BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang Masalah
Bahasa adalah sebuah media komunikasi yang digunakan manusia dalam
berinteraksi. Bahasa sebagai lambang bunyi yang arbitrer digunakan oleh
masyarakat untuk berhubungan dan bekerja sama, berinteraksi, dan
mengidentifikasikan diri.1 Bahasa erat kaitannya dengan cara berpikir seseorang.
Pola pikir seseorang terlihat dari cara ia membahasakan segala sesuatu hal.
Untuk dapat memahami bahasa, kita dapat melakukannya melalui kajian
teks. Menurut Van Dijk2 teks sama dengan discourse, yaitu kesatuan dari beberapa kalimat yang satu dengan yang lain saling terikat erat. Pengertian satu
kalimat harus dihubungkan dengan kalimat yang lain dan tidak dapat ditafsirkan
satu-satu kalimat. Dengan kata lain, teks adalah satu kesatuan semantik bukan
kesatuan gramatikal. Kesatuan yang bukan dikarenakan bentuknya tetapi kesatuan
artinya. Teks adalah suatu contoh proses dan hasil dari makna dalam konteks
situasi tertentu. Pemahaman terhadap teks tidak terlepas dari konteks yang
menyertai teks tersebut. Teks dan konteks merupakan aspek dari proses yang
1
Harimurti Kridalaksana. 2001. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia, hal.94.
sama. Pengertian mengenai konteks tidak hanya meliputi hal-hal tertulis
melainkan juga hal-hal yang tanpa kata atau nonverbal.3
Analisis wacana kritis merupakan salah satu metode dalam memahami
bahasa tersebut. Menurut pandangan kritis bahasa merupakan representasi subjek
tertentu, tema tertentu, dan strategi-strategi tertentu. Selain itu dalam pandangan
ini wacana tidak hanya dipahami sebagai studi bahasa, tetapi juga dihubungkan
dengan konteks yang berarti bahwa bahasa dipakai untuk tujuan praktik tertentu.
Selain itu wacana juga merupakan bentuk dari praktik sosial yang berkaitan
dengan situasi, institusi dan struktur sosial yang membentuknya. Analisis wacana
kritis ini dapat digunakan untuk membedah teks atau bahasa, baik yang terdapat
pada teks media ataupun teks yang berasal dari peristiwa komunikatif seperti
pidato atau retorika.
Pidato merupakan hasil proses pemikiran seseorang yang dituangkan
dengan berbicara kepada khalayak umum dengan memberikan urutan pemaparan
dalam bentuk sistematis yang berupa sebuah topik informasi dengan tujuan
khalayak pendengar dapat mengetahui dan mengikuti maksud komunikator
tersebut.4 Pidato, retorika, dan propaganda sering kali dipakai sebagai alat
komunikasi politik, karena ketiga-tiganya mempunyai bentuk, tujuan dan fungsi
yang hampir sama yaitu untuk mempengaruhi orang lain agar dapat mengikuti
kemauan dari orang yang melakukan ketiga kegiatan seni berbahasa tersebut.
3
M.A.K. Halliday dan Ruqaiya Hasan. 1992. Bahasa, Konteks, dan Teks. Yogyakarta: Gajah Mada University Press, hal. 6.
Berbicara mengenai komunikasi politik tentulah yang tergambar adalah
unsur-unsur politik yang melingkupi dan mendasari kegiatan pidato, retorika dan
propaganda.
Sebuah kelaziman bahwa setiap pemimpin, penguasa, elit politik, atau
kelas berkuasa senantiasa memanfaatkan kekuatan bahasa untuk memperkuat
konsolidasi guna mempertahankan kelangsungan kekuasaannya. Oleh karena itu,
komunikasi politik yang dijalankan tidak terlepas dari penggunaan bahasa, istilah,
simbol verbal, yang memfokuskan perhatian pada topik dan aspek tertentu.
Pemakaian istilah, kata, kalimat dapat mengarahkan khalayak pada pikiran dan
perasaan tertentu, bahkan dapat mempengaruhi perilakunya. Leksikon tertentu,
misalnya, dipilih pejabat pemerintah untuk menekankan sikap politik dan
pendapat, mengumpulkan dukungan, memanipulasi opini publik, mengkonstruksi
kesadaran politik publik atau legitimasi kekuatan politik. Untuk itu, seorang
komunikator akan menyeleksi topik pembicaraan, memilih latar wacana tertentu,
memakai retorika tertentu, menyusun dan mengatur ucapan, memakai interaksi
tertentu, dan sebagainya5.
Bahasa juga membatasi persepsi dan mengkonstruksi cara berpikir dan
berkeyakinan khalayak. Pilihan kata (diksi) dan pemakaian gaya bahasa, kata,
kalimat oleh komunikator adalah bagian strategi komunikator yang berkaitan erat
dengan politik. Pemakaian kata, kalimat, gaya tertentu, tidak semata-mata
5
dipandang sebagai cara berkomunikasi, tetapi harus pula dipahami sebagai politik
berkomunikasi, sebagai cara untuk mempengaruhi opini publik, menciptakan
dukungan, memperoleh legitimasi, dan juga menyingkirkan kelompok lawan.6
Pidato presiden memiliki posisi penting dalam wacana politik. Segala
yang dikatakan Presiden lebih mempunyai pengaruh terhadap masyarakat
dibandingkan pidato lainnya. Pidato Presiden selalu menunjukkan kebijakan
publik, apa yang dikatakan oleh Presiden dianggap sebagai isu yang penting oleh
pemerintah. Pidato Presiden juga mempengaruhi bagaimana masyarakat berpikir
tentang realitas sosial politik yang ada.7
Sukarno merupakan Persiden Indonesia pertama yang menjabat pada
periode 1945-1966. Sukarno dikenal dunia internsional sebagai pejuang dan
konseptor kemerdekaan RI yang handal. Banyak konsepnya sangat dikagumi oleh
dunia karena itu ia sering kali diundang oleh banyak negara. Undangan itu ia
manfaatkan untuk mengungkapkan konsepnya tentang pembangunan dan
perjuangan yang disampaikannya dengan menarik yang membuat orang terkagum
padanya. Sukarno dikenal sebagai pejuang dan peletak dasar RI yang punya
kemampuan berpidato yang baik yang dapat ditunjukkan di level internasional dan
dalam negara Indonesia.
Periode 1965-1967 dapat dilihat sebagai masa peralihan kekuasaan dari
Sukarno kepada Soeharto. Dalam buku sejarah versi pemerintah, masa ini
6
Jupriono D. Ibid. 7
dilukiskan sebagai era konsolidasi kekuatan pendukung era orde baru (tentara,
mahasiswa, rakyat) untuk membasmi Partai Komunis Indonesia (PKI) sampai ke
akar-akarnya.8 Dari segi ekonomi keadaan saat itu juga sangat buruk. Harga
membumbung tinggi, inflasi ratusan persen. Bahkan Presiden Sukarno menunjuk
seorang Menteri Penurunan Harga yaitu Hadely Hasibuan, yang ternyata
kemudian juga tidak berhasil melaksanakan tugasnya.
Buruknya situasi politik dan ekonomi saat itu, dimanfaatkan oleh
orang-orang yang ingin memisahkan dan juga menghancurkan barisan pendukung
Sukarno. Setelah mendapatkan Supersemar, Soeharto dalam hitungan jam
langsung membubarkan PKI dan menyatakannya sebagai partai terlarang. Para
anggota partai ini dan ormasnya tidak boleh pindah atau ditampung oleh partai
lain. Pada minggu yang sama Soeharto mengamankan 15 Menteri pendukung
Sukarno.
Sukarno berusaha mengendalikan keadaan melalui pidato-pidatonya.
Tidak banyak diketahui umum bahwa dalam masa peralihan kekuasaan kepada
Soeharto, Presiden Sukarno sempat berpidato sedikitnya 103 kali. Dalam
pidato-pidatonya ia mengungkapkan berbagai hal yang ditutupi bahkan diputarbalikkan
selama Orde Baru. Dari pidato-pidato tersebut pula tergambar betapa sengitnya
peralihan kekuasaan dari Sukarno kepada Soeharto.
8
1.2. Perumusan Masalah
Pidato presiden memiliki posisi penting dalam wacana politik. Presiden
lebih mempunyai pengaruh terhadap masyarakat dibandingkan pidato lainnya.
Apa yang disampaikan oleh Sukarno melalui pidato-pidatonya merupakan
bantahan terhadap apa yang ditulis oleh media massa. Tetapi diantara berbagai
pidato yang disampaikan, pidato kenegaraan menempati posisi yang sangat
penting.
Pidato kenegaraan telah berkembang menjadi suatu pola atau bentuk yang
teratur, yang memberi landasan berguna untuk membandingkan antara satu pidato
dengan pidato lainnya. Pidato kenegaraan itu disampaikan secara luas dan
merupakan keterangan resmi presiden yang memuat berbagai tanggapan masalah
yang muncul. Dengan demikian, pidato kenegaraan merupakan variasi resmi dari
jargon, janiji, sarana untuk menyampaikan masalah atau prestasi yang telah
dilakukan. Lebih jauh, pidato itu penting karena ia merupakan media pemerintah
untuk mengukuhkan dan mengabsahkan apa yang telah dilakukan.
Pidato Sukarno pada tanggal 17 Agustus 1966 merupakan satu-satunya
pidato kenegaraan yang disampaikan pada rentang masa peralihan kekusaan.
Setelah pemberontakan 30 September, pamor dan kejayaan Sukarno sebagai
Presiden kian menurun. Untuk itu melalui pidato tersebut, Sukarno membangun
Hal menarik dari pidato ini adalah untuk menarik simpati rakyat tersebut
dalam memperbaiki citranya, Sukarno membangun sebuah wacana „demokrasi
terpimpin adalah demokrasi pancasila dan demokrasi Indonesia asli‟. Untuk
menguatkan wacananya tersebut, Sukarno menyebutkan sebuah istilah yaitu
crucial period. Kata ini ia sebutkan dalam pidato sebanyak 15 kali dengan 3 kali pengulangan.9 Sehingga menarik untuk meneliti pidato kenegaraan Presiden
Sukarno pada tanggal 17 Agustus 1966 dengan menggunakan metode analisis
wacana kritis. Dengan begitu, pertanyaan penelitian dalam masalah ini adalah:
1. Apa yang dimaksud dengan Crucial Period menurut alam pikir Sukarno? 2. Mengapa Sukarno menggunakan istilah crucial period dalam membentuk
wacana „Demokrasi Terpimpin merupakan demokrasi pancasila dan
demokrasi Indonesia asli‟?
3. Bagaimana wacana „demokrasi terpimpimpin merupakan demokrasi
pancasila dan demokrasi Indonesia asli‟ pada pidato kenegaraan ini
terbentuk dan menjadi hegemonic discourse?
9
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui arti dan makna dari Crucial Period dalam alam pikir Sukarno. Kita dapat melihat bagaimana Sukarno membentuk logikanya
dalam membangun wacana di dalam pidato dengan mengetahui makna
dari crucial period tersebut.
2. Untuk mengetahui mengapa Sukarno menggunakan istilah crucial period
dalam membentuk wacana „demokrasi terpimpin merupakan demokrasi
pancasila dan demokrasi Indonesia asli‟. Kita dapat memahami bagaimana
pola wacana yang dibentuk oleh Sukarno dalam pidato kenegaraan ini
dengan mengetahui alasan tersebut.
3. Untuk mengetahui apakah wacana yang dibentuk Sukarno dalam
pidatonya menjadi sebuah hegemonic discourse. Sehingga, kita dapat memahami mengapa wacana tersebut menjadi sebuah wacana yang
menghegemoni dan menjadi sebuah perdebatan di masa itu.
1.4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini dilakukan agar mampu memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Secara teoritis, penelitian ini merupakan kajian ilmu politik yang dapat
memberikan kontribusi mengenai studi analisis wacana, terkhusus pada
2. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan
pengetahuan tidak hanya bagi peneliti, tetapi juga bagi akademisi lainnya
di berbagai tingakatan pendidikan. Pengetahuan ini dapat berupa
teori-teori wacana baik dari perspektif van Dijk, Foulcault, ataupun Laclau dan
Mouffe. Selain itu, pengetahuan tentang bagaimana pemikiran Sukarno
terlihat dan diwacanakan melalui pidatonya tentunya menjadi sesuatu yang
bermanfaat.
3. Bagi masyarakat, penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi masyarakat
tentang studi analisis wacana terkhusus dalam meneliti pemikiran Sukarno
melalui pidato yang disampaikannya.
1.5. kerangka Teori
1.5.1. Wacana Menurut Perspektif Michael Foucault
Tokoh analisis wacana kritis yang memberi banyak perhatian secara khas
adalah Michael Foucault (1926-1984), seorang filosof kekuasaan berkebangsaan
Prancis.10 Salah satu yang menarik dari konsep Foucault adalah tesisnya
menegenai hubungan antara pengetahuan dan kekuasaan. Foucault mendefinisikan
kuasa agak berbeda dengan beberapa ahli lain. Kuasa menurut Foucault tidak
dimiliki tetapi dipraktikkan dalam ruang lingkup dimana banyak posisi yang
secara strategis berkaitan satu sama lain. Menurut Faulcault, strategi kuasa
berlangsung dimana-mana. Dimana saja terdapat susunan, aturan-aturan,
10 D. Jupriono, Yudhi Hari Wibowo, & Linusia Marsih. Teks Berita Konflik Pekerja PT Freeport
sitem regulasi, dimana saja ada manusia yang mempunyai hubungan tertentu satu
sama lain dan dengan dunia, disitu kuasa sedang bekerja. Kuasa tidak datang dari
luar tetapi menentukan susunan, aturan-aturan dan hubungan-hubungan itu dari
dalam.11
Foucault mendefinisikan strategi kekuasaan sebagai yang melekat pada
kehendak untuk mengetahui. Melalui wacana, kehendak untuk mengetahui
terumus dalam pengetahuan. Bahasa menjadi alat untuk mengartikulasikan
kekuasaan pada saat kekuasaan harus mengambil bentuk pengetahuan karena
ilmu-ilmu terumus dalam bentuk pernyataan-pernyataan. Kekuasaan-pengetahuan
terkonsentrasi di dalam kebenaran pernyataan-pernyataan ilmiah. Oleh karena itu
semua masyarakat berusaha menyalurkan, mengontrol dan mengatur wacana
mereka agar sesuai dengan tuntutan ilmiah. Wacana seperti ini dianggap
mempunyai otoritas. Pengetahuan tidak bersumber pada subyek, tetapi dalam
hubungan-hubungan kekuasaan. “Kekuasaan menghasilkan pengetahuan.
Kekuasaan dan pengetahuan saling terkait. tidak ada hubungan kekuasaan tanpa
pembentukan yang terkait dengan bidang pengetahuan, dan tidak ada pengetahuan
yang tidak mengandaikan serta tidak membentuk sekaligus hubungan kekuasaan”.
12
Menurut Foucault, kekuasaan selalu terakulasikan lewat pengetahuan, dan
pengetahuan selalu mempunyai efek kuasa. Pengetahuan tidak merupakan
11
Eriyanto, Opcit. Hal: 65 12
Haryatmoko. Kekuasaan-Pengetahuan Sebagai Rezim Wacana, Sejarah Sekasualitas: Sejarah Pewacanaan Seks & Kekusaan Menurut Foucault. Makalah Seri Kuliah Umum. Juni 2010. Dapat dilihat di
pengungkapan samar-samar dari relasi kuasa tetapi pengetahuan berada di dalam
relasi-relasi kekuasaan itu sendiri. Konsep ini membawa konsekuensi, untuk
mengetahui kekuasaan dibutuhkan penelitian mengenai produksi pengethuan yang
melandasi kekuasaan. karena setiap kekuaasaan disusun, dimapankan, dan
diwujudkan lewat pengetahuan dan wacana tertentu. Wacana tertentu
menghasilkan kebenaran dan pengetahuan tertentu yang menimbulkan efek kuasa.
Disini, setiap kekuasaan selalu berpretensi menghasilkan rezim kebenaraan
tertentu yang disebarkan lewat wacana yang dibentuk oleh kekuasaan.13
Kuasa tidak bekerja melalui penindasan dan represi, tetapi terutama
normalisasi dan regulasi. Menurut Foucault, kuasa tidak bersifat subjektif. Kuasa
tidak bekerja dengan cara negatif dan represif, melainkan dengan cara positif dan
produktif. Strategi kuasa tidak bekerja melalui penindasan, melainkan melalui
normalisasi dan regulasi, menghukum dan membentuk public yang disiplin.
Publik tidak dikontrol lewat kekuasaan yang sifatnya fisik, tetapi dikontrol, diatur
dan disiplinkan lewat wacana. Kekuasaan dalam pandangan Foucault disalurkan
melalui hubungan sosial, dimana memproduksi bentuk-bentuk kategorisasi
perilaku sebagi baik atau buruk, sebagai bentuk pengendalian perilaku. Jadi
khalayak ditundukkan bukan dengan cara kontrol yang bersifat langsung dan fisik,
tetapi dengan wacana dan mekanisme berupa aturan, prosedur, tata cara, dan
sebagainya.14
13
Eriyanto, Opcit. Hal:67-68.
Kemudian, menurut Foucault ciri utama wacana ialah kemampuannya
untuk menjadi suatu himpunan wacana yang berfungsi untuk membentuk dan
melestarikan hubungan-hubungan kekuasaan dalam masyarakat. Dalam suatu
masyarakat biasanya terdapat berbagai macam wacana yang berbeda satu sama
lain, namun kekuasaan memilih dan mendukung wacana tertentu sehingga wacana
tersebut menjadi dominan, sedangkan wacana-wacana lainnya akan
“terpinggirkan” (marginalized) atau “terpendam” (submerged).
Pandangan Foulcault ini dapat menjelaskan bagaimana relasi kekuasaan
yang terbentuk ketika Presiden Sukarno membacakan pidato tersebut. Relasi
tersebut dapat dilihat bagaimana Sukarno dengan kekuasaannya membentuk
sebuah wacana melalui pidatonya. Selain itu, Sukarno juga menggunakan bahasa
dalam pidatonya untuk mengartikuasikan kekuasaan. Relasi inilah yang akan
dikaji menggunakan wacana dalam perspektif Foucault.
1.5.2. Analisis Wacana Teun Van Dijk
Menurut Van Dijk, penelitian atas wacana tidak cukup hanya didasarkan
pada analisis atas teks semata, karena teks hanya hasil dari suatu praktik produksi
yang harus juga diamati. Di sini, harus juga dilihat bagaimana suatu teks
diproduksi, sehingga kita memperoleh suatu pengetahuan kenapa teks bisa seperti
itu.
Dalam dimensi teks, yang diteliti adalah struktur teks. Van Dijk
paragraph untuk menjelaskan dan memaknai sebuah teks. Kognisi sosial
merupakan dimensi untuk menjelaskan bagaimana suatu teks diproduksi oleh
individu/kelompok pembuat teks. Cara memandang atau melihat suatu realiras
sosial itu yang melahirkan suatu teks tertentu. Sedangkan analisis sosial melihat
bagaimana teks itu dihubungkan lebih jauh dengan struktur sosial dan
pengetahuan yang berkembang dalam masyarakat atas suatu wacana.
1.5.2.1. Analisis Teks
Van Dijk melihat suatu teks terdiri atas beberapa struktur/tingkatan yang
masing-masing bagian saling mendukung. Ia membaginya ke dalam tiga
tingkatan. Pertama, struktur makro, yang merupakan makna umum dari suatu teks
yang dapat diamati dengan meihat topik atau tema yang dikedepankan dalam
suatu teks. Kedua, superstruktur, yang merupakan struktur wacana yang
berhubungan dengan kerangka suatu teks, bagaimana bagian-bagian teks secara
utuh. Ketiga, struktur mikro, merupakan makna wacana yang dapat diamati dari
bagian kecil dari suatu teks yakni kalimat, kata , proposisi, anak kalimat, parafase,
dan gambar. Berikut adalah uraian satu persatu elemen wacana Van Dijk:
Struktur
Wacana Hal Yang Diamati Unit Analisis
Struktur Makro TEMATIK (Apa Yang Dikatakan?) Elemen:
Topik/Tema Teks
Superstruktur SKEMATIK (Bagaimana pendapat Disusun dan
Dirangkai) Elemen: Skema Teks
Struktur Mikro SEMANTIK (Apa Arti Pendapat yang Ingin Disampaikan) Elemen: Latar, Detail, Ilustrasi, maksud, Pengandaian, Penalaran
Struktur Mikro SINTAKSIS (bagaimana Pendapat Disampaikan) Elemen: Koherensi, Nominalisasi, abstraksi, bentuk kalimat, kata ganti.
Kalimat, proposisi
Struktur Mikro LEKSIKON (Pilihan Kata Apa yang Dipakai)
Elemen: Kata kunci, Pemilihan kata Kata
Struktur Mikro Disampaikan) Elemen: Gaya, Interkasi, Ekspresi, RETORIS (Dengan Cara Apa Pendapat Metafora, Visual Image
Kalimat, proposisi
1.5.2.2. Kognisi Sosial
Dalam pandangan Van Dijk, analisis wacana tidak dibatasi hanya pada
struktur teks, karena struktur wacana itu sendiri menunjukkan atau menandakan
sejumlah makna, pendapat, dan ideologi. Untuk membongkar bagaimana makna
tersembunyi dari teks, kita membutuhkan suatu analisis kognisi dan konteks
sosial, pendekatan kognitif didasarkan pada asumsi bahwa teks tidak mempunyai
makna, tetapi makna itu diberikan oleh pemakai bahasa, atau lebih tepatnya,
proses kesadaran mental dari pemakai bahasa. Oleh karena itu dibutuhkan suatu
penelitian atas representasi kognis idalam memproduksi suatu teks. Karena setiap
teks pada dasarnya dihasikan lewat kesadaran, pengetahuan, prasangka, atau
pengetahuan tertentu.
1.5.2.3. Analisis Sosial
Salah satu dimensi dari analisis wacana Van Dijk adalah analisis sosial.
Menurut Van Dijk, wacana merupakan bagian dari masyarakat yang berkembang
dalam masyarakat, sehingga dengan meneliti teks perlu dilakukan analisis
intertekstual dengan meneliti bagaianaman wacana tentang suatu hal diproduksi
menunjukkan bagaimana makna yang dihayati bersama, kekusaaan sosial
diproduksi lewat praktik diskursus dan legitimasi.
Dalam analisis mengenai masyarakat ini, ada dua poin yang penting yaitu
kekusaan (power) dan akses (acces). Van Dijk mendefinisikan kekuasaan tersebut sebagai kepemilikan yang dimiliki suatu kelompok (atau anggotanya), satu
kelompok untuk mengontrol kelompok (atau anggota) dari kelompok lain. Selain
berupa kontrol yang bersifat langsung dan fisik, kekusaan yang dipahami oleh
Van Dijk juga berbentuk persuasif, yaitu tindakan seseorang untuk secara tidak
langsung mengontrol dengan jalan memengaruhi kondisi mental, seperti
kepercayaan, sikap dan pengetahuan.
Van Dijk juga memberikan perhatian kepada akses, yaitu bagaimana akses
diantara kelompok dalam masyarakat. Kelompok elit mempunyai akses yang lebih
besar dibandingkan dengan kelompok yang tidak berkuasa. Oleh karena itu
mereka yang berkuasa mempunyai kesempatan lebih besar untuk mempengaruhi
kesadaran khalayak. Akses yang lebih besar bukan hanya memberikan
kesemaptan untuk mengontrol kesadaran khalayak lebih besar tetapi juga
menentukan wacana apa yang dapat disebarkan kepada khalayak.
Seperti yang diuraikan sebelumnya, Van Dijk berpendapat dalam
melakukan analisis wacana ada tiga dimensi analisis, yaitu analisis teks, analisis
kognisi sosial, dan analisis sosial kutural. Analisis teks dapat menjelaskan
bagaimana pemikiran Sukarno serta wacana apa yang ingin dibangun dengan
Seperti yang diuaraikan sebelumnya, bahwasanya dalam pidato kenegaraan ini,
Sukarno mengangkat wacana demokrasi terpimpin merupakan demokrasi yang berasal dari pancasila dan demokrasi asli Indonesia. Kata crucial period
merupakan salah satu cara Sukarno membentuk wacana tersebut. Dengan
menggunakan metode ini kita dapat mengetahui mengapa ia memilih istilah
crucial period untuk disampaikan di pidatonya, dan mengapa kata tersebut sampai ia sebutkan beberapa kali. Selain itu, metode ini juga digunakan untuk mengetahui
teks-teks apa yang sangat erat kaitannya dengan artikulasi kekuasaan yang
dilakukan Sukarno.
Sementara dengan menggunakan analisis kognisi sosial, kita dapat melihat
ideologi ataupun pemikiran Sukarno yang ia tanamkan dalam setiap bahasa
ataupun teks dalam pidatonya. Karena dengan menggunakan analisis ini, teks
pidato yang ia sampaikan sebenarnya tidak bermakna apapun, tetapi ideologi,
pemikiran dan kepercayaan Sukarno tentang sesuatu hal-lah yang membuat teks
pidato tersebut memiliki makna. Dengan menggunakan analisis kognisi sosial ini,
kita dapat melihat makna crucial period dalam alam pikir Sukarno. Dengan begitu, kita dapat melihat relasi antara makna crucial period dengan mengapa Sukarno menggunakan kata-kata tersebut.
Dan dimensi terakhir adalah analisis sosial kultural. Analisis ini
menitikberatkan pada bagaimana wacana tentang suatu hal dikonstruksi di
masyarakat. Analisis ini hampir mirip dengan pandangan Foulcault, yang
wacana dominan, dan wacana lainnya menjadi terpinggirkan. Karena itu, analisis
tidak akan peneliti gunakan dalam penelitian ini.
1.5.3. Antagonisme, Sistem Perbedaan & Persamaan dan Hegemoni
Antagonisme memainkan peran penting dalam teori diskursus Laclau dan
Mouffe. Menurut Laclau dan Mouffe, antagonisme merupakan “a failure of
difference” semenjak adanya keterbatasan-keterbatasan dalam obyektivitas sosial. Antagonisme memainkan peran penting dalam pembentukan identitas dan
hegemoni, karena penciptaan suatu antagonisme sosial meliputi penciptaan musuh
yang akan menjadi sesuatu yang penting bagi terbentuknya political frontier yang dikotomik. Antagonisme sosial membuat setiap makna sosial berkontestasi dan
tidak akan pernah menjadi penuh/tetap (fixed), yang kemudian memunculkan
political frontier. Setiap aktor akan memahami identitas mereka melalui hubungan antagonistik, karena antagonisme mengidentifikasikan musuh mereka. Formasi
hegemonik selalu memerlukan yang dibentuk di luar dirinya yang memiliki relasi
antagonistik. Antagonisme sosial terjadi jika agen-agen hegemonik tidak mampu
menjaga identitas mereka dan mengkonstruksi musuh mereka. Dalam hal ini,
antagonisme menguak perbatasan dari batas-batas politik suatu formasi sosial
sebagaimana ditunjukkan pada point di mana identitas tidak dapat lagi distabilkan
dalam pemaknaan utuh dari suatu system of differences, tetapi dikontestasikan oleh kekuatan yang berdiri pada batasan tatanan tersebut. Menurut Laclau dan
Mouffe, dalam hal identitas kolektif, akan selalu menghadapi penciptaan “kita”
menekankan bahwa relasi ini tidak perlu untuk selalu dilihat sebagai satu dari
relasi kawan/lawan, yakni suatu relasi yang antagonistik. Tetapi hal tersebut harus
diakui, dalam kondisi-kondisi tertentu selalu dimungkinkan dimana relasi
kita/mereka ini dapat menjadi antagonistik, yakni itu dapat berubah menjadi suatu
relasi kawan/lawan.15
Selain konsep antagonisme, sistem persamaan dan perbedaan, dalam teori
diskursus Laclau juga dikenal dengan adanya konsep hegemoni. Menurut Laclau
dan Mouffe, medan bagi munculnya hegemoni ialah medan bagi praktek-paktek
artikulatoris, dengan kata lain suatu medan dimana „elemen-elemen‟ tidak
terkristalisasi menjadi „momen-momen‟. Dalam suatu identitas relasional yang
tertutup, dimana di dalamnya makna dari setiap momen telah fixed secara absolut, tidak ada ruang apapun bagi suatu praktek hegemonik. Namun Laclau dan Mouffe
juga menambahkan bahwa agar adanya hegemoni, momen artikulasitoris saja
tidaklah cukup. Artikulasi itu harus dijalankan lewat suatu konfrontasi dengan
praktek-praktek artikulatoris yang antagonistik, yang dengan kata lain, hegemoni
akan terjadi dalam suatu medan yang dipenuhi dengan antagonism-antagonisme
dan arena itu mengandaikan adanya fenomena ekuivalensi dan efek-efek garis
perbatasan.16
Sistem perbedaan dan persamaan yang diungkapkan oleh Laclau dapat
menjelaskan bagaimana di dalam pidato tersebut terdapat terdapat
antagonism-antagonisme. Sistem perbedaan ini menjelaskan bagaimana Sukarno yang
15
Ernesto Laclau & Chantak Mouffe. 2008. Hegemoni dan Strategi Sosialis: Postmarxisme + Gerakan Sosial Baru. Jakarta: Resist Book. Hal: xli.
dahulunya menjalankan pemerintahan dengan demokrasi liberal, namun karena
berbagai masalah yang terjadi dan ditambah dengan imajinasi Sukarno tentang
dirinya dan pemikirannya (myth), kemudian Sukarno menciptakan sebuah musuh baru yaitu demokrasi liberal. Hal ini dilakukan guna menemukan dan
mentransformasikan sebuah wacana baru yaitu wacana „demokrasi terpimpin
merupakan demokrasi pancasila dan demokrasi Indonesia asli‟. Sehingga pada
akhirnya kita dapat melihat apakah wacana yang dikembangkan oleh Sukarno
dalam pidatonya tersebut dapat menjadi sebuah hegemonic discourse.
1.6. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif merupakan metode-metode untuk
mengeksplorasi dan memahami makna yang oleh sejumlah individu atau
sekelompok orang yang dianggap berasal dari masalah sosial kemanusiaan. Proses
penelitian kualitatif ini melibatkan upaya-upaya penting, seperti mengajukan
pertanyaan-pertanyaan dan prosedur-prosedur, mengumpulkan data yang spesifik
dari para partisan, menganalisis data secara induktif mulai dari tema-tema yang
khusus ke tema-tema yang umum dan menfsirkan makna dan data.17
1.6.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis
penelitian deskriptif. Jenis penelitian deskriptif adalah jenis penelitian yang
bertujuan untuk menjelaskan ihwal masalah masalah atau objek tertentu secara
rinci. Penelitian deskriptif dilakukan untuk menjawab sebuah atau beberapa
pertanyaan mengenai keadaan objek atau subjek amatan secara rinci.18
1.6.2. Teknik Pengumpulan Data
Dalam menyusun sebuah penelitian akan menjadi penting memilih sebuah
teknik pengumpulan data yang tepat, yang akan sangat berpengaruh terhadap hasil
penelitian. Teknik pengumpulan data akan memungkinkan dicapainya pemecahan
masalah secara valid dan reliabel, yang pada gilirannya akan memungkinkannya
dirumuskannya generalisasi yang objektif.19
Adapun teknik pengumpulan data yang dipergunakan dalam melakukan
penelitian ini adalah dengan melakukan pengumpulan data kepustakaan (library research). Bahan-bahan yang diambil sebagai data-data untuk penulisan tulisan ilmiah berasal dari tulisan-tulisan, maupun artikel yang terdapat dalam buku-
buku, jurnal, makalah, media cetak, internet dan sejenisnya yang berkaitan dengan
penelitian ini.
18
Bagong Suyanto dan Sutinah. 2005. Metode Penelitian Sosial: Berbagai Alternatif Pendekatan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Hlm 17-18.
1.6.3. Teknik Analisa Data
Teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan
menggunaka analisa data kualitatif, yaitu dengan menekankan analisanya apada
sebuah proses pengambilan kesimpulan secara induktif serta analisa pada
fenomena yang sedang diamati dengan menggunaka metode ilmiah.20
1.7. Sistematika Penulisan
BAB I : PENDAHULUAN
Dalam bab ini berisi tentang latar belakang permasalahan,
perumusan maslah, pembatasan masalah, pertanyaan penelitian,
manfaat penelitian, tujuan penelitian, kerangka teori serta metode
penelitian.
BAB II : SUKARNO, MASA PEMERINTAHAN, DAN ISI PIDATO
KENEGARAAN 17 AGUSTUS 1966
Dalam bab ini penulis akan menjelaskan tentang biografi Sukarno,
Masa pemerintahannya, serta isi Pidato Kenegaraan Sukarno pada
tanggal 17 Agustus 1966.
BAB III : WACANA DALAM PIDATO KENEGARAAN 17 AGUSTUS
1966
Dalam bab ini akan berisi tentang analisis data. Di bab ini penulis
akan menguraikan apa yang dimaksud dengan crucial period dan mengapa Sukarno menggunakan istilah tersebut dalam
membangun wacana. Setelah itu, peneliti akan menguraikan
bagaimana wacana ini terbentuk dan menjadi sebuah hegemonic
BAB IV : PENUTUP
Dalam bab ini berisi kesimpulan yang diperoleh dari hasil analisi
data dan memberikan saran atas hasil penelitian yang telah
Teks Pidato Kenegaraan Analisis Van Dijk Analisis Foulcault Analisis Laclau Analisis Teks untuk mengkaji pemilihan kata dan gaya bahasa.
Kognisi Sosial untuk mengkaji bagaimana bahasa
diberikan makna oleh si pemakai
bahasa Relasi Kekuasaan untuk mengkaji bagaimana bahasa dapat mengartkulasik an kekuasaan Sistem persamaan , sistem perbedaan dan Hegemoni Untuk memahami alampikir Sukarno mengenai crucial period, dan mengkaji bahasa yang dipakainya.
Untuk melihat kata-kata yang dapat mengartkulasikan kekuasaan serta efek
dari kata tersebut. untuk itu, kajian van
Dijk berhubungan erat dengan kajian
foulcault ini.
Untuk memahami bagaimana Sukarno
merekonstruksikan Demokrasi Liberal adalah musuh bangsa
Indonesia, sehingga
Menjawab pertanyaan:
Apakah yang dimaksud crucial period?
Mengapa menggunakan istilah crucial period dalam membentuk
wacana „demokrasi terpimpin‟?