• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.3. Analisis Statistik dan Ekonomi

Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan pemerintah dari cukai hasil tembakau, yaitu Gross Domestic Product (GDP), konsumsi (proporsi pengeluaran untuk konsumsi rokok), nilai tukar (Rp/$), dan dummy krisis dapat dijelaskan melalui Tabel 4.5.

Tabel 4.5. Hasil Analisis Regresi Penerimaan Pemerintah dari Cukai Hasil Tembakau

Variabel Koefisien Probabilitas

C 1,746090 0,0800 LGDP 0,717431 0,0001 KR 0,045497 0,0829 LER -0,304153 0,1663 DK 0,067284 0,7177 R-squared = 0,978489 F-statistic = 102,3479 Adjusted R-squared = 0,968929 Durbin-Watson stat = 1,946060 Prob(F-statistic)= 0,000000

Keterangan: taraf nyata = 10 persen

Berdasarkan hasil analisis regresi penerimaan pemerintah dari cukai hasil tembakau (CU) dengan GDP, proporsi pengeluaran untuk konsumsi rokok (KR), nilai tukar (ER), dan dummy krisis (DK) seperti yang terdapat pada Tabel 4.1, maka dapat diperoleh persamaan regresi sebagai berikut:

LCU = 1,746090 + 0,717431 LGDP + 0,045497 KR - 0,304153 LER +

0,067284 DK

Seperti yang dapat dilihat pada Tabel 4.1, persamaan penerimaan pemerintah dari cukai hasil tembakau memiliki nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0,9785,

artinya 97,85 persen variabel-variabel independen yang terdapat dalam model yaitu, GDP, proporsi pengeluaran untuk konsumsi rokok, nilai tukar, dan dummy

krisis dapat menjelaskan variabel penerimaan pemerintah dari cukai hasil tembakau, sisanya sebesar 2,15 persen dijelaskan oleh faktor-faktor lain di luar persamaan.

Pengujian terhadap variabel-variabel independen dalam model persamaan secara bersama-sama dapat dilakukan melalui uji F. Hal ini dapat dilihat dari nilai probabilitas F-statistik. Analisis regresi pada penelitian ini menggunakan taraf nyata sebesar 10 persen, artinya tingkat kepercayaan sebesar 90 persen. Mengacu pada nilai probabilitas F-statistik yaitu sebesar 0,0000 yang lebih kecil dari taraf nyata 10 persen (α= 0,1), maka persamaan ini melewati uji F. Nilai ini menandakan bahwa variabel-variabel independen dalam model persamaan secara bersama-sama berpengaruh signifikan terhadap penerimaan pemerintah dari cukai hasil tembakau pada taraf nyata 10 persen.

4.3.1. Gross Domstic Product

Pada Tabel 4.1 dapat dilihat bahwa variabel GDP memiliki nilai probabilitas sebesar 0.0001 (lebih kecil dari taraf nyata 10 persen) dan besarnya nilai koefisien adalah 0,717413. Berdasarkan nilai probabilitas dan koefisien tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa variabel GDP memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap penerimaan pemerintah dari cukai hasil tembakau, artinya peningkatan GDP sebesar 1 persen akan meningkatkan penerimaan pemerintah dari cukai hasil tembakau sebesar 0,717413 persen dengan asumsi cateris paribus

Besarnya GDP dapat digambarkan sebagai ukuran total output yang diproduksi oleh semua aktifitas ekonomi. Ketika GDP atau total output yang diproduksi meningkat, termasuk produksi rokok, maka pemesanan pita cukai rokok kepada pemerintah akan meningkat dan akhirnya penerimaan pemerintah dari cukai hasil tembakau juga meningkat. Hal ini sesuai dengan hipotesis awal pada penelitian. Produksi rokok cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (2004), sekitar 2600 industri rokok legal yang terdaftar di Departemen Perindustrian menghasilkan rokok sekitar 203,88 miliar batang setiap tahun. Produksi industri rokok mengalami masa kejayaan pada tahun 1998, dimana produksi rokok hampir mencapai 270 miliar batang.

4.3.2. Konsumsi

Variabel konsumsi yang dalam penelitian ini diproksi dari proporsi pengeluaran untuk konsumsi rokok memiliki pengaruh yang positif dan signifikan terhadap penerimaan cukai rokok. Berdasarkan Tabel 4.3 variabel konsumsi memiliki nilai probabilitas sebesar 0,0829 (lebih kecil dari taraf nyata 10 persen) dan besarnya nilai koefisien sebesar 0,045497. Peningkatan proporsi pengeluaran untuk konsumsi rokok sebesar 1 persen akan meningkatkan penerimaan pemerintah dari cukai rokok sebesar 0,045497 persen, asumsi cateris paribus. Hal ini sesuai dengan hipotesis awal dan teori permintaan dan penawaran oleh Marshall yang terdapat pada tinjauan pustaka dalam penelitian ini. Ketika terjadi peningkatan proporsi pengeluaran untuk konsumsi rokok, yang dapat mengindikasikan terjadi peningkatan permintaan rokok, maka pabrik rokok akan

meningkatkan jumlah produksinya (penawaran rokok meningkat). Jumlah produksi rokok yang meningkat akan menyebabkan pemesanan pita cukai kepada pemerintah meningkat sehingga penerimaan pemerintah dari cukai hasil tembakau juga meningkat. Konsumsi rokok global terus meningkat signifikan sejak tembakau diperkenalkan kepada dunia awal abad ke-20. Konsumsi rokok di Indonesia mendapat peringkat kelima tertinggi di dunia setelah Cina, Amerika Serikat, Jepang, dan Rusia. Mayoritas perokok di Indonesia adalah dari kalangan masyarakat miskin. Survei Bappenas (1995) menunjukkan bahwa orang miskin mengalokasikan 9 persen total pendapatannya untuk mengkonsumsi rokok.

Berdasarkan kedua variabel di atas, variabel GDP memiliki pengaruh yang lebih besar terhadap penerimaan pemerintah dari cukai hasil tembakau dari pada variabel konsumsi. Peningkatan GDP atau total produksi secara keseluruhan, termasuk peningkatan produksi rokok akan secara langsung mempengaruhi penerimaan pemerintah dari cukai hasil tembakau. Ketika terjadi peningkatan produksi rokok, maka pemesanan pita cukai kepada pemerintah juga akan meningkat dan akhirnya penerimaan pemerintah dari cukai hasil tembakau juga akan meningkat.

4.3.3. Nilai Tukar

Variabel nilai tukar tidak berpengaruh signifikan terhadap penerimaan cukai hasil tembakau yang dapat dilihat dari nilai probabilitas variabel nilai tukar yang sebesar 0,1663 lebih besar dari taraf nyata 10 persen (α= 0,1). Hal ini ternyata tidak sesuai dengan hipotesis awal pada penelitian. Melalui pengujian secara ekonomi, terdapat hubungan yang negatif antara nilai tukar dengan

penerimaan cukai hasil tembakau. Hal ini dapat dilihat dari nilai koefisien nilai tukar sebesar -0,304153, yang artinya peningkatan nilai tukar rupiah terhadap dolar (rupiah terdepresiasi) sebesar 1 persen akan menurunkan peneriman cukai hasil tembakau sebesar 0,304153 persen, asumsi cateris paribus. Tetapi estimasi koefisien regresi pada variabel nilai tukar ini tidak dapat dilakukan karena berdasarkan uji statistik, varibel nilai tukar tidak berpengaruh signifikan terhadap penerimaan pemerintah dari cukai hasil tembakau.

Varibel nilai tukar yang tidak signifikan terhadap penerimaan pemerintah dari cukai hasil tembakau dapat dijelaskan melalui kondisi seperti terjadinya depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar. Depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar menyebabkan harga-harga meningkat atau terjadi inflasi. Peningkatan harga- harga pada umumnya akan menyebabkan masyarakat untuk mengurangi konsumsinya, tetapi hal ini tidak terjadi pada konsumsi rokok. Peningkatan harga tidak menyebabkan masyarakat untuk mengurangi jumlah konsumsi rokok karena produk rokok memiliki karakteristik yang cukup unik. Secara khas, rokok bersifat adiktif, yaitu jika seseorang mengkonsumsinya maka akan ada kecederungan untuk menambah konsumsi dan sulit untuk mengubah kebiasaan konsumsinya. Faktor addiction inilah yang menyebabkan konsumsi rokok tidak dipengaruhi oleh harga. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa variabel nilai tukar tidak berpengaruh signifikan terhadap penerimaan pemerintah dari cukai hasil tembakau.

4.3.4. Dummy Krisis

Variabel dummy krisis tidak berpengaruh signifikan terhadap penerimaan cukai rokok. Hal ini dapat dilihat dari nilai probabilitas variabel dummy krisis yang lebih besar dari taraf nyata 10 persen (α= 0,1), yaitu sebesar 0,7177. Berdasarkan hasil uji ekonomi, varibel dummy krisis memiliki pengaruh yang positif, artinya pada saat krisis penerimaan pemerintah dari cukai hasil tembakau justru mengalami peningkatan. Hal ini tidak sesuai dengan hipotesis awal yang menyatakan bahwa variabel dummy krisis memiliki pengaruh yang negatif.

Krisis ekonomi yang melanda Indonesia menyebabkan kondisi perekonomian secara makro dan industri-industri menjadi tidak stabil. Tetapi industri rokok menunjukkan kondisi yang cukup dinamis sekalipun pada saat krisis. Jumlah produksi rokok cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Begitu juga dengan perkembangan jumlah perusahaan dan pertumbuhan penyerapan tenaga kerja yang menunjukkan kondisi dinamis. Kondisi ini diakibatkan karena adanya efisiensi internal yang dilakukan industri rokok dengan menekan biaya produksi dan lebih berkonsentrasi pada produksi rokok jenis Sigaret Kretek Mesin (SKM) yang bersifat padat modal dibandingkan memproduksi Sigaret Kretek Tangan (SKT) yang lebih bersifat padat karya. Dengan berkonsentrasi pada produksi rokok jenis SKM, perusahaan dapat menekan tuntutan para buruh rokok yang selalu menuntut kenaikan upah walaupun jam kerja mereka sama. Selain itu, tarif cukai rokok jenis SKM adalah yang paling tinggi dibandingkan dengan tarif cukai rokok jenis SKT dan SPM. Peningkatan produksi rokok jenis SKM yang tarif cukainya yang paling tinggi di antara rokok jenis SKT dan SPM akan

menyebabkan penerimaan pemerintah meningkat. Oleh karena itu, pada saat krisis, ketika pabrik-pabrik rokok lebih berkonsentrasi pada produksi rokok jenis SKM, maka penerimaan pemerintah dari cukai hasil tembakau tidak mengalami penurunan dan bahkan mengalami peningkatan.

Dokumen terkait