• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Wacana Kritis Terhadap Pidato Kenegaraan Presiden Soekarno pada Tanggal 17 Agustus 1966

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Wacana Kritis Terhadap Pidato Kenegaraan Presiden Soekarno pada Tanggal 17 Agustus 1966"

Copied!
4
0
0

Teks penuh

(1)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTASI ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU POLITIK

FARAH ANNISA HARAHAP (110906011)

ANALISIS WACANA KRITIS TERHADAP PIDATO KENEGARAAN PRESIDEN SUKARNO PADA TANGGAL 17 AGUSTUS 1966

Rincian Isi Skripsi, 168 halaman, 2 tabel, 1 gambar, 27 buku, 2 jurnal, 2 skripsi,situs internet

ABSTRAK

Penelitian ini mencoba menjelaskan tentang wacana yang terdapat dalam pidato kenegaraan Presiden Sukarno pada tanggal 17 Agustus 1966. Pidato kenegaraan menarik untuk diteliti karena pidato kenegaraan itu disampaikan secara luas dan merupakan keterangan resmi Presiden yang memuat berbagai tanggapan masalah yang muncul. Dengan demikian, pidato kenegaraan merupakan variasi resmi dari jargon, janiji, sarana untuk menyampaikan masalah atau prestasi yang telah dilakukan. Pidato kenegaraan ini merupakan satu-satunya pidato kenegaraan yang disampaikan pada rentang masa peralihan kekuasaan. Setelah pemberontakan 30 September, pamor dan kejayaan Sukarno semakin menurun. Untuk itu melalui pidato kenegaraan, Sukarno membangun kembali citranya dan berusaha menarik simpati rakyat Indonesia.

Penelitian ini menggunakan metode analisis wacana kritis. Analisis wacana kritis digunkan untuk membedah teks atau bahasa, baik yang terdapat pada teks median ataupun teks yang berasal dari peristiwa komunikatif seperti pidato dan retorika. Dala penelitian ini, masalah akan dijelaskan melalui analisis wacana perspektif Michael Foulcault, Teun van Dijk dan teori diskursus Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe. Pandangan Foulcault ini dapat menjelaskan bagaimana relasi kekuasaan yang terbentuk ketika Presiden Sukarno membacakan pidato tersebut. Relasi tersebut dapat dilihat bagaimana Sukarno dengan kekuasaannya membentuk sebuah wacana melalui pidatonya. Selain itu, Sukarno juga menggunakan bahasa dalam pidatonya untuk mengartikuasikan kekuasaan. Perspektif van Dijk digunakan untuk mengkaji bagaimana pemikiran Sukarno serta wacana apa yang ingin dibangun dengan memperhatikan kata dan gaya bahasanya. Sementara teori diskursus Laclau digunakan untuk menjelaskan Antagonisme yang ada di dalam wacana tersebut. Setelah itu, akan diketahui bagaimana wacana tersebut dapat terbentuk dan kemudian menjadi wacana yang hegemonic.

(2)

Crucial Period menjadi kata kunci dalam membentuk wacana ini. Wacana ini disampaikan dengan mereview masa lalu yang ia sebut dengan crucial period.

Crucial period ini tidak lain adalah masa pemerintahan demokrasi liberal. Dalam menyampaikan pidato ini, Demokrasi Terpimpin merupakan solusi dari crucial period tersebut, karena Demokrasi Terpimpin merupakan demokrasi Pancasila dan demokrasi Indonesia asli. Dari sini, dapat dilihat bahwa adanya antagonism yang terjadi antara Demokrasi Liberal dan Demokrasi Terpimpin. Wacana ini dapat terbentuk karena myth yang mempengaruhi pribadi Sukarno. Mitos ini merupakan imajinasi tentang dirinya dan pemikiran-pemikirannya. Kemudian wacana ini dapat menjadi sebuah wacana yang hegemonik, karena wacana ini disampaiakan dalam situasi yang antagonistic. Demokrasi Terpimpin yang Sukarno sampaikan dalam pidato ini dikonfrontasi dengan Demokrasi Liberal, sehingga masyarakat kemudian menjadi membandingkan kedua bentuk demokrasi ini. Pada akhirnya, wacana ini menjadi sebuah perdebatan. Maka, wacana „Demokrasi Terpimpin merupakan demokrasi Pancasila dan Demokrasi Indonesia asli, telah berhasil menjadi wacana yang hegemonik.

(Kata Kunci: Pidato, Wacana, Kekuasaan, Hegemoni)

(3)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FACULTY OF SOCIAL AND POLITICAL SCIENCE DEPARTEMENT OF POLITICAL SCIENCE

FARAH ANNISA HARAHAP (110906011)

CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS TOWARDS THE STATE SPEECH OF PRESIDENT SUKARNO ON AUGUST 17 1966

Content : 168 pages, 2 tables, 27 books, 2 journals, 2 thesis, 2 websites.

ABSTRACT

This research was trying to explain about the discourse that is within the presidential speech of President Sukarno on August 17 1966. The presidential speech was interesting to be researched because that speech was delivered widely and that was an official statement from President which was contained variation of issues. Thus, the state addressed a formal variation of jargon, promises, a means to convey a problem or achievements that have been made. This state speech is the only state speech which was delivered in the range of the transition of power. After the rebellion Sept. 30, the prestige and glory of Sukarno had been declining. For that through the state speech, Sukarno rebuild its image and trying to attract the sympathy of the people of Indonesia.

This research used critical analysis discourse as the method. Critical discourse analysis is used to dissect the text or language, both contained in the median text and text from communicative events such as speech and rhetoric. In this research, the issue would be explained through analysis discourse by . Foucault's perspective could explain how power relations are formed when President Sukarno read the speech. This relation could be seen how Sukarno with power to form a discourse through speech. In addition, Sukarno also used language in a speech to power. Van Dijk‟s perspective used to examine Sukarno‟s thought and what discourse that wanted to form by. While Laclau‟s discourse theory was used to explain the antagonism that was in the discourse. After that, it would be known how such discourse could be formed and subsequently became the hegemonic discourse.

Crucial Period a keyword in formingthis discourse. Discourse was delivered by reviewing the past which he called the crucial period. Crucial period was none other than the reign of liberal democracy. In this speech, Guided Democracy is the solution of the crucial period, because Guided Democracy is Pancasila democracy and genuine democracy in Indonesia. From here, it could be seen that the presence of antagonism that occurs between Liberal Democracy and

(4)

Guided Democracy. This discourse can be formed due to the myth that affect personal Sukarno. This myth is imagination about himself and his thoughts. Then this discourse can become a hegemonic discourse, because this discourse as delivered in antagonistic situations. Sukarno's Guided Democracy which is expounded confronted with liberal democracy, so that people then be comparing these two forms of democracy. In the end, this discourse turned into a debate. Thus, the discourse of 'Guided Democracy is Pancasila democracy and the Indonesian Democratic native, has managed to become a hegemonic discourse.

(Keyword: Speech, Discourse, Power, Hegemony)

Referensi

Dokumen terkait

Sanksi terhadap Petugas Kesehatan atau dokter yang sudah diatur oleh Rancangan Peraturan Presiden (perpres) perlu dilakukan secara tegas agar menjaga transparansi

- Secara bertahap setelah kegiatan tersebut dapat dilanjutkan pada lembar tugas anak, dengan membuat konsep bilangan 5= gambar lima kerikil/buah karet/tutup

Alkaloid contents (sparteine accounted for more than 80%) of four subspecies of Chamaecytisus proliferus (tagasaste) were higher in spring cuts than in autumn cuts, and they were (g

efektif dan membuat keaktifan siswa dalam melakukan kegiatan dan hasil belajar. dan hasil belajar yang diterima oleh siswa

Sama halnya dengan nilai protein, kadar lemak yang terkandung juga lebih besar dari kedelai yang digunakan pengrajin tempe, sehingga nilai perbandingan kadar lemak

[r]

kesimpulan yang dihasilkan. Selain itu, triangulasi teori dapat meningkatkan kedalaman pemahaman asalkan peneliti mampu menggali pengetahuan teoretik secara mendalam

Organisasi sebagai suatu sistem terbuka, dalam upaya pencapaian tujuan memiliki karakteristik tertentu sebagai totalitas dapat dilakukan melalui penelaahan terhadap ukuran