BAB II
SUKARNO, MASA PEMERINTAHAN DAN PIDATO KENEGARAAN
TANGGAL 17 AGUSTUS 1966
Pada bab ini peneliti akan menguraikan Biografi Sukarno, yang dimulai
dari masa mudanya sampai ke masa proklamasi 1945, masa pemerintahan
Sukarno, yaitu Demokrasi Liberal dan Demokrasi Terpimpin, dan juga isi pidato
kenegaraan pada tanggal 17 Agustus 1966. Penguraian ini bertujuan untuk
mendeskripsikan penelitian ini.
2.1. Biografi Sukarno
Sukarno mempunyai kepribadian yang kompleks. Ia lahir berbintang
Gemini, yang menurutnya pendapatnya sendiri, memberi corak beraneka ragam
pada kepribadian itu. Pada puncak masa kekuasaanya, Sukarno digelari Pemimpin
Besar Revolusi, Penyambung Lidah Rakyat, Waljul Amri, Panglima Tertinggi,
dan lain-lain. Namun secara tiba-tiba, semua gelarnya dicopot. Jasa dan
peranannya ditiadakan bahkan diejek. Disini, peneliti akan menguraikan
bagaimana Sukarno tumbuh dan berkembang serta bagaimana perjalanan
politiknya yang mengantarkan dia sampai ke kursi kepresidenan.
2.1.1. Masa Muda Sukarno
guru dan kepala sekolah. Ibunya berasal dari Bali, bernama Ida Ayu Nyoman Ray
lebih dikenal dengan sebutan Idayu. Mula-mula ia diberi nama Koesnososro
Sukarno. Tetapi karena sering sakit pada masa kecilnya, kemudian nama Koesno
ditanggalkan dan hanya disebut Sukarno saja. Namun di beberapa lingkungan ia
masih juga dipanggil dengan nama Koesno.
21Pada masa kecilnya, Sukarno tampak sebagai anak biasa saja. Tidak ada
sesuatu yang menonjol ketika Sukarno masih belum bersekolah. Ibu Wardoyo
yang nama kecilnya Sukarmini, kakak Sukarno pernah berkata:
“Atau mungkin saya kurang memperhatikan secara teliti, saya menganggap Karno adalah bocah kecil biasa saja. Sebab tidak ada yang bisa meramalkan seseorang anak akan menjadi presiden atau orang penting di kelak kemudian
hari. Kecuali setelah si anak menjelang remaja”.22
Dalam masa kanak-kanak Sukarno hidup bersama ayah bundanya serta
neneknya di Tulungangung, Jawa Timur. Barulah sesudah Sukarno memasuki
sekolah dasar dan bergaul dengan banyak temannya memang ada juga kelainan
atau kelebihan yang menonjol pada dirinya. Sukarno waktu kecil itu anak
pemberani dan suka berkelahi. Tidak aneh bila Sukarno sering pulang kerumah
dengan muka bengkak-bengkak atau benjut karena dipukul lawan berkelahinya.
Hebatnya lagi kalau berkelahi Sukarno itu jarang kalah. Itu karena sifatnya yang
pemberani.
Mungkin sifat pemberaninya itu merupakan warisan dari kedua orang
tuanya. Ibunda Sukarno yaitu Ida Ayu Nyoman Rai atau Idayu itu keturunan
21
Tugiyono. 1998. Dwitunggal Sukarno-Hatta Pahlawan Proklamator Kemerdekaan Indonesia.
Jakarta: PT Mutiara Sumber Widya. hal. 5
22
bangsawan Bali yang menentang penjajahan Belanda. Raja Singaraja yang
terakhir adalah paman Ibunda Bung Karno. Belanda pada akhir abad ke-19
memerangi kerajaan Singaraja di Bali. Kakek dan moyang Bung Karno dari pihak
ibu telah berjuang mempertahankan kemerdekaan. Ketika mereka menyadari,
bahwa segala sesuatu telah ditumpas Belanda, mereka dengan gagah berani
melakukan Perang Puputan. Dengan mengenakan pakaian serba putih dari kepala
hingga kaki, kemudian mereka menunggang kuda dan berlarian dengan pedang
terhunus menyerang pasukan Belanda sampai semuanya gugur di medan
pertempuran. Tidak ada seorang pejuang pun yang tersisa hidup. Tidak ada yang
menyerah dan menjadi tawanan musuh. Demikianlah perang puputan.
Ibunda Bung Karno, memang seorang wanita pemberani dan keras hati
melawan penjajahan Belanda. Pada zaman perang kemerdekaan, ketika usianya
sudah 70 tahunan kota Blitar sudah akan diserang pasukan Belanda, Ibu Idayu
pernah langsung mendatangi pasukan dan pemuda pejuang Indonesia yang
bertahan di garis depan. Beliau berbicara di depan pasukan kita dengan
bersemangat:
“
Janganlah gentar menghadapi pasukan Belanda. Ayo, kamu semua
lekas-lekas menyerang pasukan Belanda itu
!”
Ketika masih kecil Sukarno seringkali mendengar cerita kepahlawanan
dari ibunya. Tentu berbagai kisah kepahlawanan itu ikut membina watak dan
kepribadian Bung Karno di kemudian hari. Salah satu kesukaan Sukarno pada
masa kecil ialah menonton wayang. Ia selalu memperhatikan lakon wayang
dengan penuh minat. Cerita-cerita yang melukiskan semangat pahlawan sangat
mempengaruhi jiwanya, sehingga kadang-kadang semalam suntuk dia tidak tidur,
dan asyik menonton. Yang amat disukainya dalam permainan wayang ialah tokoh
Bima, yang dilukiskan sebagai pecinta keadilan, pembela kebenaran dan satria
sejati.
Pada waktu kecil Sukarno sudah akrab dengan rakyat kecil. Di rumah
Sukarno lebih banyak diasuh oleh pembantu rumah tangga, bernama mbok
Sarinah. Begitu akrab hubungannya dengan mbok Sarinah, sehingga sesudah
menjadi Presiden Republik Indonesia, Sukarno memberi judul Sarinah pada buku
yang ditulisnya. Begitu pula pasar swalayan atau toko serba ada (toserba) yang
pertama berdiri tahun 1962 di Indonesia di Jalan Muhammad Husni Thamrin,
Jakarta, diberi nama Sarinah.
hampir 13 tahun. Ayahnya bercita-cita agar Sukarno dapat meneruskan
pelajarannya ke sekolah menengah, kemudian ke perguruan tinggi. Ayah Sukarno
adalah seorang mantra guru atau kepala sekolah dasar Bumiputera yang
bercita-cita tinggi. Kalau Sukarno hanya tamat sekolah dasar Bumiputera lima tahun,
pasti tidak akan dapat meneruskan pelajarannya karena tidak dapat berbahasa
Belanda. Karena itu bapak Sukemi Sosrodihardjo meminta bantuan ibu guru
bahasa Belanda, yaitu Juffrouw M.P de La Riviere untuk mengajar bahasa
Belanda pada Sukarno. Tiap hari Sukarno belajar bahasa Belanda selama satu jam.
Pada waktu yang singkat Sukarno sudah pandai berbahasa Belanda.
Sesudah itu ayah Sukarno membawanya ke sekolah dasar Belanda atau
Europesche Lagere School
. Tidak mudah bagi anak Indonesia untuk dapat
diterima di sekolah dasar Belanda ini. Orang tua murid mesti harus seorang
pegawai negeri (pemerintah Hindia-Belanda), dan masih keturunan bangasawan
serta dapat berbahasa Belanda.
23Pada usia 14 tahun, Sukarno tinggal di rumah Oemar Said Tjokroaminoto,
seorang pemimpin Sarekat Islam yang kharismatik, dan disekolahkan ke Hoogere
Burger School (H.B.S). Dengan mudah, Sukarno yang cerdas diperkenalkan
kepada kalangan nasionalis, anggota Jong Java dan anggota Sarekat Islam (SI).
Sejak tahun 1911 Sukarno telah menerbitkan tulisan-tulisan pertamanya dalam
penerbitan-penerbitan nasionalis
23
Sesudah menamatkan pendidikan HBS di Surabaya, Sukarno sejak tahun
1920 pindah ke Bandung untuk mengikuti kuliah di Sekolah Tinggi Teknik
Bandung yang terletak di wilayah Dago. THS memang baru saja dibuka dan
diresmikan pada tanggal 3 Juli 1920 atau yang sekarang bernama Institut
Teknologi Bandung (ITB). Sesudah melalui perjuangan berat selama lima tahun
Bung Karno dapat menyelesaikan pelajaran di THS pada tahun 1925. Bung Karno
dapat lulus sesudah membuat skripsi tentang perencanaan sebuah pelabuhan.
Sejak saat itu nama resminya menjadi Ir.Sukarno
2.1.2. Masa Pergerakan Nasional
Pada tahun 1926, Sukarno mendirikan
Algemene Studie Club
di Bandung.
Organisasi ini menjadi cikal bakal Partai Nasional Indonesia (PNI) yang didirikan
pada tahun 1927. Pendirian PNI oleh Sukarno merupaka jawaban bagi tawaran
kerjasama pihak Belanda. Pada waktu itu , pergerakan Indonesia dalam keadaan
yang sangat suram. Sejak bangkitnya pergerakan, perpecahannya di dalam dan
tekanan dari luar telah merusaknya. Keanekaragaman masyarakat Indonesia,
sukuisme dan agama-agama, aliran-aliran, isme-isme serta konflik-konflik sosial
yang menggoncangkan pergerakan ini.
Pada tahun 1926, Sukarno menerbitkan tulisan pertamanya yang matang
dalam
Indonesia Muda
: “Nasionalisme, Islam dan Marxisme”. Pikiran pokok
diorganisir kembali. Tulisannya terutama ditujukan kepada elite pergerakan dan
bukan kepada rakyat.
Sukarno, dalam tulisannya tadi mencoba meyakinkan golongan-golongan
Islam dan nasionalis untuk tidak marxistphobi. Sukarno merasa marxisme adalah
esensi dalam perjuangan. Hal ini mungkin dikarenakan pertumbuhan intelektual
Sukarno sendiri yang sangat dipengaruhi oleh marxisme. Nasionalisme mapupun
Islam dirasakan sabagai paham-paham kurang tajam untuk menganalisis keadaan.
Namun Sukarno hanya akan membatasi analisis marxisnya pada fenomena
imperialisme dan tidak sampai ke masyarakat Indonesia.
Sekeluarnya dari penjara, ia terjun lagi ke dalam kancah politik. Sukarno
mendefenisikan konsepsi rakyatnya lebih lanjut dengan melahirkan marhaenisme
pada tahun 1930 di dalam penjara dan pembuangan.
242.1.3. Proklamasi Kemerdekaan 1945
Kesempatan yang lama ditunggu-tunggu kaum nasionalais untuk
berkumpul guna merencanakan suatu negara merdeka di masa depan, direalisasi
dengan bantuan Jepang pada tanggal 28 Mei 1945. Keenampuluh dua anggota
Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia atau BPUPKI yang
diresmikan hari itu diberikan kebebasan besar oleh Jepang untuk membicarakan
persoalan-persoalan konstitusional dan ideologi. Bagi Sukarno dan rekan-rekan
nasionalisnya inilah kesempatan untuk membuktikan bahwa penghinaan yang
diderita di bawah penguasaan Jepang tidaklah sia-sia. Terutama Sukarno yang
mengobarkan semangat sehingga panitia didorong mengambil suatu kesimpulan
dengan kecepatan mencengangkan pihak Jepang.
25Setelah bersidang selama tiga hari, yang terutama digunakan membahas
manifesto-manifesto ideologis, BPUPKI membentuk suatu sub-komite yang
terdiri dari tujuh orang anggota di bawah pimpinan Sukarno untuk menyelesaikan
persoalan agama yang rumit.
26Di dalam Badan Penyelidik di Jakarta, Sukarno
mendesak agar versinya tentang nasionalisme yang bebas dari agama disetujui.
Karena konsep ini memang merupakan satu-satunya dasar yang dapat disepakati
24 Ongokham. 2009. Sukarno, Orang Kiri, Revolusi dan G30S PKI. Jakarta: Komunitas Bambu. Hal:12-13. 25
Anthony J.S Reid. 1996. Revolusi Nasional Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Hal: 31-32.
pemimpin-pemimpin lainya, maka menanglah Sukarno. Pada pidatonya pada
tnggal 1 Juni, Ia mengemukakan doktrin Pancasilanya, „lima dasar‟ yang akan
menjadi falsafah resmi dari Indonesia merdeka, yaitu ketuhanan, kebangsaan,
perikemanusiaan, kesejahteraan dan demokrasi. Walaupun dasar-dasar ini pada
umumnya diterima oleh anggota-anggota Badan Penyelidik, tetapi para pemimpin
Islam tampakanya tidak akan memainkan peranan yang istimewa. Akhirnya
mereka menyetujui suatu kompromi yang disebut Piagam Jakarta yang
menyebutkan bahwa negara akan didasarkan pada „ketuhanan dengan kewajiban
menjalankan syariat islam bagi pemeluk-
pemeluknya”. Implikasi Piagam Jakarta
terhadap hubungan antara syariat Islam dan negara menjadi sumber
pertentangan-pertentangan sengit di tahun-tahun mendatang.
27Pada tanggal 6 Agustus, bom atom pertama dijatuhkan di Hioshima yang
menewaskan sedikitnya 78.000 orang. Hari berikutnya, keanggotaan Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang baru dibentuk diumumkan ke Jakarta, dan
berita-berita mengenai panitia ini disiarkan ke seluruh Indonesia. Pada tanggal 8
Agustus Uni Soviet mengumumkan perang terhadap Jepang. Dan pada hari
berikutnya, bom atom kedua dijatuhkan di Nagasaki. Karena kekalahan sudah
tampak di pihak Jepang, maka Sukarno, Hatta, dan Radjiman terbang ke Saigon
untuk menemui Panglima Wilayah Selatan, Panglima Tertinggi Terauchi Hisaichi.
Kepada mereka, Terauchi menjanjikan kemerdekaan bagi seluruh bekas wilayah
Hindia Timur Belanda. Sukarno ditunjuk sebagai Ketua Panitia Persiapan dan
27
Hatta sebagai wakil ketua. Pada tanggal 14 Agustus, Sukarno dam rekan-rekannya
tiba kembali ke Jakarta.
28Jepang menyerah tanpa syarat pada tanggal 15 Agustus, dan dengan
demikian menghadapkan para pemimpin Indonesia pada suatu masalah yang
berat. Karena pihak sekutu tidak menaklukkan kembali Indonesia, maka terjadi
kekosongan politik: pihak Jepang masih tetap berkuasa namun telah menyerah,
dan tidak tampak pasukan sekutu yang akan menggantikan mereka.
Rencana-rencana kemerdekaan yang disponsori pihak Jepang secara teratur kini tampaknya
terhenti, dan pada hari berikutnya Gunseikan telah mendapat perintah-perintah
khusus supaya mempertahankan status quo sampai kedatangan pasukan sekutu.
Sukarno, Hatta dan generasi tua ragu-ragu tenatang apa yang harus dilakukan dan
takut memancing konflik dengan Jepang. Maeda ingin melihat pengalihan
kekuasaan secara cepat kepada generasi tua, karena merasa khawatir terhadap
kelompok-kelompok pemuda yang dianggapnya berbahaya maupaun terhadap
pasukan-pasukan Jepang yang kehilangan semangat. Para pemimpin pemuda
menginginkan suatu pernyataan kemerdekaan secara dramatis diluar kerangka
yang disusun oleh pihak Jepang, dan dalam hal ini mereka didukung oleh Sjahrir.
Pada tanggal 16 Agustus, Sukarno dan Hatta tidak dapat ditemukan di
Jakarta. Mereka telah dibawa oleh pemimpin pemuda pada malam harinya ke
garnisun Peta di Rengasdengklok, dengan dalih melindungi mereka bilamana
meletus pemberontakan oleh Peta atau Heiho. Ternya tidak ada pemberontakan
sama sekali, sehingga Sukarno dan Hatta segera menyadari bahwa kejadian ini
merupakan usaha memaksa mereka supaya menyatakan kemerdekaan diluar
rencana pihak Jepang. Mereka menolak melakukan hal itu. Maeda mengirim
kabar bahwa jika mereka dikembalikan dengan selamat, maka dia dapat mengatur
agar pihak Jepang tidak peduli bilamana kemerdekaan dinyatakan. Pada malam itu
Sukarno dan Hatta sudah berada di rumah Maeda di Jakarta. Pernyataan
kemerdekaan dirancang sepanjang malam. Kaum aktivis pemuda menginginkan
bahasa yang dramatis dan berapi-api, tetapi untuk menjaga supaya tidak melukai
perasaan pihak Jepang dan mendorong terjadinya kekerasan, maka disetujuilah
suatu pernyataan yang sejuk dan bersahaja yang dirancang oleh Sukarno.
Pada tanggal 17 Agustus 1945 pagi, Sukarno membacakan pernyataan
kemerdekaan tersebut dihadapan sekelompok orang yang relatif sedikit
jumlahnya. Sementara itu, sekutu sebagai pihak yang menang, yang hampir sama
sekali tidak mengetahui apa yang telah terjadi di Indonesia selama
berlangsungnya perang, dengan tergesa-gesa merencanakan kedatangan mereka
untuk menerima penyerahan pihak Jepang dan memulihkan kembali rejim
kolonial.
lainnya merupakan pemimpin-pemimpin pemuda, antara lain Chaerul Saleh,
Sukarni dan Wikana.
Langkah pertama ini meliputi sejumlah perubahan yang diadakan terhadap
undang-undang dasar yang disusun pada bulan Juli. Perubahan terpenting
diakibatkan desakan juru bicara Angkatan Laut Jepang yang menyampaikan
kepada Hatta perasaan tidak puas minoritas-minoritas kristiani yang penting di
wilayah kekuasaan Angkatan laut terhadap kosesi-kosesi kepada pihak Islam. Htta
mampu membujuk para juru bicara utama Islam di PPKI agar menerima
dihapuskannya semua acuan kepda tempat yang khusu bagi Islam, dengan alasan
supaya minoritsa-minoritsa jangan menjauhkan diri pada saat-sat yang begitu
kritis bagi Republik. Perubahan utama lainnya berhubungan dengan perode
transisi sebelum dapat dipilihnya dewan-dewan perwakilan, yang ditentukan
dalam undang-undang dasar. Sampai waktu itu, Pemerintahan akan dijalankan
oleh Presiden, dibantu oleh suatu Komite Nasional. Bila kuasa Presiden belum
cukup, ditambahkan bahwa selama enam bulan setelah berakhirnya perang,
Presiden “akan mengatur dan mempersiapkan segala sesuatu yang ditentukan
Undang-Undang Dasar. Sukarno dan Hatta kemudian dipilih sebagai Presiden dan
Wakil Presiden oleh PPKI.
29
2.2. Masa Pemerintahan
2.2.1. Masa Demokrasi Liberal
Indonesia akhirnya merdeka, setidak-tidaknya dalam pengertian hukum
internasional, dan kini menghadapi prospek menentukan masa depannya sendiri.
Dalam sebuah negeri yang masih menunjukkan adanya kemiskinan, rendahnya
tingkat pendidikan dan tradisi-tradisi otoriter, maka banyak hal yang bergantung
pada kearifan dan nasib baik kepemimpianan negeri itu. Akan tetapi sebagian
sejarah bangsa Indonesia sejak tahun 1950 merupakan kisah kegagalan rentetan
pimpinan untuk memenuhi harapan-harapan tinggi yang ditimbulkan oleh
keberhasilan mencapai kemerdekaan. Dalam tahun 1950, kendali pemerintahan
berada di tangan kaum nasionalis perkotaan dari generasi yang lebih tua dari
partai-partai sekuler dan islam yang terkemuka. Ada suatu kesepakatan umum
bahwa demokrasi diinginkan dan bahwa mereka itulah orang-orang yang akan
dapat menciptakan sebuah negara demokrasi. Akan tetapi, pada tahun 1957,
percobaan demokrasi pertama ini telah mengalami kegagalan, korupsi tersebar
luas, kesatuan wilayah negara terancam, keadilan sosial belum tercapai,
masalah-masalah ekonomi belum terpecahkan, dan banyak harapan yang ditimbulkan oleh
revolusi yang belum terwujud.
30Masalah politik pada masa ini dapat dimulai dengan masalah tentara.
Masalah ini merupakan persoalan-persoalan yang mendominasi sebagian besar
sejarh Indonesia setelah tahun 1950. Pada tahun 1950, para politikus sipil
beranggapan bahwa menentukan urusan militer adalah hak mereka. Para panglima
tentara terpecah-pecah diantara mereka sendiri, merasa tidak pasti akan peranan
mereka yang sebenarnya, kurang terpelajar jika dibandingkan dengan para
politikus terkemuka, dan kebanyakan sedikitnya sepuluh tahun lebih muda
daripada mereka. Masih akan memerlukan beberapa waktu tentara mendapat
peranan dalam gelombang politik nasional.
politik telah tersusun sebelum dilangsungkannya pemilihan anggota badan-badan
perwakilan rakyat pada bulan Januari 1946.
31Para politikus sipil membentuk banyak partai politik, tetapi hanya
beberapa partai yang benar-benar mempunyai arti penting di Jakarta. Sjahrir tetap
memimpin Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang didukung kaum intelektual
Jakarta, tetapi hanya mendapat sedikit dukungan umum di luar Jakarta. Psi
berpengaruh di kalangan pejabat tinggi pemerintahan dan mempunyai pendukung
di kalangan tentara pusat. Kaum “komunis nasional” yang mengagumi Tan
Malaka menjadi anggota Partai Murba. Umat Kristen memiliki Parkindo (Partai
Kristen Indonesia) untuk orang Protestan dan Partai Katolik.
Masyumi mewakili kepentingan-kepentingan politik Islam dan dianggap
merupakan partai terbesar di negara ini
32, walaupun sampai terselanggaranya
pemilihan umum hal ini hanya dapat menjadi anggapan belaka. Partai ini tidak
terorganisasikan secara teratur, dan mengalami perpecahan utama di dalamnya
anatar pemimpin Islam ortodoks dan Islam modernis. Di tingkat tertinggi,
Masyumi dipimpin oleh Sukiman Wirjosandjojo dan Mohammad Natsir, dua
politikus dari golongan Islam modernis. Basis politik Masyumi terdiri atas kaum
muslim yang taat, termasuk sebagia besar kaum borjuis pribumi, para kyai, dan
ulama, serta kaum gerilya Hizbullah dan Sabilillah yang didemobilisasikan. Akan
31
Sigit Pamungkas. 2011. Partai Politik : Teori dan Praktik di Indonesia, Yogyakarta: Institute for Democracy and Welfarism, hlm.149-150.
32
tetapi, partai ini tidak pernah secara resmi menempatkan ide tentang sebuah
negara Islam diantara prioritas-prioritasnya pada tahun 1950-an.
Partai Nasional Indonesia (PNI)
dianggap merupakan partai terbesar
kedua. Basis utamanya ialah di dalam birokrasi dan kalangan pegawai kantor.
Didaerah pedesaan Jawa, partai ini memiliki daya tarik yang sangat besar bagi
masyarakat muslim abangan, sebagian karena partai ini dianggap sebagai partai
Sukarno dan sebagian karena partai ini dianggap merupakan imbangan utama
terhadap keinginan-keinginan politik Islam. Demikian pula PNI mendapat banyak
dukungan di daerah-daerah Kristen di luar Jawa dan di Bali yang menganut agama
Hindu, dimana juga terdapat perasaan-perasaan anti-Islam.
strategi yang bersifat defensif. Tujuan utamanya ialah melindungi partai ini dari
pihak-pihak yang mengharapkan kehancurannya.
Pada tahun 1950, para politikus Jakarta tentu saja membentuk suatu sistem
parlementer seperti yang paling baik yang mereka ketahui, yaitu demokrasi multi
partai dari negeri Belanda. Dalam sidang panitia, akhirnya diputuskan akan
mengumumkan negara kesatuan pada 17 Agustus 1950, sedangkan
Undang-Undang Dasar negara keastuan mengadopsi dari konstitusi RIS (Republik
Indonesia Serikat) tanpa amandemen dan mengubahnya menjadi UUDS 1950
yang bersifat sementara. 17 Agustus 1950, RIS berakhir dan dinyatakan resmi
menjadi negara kesatuan dengan nama yang sesuai Proklamasi Kemerdekaan,
yaitu Republik Indonesia.
33Sistem yang berubah ini, tentunya akan merubah sistem kekuasaan yang
ada. Kabinet betanggung jawab kepada parlemen satu majelis (Dewan Perwakilan
Rakyat) yang jumlah anggotanya 232 orang yang mencerminkan apa yang
dianggap sebagai kekuatan partai. Masyumi mendapat 49 kursi (21%), PNI 36
kursi (16%), PSI 17 kursi (7,3%), PKI 13 kursi (5,6%), partai katolik 9 kursi
(3,9%), Partai Kristen 5 kursi (2,2%) dan Partai Murba (1,7%), sedangkan lebih
dari 42 persen kursi dibagi diantara parta-partai atau perorangan lainnya.
342.2.1.1. Kabinet Mohammad Natsir
Kabinet pertama (September 1950-Maret 1951) dibentuk oleh Natsir dan
berintikan Masyumi dengan dukungan PSI setelah usaha membentuk koalisi
33
Wawan Tunggul Alam. 2003. Pertentangan Sukarno vs Hatta. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, Hal: 253.
Masyumi-PNI gagal. Pemerintahan Natsir menghadapi keadaan ekonomi yang
paling menguntungkan selama masa demokrasi liberal, karena kenaikan harga
komoditas sebagai akibat perang Korea meningkatkan pendapatan ekspor dan bea
ekspor pemerintah sampai pertengahan 1951.
Kebijakan luar negeri Natsir adalah bebas dan netral, namun tetap
bersimpati terhadap Barat. Masalah Irian Barat adalah salah satu masalah politik
luar negeri yang cukup menyita perhatian. Belanda menolak memasukkan Irian
Barat ke dalam wilayah dalam penyerahan kedaulatan. Masalah ini menjadi bahan
pertentangan dalam negeri karena terdapat perbedaan dalam pendekatan untuk
menyelesaikan persengketaan. Dalam penyelesaian masalah ini Sukarno
menempatkan dirinya terpisah dari Kabinet yang didominasi oleh kelompok
Masyumi dan mendapat dukungan dari kelompok-kelompok oposisi parlemen.
35Sukarno mendesak agar dilakukan tindakan-rindakan keras terhadap Belanda di
bidang ekonomi. Ia sekaligus bermaksud agar Belanda sadar bahwa mereka tidak
bisa seenaknya mempermainkan kepentingan Indonesia, mengingat Belnada
sudah berjanji menyerahkan Irian Barat setahun kemudian sesuai perjanjian KMB.
Tapi, Perdana Menteri Natsir enggan mengikuti jalan pikiran Sukarno, karena
menurutnya pengembalian Irian Barat hanya bisa dilakukan dengan
perundingan-perundingan. Karena itu, terjadilah pertentangan politik yang hebat antara
keduanya.
36
35
Michael Leifer.1989. Politik Luar Negeri Indonesia. Jakarta: PT Gramedia. Hal:47.
Usia kabinet Natsir tidaklah lama, hanya betahan 6 bulan. Pemicu
utamanya jatuhnya kabinet ini adalah masalah Irian Barat. Rakyat terlanjur
menganggap Politik Natsir dalam hal Irian barat adalah kegagalan. Kerena itu,
dengan dikuasainya parlemen oleh golongan nasionalis yang otomatis menguasai
suara mayoritas, keluarlah mosi tidak percaya yang membuat kabinet Natsir jatuh
pada tanggal 21 Maret 1951. Situasi inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh PKI
dengan membonceng isu Irian Barat menjadi perjuangan PKI dan sekaligus
memperlihatkan bahwa golongan komunis sangat mendukung politik Sukarno.
2.2.1.2. Kabinet Sukiman Wirjosandjojo
Perdana Menteri berikutnya adalah Sukiman Wijosandjojo, yang berrhasil
mementuk koalisi Masyumi-PNI yang oleh banyak orang dianggap bentuk
pemerintahan yang wajar. Kabinet Sukiman menjadi yang paling terkenal dengan
dilakukannya satu-satunya usaha yang serius pada masa itu untuk menumpas PKI.
Kaum komunis menjadi marah dengan bersedianya PNI berkoalisi dengan
Masyumi, karena strategi mereka tergantung pada masih terus bertikainya kedua
paratai tersebut. Karena merasa tidak pasti terhadap PNI sebagai sekutu, maka
PKI mulai mencari dukungan Sukarno. Meskipun segala kebencian mereka
terhadap Presiden, mulai saat itu para pemimpin PKI tidak lagi menyebut sebagai
kolaborator Jepang atau fasis.
terkemukan dalam revolusi, melancarkan pemberontakan secara terbuka. Kahar
menghubungi Kartosuwirjo dan secara resmi menjadikan pemberontakannya
sebagai bagian dari gerakan Darul Islam yang masih tetap belum mereda di Jawa
Barat.
Kegagalan kabinet Sukiman dalam menangani masalah Kahar Muzakar
sangat melemahkan kekuasaannya, tetapi krisis kebijakan luar negerilah yang
membuatnya terjungkal. Kabinet itu talah menganut garis pro-Barat secara lebih
aktif , dan pada bulan Januari 1952 menteri luar negeri dari Masyumi secara
diam-diam menandatangani suatu persetujuan bantuan dengan Amerika. Kabinet
Sukiman secara umum telah menampilkan dirinya sebagai tanpa kepekaan yang
cukup atas perasaan rakyat dalam menangani kebijaksanaan luar negeri.
372.2.1.3. Kabinet Wilopo
Setelah jatuhnya kabinet Sukiman, koalisi PNI-Masyumi terjadi lagi
dengan Wilopo yang berasal dari PNI menjadi Perdana Menteri. Kabinet Wilopo
meski dari PNI tapi tidak disukai oleh Sukarno. Karena di dalam kabinetnya
duduk orang-orang yang tidak disenangi Sukarno, seperti Mohammad Roem, Sri
Sultan Hamengkubuwono, dan Sumitro Djojohadikusumo. Selain itu pertikaian
yang terjadi di parlemen, ternyata juga merasuk Angkatan Darat (AD).
Setidaknya, Masyumi dan PSI telah menyusup dalam tubuh militer dan
melakukan politik adu domba antara perwira dan prajurit. Dalam keadaan
semacam ini persaingan antar kelompok di tubuh tentara dikaitkan dengan
pertentangan antar pemerintah dan oposisi di parlemen, dan masing-masing
mencari sekutunya sendiri-sendiri.
38Kesulitan ekonomi yang dihadapi Kabinet Wilopo tak pelak memunculkan
berbagai kebijakan uang ketat. Salah satu yang terkena imbasnya adalah tentara,
khususnya Angkatan darat. Karena itu Angkatan Darat akan melakukan
reorganisasi dan rasionalisasi dengan program tentara professional seperti ide AH
Nasution. Namun, kebijakan Angkatan Darat ini tentunya merugikan kelompok
mantan Peta yang banyak menguasai posisi panglima daerah. Diangkat Karena
itu, kelompok ini mendekati partai politik oposisi, seperti PNI, maka persoalan ini
pun diangkat di parlemen. Diajukanlah suatu mosi untuk menilai kebijakan
pemerintah yang berkait dengan angkatan bersenjata. Pimpinan tentara tidak bisa
terima dan tidak bisa membiarkan adanya campur tangan pihak luar (parlemen)
dalam soal interen Angkatan Darat.
Delapan bulan kemudian, tepatnya Juni 1953 kabinet Wilopo jatuh.
Dengan demikian krisis kabinet telah terjadi empat kali dalam jangka waktu
kurang dari tiga tahun. Dan persaingan di kalangan Angkatan Darat ini akhirnya
menjadi penyebab kekacauan nasional yang lebih luas.
2.2.1.4. Kabinet Ali Sastroamidjojo
Setelah lima kali perundingan selama lebih dari enam minggu dan lima
kali upaya membentuk berbagai gabungan partai, sebuah kabinet PNI yang
didukung oleh Nahdatul Ulama (NU) dan partai-partai kecil yang dibentuk oleh
Ali Sastroamidjojo. Kabinet Ali memperluas birokrasi dengan lebih banyak
pendukung PNI, sebagian karena penguasaan atas birokrasi diduga akan memiliki
arti yang sangat penting dalam pemilihan yang akan datang. Kabinet juga
menekankan indonesianisasi perekonomian dan memberi dorongan kepda
pengusaha pribumi.
Dalam kabinetnya Ali tidak memasukkan orang-orang Masyumi, tapi
memasukkan wakil Nahdatul Ulama yang telah memisahkan diri dari Masyumi.
Penyingkiran Masyumi dari pemerintahan menimbulkan kemarahan
kelompok-kelompok Islam radikal yang hendak mendirikan negara Islam. Pada tahun 1950,
Daud Beureu‟eh, ornag kuat Aceh dan benteng Republik dalam revolusi, me
nolak
untuk menerima suatu pekerjaan di Jakarta dan tetap bermukim di Aceh. Pada
bulan Mei 1953 ditemukan bukti bahwa dia telah menjalin hubungan dengan
Kartosuwiryo dari Darul Islam.
pihak Aceh lebih tepat diterapkan untuk Jakarta. Di Jawa Barat aktivitas Darul
Islam juga meningkat selama kabinet Ali. Darul Islam, yang telah meliputi
wilayah-wilayah pendalaman Aceh, Jawa Barat, dan Sulawesi Selatan, telah
menjadi tantangan yang bahkan semakin besar bagi pemerintah dan penguras
utama dana-dananya.
Pada tahun 1955, perhatian rakyat sementara dialihkan dari
masalah-masalah dalam negeri oleh sebuah peristiwa diplomatik yang besar, yaitu
Konferensi Asia-Afrika di Bandung. Ali menginginkan Indonesia menjadi
pemimpin aktif dari blok negara-negara Afri-Asia, suatu tujuan yang didukung
dengan hangat oleh Sukarno.
Namun, Kabinet Ali pun akhirnya tidak dapat bertahan lama, dan pada 24
juli 1955, Ali Sastroamidjojo menyerahkan mandatnya kepada Hatta, karena saat
itu Sukarno sedang menunaikan ibadah haji di Mekkah. Angkatan darat adalah
pemicu langsung jatuhnya Kabinet Ali ini, meski kemerosotan ekonomi dan
korupsi yang merajalela juga tidak dapat diabaikan.
39Selain itu NU sudah lama
merasa tidak puas dengan kebijakan kabinet dalam bidang personel, ekonomi, dan
keamanan, serta pada tanggal 20 Juli memutuskan bahwa pemerintah harus
mengundurkan diri. Karena dukungan yang diperoleh di dalam DPR tidak
mencukupi lagi, maka pemerintahan Ali mengundurkan diri empat hari kemudian.
2.2.1.5. Kabinet Burhanuddin Harahap
Setalah berlangsung perundingan yang rumit, Burhanuddin Harahap dari
Masyumi berhasil menyusun satu kabinet yang didasarkan pada dukungan
Masyumi bersama PSI dan NU. Namun pihak tentara tidak puas sepenuhnya
karena merasa banyak anggota kabinet baru tersebut sama korupnya dengan para
pendahulu mereka.
Saat pertikaian-pertikaian politik di Jakarta menjadi semakin sengit dan
ketegangan di desa-desa semakin meningkat, pemilihan umum yang lama
ditunggu-tunggu akhirnya terlaksana juga. Namun, pemilihan umum itu tidak
menghasilkan apa-apa dan, oleh karenanya, merupakan langkah lebih lanjut dalam
mendiskreditkan keseluruhan sistem parlementer. Pemilihan anggota Majelis
Konstituante dalam bulan Desember merupakan suatu antiklimaks dan
menimbulkan hasil-hasil menyeluruh yang serupa. Majelis Konstituante tidak
mengadakan sidang sampai bulan November 1956.
akan mengambil langkah-langkah lebih lanjut mengenai persetujuan-persetujuan
Meja Bundar. Akan tetapi, kebinet tidak dapat bertahan lagi setelah NU menarik
dukungannya pada bulan Januari 1956, dan akhirnya menyerahkan mandatnya
pada awal bulan Maret.
2.2.1.5. Kabinet Ali Sastroamidjojo II
Ali Sastroamidjojo sekali lagi membentuk sebuah kabinet. Ia bertekad
membentuk koalisi PNI-Masyumi-NU, sehingga ia tidak perlu tergantung pada
PKI. Pada tanggal 26 Maret, DPR yang baru bersidang, parlemen pertama dalam
sejarah Indonesia yang dapa menyatakan dirinya sebagai cerminan pilihan bebas
dari suara rakyat umum. Akan tetapi, baik parlemen baru maupun pemerintahan
yang baru tidak menunjukkan banyak wewenang, pada waktu itu hanya sedikit
rakyat Indonesia yang berpikir bahwa parlemen atau pemerintah akan berhasil.
Dalam pidato pembukaannya di depan DPR, Sukarno mengutarakan harapannya
akan suatu bentuk demokrasi yang benar-benar bersifat Indonesia. Sukarno mulai
menghendaki suatu “demokrasi terpimpin”, suatu isltilah yang telah lama dipakai
oleh sahabat lamanya, Ki Hadjar Dewantara, untuk menggambarkan pemerintahan
sekolah-sekolah Taman Siswanya.
40Struktur sosial dan politik negara kini mulai hancur. Kesulitan ekonomi
cenderung ditimpakan kepada orang Cina, dan segera gerombolan-gerombolan
massa menyerang kelompok ini. Sentiment kesukukan dan kedaerahan
menjadi
semakin jelas, yang didorong oleh perbedaan-perbedaan daerah yang terungkap di
pemilihan umum 1955. Suku-suku dari luar Jawa merasa tidak puas dengan
banyaknya orang-orang Jawa yang diangkat menduduki jabatan-jabatan
pemerintahan. di Sumatera Timur, terutama orang-orang Batak Toba menjadi
sasaran permusuhan dan beberepa orang meninggal dalam keributan massa.
Tampak terjadi jalan buntu politik di Jakarta, karena banyak orang merasa
bahwa sistem konstitusional tidak dapat dipertahankan lagi, tetapi tidak tahu
langkah apa lagi yang harus diambil. Beberapa arang menyerukan kabinet Hatta
yang baru, tetapi kerjasama antara Sukano dan Hatta sudah berakhir. Pada tanggal
20 Juli 1956, Hatta mengajukan pengunduran dirinya sebagai wakil presiden,
yang kemudian berlaku tanggal 1 Desember.
Sukarno kemudian menyatakan bahwa ia mempunyai suatu pikiran, suatu
konsepsi tenntang sebuah sistem baru, yaitu “demokrasi terpimpin”. Natsir dan
para pemimpin Masyumi lainnya menentang gagasan itu. Murba, yang hanya
mempunyai kemungkinan kecil untuk dapat mencapai gagasan itu, dan membuat
ikatan yang lebih erat dengan Sukarno. Kemudian pada tanggal 21 Februaru 1957,
Sukarno menyatakan bahwa “demokrasi terpimpin”
-nya yang baru merupakan
Saat negara Indonesia benar-benar pecah, AH Nasution mengambil
prakarsa untuk mengakhiri demokrasi parlementer. Masih tetap muncul banyak
seruan untuk membentuk kabinet Hatta. Nasution berusaha mengatur pertemuan
anatara Hatta dan Presiden, tetapi Sukarno menolak. Maka, ia mengusulkan agar
Sukarno mengumumkan keadaan darurat perang untuk seluruh Indonesia. Ini akan
menempatkan pihak militer sebagai pemegang kekuasaan di seluruh Indonesia dan
memberinya alat untuk mengurus perpecahan-perpecahan internalnya sendiri.
Usulan tersebut disetujui. Pada tanggal 14 Maret, kabinet Ali mengundurkan diri
dan Sukarno, mengumumkan keadaan darurat perang. Demokrasi parlementer,
sperti yang tleah berjalan di Indonesia akhirnya berakhir.
2.2.2. Masa Demokrasi Terpimpin
Dalam periode Demokrasi Terpimpin (1958-1966), keseimbangan politik
merupakan suatu segitiga. Sukarno sebagi pucuknya adalah Pemimpin Besar
revolusi yang memainkan politik perimbangan antara dua pendukunnya yang
utama, yakni ABRI dan PKI.
Keadaan politik “ Demokrasi Terpimpin” ditandai oleh genjala keruntuhan
sosial ekonomi masyarakat Indonesia, seperti inflasi 600%, korupsi, kemacetan
birokrasi, serba kekurangan dan sebagainya. Suasana politik yang “revolusioner”
2.2.2.1. Awal Demokrasi Terpimpin
Ditengah-tengah krisis tahun 1957, diambil langkah-langkah pertama
menuju suatu bentuk pemerintahan yang oleh Sukarno dinamakan Demokrasi
Terpimpin. Ini merupakan suatu sistem yang tidak tetap, yang dilahirkan dari
krisis dan terus menerus berubah sepanjang salah satu masa paling kacau dalam
sejarah Indonesia. Demokrasi terpimpin didominasi oleh kepribadian Sukarno,
walaupun prakarsa pelaksaannya diambil bersama dengan pimpinan angkatan
bersenjata. Dengan menampilkan dirinya ke depan dalam krisis tahun 1957, maka
ia didukung oleh para pemimpin lainnya dalam mempertahankan posisi
sentralnya.
Tampak jelas bahwa pada tahun 1957, parta-partai politik berada pada
posisi defensif, tetapi rasa saling bermusuhan terlalu berat bagi mereka untuk
bekerjasama dalam mempertahankan sistem parlementer. Pada bulan April 1957,
Sukarno mengumumkan pembentukan Kabinet Karya di bawah seorang politikus
non-partai, yaitu Djuanda Kartawidjaja sebagai perdana menteri. Selain itu
Sukarno juga mengangkat tiga orang sebagai wakil perdana menteri, yaitu Hardi
dari PNI, Kyai Haji Idham Chalid dari NU, dan Dr. Johannes Leimena dari Partai
Kristen. Kemudian pada bulan Mei 1957 dibentuklah Dewan Nasional yang terdiri
atas 41 wakil „golongan karya‟ (pemuda, tani, buruh, wanita, cendikiawan, agama,
wakil ketuanya, Roeslan Abdulgan, yang tampil sebagai arsitek ideology
demokrasi terpimpin.
Lagkah Sukarno bertindak menjadi formatur Kabinet yang disebutnya
“kabinet kerja darurat ekstra parlementer”, lalu mengangkat kabinet Djuanda
mendapat reaksi keras dari Hatta. Ia menyatakan bahwa tindakan Sukarno itu
telah melanggar pasal-pasal UUDS 1950. Sebaliknya menurut ketua DPR
Sartono, cara Presiden Sukarno yang menunjuk dirinya sebagai formatur kabinet
itu memang bertentangan dengan UUDS 1950, tetapi dapat dibenarkan karana
“negara dalam keadaan bahaya”. Sama halnya dengan pendapat Ketua Mahkamah
Agung Wirjono Prodjodikoro yang menganggapnya melanggar UUDS 1950
karena keadaan memaksa. Dari hal ini, dapat dilihat keretakan hubungan Sukarno
dan Hatta.
Tidak
diterimanya
tuntutan
daerah-daerah
itu
membangkitkan
pembangkangan yang memuncak. Dan ketika Sukarno melakukan perjalanan ke
luar negeri, para penglima pemberontak Sumatera dan Sumual dari Sulawesi
bertemu dengan para pemimpin politik seperti Natsir, Sjafruddin Prawiranegara,
Burhanuddin Harahap, dan Sumitro Djojohadikusumo di sungai daerah. Mereka
berencana membentuk pemerintahan alternatif Indonesia yang berpusat di
Bukittinggi. Sjafruddin kemudian ditunjuk sebagai Perdana Menteri.
Langkah mereka selanjutnya adalah menyampaikan ultimatum ke Jakarta,
pada 10 Februari 1958, dengan tuntutan agar kabinet PM Djuanda mengundurkan
diri, dan dibentuk kabinet kerja yang akan bekerja hingga pemilu mendatang.
Ultimatum itu tidak satupun ditanggapi pemerintah pusat hingga batas akhir 15
Februari 1958, sehingga mereka akhirnya menegaskan bahwa mereka terbebas
dari kewajiban taat kepada Ir. Sukarno sebagai Kepala Negara. Kemudian mereka
membentuk Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI).
juga menyatakan kesediannya untuk menjadi Perdana Menteri dari suatu kabinet
presidensil jika Sukarno beralih menjadi Presiden yang konstitusional.
41Sementara itu konstituante (MPR) mulai bersidang sejak Desember 1956
untuk melakukan reformasi konstitusional. Tapi ketika pemerintah memasukkan
gagasan diberlakukannya UUD ‟45, perdebatan ke arah apakah akan memberikan
penagakuan lebih besar terhadap Islam dengan memasukkan Piagam Jakarta
ataukah hanya tetap mempertahankan Pancasila. Sidang Konstituante pun buntu.
Pemungutan suara tidak pernah menghasilkan suara mayoritas. Di tengah
kebuntuan konstituante ini KSAD Letjen AH Nasution atas nama
Pemerintah/Penguasa Perang Pusat (Peperpu) pada 3 Juni 1959 dengan peraturan
No. Prt/Peperpu/040/1959 melarang semua kegiatan politik untuk sementara
waktu.
Setelah pemerintah mengusulkan kepada Konstituante agar mengesahkan
kembalinya UUD 1945, dan ternyata Konstituante tidak mendukung hal ini, atas
saran KSAD dan ketua umum PNI Suwirjo, Presiden Sukarno yang baru tiba di
tanah air 29 Juni 1959 dari perjalanan ke luar negeri selama dua bulan,
mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 untuk kembali kepada UUD ‟45
sekaligus membubarkan Konstituante. Sejak saat itu berlakulah demokrasi
terpimpin. Rentetan selanjutnya dikeluarkanlah Penetapan Presiden No.7 Tahun
1959 tentang Syarat-syarat dan Penyederhanaan Kepartaian, tertanggal 31
Desember 1959. Penpres No.7 juga mencabut Maklumat Pemerintah (Wakil
Presiden) 3 November 1945 tentang ajuran membentuk partai-partai.
Pada peringatan proklamasi 17 Agustus 1959, Sukarno menyampaikan
pidato berjudul “Penemuan Kembali Revolusi Kita”. Dalam pidato itu, Sukarno
menyatakan dengan tegas bahwa liberalisme dan individualisme gaya barat harus
di buang. Hasil pidato itu kemudian dirumuskan menjadi Garis-Garis Besar
Haluan Negara Manifesto Politik (GBHN Manipol) Republik Indonesia.
Manifesto itu merupakan realisasi dari konsepsi Presiden yang mencakup lima
prinsip, yaitu Undang-Undang Dasar 1945, Sosialisme ala Indonesia, Demokrasi
Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia (USDEK)
42Konflik parlemen dan Sukarno semakin jelas di tahun 1960, yang ditandai
dengan ditolaknya Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN)
oleh DPR peralihan, yang dibentuk dengan Penpres No.1/1959 ini. Saat itu
Pemerintah mengajukan APBN sebesar Rp 44 miliar, akan tetapi DPR hanya
menyetujui Rp36-38 miliar saja. Dengan penolakan APBN itu, Presiden akhirnya
membubarkan DPR dengan istilah dibekukan kegiatannya pada 27 Maret 1960,
melalui Penpres No.3 tahun 1960. Kemudian DPR diganti dengan parlemen baru
yang diberi nama Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR),
berdasarkan Penpres No.4/1960 tentang Susunan Dewan Perwakilam Rakyat
Gotong Royong. Keanggotaan DPR-GR ini tidak mengikutsertakan wakil-wakil
Masyumi, PSI, maupun IPKI (parpol bentukan AD), karena partai-partai tiu
42
menolaknya. Separuh anggota DPR-GR mewakili anggota fungsional yang sejak
itu popular disebut Golongan Karya.
Protes keras mewarnai sikap Sukarno ini. Dan pada April 1960, ketika
Sukarno berada di luar negeri, terbentuk Liga Demokrasi atas prakarsa Masyumi
dan PSI, yang mendapat dukungan IPKI, beberapa anggota dari NU dan Partai
Kristen. Hatta juga memberikan dukungan tidak langsung kepada Liga
Demokrasi, kendati bersikap skeptic terhadap aktivitasnya. Bentuk dukungan
Hatta diwujudkan dengan menulis artikel, “Demokrasi Kita” sekaligus merupakan
kritikan terbuka terhadap kebijakan Sukarno, dan mulai menyebut Sukarno
sebagai diktator.
Angkatan sendiri terpecah dalam soal sikap mereka untuk mendukung
Liga Demokrasi atau tidak. Sebagian pemimpin Liga Demokrasi membujuk
tentara untuk mengambil alih kekuasaan dari tangan Sukarno. Tetapi cara ini
ditolak tegas. Dan ketika Sukarno kembali ke tanah air, aktivitas Liga Demokrasi
pun surut dengan cepatnya.
PSI dalam aksi pemberontakan (PRRI/Permesta), ia pun tidak bisa lagi selain
menerima keputusan pemerintah membubarkan Masyumi dan PSI.
43Krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1964 menuntut pemerintah
berkonsentrasi penuh dalam masalah ekonomi. Dewan Perancang Nasional
(dibentuk menurut UU No.80/1958, diundangkan 31 Oktober 1958) yang diketuai
Muhammad Yamin menghasilkan Rencana Umum Delapan Tahun. Sebagai
slogan
pendukung,
Sukarno
menegaskan
ekonomi
Berdikari
sebagai
pengejawantahan ekonomi terpimpin.
Krisis ekonomi pada tahun 1964 telah membuat semua orang sangat
gelisah dan bingung. Konfrontasi dengan Belanda mengenai Irian Barat berkahir
dengan kemenangan Indoensia dan perdamaian dengan Belanda. Amerika
menjanjikan suatu program pemulihan ekonomi Indonesia yang disebut DEKON
(Deklarasi Ekonomi). Sukarno menyebutnya sebagai paralel pada istilah dan
konsepsi deklarasi politiknya, pada pertengahan 1950-an, yang melahirkan
Demokrasi Terpimpi dan berlainan dengan Manipol (Manifesto Politik). Dekon
tidak mengalami masa yang panjang karena kandas setelah beberapa bulan dan
tidak pernah dimulai. Hal ini disebabkan konfrontasi dengan Malaysia dan proyek
NEKOLIM (Neo Kolonialisme).
44Ada banyak proyek yang kemudian disebut proyek mercusuar, seperti
ASIAN Games, Stadion Senayan, Hotel Indonesia, Conefo, Ganefo dan lain-lain.
namun demikian, proyek mercusuar yang paling mahal adalah konfrontasi.
43
Ibid, Hlm: 284-286.
44
Dengan sendirinya, semua ini mengakibatkan deficit anggaran belanja yang
kronis, sistem perpajakan pribadi adalah “nol” dan inflasi yang mencapai ratusan
persen , pemotongan uang dan lain-lain yang tidak menolong apa-apa.
Semakin parahnya krisis ekonomi, membuat Sukarno meminta bantuan
Hatta. Sayangnya keinginan kuat Sukarno ini telah dipolitisir pihak-pihak yang
tidak menyukai Hatta aktif kembali. Selain itu, dimasa ini PKI sedang
kuatkuatnya dan besar pengaruhnya terhadap Sukarno. Hal ini pula yang menjadi
faktor penghalang Sukarno bisa bekerjasama dengan Hatta dalam mengatasi krisis
ekonomi.
Disisi lain, Sukarno semakin merasa tentara dengan kosesi-kosesinya itu
mulai mengurungnya. Sehingga PKI menjadi pegangan Sukarno, mengingat
hubungan yang buruk antara PKI dan tentara. Kedekatan Sukarno dan PKI mulai
mengkahwatirkan aliran-liran lain. Mereka berusaha menjauhkan Sukarno dari
PKI. Seperti misalnya, Partai Murba mendirikan Barisan Pendukung Sukarno
pada Agustus 1964. Tapi, pengaruh Partai Murba yang dipelopori oleh Adam
Malik dan Chaerul Saleh tidak terlalu kuat.
membangun citra partainya lebih nasionalis. Aidit menyatakan PKI menolak
tongkat komando partai komunsia manapun dan sikap ini akan membuat PKI
mudah diterima oleh aliran lain
45Ide Nasakom telah dirintis Sukarno sejak Agustus 1960, ketika ia
membentuk Dewan Pusat sebuah Front Nasional, yang dimaksudkan untuk
mencakup seluruh aliran politik dalam masyarakat dari golongan-golongan
Nasionalis, Agama, dan Komunis. Bahkan bila dirunut ke belakng, ditemukan
bahwa ide mengenai Nasakom ini merupakan buah pikirnya sejak tahun 1926
yang saat itu dilahirkan lewat artikelnya, “Nasionalism
e, Islamisme, dan
Marxisme”, yang membuka kemungkinan diadakannya suatu sintesa terhadap
seluruh aliran yang ada di tanah air. Konsep itu ia peras menjadi satu kata, yaitu
Nasakom.
Konsep Nasakom sendiri mencoba memadukan unsur Nasionalis, Agama ,
dan Komunis. Konsep yang sangat ideal bahkan sangat utopis, tetapi dapat
dipastikan tidak akan mungkin dilaksanakan. Konsep itu dimanfaatkan
seluas-luasnya oleh PKI dengan cara mendominasi keadaan. Front Nasional yang
didirkan pada tahun 1963 disusupi oleh kader-keder mereka. Selain itu Sukarno
mengutuk pula pernyataan yang mengutuk sikap komunistophobia yang tumbuh
di tengah-tengah masyarakat. Beliau menyatakan adalah suatu dosa revolusi bagi
mereka-mereka antikomunis.
46
45
Ibid, Hlm: 288.
46
Dengan Nasakom, Sukarno berniat menyatukan seluruh aliran yang ada
demi mencapai tujuan bersama, yaitu masyarakat yang adil dan makmur.
Disamping itu, Sukarno bermaksud untuk menciptakan keadaan dimana PKI tidak
berada dalam oposisi yang membahayakan dan ikut betanggung jawab terhadap
kehidupan pemerintahan bersama golongan nasionalis dan agama. Akan tetapi,
rupanya Sukarno terlalu mengandalkan PKI dan Angkatan Bersenjata sebagai
penopang demokrasi terpimpinya, termasuk upaya nasakomisasi. Tapi, sayangnya
keinginannya menjadi penengah dari kedua golongan yang saling berseteru keras
itu akhirnya malah menjadi boomerang berbalik menghancurkannya dirinya kelak.
Hubungan Sukarno dan tentara mulai terganggu. Pasalnya, dengan konsep
Nasakomnya Sukarno yakin akan diterima oleh semua kalangan, termasuk
upayanya yang tak kenal lelah mendamaikan AD dan PKI, lalu melakukan
manuver di ketentaraan. Ia ingin melemahkan posisi Nasution, sebab Nasution
dinilai memiliki potensi berbalik menentangnya. Oleh karena itu, Sukarno
menunjuk Nasution sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan (Menhankam),
pada 1957, sebagai upaya menjauhkan Nasution dari pasukannya dengan cara
mencopot dia dari jabatan KSAD. Akan tetapi, Nasution menuntut dengan keras
agar ia tetap merangkap kedua jabatan tersebut.
operasi militer di Indonesia. Karena adanya desa-desus tersebut, Sukarno
kemudian menyelenggarakan konfrensi militer para perwira, termasuk AH
Nasution dan Ahmad Yani, untuk menegaskan bahwa pasukan militer harus
menganut Nasakom. Tapi permintaan Sukarno ini ditanggapi secara dingin. Dan
kemarahan pemimpin AD terjadi setelah Sukarno melontarkan gagasan Angkatan
Kelima, yang dicurigai sebagi upaya mempersenjatai kaum buruh dan petani
dengan bantuan RRC.
Struktur sosial, politik, dan ekonomi bangsa Indonesia hampir runtuh.
Inflasi sangat tinggi, dengan harga-harga barang naik sekitar 500% selama tahun
itu. Diduga harga beras pada akhir tahun 1965 naik sebesar 900% setiap tahun.
Kurs pasar gelap untuk rupiah terhadap dolar Amerika jatuh dari Rp 5.100,00
pada awal tahun menjadi Rp 17.500 pada kuartal ketiga tahu itu dan Rp 50.000
pada kuartal keempat. Sejak akhir bulan September, dengan berkumpulnya
puluhan ribu tentara di Jakrta dalam rangka mempersiapkan peringatan Hari
Angkatan bersenjata pada tanggal 5 Oktober, dugaan-dugaan tentang akan
terjadinya kudeta menjadi semakin santer. Pada tanggal 27 September, Yani
akhirnya mengumumkan bahwa Angkatan Darat menentang pembentukan
Angkatan Kelima atau nasakomisasi militer dalam artian struktural.
Yani, Parman, dan empat orang jenderal senior Angkatan Darat lainnya dari
rumah-rumah mereka di Jakarta. Kudeta yang diusahakan itu menampakkan
ketidakcakapan dan kekacauan yang luar biasa. Yani dan dua orang jenderal
lainnya dibunuh di rumah mereka karena melawan ketika hendak ditangkap.
Nasution berhasil meloloskan diri serta melewatkan sisa malam itu dan sebagian
esok harinya di tempat persembunyian, tetapi putrinya yang baru berusia 5 tahun
tertembak dan kemudian wafat pada tanggal 6 Oktober dan salah seorang
ajudannya ditangkap. Ajudan ini, mayat ketiga jenderal tadi, dan tiga orang
jenderal lainnya berhasil ditangkap hidup-hidup dibawa menuju Halim. Disana,
Parman dan ketiga orang tawanan lain yang masih hidup itu dibunuh secara
kejam. Kemudian ketujuh mayat itu dimasukkan ke dalam sebuah sumur yang
sudah tidak terpakai lagi.
menjebak
PKI
dengan
cara
tertentu
sebagai
pembenaran
untuk
menghancurkannya.
47Setelah memegang Supersemar (Surat Perintah 11 Maret), Soeharto sendiri
mulai melakukan pembersihan. Di tubuh militer terjadi pembersiha besar-besaran,
begitu pula pejabat di berbagai departemen dan daearah-daerah. Panglima
Angkatan Udara Sri Mulyono Herlambang digantikan oleh Rusmin Nurjadinm
akhir Maret 1966. Lau, 306 orang perwira ditahan, termasuk Oemar Dhani dan
Herlambang. Pembersihan juga dilakukan di Angkatan Laut dan Kepolisian.
Pengawal Istana, Tjakbirawa, dibekukan. Sedangkan sebanyak 15 menteri
ditangkap.
Dalam bidang politik, Soehato mulai merasuki partai-partai politik,
termasuk PNI yang merupakan partai terbesar. Tapi, ia tidak ingin membubarkan
PNI, karena jika itu dilakukan , Soeharto khawatir PNI akan bersekutu dengan
PKI bawah tanah. Lagi pula, PNI diperlukan sebagai partai pengimbang untuk
mengahadapi
kekuatan
Islam
secara
politis.
Maka,
Soeharto
tetap
mempertahankan PNI, tapi dengan mengganti pimpinan yang bisa diatur olehnya.
Sementara itu Soehato menyadari bahwa Supersemar hanya secarik kertas,
yang sebetulnya tak punya kekuatan apa-apa jika sewaktu-waktu dicabut kembali.
Karena itu perlu dibuatkan Tap MPRS agar punya legitimasi yang kuat. Agar
Supersemar mendapakan dukungan konstitusional, Soeharto mengundang MPRS
bersidang, akhir Juni 1966. Dalam sidang MPRS itu, Soeharto menetapkan RI
47
kembali ke UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Ia juga memerintahkan
mencabut ketetapan MPRS tahun 1963 yang mengangkat Sukarno sebagai
Presiden seumur hidup dan menyatakan gelar “Pemimpin Besar Revolusi”
terhadap Sukarno tidak memiliki kekuatan hukum. Selain itu dalam sidang MPRS
ini, Jenderal AH Nasution diangkat menjadi Ketua MPRS, dan pada 5 Juli 1966 ,
MPRS mengeluarkan ketetapan Soehato sebagai Pengemban Supersemar diberi
wewenang membentuk kabinet.
Di bawah UUD 1945, presiden bertanggung jawab kepada MPRS. Kini
jumlah naggota MPRS berkurang akibat penahanan sekitar 180 anggotanya, dan
sentiment anti-Sukarno meningkat di kalangan anggota MPRs yang tersisa. MPRS
meratifikasi Supersemar, melarang PKI, mengharamkan Marxisme sebagai
doktrin politik, mnuntut pemilu diadakan tahun 1968, dan mendesak Sukarno
untuk memberikan penjelasan tentang pelnggaran susila, korupsi, dan
mismanajemen ekonomiyang dilakukan pemerintahan demokrasi terpimpin dan
tentang peran Sukarno dalam usaha kudeta pada tahun 1965. Sukarno juga
dilarang utnuk mengeluarkan kepeutusan presiden.
sehingga MPRS perlu meminta Presiden Sukarno untuk melengkapi pidato
pertanggungjawabannya.
48Dalam pidato peringatan 17 Agustus 1966, Sukarno ternyata masih
memperlihatkan sikap yang tidak meyerah terhadap desakan orang-orang
Soeharto-Nasution di AD. Bahkan Sukarno terkesan menentang Soeharto untuk
menguji kepopulerannya, dan menganjurkan diadakan pemilihan umum sebagai
satu-satunya cara demokratis untuk mengetahui keinginan rakyat.
Sementara itu, tekanan politik domestik semakin mendekati puncaknya.
Kesaksian dalam beberapa pemeriksaan pengadilan oleh Mahmillub menuduh
Sukarno terlibat dalam usaha kudeta 1965. Subandrio dan Omar Dhani divonis
mati, berturut-turut pada bulan Oktober dan Desember 1966. Pada bulan
Desember 1966, Sudisman ditangkap dan divonis mati pada bulan Juli 1967,
kemudian dieksekusi pada tahun 1968. Pada bulan Januari 1967, perwira militer
tertinggi yang terlibat dalam usaha kudeta, Brigjen Suparjo ditemukan, dan pada
bulan Maret dia divonis mati. Pada bulan itu juga, Sjam diatngkap, dan dengan
demikian, Orde Baru mendapatkan sumber paling penting tentang bagaimana
rencana kudeta disusun. Menurut laporan, Sjam ditahan dan diperiksa secara
regular untuk memperoleh informasi tentang rencana kudeta tersebut, sampai
akhirnya ia dieksekusi pada tahun 1968. Mahasiswa, pengacara, dan hakim mulai
menuntut agar Sukarno juga diseret ke pengadilan.
48
Soeharto kini melakukan langkah terakhirnya menuju kemenangan politik
dalam negeri dan percaya bahwa inilah saat yang paling memungkinkan untuk
menyingkirkan sang presiden. Ia menunjuk anggota baru parlemen (DPR-GR)
untuk mengganti para anggota yang telah disingkirkan, dan menggelar sidang
MPRS pada bulan Maret 1967. Ditengah-tengah rumor bahwa korps marinir
angkatan laut, polisi, dan Divisi Brawijaya akan tetap mendukung Sukarno, serta
dengan 80.000 pasukan yang menduduki Jakarta, pada 12 Maret MPRS
menanggalkan semua kekuasaan dan gelar Sukarno serta mengangkat Soeharto
sebagai pejabat presiden. Beragam ideologi Sukarno dinyatakan tidak lagi
menjadi ideologi negara, yang direduksi menjadi pancasila saja. Soeharto diberi
kekuasaan untuk menentukan apakah Sukarno harus dibawa ke pengadilan, tetapi
ia tidak pernah menuntut pendahulunya itu karena khawatir tindakan ini akan
memobilisasi sisa-sisa pendukung Sukarno. Presiden pertama Indonesia secara
de
facto
pension dengan status tahanan rumah dan diisolasi di Istana Bogor; ia tetap
berada di sana hingga wafatnya pada bulan Juni 1970. Soeharto menguasai
Indonesia secara penuh.
49
49
2.3. Isi Pidato Kenegaraan Presiden Sukarno tanggal 17 Agustus 1966
Assalamualaikum warrahmatullahi wabarakatuh! Merdeka!
Saudara-saudara, sekalian,
Hari adalah tanggal 17 Agustus 1966! Hari ulang tahun ke-21 daripada Republik kita. Pada hari ini Republik kita genap berusia dua puluh satu tahun, atau lebih dari 1000 minggu!
Kita bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa bahwa Ia telah melindungi dan menuntun negara dan bangsa kita, hingga kita dengan selamat telah sampai kepada hari yang berbahagia sekarang ini. Dan moga-mogalah lindunganNya dan tuntunanNya itu tetap dikuniakan kepada negara dan bangsa kita dalam memasuki tahun yang ke-22 dari kehidupannya dan selanjutnya. Lindungan dan tuntunan Tuhan itu sangat kita perlukan, dan sangat kita mohonkan. Sebab, tiada sesuatu berjalan selamat tanpa rida-Nya Tuhan Yang Mahakuasa dan masa depan yang akan kita masuki sudahlah menampakkan gejala-gejala yang menunjukkan akan datangnya masa yang lebih berat.
Ya, lebih berat! Bukan saja oleh gejala-gejala dari luar memang telah menunjukkan akan tambahnya gangguan imperialisme kepada kita sebagai bangsa dan negara, tetapi juga oleh karena dari dalam, dari dalam sebagai terjadi pada tiap-tiap revolusi, berbangkit beberapa hal yang anti. Dan oleh karena tambahnya beratnya barang sesuatu memang sudah kodratnya sekalian hidup. Makin kita bertambah dewasa, makin besar, dan makin beratlah tugas-tugas dan tanggungan-tanggungan yang kita pikul di pundak kita.
Maka justru karena tanggung jawab itulah kita harus bekerja terus dan berjuang terus. Berjuang terus, kalau perlu mati-matian, ya berjuang terus-ever onward, never retreat.50
Pada tiap-tiap 17 Agustus saya kembali berhadapan muka dengan saudara-saudara yang berada di Jakarta ini,
Dan melalui corong radio saya juga berhadapan suara dengan sekalian saudara di seluruh tanah air dan di luar tanah air. Berhadapan suara dengan rakyat di Jawa Barat, rakyat Jawa Tengah, rakyat Jawa Timur, rakyat Bali, rakyat Kalimantan, rakyat Sulawesi, rakyat Maluku, Rakyat Sumatra, rakyat Irian, dan lain-lain. Berhadapan dengan semua buruh dan tani, semua prajurit-prajurit daripada angkatan bersenjata, arek-arekku yang memanggul bedil. Berhadapan dengan suara dengan semua Putera Revolusi! Berhadapan dengan seluruh rakyat Indonesia antar Sabang dan Merauke, dan rakyat Indonesia di perantauan! Dan saya yakin bahwa saya bukan berhadapan suara saja. Lebih daripada itu. Saya juga berhadapan semangat dengan Saudara-saudara, terlebih-lebih dengan Saudara-saudara yang benar-benar revolusioner, de echte revolutionnairen yang benar-benar reprogresif revolusioner dan bukan retrogresif revolusioner. Dan karena berhadapan semangat, maka kita mencapai persatuan semangat, persatuan batin, persatuan rasa, persatuan kesadaran, persatuan tekad.
Untuk apa? Untuk mengabdi kepada kemerdekaan, untuk mengabdi kepada tanah air dan bangsa dan negara! Untuk mengabdi dan menjadi pejuang revolusi. Persatuan semangat, persatuan batin, persatuan rasa, persatuan kesadaran untuk menyelesaikan revolusi kita, ya, revolusi kita, sekali lagi revolusi kita yang belum selesai ini.
Saya tidak hanya berhadapan dengan rakyat Indonesia saja, saya sekarang ini berhadapan juga dengan seluruh dunia dengn seluruh umat manusia.
Memang tiap-tiap 17 Agustus seluruh dunia dan seluruh umat manusia mengarahkan perhatiannya kepada Jakarta, karena mereka pun ingin mengetahui apa yang akan dikatakan oleh Jakarta pada Hari Ulang Tahun
50
Republiknya. Pada tiap-tiap 17 Agustus seluruh dunia mengikuti dengan cermat Pidato Ulang Tahun Republik Indonesia dari Presiden untuk dapat mengetahui perasaan bangsa Indonesia, untuk dapat menjajaki perhitungan ke belakang dan garis kebijaksanaannya ke depannya daripada Republik Indonesia. Teristimewa pada hari ini, pada saat Repubilik Indonesia telah meninggalkan tahun 1965 dan menjalani tahun 1966, tahun 1965 dan 1966 yang telah menggemparkan kita dan menggemparkan seluruh dunia itu, dan terutama sekali tahun 1966 ini, yang oleh orang dalam negeri malahan
dinamakan “tahun gawat”. Dan pada hari ini, mata telinga mereka pun
mengincar kepada saya, kepada saya. Pikir mereka itu, bagaimana Republik Indonesia sekarang sudah mendapat hantaman dan gempuran bertubi-tubi? Dan bagaimana Soekarno yang telah mendapat sodokan bertubi-tubi itu pula? Ya, bagi kita terus terang saja, dua puluh satu tahu ini adalah dua puluh satu tahun yang penuh penderitaan dan penuh pengorbanan, duapuluh satu tahun yang penuh pengalaman, pengalaman yang kadang-kadang hitam dan pahit, tetapi kadang-kadang pengalaman yang juga cemerlang laksana matahari di pagi hari. Duapuluh satu tahun penggemblengan diri, duapuluh satu tahun penempaan rasa harga diri dan percaya kepada diri sendiri, duapuluh satu tahun pembajaan resa kepada kemampuan dan kepribadian bangsa sendiri. Pendek kata, duapuluh satu tahun pembangunan bangsa dalam badai topannya ketidakdewasaan dalam negeri dan badai topannya reaksi dari luar negeri. Sudah barang tentu, sudah barang tentu, dus reaksi kini makin-makin meneropong kita, makin memperhatikan kita (memperhatikan dalam arti jahat)!
Apalalgi kataku tadi, dalam tahun 1966 ini! Tahun 1966 ini kata mereka, ha, eindelijk, eindelijk, at long last,51 Presiden Soekarno telah dijambret oleh rakyatnya sendiri, Presiden Soekarno telah di-coup; Presiden Soekarno telah dipreteli segala kekuasaannya, Presiden Soekarno telah ditelikung oleh satu triumvirat yang terdiri dari Jenderal Soeharto, Sultan Hamengkubuwono, dan Adam Malik. Dan itu Surat Pertintah 11 Maret, kata mereka, bukankah itu penyerahan kepada Jenderal Soeharto? Dan, tidakkah
51
pada waktu sidang MPRS yang baru lalu, mereka, reaksi, musuh-musuh kita, mengharap-harapkan, bahkan menghasut-hasut, bahkan menujumkan bahwa sidang MPRS itu sedikitnya akan menjinakkan Soekarno, atau akan mencukur Soekarno sampai gundul sama sekali, atau akan mendongkel Presiden Soekarno dari kedudukannya semula? Kata mereka, dalam bahasa mereka, The MPRS session will be the final settlement with Soekarno, artinya sidang MPRS ini akan menjasi perhitungan terakhir –laatste afrekening- dengan Soekarno.
Surat Perintah 11 Maret itu mula-mula, dan memang sejurus waktu, membuat mereka bertampik sorak-sorai kesenangan. Dikiranya SP 11 Maret itu satu transfer of authority. Padahal tidak! SP 11 Maret adalah satu perintah pengamanan. Perintah pengamanan jalannya pemerintah, pengamanan jalannya any pemerintahan, demikian katakau pada waktu melantik cabinet. Kecuali itu juga perintah pengamanan keselamatan pribadi Presiden. Perintah pengamanan wibawa Presiden. Perintah pengamanan ajaran Presiden. Perintah pengamanan bebrapa hal. Jenderal Soeharto telah mengerjakan perintah itu dengan baik. Dan saya mengucap terimakasih kepada Jenderal Soehato akan hal itu. Perintah pengamanan, bukan penyerahan pemerintah! Bukan transfer of authority!
Mereka, musuh, sekarang kecele sama sekali. Dan sekarang pun, pada hari proklamsi sekarang ini, mereka kecele lagi. Lo, Soekarno masih Presiden! Lo, Soekarno masih Pemimpin Besar Revolusi! Lo, Soekarno masih Mandataris MPRS! Lo, Soekarno masih Perdana Menteri! Lo, Soekarno masih berdiri di mimbar ini!
Ya, saudara-saudara sekalian, Republik Indonesia, -ia betul-betul laksana perahu yang mengarungi samudra topan yang amat dahsyat.
O, bahtera kita yang berani. Duapuluh satu dibanting, diangkat, dibanting, diangkat, dibanting, diangkat, tetapi tidak pernah satu detikpun tenggelam, tidak pernah satu detik pun putus asa.
Saudara-saudara kaum revolusioner sejati, kita berjalan terus, ya kita berjalan terus, berjuang terus, kita tidak akan berhenti. Kita berjalan terus, berjalan terus, menuju terus pada sasaran-tujuan seperti diamanatkan oleh Proklamasi 17 Agustus 1945 beserta anaka kandungnya yang bernama Deklarasi Kemerdekaan yang tertulis sebagai Mukadimah Undang-Undang Dasar 1945.
Di dalam Resopim telah saya tandaskan dan gamblangkan cetusan tekad nasional kita itu, cetusan segala kekuatan nasional secara total, cetusan isi jiwa nasional sedalam-dalamnya. Pendek kata, dalam Resopim itu saya telah memberikan Darstellung52 daripada deepest innerself kita. Dwitunggal Proklamasi dan Deklarasi adalah sasaran-tujuan perjuangan kita yang jalas, tandas, terang, gambling! Ia adalah pegangan hidup, tujuan hidup, falsafah hidup, rahasia hidup, ya pengayoman hidup daripda revolusi kita.
Di bawah sinar surya Dwitunggal Proklamsi dan Deklarasi itu kita berjalan, dibawah sinar surya Dwitunggal Proklamasi dan Deklarasi itu kita berjuang membangun National Dignity (harga diri nasional), dan Perumahan Bangsa kita, yaitu Republik Indonesia yang kita cintai ini. Di bawah sinar surya itulah kita menuju kepada penyelesaian revolsi besar kita. Berkat Dwitunggal Proklamasi dan Deklarasi itulah kita, seluruh rakyat Indonesia, tidak pernah sedikitpun putus asa, tidak pernah sediktpun patah semangat. Sebab, bermacama-macam godaan beraneka ragam tamparan perjuangan dalam menegakkan revolusi itu, adalah memang sudah inhaerent kepada sesuatu revolusi, embel-embel daripada sesuatu revolusi.
Cobalah Saudara-saudara, kita sejenak mawas diri dan menengok ke belakang sejak kita merayakan Hari Ulang Tahun Republik Indonesia tahun yang lalu. Dengan terjadinya Gestok pada tahun yang lalu, betapa hebatnya palu godam cobaan dan godaan perjuangan yang telah menghantam kesatuan badan, kesatuan jiwa revolusi kita. Gelombang dahsyat telah membanting
52
kepada keutuhan badan dan jiwa rakyat kita, sampai hampir-hampir