• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.3. Faktor-Faktor Makro yang Mempengaruhi Penerimaan Pemerintah

2.3.2. Nilai Tukar

Nilai tukar atau kurs dapat dibedakan menjadi dua yaitu, kurs nominal dan kurs riil. Kurs nominal adalah harga relatif dari mata uang dua negara, sedangkan yang dimaksud dengan kurs riil adalah harga relatif dari barang-barang kedua negara (Mankiw, 2000). Sistem pokok nilai valuta asing dapat dibedakan menjadi dua, yaitu sistem nilai tukar tetap dan sistem nilai tukar mengambang. Pembedaan ini berdasarkan besar cadangan devisa dan intervensi bank sentral yang diperlukan untuk mempertahankan kurs pada sistem tersebut.

Sebelum krisis ekonomi yang diawali dengan krisis nilai tukar, Indonesia menganut sistem nilai tukar mengambang terkendali. Ketika sistem ini semakin sulit dipertahankan, otoritas moneter mengubah sistem nilai tukar menjadi sistem nilai tukar mengambang bebas.

Nilai tukar yang terapresiasi atau terdepresiasi dapat mempengaruhi penerimaan pemerintah dari cukai rokok. Perubahan dalam nilai tukar tersebut akan menyebabkan perubahan harga-harga. Karena perubahan harga-harga tersebut maka biaya produksi dan jumlah konsumsi juga berubah. Hal ini akan menyebabkan kapasitas produksi dari perusahaan rokok juga akan berubah dan akhirnya penerimaan pemerintah dari cukai hasil tembakau juga akan berubah.

2.3.3. Konsumsi

Konsumsi terdiri dari barang dan jasa yang dibeli rumah tangga. Konsumsi dibagi menjadi tiga subkelompok yaitu, barang tidak tahan lama, barang tahan lama, dan jasa (Mankiw, 2000). Produk hasil tembakau khususnya rokok termasuk barang tidak tahan lama karena rokok merupakan barang yang habis dipakai dalam waktu pendek.

Menurut WHO, Indonesia merupakan konsumen rokok tertinggi kelima di dunia dengan jumlah rokok yang dikonsumsi pada tahun 2002 sebanyak 182 miliar batang rokok setiap tahun setelah Cina (1.697 miliar batang), Amerika Serikat (480 miliar batang), Jepang (230 miliar batang), dan Rusia (230 miliar batang). Jumlah uang yang dibelanjakan penduduk Indonesia untuk tembakau 2,5 kali lipat dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan untuk pendidikan dan 3,2 kali lipat dari biaya kesehatan. Diperkirakan 4 persen rata-rata pendapatan per kapita rakyat Indonesia dihabiskan untuk konsumsi rokok.

Rata-rata pengeluaran sebulan untuk konsumsi rokok cenderung meningkat lebih besar terjadi di daerah perkotaan dari pada di pedesaan. Hal ini tentunya tidak lepas dari lebih besarnya tingkat pendapatan yang dapat mendorong kenaikan konsumsi rokok di daerah perkotaan. Meskipun rata-rata pengeluaran untuk konsumsi rokok di daerah pedesaan lebih kecil dibanding daerah perkotaan, namun tetap menunjukkan bahwa desa memiliki rata-rata pengeluaran terhadap konsumsi rokok yang terus meningkat setiap tahunnya. WHO menyatakan masyarakat miskin adalah kelompok masyarakat yang paling dirugikan dari insustri rokok karena menggunakan penghasilannya untuk

membeli rokok yang justru membahayakan kesehatan. Bahkan di negara maju, jumlah perokok terbanyak berasal dari kelompok masyarakat miskin.

Besarnya proporsi pengeluaran untuk konsumsi rokok akan mempengaruhi besarnya penerimaan pemerintah dari cukai hasil tembakau. Ketika terjadi peningkatan proporsi pengeluaran untuk konsumsi rokok yang mengindikasikan terjadinya peningkatan permintaan rokok, maka pabrik rokok akan meningkatkan jumlah produksi yang artinya tingkat penawaran rokok meningkat dan akhirnya penerimaan cukai hasil tembakau juga akan meningkat. Sesuai dengan hukum penawaran dengan menganggap faktor lain konstan, kuantitas barang yang ditawarkan akan meningkat ketika harga barang meningkat karena adanya peningkatan permintaan barang. Hal ini juga didukung oleh teori Marshall mengenai keseimbangan permintan dan penawaran di pasar yang dapat dijelaskan pada Gambar 2 di bawah ini.

Harga (P) Penawaran P* Permintaan Q1 Q2 Kuantitas (Q) Gambar 2. Perpotongan Permintaan dan Penawaran

Sebagai langkah awal, diasumsikan bahwa harga-harga ditentukan oleh kekuatan permintaan dan penawaran di pasar. Melalui mekanisme permintaan-

penawaran ini terbentuk keseimbangan harga (P*) pada tingkat dimana permintaan sama dengan penawaran (Nicholson, 2002).

2.3.4. Variabel Dummy

Menurut Gujarati (2003), variabel dummy merupakan variabel penjelas yang bersifat kualitatif dalam analisis regresi. Variabel dummy disebut juga variabel biner atau variabel dikotomi karena hanya terdiri dari dua nilai. Dalam penelitian ini, variabel dummy yang digunakan adalah variabel dummy untuk kondisi perekonomian Indonesia, yaitu sebelum dan sesudah krisis ekonomi.

Krisis ekonomi menyebabkan terjadinya ketidakstabilan kondisi perekonomian secara makro. Hal ini dapat menyebabkan kepercayaan pasar dalam negeri dan juga kondisi industri-industri tidak stabil, termasuk kondisi industri rokok. Ketidakstabilan kondisi industri rokok ini dapat menyebabkan penerimaan pemerintah dari cukai hasil tembakau juga tidak stabil.

2.4. Penelitian Terdahulu

Roy (2004) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi rokok kretek di Indonesia dengan menggunakan analisis regresi berganda. Metode analisis yang digunakan adalah Ordinary Least Square (OLS) dengan menggunakan program Minitab for Windows. Hasil analisis menunjukkan selama periode 1984 sampai 2003, tingkat konsumsi rokok kretek nasional memiliki kecederungan meningkat. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat konsumsi rokok kretek antara lain produksi rokok kretek, harga rokok kretek, kebijakan tarif cukai, dan peubah dummy peraturan pemerintah. Dari hasil analisis dilihat bahwa hanya peubah produksi rokok kretek yang memiliki pengaruh nyata

dan arahnya positif dengan tingkat konsumsi. Keadaan ini membuat perusahaan rokok kretek Indonesia tidak merasa khawatir untuk memproduksi rokok karena konsumsi yang terus dilakukan seiring dengan adanya produksi. Sedangkan peubah harga rokok kretek dan tarif cukai tidak berpengaruh secara nyata dan arahnya adalah negatif. Pada dasarnya bila tarif cukai dinaikkan akan berimplikasi pada kenaikan harga rokok, karena tarif cukai merupakan pajak yang dibebankan pada konsumen yang dimasukkan pada harga jual eceran rokok. Untuk peubah

dummy peraturan pemerintah tidak mengindikasikan adanya perbedaan antara tahun-tahun dikeluarkannya peraturan tersebut. Hal ini terjadi karena belum tersosialisasinya peraturan pemerintah tersebut kepada berbagai pihak dan perusahaan rokok belum merasa siap untuk melaksanakannya.

Hasil analisis Putri (2004) tentang struktur, perilaku, dan kinerja industri rokok kretek di Indonesia menunjukkan bahwa jumlah pangsa pasar terbesar pada industri rokok kretek di Indonesia pada tahun 2003 diperoleh nilai rasio konsentrasi (CR4) sebesar 75,8 persen, yang berarti industri rokok kretek digolongkan ke dalam stuktur pasar oligapoli. Dalam analisis kinerja industri rokok kretek, perkembangan tingkat keuntungan (PCM) setiap tahunnya cenderung fluktuatif pada tahun tertentu, sedangkan perkembangan tingkat efisiensi internalnya (X-eff) cenderung tinggi setiap tahun, dan perkembangan tingkat utilitas kapasitas produksi (CU) setiap tahun cenderung stabil.

Hasil analisis hubungan struktur dan kinerja industri rokok kretek di Indonesia, variabel bebas yang memiliki pengaruh terhadap tingkat keuntungan adalah CR4, efisiensi internal, dan skala ekonomis (MES), sedangkan CU tidak

memiliki pengaruh nyata. Dari ketiga varibel yang mempengaruhi PCM, efisiensi internal memiliki pengaruh nyata dan nilai koefisien yang paling besar. Hal ini menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan rokok kretek memiliki efisiensi internal yang berperan besar dalam mempengaruhi tingkat keuntungan.

2.5. Kerangka Pemikiran

Masalah-masalah ekonomi yang terjadi di Indonesia menuntut pemerintah agar lebih cermat lagi dalam menentukan langkah-langkah apa yang harus diambil untuk memulihkan perekonomian. Untuk mengatasi masalah-masalah ekonomi, dibuat penyesuaian-penyesuaian alat kebijakan agar dapat digunakan secara tepat, bermanfaat, dan mencapai sasarannya. Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah untuk memulihkan dan menstabilkan perekonomian adalah melalui peranan kebijakan fiskal. Salah satu instrumen kebijakan fiskal adalah pajak. Penerimaan pemerintah dari sektor pajak terdiri dari pajak dalam negeri dan pajak perdagangan internasional.

Penerimaan pemerintah dari sektor cukai termasuk ke dalam penerimaan pajak dalam negeri. Ada tiga jenis barang kena cukai, yaitu etil alkohol, minuman yang mengandung etil alkohol, dan hasil tembakau. Dari ketiga barang kena cukai tersebut yang paling besar peranannya dalam penerimaan pemerintah adalah cukai hasil tembakau yang terdiri dari Sigaret Kretek Mesin (SKM), Sigaret Kretek Tangan (SKT), dan Sigaret Putih Mesin (SPM) yaitu sekitar 95 persen. Asumsi makro yang digunakan dalam memperkirakan penerimaan pemerintah dari cukai hasil tembakau adalah GDP, nilai tukar, konsumsi, dan dummy krisis.

Pajak Penerimaan Pemerintah Bukan Pajak Faktor-Faktor Makro: 1.GDP 2.Nilai Tukar 3.Konsumsi 4.Dummy Krisis Pajak Dalam Negeri Pajak Perdagangan Internasional Cukai Hasil Tembakau Gambar 3. Kerangka Pemikiran

2.6. Hipotesis

Rumusan jawaban sementara mengenai permasalahan dari tulisan ini berdasarkan teori dan konsep adalah:

1. GDP, diduga berpengaruh positif terhadap penerimaan pemerintah dari cukai hasil tembakau.

2. Nilai tukar, diduga berpengaruh negatif terhadap penerimaan pemerintah dari cukai hasil tembakau.

3. Konsumsi, diduga berpengaruh positif terhadap penerimaan pemerintah dari cukai hasil tembakau.

4. Variabel dummy kondisi perekonomian Indonesia, sebelum dan sesudah krisis, diduga berpengaruh negatif terhadap penerimaan pemerintah dari cukai hasil tembakau.

Dokumen terkait