibid. 7

(22)

dilukiskan sebagai era konsolidasi kekuatan pendukung era orde baru (tentara, mahasiswa, rakyat) untuk membasmi Partai Komunis Indonesia (PKI) sampai ke akar-akarnya.8 Dari segi ekonomi keadaan saat itu juga sangat buruk. Harga membumbung tinggi, inflasi ratusan persen. Bahkan Presiden Sukarno menunjuk seorang Menteri Penurunan Harga yaitu Hadely Hasibuan, yang ternyata kemudian juga tidak berhasil melaksanakan tugasnya.

Buruknya situasi politik dan ekonomi saat itu, dimanfaatkan oleh orang-orang yang ingin memisahkan dan juga menghancurkan barisan pendukung Sukarno. Setelah mendapatkan Supersemar, Soeharto dalam hitungan jam langsung membubarkan PKI dan menyatakannya sebagai partai terlarang. Para anggota partai ini dan ormasnya tidak boleh pindah atau ditampung oleh partai lain. Pada minggu yang sama Soeharto mengamankan 15 Menteri pendukung Sukarno.

Sukarno berusaha mengendalikan keadaan melalui pidato-pidatonya. Tidak banyak diketahui umum bahwa dalam masa peralihan kekuasaan kepada Soeharto, Presiden Sukarno sempat berpidato sedikitnya 103 kali. Dalam pidato-pidatonya ia mengungkapkan berbagai hal yang ditutupi bahkan diputarbalikkan selama Orde Baru. Dari pidato-pidato tersebut pula tergambar betapa sengitnya peralihan kekuasaan dari Sukarno kepada Soeharto.

8

(23)

1.2. Perumusan Masalah

Pidato presiden memiliki posisi penting dalam wacana politik. Presiden lebih mempunyai pengaruh terhadap masyarakat dibandingkan pidato lainnya. Apa yang disampaikan oleh Sukarno melalui pidato-pidatonya merupakan bantahan terhadap apa yang ditulis oleh media massa. Tetapi diantara berbagai pidato yang disampaikan, pidato kenegaraan menempati posisi yang sangat penting.

Pidato kenegaraan telah berkembang menjadi suatu pola atau bentuk yang teratur, yang memberi landasan berguna untuk membandingkan antara satu pidato dengan pidato lainnya. Pidato kenegaraan itu disampaikan secara luas dan merupakan keterangan resmi presiden yang memuat berbagai tanggapan masalah yang muncul. Dengan demikian, pidato kenegaraan merupakan variasi resmi dari jargon, janiji, sarana untuk menyampaikan masalah atau prestasi yang telah dilakukan. Lebih jauh, pidato itu penting karena ia merupakan media pemerintah untuk mengukuhkan dan mengabsahkan apa yang telah dilakukan.

(24)

Hal menarik dari pidato ini adalah untuk menarik simpati rakyat tersebut dalam memperbaiki citranya, Sukarno membangun sebuah wacana „demokrasi

terpimpin adalah demokrasi pancasila dan demokrasi Indonesia asli‟. Untuk

menguatkan wacananya tersebut, Sukarno menyebutkan sebuah istilah yaitu

crucial period. Kata ini ia sebutkan dalam pidato sebanyak 15 kali dengan 3 kali pengulangan.9 Sehingga menarik untuk meneliti pidato kenegaraan Presiden Sukarno pada tanggal 17 Agustus 1966 dengan menggunakan metode analisis wacana kritis. Dengan begitu, pertanyaan penelitian dalam masalah ini adalah:

1. Apa yang dimaksud dengan Crucial Period menurut alam pikir Sukarno? 2. Mengapa Sukarno menggunakan istilah crucial period dalam membentuk

wacana „Demokrasi Terpimpin merupakan demokrasi pancasila dan

demokrasi Indonesia asli‟?

3. Bagaimana wacana „demokrasi terpimpimpin merupakan demokrasi

pancasila dan demokrasi Indonesia asli‟ pada pidato kenegaraan ini

terbentuk dan menjadi hegemonic discourse?

9

(25)

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui arti dan makna dari Crucial Period dalam alam pikir Sukarno. Kita dapat melihat bagaimana Sukarno membentuk logikanya dalam membangun wacana di dalam pidato dengan mengetahui makna dari crucial period tersebut.

2. Untuk mengetahui mengapa Sukarno menggunakan istilah crucial period dalam membentuk wacana „demokrasi terpimpin merupakan demokrasi

pancasila dan demokrasi Indonesia asli‟. Kita dapat memahami bagaimana

pola wacana yang dibentuk oleh Sukarno dalam pidato kenegaraan ini dengan mengetahui alasan tersebut.

3. Untuk mengetahui apakah wacana yang dibentuk Sukarno dalam pidatonya menjadi sebuah hegemonic discourse. Sehingga, kita dapat memahami mengapa wacana tersebut menjadi sebuah wacana yang menghegemoni dan menjadi sebuah perdebatan di masa itu.

1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini dilakukan agar mampu memberikan manfaat sebagai berikut:

(26)

2. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan tidak hanya bagi peneliti, tetapi juga bagi akademisi lainnya di berbagai tingakatan pendidikan. Pengetahuan ini dapat berupa teori-teori wacana baik dari perspektif van Dijk, Foulcault, ataupun Laclau dan Mouffe. Selain itu, pengetahuan tentang bagaimana pemikiran Sukarno terlihat dan diwacanakan melalui pidatonya tentunya menjadi sesuatu yang bermanfaat.

3. Bagi masyarakat, penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi masyarakat tentang studi analisis wacana terkhusus dalam meneliti pemikiran Sukarno melalui pidato yang disampaikannya.

1.5. kerangka Teori

1.5.1. Wacana Menurut Perspektif Michael Foucault

Tokoh analisis wacana kritis yang memberi banyak perhatian secara khas adalah Michael Foucault (1926-1984), seorang filosof kekuasaan berkebangsaan Prancis.10 Salah satu yang menarik dari konsep Foucault adalah tesisnya menegenai hubungan antara pengetahuan dan kekuasaan. Foucault mendefinisikan kuasa agak berbeda dengan beberapa ahli lain. Kuasa menurut Foucault tidak dimiliki tetapi dipraktikkan dalam ruang lingkup dimana banyak posisi yang secara strategis berkaitan satu sama lain. Menurut Faulcault, strategi kuasa berlangsung dimana-mana. Dimana saja terdapat susunan, aturan-aturan,

10

(27)

sitem regulasi, dimana saja ada manusia yang mempunyai hubungan tertentu satu sama lain dan dengan dunia, disitu kuasa sedang bekerja. Kuasa tidak datang dari luar tetapi menentukan susunan, aturan-aturan dan hubungan-hubungan itu dari dalam.11

Foucault mendefinisikan strategi kekuasaan sebagai yang melekat pada kehendak untuk mengetahui. Melalui wacana, kehendak untuk mengetahui terumus dalam pengetahuan. Bahasa menjadi alat untuk mengartikulasikan kekuasaan pada saat kekuasaan harus mengambil bentuk pengetahuan karena ilmu-ilmu terumus dalam bentuk pernyataan-pernyataan. Kekuasaan-pengetahuan terkonsentrasi di dalam kebenaran pernyataan-pernyataan ilmiah. Oleh karena itu semua masyarakat berusaha menyalurkan, mengontrol dan mengatur wacana mereka agar sesuai dengan tuntutan ilmiah. Wacana seperti ini dianggap mempunyai otoritas. Pengetahuan tidak bersumber pada subyek, tetapi dalam hubungan-hubungan kekuasaan. “Kekuasaan menghasilkan pengetahuan. Kekuasaan dan pengetahuan saling terkait. tidak ada hubungan kekuasaan tanpa pembentukan yang terkait dengan bidang pengetahuan, dan tidak ada pengetahuan yang tidak mengandaikan serta tidak membentuk sekaligus hubungan kekuasaan”.

12

Menurut Foucault, kekuasaan selalu terakulasikan lewat pengetahuan, dan pengetahuan selalu mempunyai efek kuasa. Pengetahuan tidak merupakan

11

Eriyanto, Opcit. Hal: 65

12Haryatmoko. Kekuasaan-Pengetahuan Sebagai Rezim Wacana, Sejarah Sekasualitas: Sejarah Pewacanaan Seks & Kekusaan Menurut Foucault. Makalah Seri Kuliah Umum. Juni 2010. Dapat dilihat di

(28)

pengungkapan samar-samar dari relasi kuasa tetapi pengetahuan berada di dalam relasi-relasi kekuasaan itu sendiri. Konsep ini membawa konsekuensi, untuk mengetahui kekuasaan dibutuhkan penelitian mengenai produksi pengethuan yang melandasi kekuasaan. karena setiap kekuaasaan disusun, dimapankan, dan diwujudkan lewat pengetahuan dan wacana tertentu. Wacana tertentu menghasilkan kebenaran dan pengetahuan tertentu yang menimbulkan efek kuasa. Disini, setiap kekuasaan selalu berpretensi menghasilkan rezim kebenaraan tertentu yang disebarkan lewat wacana yang dibentuk oleh kekuasaan.13

Kuasa tidak bekerja melalui penindasan dan represi, tetapi terutama normalisasi dan regulasi. Menurut Foucault, kuasa tidak bersifat subjektif. Kuasa tidak bekerja dengan cara negatif dan represif, melainkan dengan cara positif dan produktif. Strategi kuasa tidak bekerja melalui penindasan, melainkan melalui normalisasi dan regulasi, menghukum dan membentuk public yang disiplin. Publik tidak dikontrol lewat kekuasaan yang sifatnya fisik, tetapi dikontrol, diatur dan disiplinkan lewat wacana. Kekuasaan dalam pandangan Foucault disalurkan melalui hubungan sosial, dimana memproduksi bentuk-bentuk kategorisasi perilaku sebagi baik atau buruk, sebagai bentuk pengendalian perilaku. Jadi khalayak ditundukkan bukan dengan cara kontrol yang bersifat langsung dan fisik, tetapi dengan wacana dan mekanisme berupa aturan, prosedur, tata cara, dan sebagainya.14

13

Eriyanto, Opcit. Hal:67-68. 14

(29)

Kemudian, menurut Foucault ciri utama wacana ialah kemampuannya untuk menjadi suatu himpunan wacana yang berfungsi untuk membentuk dan melestarikan hubungan-hubungan kekuasaan dalam masyarakat. Dalam suatu masyarakat biasanya terdapat berbagai macam wacana yang berbeda satu sama lain, namun kekuasaan memilih dan mendukung wacana tertentu sehingga wacana tersebut menjadi dominan, sedangkan wacana-wacana lainnya akan

“terpinggirkan” (marginalized) atau “terpendam” (submerged).

Pandangan Foulcault ini dapat menjelaskan bagaimana relasi kekuasaan yang terbentuk ketika Presiden Sukarno membacakan pidato tersebut. Relasi tersebut dapat dilihat bagaimana Sukarno dengan kekuasaannya membentuk sebuah wacana melalui pidatonya. Selain itu, Sukarno juga menggunakan bahasa dalam pidatonya untuk mengartikuasikan kekuasaan. Relasi inilah yang akan dikaji menggunakan wacana dalam perspektif Foucault.

1.5.2. Analisis Wacana Teun Van Dijk

Menurut Van Dijk, penelitian atas wacana tidak cukup hanya didasarkan pada analisis atas teks semata, karena teks hanya hasil dari suatu praktik produksi yang harus juga diamati. Di sini, harus juga dilihat bagaimana suatu teks diproduksi, sehingga kita memperoleh suatu pengetahuan kenapa teks bisa seperti itu.

(30)

paragraph untuk menjelaskan dan memaknai sebuah teks. Kognisi sosial merupakan dimensi untuk menjelaskan bagaimana suatu teks diproduksi oleh individu/kelompok pembuat teks. Cara memandang atau melihat suatu realiras sosial itu yang melahirkan suatu teks tertentu. Sedangkan analisis sosial melihat bagaimana teks itu dihubungkan lebih jauh dengan struktur sosial dan pengetahuan yang berkembang dalam masyarakat atas suatu wacana.

1.5.2.1. Analisis Teks

Van Dijk melihat suatu teks terdiri atas beberapa struktur/tingkatan yang masing-masing bagian saling mendukung. Ia membaginya ke dalam tiga tingkatan. Pertama, struktur makro, yang merupakan makna umum dari suatu teks yang dapat diamati dengan meihat topik atau tema yang dikedepankan dalam suatu teks. Kedua, superstruktur, yang merupakan struktur wacana yang berhubungan dengan kerangka suatu teks, bagaimana bagian-bagian teks secara utuh. Ketiga, struktur mikro, merupakan makna wacana yang dapat diamati dari bagian kecil dari suatu teks yakni kalimat, kata , proposisi, anak kalimat, parafase, dan gambar. Berikut adalah uraian satu persatu elemen wacana Van Dijk:

Struktur

Wacana Hal Yang Diamati Unit Analisis

Struktur Makro TEMATIK (Apa Yang Dikatakan?) Elemen:

Topik/Tema Teks

Superstruktur SKEMATIK (Bagaimana pendapat Disusun dan

Dirangkai) Elemen: Skema Teks

Struktur Mikro SEMANTIK (Apa Arti Pendapat yang Ingin Disampaikan) Elemen: Latar, Detail, Ilustrasi, maksud, Pengandaian, Penalaran

(31)

Struktur Mikro SINTAKSIS (bagaimana Pendapat Disampaikan) Elemen: Koherensi, Nominalisasi, abstraksi, bentuk kalimat, kata ganti.

Kalimat, proposisi

Struktur Mikro LEKSIKON (Pilihan Kata Apa yang Dipakai)

Elemen: Kata kunci, Pemilihan kata Kata

Struktur Mikro Disampaikan) Elemen: Gaya, Interkasi, Ekspresi, RETORIS (Dengan Cara Apa Pendapat Metafora, Visual Image

Kalimat, proposisi

1.5.2.2. Kognisi Sosial

Dalam pandangan Van Dijk, analisis wacana tidak dibatasi hanya pada struktur teks, karena struktur wacana itu sendiri menunjukkan atau menandakan sejumlah makna, pendapat, dan ideologi. Untuk membongkar bagaimana makna tersembunyi dari teks, kita membutuhkan suatu analisis kognisi dan konteks sosial, pendekatan kognitif didasarkan pada asumsi bahwa teks tidak mempunyai makna, tetapi makna itu diberikan oleh pemakai bahasa, atau lebih tepatnya, proses kesadaran mental dari pemakai bahasa. Oleh karena itu dibutuhkan suatu penelitian atas representasi kognis idalam memproduksi suatu teks. Karena setiap teks pada dasarnya dihasikan lewat kesadaran, pengetahuan, prasangka, atau pengetahuan tertentu.

1.5.2.3. Analisis Sosial

(32)

menunjukkan bagaimana makna yang dihayati bersama, kekusaaan sosial diproduksi lewat praktik diskursus dan legitimasi.

Dalam analisis mengenai masyarakat ini, ada dua poin yang penting yaitu kekusaan (power) dan akses (acces). Van Dijk mendefinisikan kekuasaan tersebut sebagai kepemilikan yang dimiliki suatu kelompok (atau anggotanya), satu kelompok untuk mengontrol kelompok (atau anggota) dari kelompok lain. Selain berupa kontrol yang bersifat langsung dan fisik, kekusaan yang dipahami oleh Van Dijk juga berbentuk persuasif, yaitu tindakan seseorang untuk secara tidak langsung mengontrol dengan jalan memengaruhi kondisi mental, seperti kepercayaan, sikap dan pengetahuan.

Van Dijk juga memberikan perhatian kepada akses, yaitu bagaimana akses diantara kelompok dalam masyarakat. Kelompok elit mempunyai akses yang lebih besar dibandingkan dengan kelompok yang tidak berkuasa. Oleh karena itu mereka yang berkuasa mempunyai kesempatan lebih besar untuk mempengaruhi kesadaran khalayak. Akses yang lebih besar bukan hanya memberikan kesemaptan untuk mengontrol kesadaran khalayak lebih besar tetapi juga menentukan wacana apa yang dapat disebarkan kepada khalayak.

(33)

Seperti yang diuaraikan sebelumnya, bahwasanya dalam pidato kenegaraan ini, Sukarno mengangkat wacana demokrasi terpimpin merupakan demokrasi yang berasal dari pancasila dan demokrasi asli Indonesia. Kata crucial period

merupakan salah satu cara Sukarno membentuk wacana tersebut. Dengan menggunakan metode ini kita dapat mengetahui mengapa ia memilih istilah

crucial period untuk disampaikan di pidatonya, dan mengapa kata tersebut sampai ia sebutkan beberapa kali. Selain itu, metode ini juga digunakan untuk mengetahui teks-teks apa yang sangat erat kaitannya dengan artikulasi kekuasaan yang dilakukan Sukarno.

Sementara dengan menggunakan analisis kognisi sosial, kita dapat melihat ideologi ataupun pemikiran Sukarno yang ia tanamkan dalam setiap bahasa ataupun teks dalam pidatonya. Karena dengan menggunakan analisis ini, teks pidato yang ia sampaikan sebenarnya tidak bermakna apapun, tetapi ideologi, pemikiran dan kepercayaan Sukarno tentang sesuatu hal-lah yang membuat teks pidato tersebut memiliki makna. Dengan menggunakan analisis kognisi sosial ini, kita dapat melihat makna crucial period dalam alam pikir Sukarno. Dengan begitu, kita dapat melihat relasi antara makna crucial period dengan mengapa Sukarno menggunakan kata-kata tersebut.

(34)

wacana dominan, dan wacana lainnya menjadi terpinggirkan. Karena itu, analisis tidak akan peneliti gunakan dalam penelitian ini.

1.5.3. Antagonisme, Sistem Perbedaan & Persamaan dan Hegemoni

Antagonisme memainkan peran penting dalam teori diskursus Laclau dan

Mouffe. Menurut Laclau dan Mouffe, antagonisme merupakan “a failure of

difference” semenjak adanya keterbatasan-keterbatasan dalam obyektivitas sosial. Antagonisme memainkan peran penting dalam pembentukan identitas dan hegemoni, karena penciptaan suatu antagonisme sosial meliputi penciptaan musuh yang akan menjadi sesuatu yang penting bagi terbentuknya political frontier yang dikotomik. Antagonisme sosial membuat setiap makna sosial berkontestasi dan tidak akan pernah menjadi penuh/tetap (fixed), yang kemudian memunculkan

political frontier. Setiap aktor akan memahami identitas mereka melalui hubungan antagonistik, karena antagonisme mengidentifikasikan musuh mereka. Formasi hegemonik selalu memerlukan yang dibentuk di luar dirinya yang memiliki relasi antagonistik. Antagonisme sosial terjadi jika agen-agen hegemonik tidak mampu menjaga identitas mereka dan mengkonstruksi musuh mereka. Dalam hal ini, antagonisme menguak perbatasan dari batas-batas politik suatu formasi sosial sebagaimana ditunjukkan pada point di mana identitas tidak dapat lagi distabilkan dalam pemaknaan utuh dari suatu system of differences, tetapi dikontestasikan oleh kekuatan yang berdiri pada batasan tatanan tersebut. Menurut Laclau dan Mouffe, dalam hal identitas kolektif, akan selalu menghadapi penciptaan “kita”

(35)

menekankan bahwa relasi ini tidak perlu untuk selalu dilihat sebagai satu dari relasi kawan/lawan, yakni suatu relasi yang antagonistik. Tetapi hal tersebut harus diakui, dalam kondisi-kondisi tertentu selalu dimungkinkan dimana relasi kita/mereka ini dapat menjadi antagonistik, yakni itu dapat berubah menjadi suatu relasi kawan/lawan.15

Selain konsep antagonisme, sistem persamaan dan perbedaan, dalam teori diskursus Laclau juga dikenal dengan adanya konsep hegemoni. Menurut Laclau dan Mouffe, medan bagi munculnya hegemoni ialah medan bagi praktek-paktek artikulatoris, dengan kata lain suatu medan dimana „elemen-elemen‟ tidak

terkristalisasi menjadi „momen-momen‟. Dalam suatu identitas relasional yang

tertutup, dimana di dalamnya makna dari setiap momen telah fixed secara absolut, tidak ada ruang apapun bagi suatu praktek hegemonik. Namun Laclau dan Mouffe juga menambahkan bahwa agar adanya hegemoni, momen artikulasitoris saja tidaklah cukup. Artikulasi itu harus dijalankan lewat suatu konfrontasi dengan praktek-praktek artikulatoris yang antagonistik, yang dengan kata lain, hegemoni akan terjadi dalam suatu medan yang dipenuhi dengan antagonism-antagonisme dan arena itu mengandaikan adanya fenomena ekuivalensi dan efek-efek garis perbatasan.16

Sistem perbedaan dan persamaan yang diungkapkan oleh Laclau dapat menjelaskan bagaimana di dalam pidato tersebut terdapat terdapat antagonism-antagonisme. Sistem perbedaan ini menjelaskan bagaimana Sukarno yang

15

Ernesto Laclau & Chantak Mouffe. 2008. Hegemoni dan Strategi Sosialis: Postmarxisme + Gerakan Sosial Baru. Jakarta: Resist Book. Hal: xli.

16

(36)

dahulunya menjalankan pemerintahan dengan demokrasi liberal, namun karena berbagai masalah yang terjadi dan ditambah dengan imajinasi Sukarno tentang dirinya dan pemikirannya (myth), kemudian Sukarno menciptakan sebuah musuh baru yaitu demokrasi liberal. Hal ini dilakukan guna menemukan dan mentransformasikan sebuah wacana baru yaitu wacana „demokrasi terpimpin

merupakan demokrasi pancasila dan demokrasi Indonesia asli‟. Sehingga pada akhirnya kita dapat melihat apakah wacana yang dikembangkan oleh Sukarno dalam pidatonya tersebut dapat menjadi sebuah hegemonic discourse.

1.6. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif merupakan metode-metode untuk mengeksplorasi dan memahami makna yang oleh sejumlah individu atau sekelompok orang yang dianggap berasal dari masalah sosial kemanusiaan. Proses penelitian kualitatif ini melibatkan upaya-upaya penting, seperti mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan prosedur-prosedur, mengumpulkan data yang spesifik dari para partisan, menganalisis data secara induktif mulai dari tema-tema yang khusus ke tema-tema yang umum dan menfsirkan makna dan data.17

(37)

1.6.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis penelitian deskriptif. Jenis penelitian deskriptif adalah jenis penelitian yang bertujuan untuk menjelaskan ihwal masalah masalah atau objek tertentu secara rinci. Penelitian deskriptif dilakukan untuk menjawab sebuah atau beberapa pertanyaan mengenai keadaan objek atau subjek amatan secara rinci.18

1.6.2. Teknik Pengumpulan Data

Dalam menyusun sebuah penelitian akan menjadi penting memilih sebuah teknik pengumpulan data yang tepat, yang akan sangat berpengaruh terhadap hasil penelitian. Teknik pengumpulan data akan memungkinkan dicapainya pemecahan masalah secara valid dan reliabel, yang pada gilirannya akan memungkinkannya dirumuskannya generalisasi yang objektif.19

Adapun teknik pengumpulan data yang dipergunakan dalam melakukan penelitian ini adalah dengan melakukan pengumpulan data kepustakaan (library research). Bahan-bahan yang diambil sebagai data-data untuk penulisan tulisan ilmiah berasal dari tulisan-tulisan, maupun artikel yang terdapat dalam buku- buku, jurnal, makalah, media cetak, internet dan sejenisnya yang berkaitan dengan penelitian ini.

18 Bagong Suyanto dan Sutinah. 2005. Metode Penelitian Sosial: Berbagai Alternatif Pendekatan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Hlm 17-18.

(38)

1.6.3. Teknik Analisa Data

Teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunaka analisa data kualitatif, yaitu dengan menekankan analisanya apada sebuah proses pengambilan kesimpulan secara induktif serta analisa pada fenomena yang sedang diamati dengan menggunaka metode ilmiah.20

(39)

1.7. Sistematika Penulisan

BAB I : PENDAHULUAN

Dalam bab ini berisi tentang latar belakang permasalahan, perumusan maslah, pembatasan masalah, pertanyaan penelitian, manfaat penelitian, tujuan penelitian, kerangka teori serta metode penelitian.

BAB II : SUKARNO, MASA PEMERINTAHAN, DAN ISI PIDATO KENEGARAAN 17 AGUSTUS 1966

Dalam bab ini penulis akan menjelaskan tentang biografi Sukarno, Masa pemerintahannya, serta isi Pidato Kenegaraan Sukarno pada tanggal 17 Agustus 1966.

BAB III : WACANA DALAM PIDATO KENEGARAAN 17 AGUSTUS 1966

Dalam bab ini akan berisi tentang analisis data. Di bab ini penulis akan menguraikan apa yang dimaksud dengan crucial period dan mengapa Sukarno menggunakan istilah tersebut dalam membangun wacana. Setelah itu, peneliti akan menguraikan bagaimana wacana ini terbentuk dan menjadi sebuah hegemonic

(40)

BAB IV : PENUTUP

(41)

Teks Pidato Kenegaraan Analisis Van Dijk Analisis Foulcault Analisis Laclau Analisis Teks untuk mengkaji pemilihan kata dan gaya bahasa.

Kognisi Sosial untuk mengkaji bagaimana bahasa

diberikan makna oleh si pemakai

bahasa Relasi Kekuasaan untuk mengkaji bagaimana bahasa dapat mengartkulasik an kekuasaan Sistem persamaan , sistem perbedaan dan Hegemoni Untuk memahami alampikir Sukarno mengenai crucial

period, dan mengkaji bahasa yang dipakainya.

Untuk melihat kata-kata yang dapat mengartkulasikan kekuasaan serta efek

dari kata tersebut. untuk itu, kajian van

Dijk berhubungan erat dengan kajian

foulcault ini.

Untuk memahami bagaimana Sukarno

merekonstruksikan Demokrasi Liberal adalah musuh bangsa

Indonesia, sehingga

Menjawab pertanyaan:

Apakah yang dimaksud

crucial period?

Mengapa menggunakan istilah crucial period

dalam membentuk

wacana „demokrasi terpimpin‟?

[image:41.842.65.782.47.524.2]
(42)

BAB II

SUKARNO, MASA PEMERINTAHAN DAN PIDATO KENEGARAAN TANGGAL 17 AGUSTUS 1966

Pada bab ini peneliti akan menguraikan Biografi Sukarno, yang dimulai dari masa mudanya sampai ke masa proklamasi 1945, masa pemerintahan Sukarno, yaitu Demokrasi Liberal dan Demokrasi Terpimpin, dan juga isi pidato kenegaraan pada tanggal 17 Agustus 1966. Penguraian ini bertujuan untuk mendeskripsikan penelitian ini.

2.1. Biografi Sukarno

Sukarno mempunyai kepribadian yang kompleks. Ia lahir berbintang Gemini, yang menurutnya pendapatnya sendiri, memberi corak beraneka ragam pada kepribadian itu. Pada puncak masa kekuasaanya, Sukarno digelari Pemimpin Besar Revolusi, Penyambung Lidah Rakyat, Waljul Amri, Panglima Tertinggi, dan lain-lain. Namun secara tiba-tiba, semua gelarnya dicopot. Jasa dan peranannya ditiadakan bahkan diejek. Disini, peneliti akan menguraikan bagaimana Sukarno tumbuh dan berkembang serta bagaimana perjalanan politiknya yang mengantarkan dia sampai ke kursi kepresidenan.

2.1.1. Masa Muda Sukarno

(43)

guru dan kepala sekolah. Ibunya berasal dari Bali, bernama Ida Ayu Nyoman Ray lebih dikenal dengan sebutan Idayu. Mula-mula ia diberi nama Koesnososro Sukarno. Tetapi karena sering sakit pada masa kecilnya, kemudian nama Koesno ditanggalkan dan hanya disebut Sukarno saja. Namun di beberapa lingkungan ia masih juga dipanggil dengan nama Koesno.21

Pada masa kecilnya, Sukarno tampak sebagai anak biasa saja. Tidak ada sesuatu yang menonjol ketika Sukarno masih belum bersekolah. Ibu Wardoyo yang nama kecilnya Sukarmini, kakak Sukarno pernah berkata:

“Atau mungkin saya kurang memperhatikan secara teliti, saya menganggap

Karno adalah bocah kecil biasa saja. Sebab tidak ada yang bisa meramalkan seseorang anak akan menjadi presiden atau orang penting di kelak kemudian

hari. Kecuali setelah si anak menjelang remaja”.22

Dalam masa kanak-kanak Sukarno hidup bersama ayah bundanya serta neneknya di Tulungangung, Jawa Timur. Barulah sesudah Sukarno memasuki sekolah dasar dan bergaul dengan banyak temannya memang ada juga kelainan atau kelebihan yang menonjol pada dirinya. Sukarno waktu kecil itu anak pemberani dan suka berkelahi. Tidak aneh bila Sukarno sering pulang kerumah dengan muka bengkak-bengkak atau benjut karena dipukul lawan berkelahinya. Hebatnya lagi kalau berkelahi Sukarno itu jarang kalah. Itu karena sifatnya yang pemberani.

Mungkin sifat pemberaninya itu merupakan warisan dari kedua orang tuanya. Ibunda Sukarno yaitu Ida Ayu Nyoman Rai atau Idayu itu keturunan

21

Tugiyono. 1998. Dwitunggal Sukarno-Hatta Pahlawan Proklamator Kemerdekaan Indonesia.

Jakarta: PT Mutiara Sumber Widya. hal. 5

22

(44)

bangsawan Bali yang menentang penjajahan Belanda. Raja Singaraja yang terakhir adalah paman Ibunda Bung Karno. Belanda pada akhir abad ke-19 memerangi kerajaan Singaraja di Bali. Kakek dan moyang Bung Karno dari pihak ibu telah berjuang mempertahankan kemerdekaan. Ketika mereka menyadari, bahwa segala sesuatu telah ditumpas Belanda, mereka dengan gagah berani melakukan Perang Puputan. Dengan mengenakan pakaian serba putih dari kepala hingga kaki, kemudian mereka menunggang kuda dan berlarian dengan pedang terhunus menyerang pasukan Belanda sampai semuanya gugur di medan pertempuran. Tidak ada seorang pejuang pun yang tersisa hidup. Tidak ada yang menyerah dan menjadi tawanan musuh. Demikianlah perang puputan.

Ibunda Bung Karno, memang seorang wanita pemberani dan keras hati melawan penjajahan Belanda. Pada zaman perang kemerdekaan, ketika usianya sudah 70 tahunan kota Blitar sudah akan diserang pasukan Belanda, Ibu Idayu pernah langsung mendatangi pasukan dan pemuda pejuang Indonesia yang bertahan di garis depan. Beliau berbicara di depan pasukan kita dengan bersemangat:

Janganlah gentar menghadapi pasukan Belanda. Ayo, kamu semua

lekas-lekas menyerang pasukan Belanda itu!”

(45)

Ketika masih kecil Sukarno seringkali mendengar cerita kepahlawanan dari ibunya. Tentu berbagai kisah kepahlawanan itu ikut membina watak dan kepribadian Bung Karno di kemudian hari. Salah satu kesukaan Sukarno pada masa kecil ialah menonton wayang. Ia selalu memperhatikan lakon wayang dengan penuh minat. Cerita-cerita yang melukiskan semangat pahlawan sangat mempengaruhi jiwanya, sehingga kadang-kadang semalam suntuk dia tidak tidur, dan asyik menonton. Yang amat disukainya dalam permainan wayang ialah tokoh Bima, yang dilukiskan sebagai pecinta keadilan, pembela kebenaran dan satria sejati.

Pada waktu kecil Sukarno sudah akrab dengan rakyat kecil. Di rumah Sukarno lebih banyak diasuh oleh pembantu rumah tangga, bernama mbok Sarinah. Begitu akrab hubungannya dengan mbok Sarinah, sehingga sesudah menjadi Presiden Republik Indonesia, Sukarno memberi judul Sarinah pada buku yang ditulisnya. Begitu pula pasar swalayan atau toko serba ada (toserba) yang pertama berdiri tahun 1962 di Indonesia di Jalan Muhammad Husni Thamrin, Jakarta, diberi nama Sarinah.

(46)

hampir 13 tahun. Ayahnya bercita-cita agar Sukarno dapat meneruskan pelajarannya ke sekolah menengah, kemudian ke perguruan tinggi. Ayah Sukarno adalah seorang mantra guru atau kepala sekolah dasar Bumiputera yang bercita-cita tinggi. Kalau Sukarno hanya tamat sekolah dasar Bumiputera lima tahun, pasti tidak akan dapat meneruskan pelajarannya karena tidak dapat berbahasa Belanda. Karena itu bapak Sukemi Sosrodihardjo meminta bantuan ibu guru bahasa Belanda, yaitu Juffrouw M.P de La Riviere untuk mengajar bahasa Belanda pada Sukarno. Tiap hari Sukarno belajar bahasa Belanda selama satu jam. Pada waktu yang singkat Sukarno sudah pandai berbahasa Belanda.

Sesudah itu ayah Sukarno membawanya ke sekolah dasar Belanda atau

Europesche Lagere School. Tidak mudah bagi anak Indonesia untuk dapat diterima di sekolah dasar Belanda ini. Orang tua murid mesti harus seorang pegawai negeri (pemerintah Hindia-Belanda), dan masih keturunan bangasawan serta dapat berbahasa Belanda.23

Pada usia 14 tahun, Sukarno tinggal di rumah Oemar Said Tjokroaminoto, seorang pemimpin Sarekat Islam yang kharismatik, dan disekolahkan ke Hoogere Burger School (H.B.S). Dengan mudah, Sukarno yang cerdas diperkenalkan kepada kalangan nasionalis, anggota Jong Java dan anggota Sarekat Islam (SI). Sejak tahun 1911 Sukarno telah menerbitkan tulisan-tulisan pertamanya dalam penerbitan-penerbitan nasionalis

23

(47)

Sesudah menamatkan pendidikan HBS di Surabaya, Sukarno sejak tahun 1920 pindah ke Bandung untuk mengikuti kuliah di Sekolah Tinggi Teknik Bandung yang terletak di wilayah Dago. THS memang baru saja dibuka dan diresmikan pada tanggal 3 Juli 1920 atau yang sekarang bernama Institut Teknologi Bandung (ITB). Sesudah melalui perjuangan berat selama lima tahun Bung Karno dapat menyelesaikan pelajaran di THS pada tahun 1925. Bung Karno dapat lulus sesudah membuat skripsi tentang perencanaan sebuah pelabuhan. Sejak saat itu nama resminya menjadi Ir.Sukarno

2.1.2. Masa Pergerakan Nasional

Pada tahun 1926, Sukarno mendirikan Algemene Studie Club di Bandung. Organisasi ini menjadi cikal bakal Partai Nasional Indonesia (PNI) yang didirikan pada tahun 1927. Pendirian PNI oleh Sukarno merupaka jawaban bagi tawaran kerjasama pihak Belanda. Pada waktu itu , pergerakan Indonesia dalam keadaan yang sangat suram. Sejak bangkitnya pergerakan, perpecahannya di dalam dan tekanan dari luar telah merusaknya. Keanekaragaman masyarakat Indonesia, sukuisme dan agama-agama, aliran-aliran, isme-isme serta konflik-konflik sosial yang menggoncangkan pergerakan ini.

Pada tahun 1926, Sukarno menerbitkan tulisan pertamanya yang matang dalam Indonesia Muda: “Nasionalisme, Islam dan Marxisme”. Pikiran pokok

(48)

diorganisir kembali. Tulisannya terutama ditujukan kepada elite pergerakan dan bukan kepada rakyat.

Sukarno, dalam tulisannya tadi mencoba meyakinkan golongan-golongan Islam dan nasionalis untuk tidak marxistphobi. Sukarno merasa marxisme adalah esensi dalam perjuangan. Hal ini mungkin dikarenakan pertumbuhan intelektual Sukarno sendiri yang sangat dipengaruhi oleh marxisme. Nasionalisme mapupun Islam dirasakan sabagai paham-paham kurang tajam untuk menganalisis keadaan. Namun Sukarno hanya akan membatasi analisis marxisnya pada fenomena imperialisme dan tidak sampai ke masyarakat Indonesia.

(49)

Sekeluarnya dari penjara, ia terjun lagi ke dalam kancah politik. Sukarno mendefenisikan konsepsi rakyatnya lebih lanjut dengan melahirkan marhaenisme pada tahun 1930 di dalam penjara dan pembuangan.24

2.1.3. Proklamasi Kemerdekaan 1945

Kesempatan yang lama ditunggu-tunggu kaum nasionalais untuk berkumpul guna merencanakan suatu negara merdeka di masa depan, direalisasi dengan bantuan Jepang pada tanggal 28 Mei 1945. Keenampuluh dua anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia atau BPUPKI yang diresmikan hari itu diberikan kebebasan besar oleh Jepang untuk membicarakan persoalan-persoalan konstitusional dan ideologi. Bagi Sukarno dan rekan-rekan nasionalisnya inilah kesempatan untuk membuktikan bahwa penghinaan yang diderita di bawah penguasaan Jepang tidaklah sia-sia. Terutama Sukarno yang mengobarkan semangat sehingga panitia didorong mengambil suatu kesimpulan dengan kecepatan mencengangkan pihak Jepang.25

Setelah bersidang selama tiga hari, yang terutama digunakan membahas manifesto-manifesto ideologis, BPUPKI membentuk suatu sub-komite yang terdiri dari tujuh orang anggota di bawah pimpinan Sukarno untuk menyelesaikan persoalan agama yang rumit.26 Di dalam Badan Penyelidik di Jakarta, Sukarno mendesak agar versinya tentang nasionalisme yang bebas dari agama disetujui. Karena konsep ini memang merupakan satu-satunya dasar yang dapat disepakati

24 Ongokham. 2009. Sukarno, Orang Kiri, Revolusi dan G30S PKI. Jakarta: Komunitas Bambu. Hal:12-13. 25

(50)

pemimpin-pemimpin lainya, maka menanglah Sukarno. Pada pidatonya pada tnggal 1 Juni, Ia mengemukakan doktrin Pancasilanya, „lima dasar‟ yang akan

menjadi falsafah resmi dari Indonesia merdeka, yaitu ketuhanan, kebangsaan, perikemanusiaan, kesejahteraan dan demokrasi. Walaupun dasar-dasar ini pada umumnya diterima oleh anggota-anggota Badan Penyelidik, tetapi para pemimpin Islam tampakanya tidak akan memainkan peranan yang istimewa. Akhirnya mereka menyetujui suatu kompromi yang disebut Piagam Jakarta yang menyebutkan bahwa negara akan didasarkan pada „ketuhanan dengan kewajiban

menjalankan syariat islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Implikasi Piagam Jakarta terhadap hubungan antara syariat Islam dan negara menjadi sumber pertentangan-pertentangan sengit di tahun-tahun mendatang.27

Pada tanggal 6 Agustus, bom atom pertama dijatuhkan di Hioshima yang menewaskan sedikitnya 78.000 orang. Hari berikutnya, keanggotaan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang baru dibentuk diumumkan ke Jakarta, dan berita-berita mengenai panitia ini disiarkan ke seluruh Indonesia. Pada tanggal 8 Agustus Uni Soviet mengumumkan perang terhadap Jepang. Dan pada hari berikutnya, bom atom kedua dijatuhkan di Nagasaki. Karena kekalahan sudah tampak di pihak Jepang, maka Sukarno, Hatta, dan Radjiman terbang ke Saigon untuk menemui Panglima Wilayah Selatan, Panglima Tertinggi Terauchi Hisaichi. Kepada mereka, Terauchi menjanjikan kemerdekaan bagi seluruh bekas wilayah Hindia Timur Belanda. Sukarno ditunjuk sebagai Ketua Panitia Persiapan dan

27

(51)

Hatta sebagai wakil ketua. Pada tanggal 14 Agustus, Sukarno dam rekan-rekannya tiba kembali ke Jakarta.28

Jepang menyerah tanpa syarat pada tanggal 15 Agustus, dan dengan demikian menghadapkan para pemimpin Indonesia pada suatu masalah yang berat. Karena pihak sekutu tidak menaklukkan kembali Indonesia, maka terjadi kekosongan politik: pihak Jepang masih tetap berkuasa namun telah menyerah, dan tidak tampak pasukan sekutu yang akan menggantikan mereka. Rencana-rencana kemerdekaan yang disponsori pihak Jepang secara teratur kini tampaknya terhenti, dan pada hari berikutnya Gunseikan telah mendapat perintah-perintah khusus supaya mempertahankan status quo sampai kedatangan pasukan sekutu. Sukarno, Hatta dan generasi tua ragu-ragu tenatang apa yang harus dilakukan dan takut memancing konflik dengan Jepang. Maeda ingin melihat pengalihan kekuasaan secara cepat kepada generasi tua, karena merasa khawatir terhadap kelompok-kelompok pemuda yang dianggapnya berbahaya maupaun terhadap pasukan-pasukan Jepang yang kehilangan semangat. Para pemimpin pemuda menginginkan suatu pernyataan kemerdekaan secara dramatis diluar kerangka yang disusun oleh pihak Jepang, dan dalam hal ini mereka didukung oleh Sjahrir.

Pada tanggal 16 Agustus, Sukarno dan Hatta tidak dapat ditemukan di Jakarta. Mereka telah dibawa oleh pemimpin pemuda pada malam harinya ke garnisun Peta di Rengasdengklok, dengan dalih melindungi mereka bilamana meletus pemberontakan oleh Peta atau Heiho. Ternya tidak ada pemberontakan

(52)

sama sekali, sehingga Sukarno dan Hatta segera menyadari bahwa kejadian ini merupakan usaha memaksa mereka supaya menyatakan kemerdekaan diluar rencana pihak Jepang. Mereka menolak melakukan hal itu. Maeda mengirim kabar bahwa jika mereka dikembalikan dengan selamat, maka dia dapat mengatur agar pihak Jepang tidak peduli bilamana kemerdekaan dinyatakan. Pada malam itu Sukarno dan Hatta sudah berada di rumah Maeda di Jakarta. Pernyataan kemerdekaan dirancang sepanjang malam. Kaum aktivis pemuda menginginkan bahasa yang dramatis dan berapi-api, tetapi untuk menjaga supaya tidak melukai perasaan pihak Jepang dan mendorong terjadinya kekerasan, maka disetujuilah suatu pernyataan yang sejuk dan bersahaja yang dirancang oleh Sukarno.

Pada tanggal 17 Agustus 1945 pagi, Sukarno membacakan pernyataan kemerdekaan tersebut dihadapan sekelompok orang yang relatif sedikit jumlahnya. Sementara itu, sekutu sebagai pihak yang menang, yang hampir sama sekali tidak mengetahui apa yang telah terjadi di Indonesia selama berlangsungnya perang, dengan tergesa-gesa merencanakan kedatangan mereka untuk menerima penyerahan pihak Jepang dan memulihkan kembali rejim kolonial.

(53)

lainnya merupakan pemimpin-pemimpin pemuda, antara lain Chaerul Saleh, Sukarni dan Wikana.

Langkah pertama ini meliputi sejumlah perubahan yang diadakan terhadap undang-undang dasar yang disusun pada bulan Juli. Perubahan terpenting diakibatkan desakan juru bicara Angkatan Laut Jepang yang menyampaikan kepada Hatta perasaan tidak puas minoritas-minoritas kristiani yang penting di wilayah kekuasaan Angkatan laut terhadap kosesi-kosesi kepada pihak Islam. Htta mampu membujuk para juru bicara utama Islam di PPKI agar menerima dihapuskannya semua acuan kepda tempat yang khusu bagi Islam, dengan alasan supaya minoritsa-minoritsa jangan menjauhkan diri pada saat-sat yang begitu kritis bagi Republik. Perubahan utama lainnya berhubungan dengan perode transisi sebelum dapat dipilihnya dewan-dewan perwakilan, yang ditentukan dalam undang-undang dasar. Sampai waktu itu, Pemerintahan akan dijalankan oleh Presiden, dibantu oleh suatu Komite Nasional. Bila kuasa Presiden belum cukup, ditambahkan bahwa selama enam bulan setelah berakhirnya perang, Presiden “akan mengatur dan mempersiapkan segala sesuatu yang ditentukan

Undang-Undang Dasar. Sukarno dan Hatta kemudian dipilih sebagai Presiden dan Wakil Presiden oleh PPKI.29

(54)

2.2. Masa Pemerintahan

2.2.1. Masa Demokrasi Liberal

Indonesia akhirnya merdeka, setidak-tidaknya dalam pengertian hukum internasional, dan kini menghadapi prospek menentukan masa depannya sendiri. Dalam sebuah negeri yang masih menunjukkan adanya kemiskinan, rendahnya tingkat pendidikan dan tradisi-tradisi otoriter, maka banyak hal yang bergantung pada kearifan dan nasib baik kepemimpianan negeri itu. Akan tetapi sebagian sejarah bangsa Indonesia sejak tahun 1950 merupakan kisah kegagalan rentetan pimpinan untuk memenuhi harapan-harapan tinggi yang ditimbulkan oleh keberhasilan mencapai kemerdekaan. Dalam tahun 1950, kendali pemerintahan berada di tangan kaum nasionalis perkotaan dari generasi yang lebih tua dari partai-partai sekuler dan islam yang terkemuka. Ada suatu kesepakatan umum bahwa demokrasi diinginkan dan bahwa mereka itulah orang-orang yang akan dapat menciptakan sebuah negara demokrasi. Akan tetapi, pada tahun 1957, percobaan demokrasi pertama ini telah mengalami kegagalan, korupsi tersebar luas, kesatuan wilayah negara terancam, keadilan sosial belum tercapai, masalah-masalah ekonomi belum terpecahkan, dan banyak harapan yang ditimbulkan oleh revolusi yang belum terwujud.30

Masalah politik pada masa ini dapat dimulai dengan masalah tentara. Masalah ini merupakan persoalan-persoalan yang mendominasi sebagian besar sejarh Indonesia setelah tahun 1950. Pada tahun 1950, para politikus sipil

(55)

beranggapan bahwa menentukan urusan militer adalah hak mereka. Para panglima tentara terpecah-pecah diantara mereka sendiri, merasa tidak pasti akan peranan mereka yang sebenarnya, kurang terpelajar jika dibandingkan dengan para politikus terkemuka, dan kebanyakan sedikitnya sepuluh tahun lebih muda daripada mereka. Masih akan memerlukan beberapa waktu tentara mendapat peranan dalam gelombang politik nasional.

(56)

politik telah tersusun sebelum dilangsungkannya pemilihan anggota badan-badan perwakilan rakyat pada bulan Januari 1946.31

Para politikus sipil membentuk banyak partai politik, tetapi hanya beberapa partai yang benar-benar mempunyai arti penting di Jakarta. Sjahrir tetap memimpin Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang didukung kaum intelektual Jakarta, tetapi hanya mendapat sedikit dukungan umum di luar Jakarta. Psi berpengaruh di kalangan pejabat tinggi pemerintahan dan mempunyai pendukung di kalangan tentara pusat. Kaum “komunis nasional” yang mengagumi Tan

Malaka menjadi anggota Partai Murba. Umat Kristen memiliki Parkindo (Partai Kristen Indonesia) untuk orang Protestan dan Partai Katolik.

Masyumi mewakili kepentingan-kepentingan politik Islam dan dianggap merupakan partai terbesar di negara ini32, walaupun sampai terselanggaranya pemilihan umum hal ini hanya dapat menjadi anggapan belaka. Partai ini tidak terorganisasikan secara teratur, dan mengalami perpecahan utama di dalamnya anatar pemimpin Islam ortodoks dan Islam modernis. Di tingkat tertinggi, Masyumi dipimpin oleh Sukiman Wirjosandjojo dan Mohammad Natsir, dua politikus dari golongan Islam modernis. Basis politik Masyumi terdiri atas kaum muslim yang taat, termasuk sebagia besar kaum borjuis pribumi, para kyai, dan ulama, serta kaum gerilya Hizbullah dan Sabilillah yang didemobilisasikan. Akan

31

Sigit Pamungkas. 2011. Partai Politik : Teori dan Praktik di Indonesia, Yogyakarta: Institute for Democracy and Welfarism, hlm.149-150.

32

(57)

tetapi, partai ini tidak pernah secara resmi menempatkan ide tentang sebuah negara Islam diantara prioritas-prioritasnya pada tahun 1950-an.

Partai Nasional Indonesia (PNI) dianggap merupakan partai terbesar kedua. Basis utamanya ialah di dalam birokrasi dan kalangan pegawai kantor. Didaerah pedesaan Jawa, partai ini memiliki daya tarik yang sangat besar bagi masyarakat muslim abangan, sebagian karena partai ini dianggap sebagai partai Sukarno dan sebagian karena partai ini dianggap merupakan imbangan utama terhadap keinginan-keinginan politik Islam. Demikian pula PNI mendapat banyak dukungan di daerah-daerah Kristen di luar Jawa dan di Bali yang menganut agama Hindu, dimana juga terdapat perasaan-perasaan anti-Islam.

(58)

strategi yang bersifat defensif. Tujuan utamanya ialah melindungi partai ini dari pihak-pihak yang mengharapkan kehancurannya.

Pada tahun 1950, para politikus Jakarta tentu saja membentuk suatu sistem parlementer seperti yang paling baik yang mereka ketahui, yaitu demokrasi multi partai dari negeri Belanda. Dalam sidang panitia, akhirnya diputuskan akan mengumumkan negara kesatuan pada 17 Agustus 1950, sedangkan Undang-Undang Dasar negara keastuan mengadopsi dari konstitusi RIS (Republik Indonesia Serikat) tanpa amandemen dan mengubahnya menjadi UUDS 1950 yang bersifat sementara. 17 Agustus 1950, RIS berakhir dan dinyatakan resmi menjadi negara kesatuan dengan nama yang sesuai Proklamasi Kemerdekaan, yaitu Republik Indonesia.33

Sistem yang berubah ini, tentunya akan merubah sistem kekuasaan yang ada. Kabinet betanggung jawab kepada parlemen satu majelis (Dewan Perwakilan Rakyat) yang jumlah anggotanya 232 orang yang mencerminkan apa yang dianggap sebagai kekuatan partai. Masyumi mendapat 49 kursi (21%), PNI 36 kursi (16%), PSI 17 kursi (7,3%), PKI 13 kursi (5,6%), partai katolik 9 kursi (3,9%), Partai Kristen 5 kursi (2,2%) dan Partai Murba (1,7%), sedangkan lebih dari 42 persen kursi dibagi diantara parta-partai atau perorangan lainnya.34

2.2.1.1. Kabinet Mohammad Natsir

Kabinet pertama (September 1950-Maret 1951) dibentuk oleh Natsir dan berintikan Masyumi dengan dukungan PSI setelah usaha membentuk koalisi

33

(59)

Masyumi-PNI gagal. Pemerintahan Natsir menghadapi keadaan ekonomi yang paling menguntungkan selama masa demokrasi liberal, karena kenaikan harga komoditas sebagai akibat perang Korea meningkatkan pendapatan ekspor dan bea ekspor pemerintah sampai pertengahan 1951.

Kebijakan luar negeri Natsir adalah bebas dan netral, namun tetap bersimpati terhadap Barat. Masalah Irian Barat adalah salah satu masalah politik luar negeri yang cukup menyita perhatian. Belanda menolak memasukkan Irian Barat ke dalam wilayah dalam penyerahan kedaulatan. Masalah ini menjadi bahan pertentangan dalam negeri karena terdapat perbedaan dalam pendekatan untuk menyelesaikan persengketaan. Dalam penyelesaian masalah ini Sukarno menempatkan dirinya terpisah dari Kabinet yang didominas

Gambar

Gambar 1.1. Kerangka Analisis
Tabel 3.1.

Referensi

Dokumen terkait