ANALISIS FAKTOR-FAKTOR MAKRO YANG MEMPENGARUHI
PENERIMAAN PEMERINTAH DARI CUKAI HASIL TEMBAKAU
OLEH
SRI BAHADURI M E TAMBUNAN H14102011
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
RINGKASAN
SRI BAHADURI M E TAMBUNAN. Analisis Faktor-Faktor Makro yang Mempengaruhi Penerimaan Pemerintah dari Cukai Hasil Tembakau (dibimbing oleh HENNY REINHARDT).
Penerimaan pemerintah dari sektor cukai memiliki kontribusi yang penting dalam perekonomian Indonesia. Penerimaan dari sektor cukai menjadi salah satu sumber pembiayaan pembangunan dan digunakan untuk menutup defisit anggaran. Barang kena cukai yang paling banyak memberikan kontribusi kepada penerimaan negara adalah hasil tembakau, yaitu sekitar 95 persen.
Tujuan penelitian ini adalah menganalisis faktor-faktor makro yang mempengaruhi penerimaan pemerintah dari cukai hasil tembakau. Faktor-faktor makro yang digunakan dalam penelitian ini yang diduga mempengaruhi penerimaan pemerintah dari cukai hasil tembakau adalah Gross Domestic Product (GDP), nilai tukar, konsumsi (diproksi dari proporsi pengeluaran untuk konsumsi rokok), dan dummy krisis.
Data yang digunakan adalah data sekunder yang berupa gabungan data
time series tahunan dari tahun 1992 sampai 2005 yang diperoleh dari Biro Pusat Statistik (BPS), Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), International Finansial Statistic (IFS), dan beberapa jurnal dan literatur lain yang relevan dan berhubungan dengan penelitian ini. Metode analisis yang digunakan adalah
Ordinary Least Square (OLS) dengan menggunakan program Eviews 4.1.
Hasil analisis dalam penelitian menunjukkan bahwa persamaan penerimaan pemerintah dari cukai hasil tembakau memiliki nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0,9785, artinya 97,85 persen variabel-variabel independen yaitu, GDP, nilai tukar, proporsi pengeluaran untuk konsumsi rokok, dan dummy krisis dapat menjelaskan variabel penerimaan pemerintah dari cukai hasil tembakau, sisanya sebesar 2,15 persen dijelaskan oleh faktor-faktor lain di luar persamaan. Pada hasil uji t, variabel proporsi konsumsi rokok dan GDP signifikan mempengaruhi penerimaan cukai pada taraf nyata 10 persen, sedangkan untuk variabel nilai tukar dan dummy krisis tidak signifikan. Mengacu pada nilai probabilitas F-statistik yaitu sebesar 0,0000 maka persamaan ini melewati uji F. Nilai ini menandakan bahwa variabel-variabel independen dalam model persamaan secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap penerimaan pemerintah dari cukai hasil tembakau pada taraf nyata 10 persen. Berdasarkan hasil pengujian ekonometrik yang meliputi uji multikolinearitas, uji autokorelasi, uji heteroskedastisitas, dan uji normalitas dapat disimpulkan bahwa model persamaan ini telah memenuhi asumsi Ordinary Least Squared (OLS) yaitu Best Linier Unbiassed Estimatior (BLUE).
penerimaan cukai sebesar 0,72 persen dengan asumsi faktor lain dianggap konstan. Variabel konsumsi yang dalam penelitian ini diproksi dari proporsi pengeluaran untuk konsumsi rokok juga memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap penerimaan cukai rokok dengan nilai koefisien sebesar 0,04, artinya peningkatan proporsi pengeluaran untuk konsumsi rokok sebesar 1 persen akan meningkatkan penerimaan pemerintah dari cukai rokok sebesar 0,04 persen, faktor lain diasumsikan konstan. Sedangkan variabel nilai tukar dan dummy krisis tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap penerimaan cukai rokok.
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR MAKRO YANG
MEMPENGARUHI PENERIMAAN PEMERINTAH DARI
CUKAI HASIL TEMBAKAU
OLEH
SRI BAHADURI M E TAMBUNAN H14102011
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departeman Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang ditulis oleh,
Nama Mahasiswa : Sri Bahaduri M E Tambunan
Nomor Registrasi Pokok : H14102011
Program Studi : Ilmu Ekonomi
Judul Skripsi : Analisis Faktor-Faktor Makro yang
Mempengaruhi Penerimaan Pemerintah dari
Cukai Hasil Tembakau
dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi
pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajeman, Institut
Pertanian Bogor.
Menyetujui,
Dosen Pembimbing,
Henny Reinhardt, SP, M.Sc H IPB 041093
Mengetahui,
Ketua Departemen Ilmu Ekonomi,
Dr.Ir. Rina Oktaviani, MS NIP. 137846872
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI
BENAR-BENAR HASIL KARYA SENDIRI DAN BELUM PERNAH DIAJUKAN
SEBAGAI KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU
LEMBAGA MANAPUN
Bogor, Agustus 2006
Sri Bahaduri M E Tambunan
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Sri Bahaduri M E Tambunan lahir pada tanggal 7 Maret
1984 di Rantauprapat, Sumatera Utara. Penulis adalah anak kedua dari tiga
bersaudara, dari pasangan Farel Tambunan dan Nurhayati Sibarani. Jenjang
pendidikan penulis lalui tanpa hambatan, penulis menamatkan sekolah dasar di
SD Methodist II Rantauprapat pada tahun 1996. Kemudian melanjutkan ke SLTP
Negeri III Rantauprapat dan lulus pada tahun 1999. Pada tahun yang sama penulis
diterima di SMU Negeri II Rantauprapat dan lulus pada tahun 2002.
Pada tahun 2002, penulis meninggalkan kota Rantauprapat untuk
melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi. Institut Pertanian Bogor menjadi
pilihan penulis dengan harapan dapat memperoleh ilmu dan mengembangkan pola
pikir. Penulis masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB dan diterima
sebagai mahasiswa Departemen Ilmu Ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan
Manajemen. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di berbagai kepanitiaan
pada organisasi Persekutuan Mahasiswa Kristen (PMK) IPB dan Hipotesa.
Penulis juga menjadi salah satu mahasiswa yang memperoleh beasiswa BBM dari
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa
atas segala kasih dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat terselesaikan.
Skripsi yang disusun penulis berjudul “Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Pemerintah dari Cukai Hasil Tembakau”.
Penerimaan pemerintah dari cukai hasil tembakau merupakan topik yang cukup
menarik karena merupakan dilema bagi pemerintah dalam hal pengambilan
kebijakan. Di satu sisi merupakan sumber pendapatan negara dan di sisi lain
menimbulkan dampak eksternalitas negatif. Selain dari pada itu, skripsi ini juga
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada
Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian
Bogor.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang membantu
dalam proses penulisan skripsi ini, yaitu:
1. Ibu Henny Reinhardt, S.P., M.Sc sebagai dosen pembimbing skripsi yang
telah membimbing dan membuka wawasan penulis.
2. Ibu Dr. Sri Mulatsih M.S sebagai dosen penguji utama yang telah memberi
saran dan kritik.
3. Bapak Jainal M.A sebagai komisi pendidikan yang telah mengajarkan tata
cara penulisan yang baik.
4. Kedua orang tua penulis, Farel Tambunan dan Nurhayati Sibarani serta
Kakak penulis Febrina dan Adik penulis Boy Oscar dan keluarga besar
penulis yang memberi semangat, doa dan kasih sayang.
5. Sahabat-sahabat penulis, KOMKES dan VOE yang telah mengisi hari-hari
penulis dengan keceriaan
6. Teman-teman satu bimbingan penulis, Reinhard dan Ruth Bonggasau atas
kerjasama dan kebersamaan.
7. Sahabat-sahabat di Gladys yang telah memberi semangat, doa dan
Semoga karya ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pihak lain yang
membutuhkan.
Bogor, Agustus 2006
DAFTAR ISI
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR MAKRO YANG MEMPENGARUHI
PENERIMAAN PEMERINTAH DARI CUKAI HASIL TEMBAKAU
OLEH
SRI BAHADURI M E TAMBUNAN H14102011
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
RINGKASAN
SRI BAHADURI M E TAMBUNAN. Analisis Faktor-Faktor Makro yang Mempengaruhi Penerimaan Pemerintah dari Cukai Hasil Tembakau (dibimbing oleh HENNY REINHARDT).
Penerimaan pemerintah dari sektor cukai memiliki kontribusi yang penting dalam perekonomian Indonesia. Penerimaan dari sektor cukai menjadi salah satu sumber pembiayaan pembangunan dan digunakan untuk menutup defisit anggaran. Barang kena cukai yang paling banyak memberikan kontribusi kepada penerimaan negara adalah hasil tembakau, yaitu sekitar 95 persen.
Tujuan penelitian ini adalah menganalisis faktor-faktor makro yang mempengaruhi penerimaan pemerintah dari cukai hasil tembakau. Faktor-faktor makro yang digunakan dalam penelitian ini yang diduga mempengaruhi penerimaan pemerintah dari cukai hasil tembakau adalah Gross Domestic Product (GDP), nilai tukar, konsumsi (diproksi dari proporsi pengeluaran untuk konsumsi rokok), dan dummy krisis.
Data yang digunakan adalah data sekunder yang berupa gabungan data
time series tahunan dari tahun 1992 sampai 2005 yang diperoleh dari Biro Pusat Statistik (BPS), Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), International Finansial Statistic (IFS), dan beberapa jurnal dan literatur lain yang relevan dan berhubungan dengan penelitian ini. Metode analisis yang digunakan adalah
Ordinary Least Square (OLS) dengan menggunakan program Eviews 4.1.
Hasil analisis dalam penelitian menunjukkan bahwa persamaan penerimaan pemerintah dari cukai hasil tembakau memiliki nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0,9785, artinya 97,85 persen variabel-variabel independen yaitu, GDP, nilai tukar, proporsi pengeluaran untuk konsumsi rokok, dan dummy krisis dapat menjelaskan variabel penerimaan pemerintah dari cukai hasil tembakau, sisanya sebesar 2,15 persen dijelaskan oleh faktor-faktor lain di luar persamaan. Pada hasil uji t, variabel proporsi konsumsi rokok dan GDP signifikan mempengaruhi penerimaan cukai pada taraf nyata 10 persen, sedangkan untuk variabel nilai tukar dan dummy krisis tidak signifikan. Mengacu pada nilai probabilitas F-statistik yaitu sebesar 0,0000 maka persamaan ini melewati uji F. Nilai ini menandakan bahwa variabel-variabel independen dalam model persamaan secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap penerimaan pemerintah dari cukai hasil tembakau pada taraf nyata 10 persen. Berdasarkan hasil pengujian ekonometrik yang meliputi uji multikolinearitas, uji autokorelasi, uji heteroskedastisitas, dan uji normalitas dapat disimpulkan bahwa model persamaan ini telah memenuhi asumsi Ordinary Least Squared (OLS) yaitu Best Linier Unbiassed Estimatior (BLUE).
penerimaan cukai sebesar 0,72 persen dengan asumsi faktor lain dianggap konstan. Variabel konsumsi yang dalam penelitian ini diproksi dari proporsi pengeluaran untuk konsumsi rokok juga memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap penerimaan cukai rokok dengan nilai koefisien sebesar 0,04, artinya peningkatan proporsi pengeluaran untuk konsumsi rokok sebesar 1 persen akan meningkatkan penerimaan pemerintah dari cukai rokok sebesar 0,04 persen, faktor lain diasumsikan konstan. Sedangkan variabel nilai tukar dan dummy krisis tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap penerimaan cukai rokok.
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR MAKRO YANG
MEMPENGARUHI PENERIMAAN PEMERINTAH DARI
CUKAI HASIL TEMBAKAU
OLEH
SRI BAHADURI M E TAMBUNAN H14102011
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departeman Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang ditulis oleh,
Nama Mahasiswa : Sri Bahaduri M E Tambunan
Nomor Registrasi Pokok : H14102011
Program Studi : Ilmu Ekonomi
Judul Skripsi : Analisis Faktor-Faktor Makro yang
Mempengaruhi Penerimaan Pemerintah dari
Cukai Hasil Tembakau
dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi
pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajeman, Institut
Pertanian Bogor.
Menyetujui,
Dosen Pembimbing,
Henny Reinhardt, SP, M.Sc H IPB 041093
Mengetahui,
Ketua Departemen Ilmu Ekonomi,
Dr.Ir. Rina Oktaviani, MS NIP. 137846872
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI
BENAR-BENAR HASIL KARYA SENDIRI DAN BELUM PERNAH DIAJUKAN
SEBAGAI KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU
LEMBAGA MANAPUN
Bogor, Agustus 2006
Sri Bahaduri M E Tambunan
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Sri Bahaduri M E Tambunan lahir pada tanggal 7 Maret
1984 di Rantauprapat, Sumatera Utara. Penulis adalah anak kedua dari tiga
bersaudara, dari pasangan Farel Tambunan dan Nurhayati Sibarani. Jenjang
pendidikan penulis lalui tanpa hambatan, penulis menamatkan sekolah dasar di
SD Methodist II Rantauprapat pada tahun 1996. Kemudian melanjutkan ke SLTP
Negeri III Rantauprapat dan lulus pada tahun 1999. Pada tahun yang sama penulis
diterima di SMU Negeri II Rantauprapat dan lulus pada tahun 2002.
Pada tahun 2002, penulis meninggalkan kota Rantauprapat untuk
melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi. Institut Pertanian Bogor menjadi
pilihan penulis dengan harapan dapat memperoleh ilmu dan mengembangkan pola
pikir. Penulis masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB dan diterima
sebagai mahasiswa Departemen Ilmu Ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan
Manajemen. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di berbagai kepanitiaan
pada organisasi Persekutuan Mahasiswa Kristen (PMK) IPB dan Hipotesa.
Penulis juga menjadi salah satu mahasiswa yang memperoleh beasiswa BBM dari
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa
atas segala kasih dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat terselesaikan.
Skripsi yang disusun penulis berjudul “Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Pemerintah dari Cukai Hasil Tembakau”.
Penerimaan pemerintah dari cukai hasil tembakau merupakan topik yang cukup
menarik karena merupakan dilema bagi pemerintah dalam hal pengambilan
kebijakan. Di satu sisi merupakan sumber pendapatan negara dan di sisi lain
menimbulkan dampak eksternalitas negatif. Selain dari pada itu, skripsi ini juga
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada
Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian
Bogor.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang membantu
dalam proses penulisan skripsi ini, yaitu:
1. Ibu Henny Reinhardt, S.P., M.Sc sebagai dosen pembimbing skripsi yang
telah membimbing dan membuka wawasan penulis.
2. Ibu Dr. Sri Mulatsih M.S sebagai dosen penguji utama yang telah memberi
saran dan kritik.
3. Bapak Jainal M.A sebagai komisi pendidikan yang telah mengajarkan tata
cara penulisan yang baik.
4. Kedua orang tua penulis, Farel Tambunan dan Nurhayati Sibarani serta
Kakak penulis Febrina dan Adik penulis Boy Oscar dan keluarga besar
penulis yang memberi semangat, doa dan kasih sayang.
5. Sahabat-sahabat penulis, KOMKES dan VOE yang telah mengisi hari-hari
penulis dengan keceriaan
6. Teman-teman satu bimbingan penulis, Reinhard dan Ruth Bonggasau atas
kerjasama dan kebersamaan.
7. Sahabat-sahabat di Gladys yang telah memberi semangat, doa dan
Semoga karya ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pihak lain yang
membutuhkan.
Bogor, Agustus 2006
DAFTAR ISI
3.2. Metode Pengolahan dan Analisis Data ... 24
3.3. Pengujian Statistik ... 26
3.3.1. Uji Koefisien Determinasi (R2) ... 26
3.3.2. Uji F-Statistik ... 27
3.3.3. Uji t-Statistik ... 27
3.4. Pengujian Ekonometrik ... 28
3.4.1. Multikolinearitas ... 28
3.4.2. Autokorelasi ... 28
3.4.3. Heteroskedastisitas ... 29
3.4.4. Normalitas ... 29
3.5. Pengujian Ekonomi ... 30
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 31
4.1. Perkembangan Industri Rokok ... 31
4.2. Hasil Pengujian Ekonometrik ... 34
4.3. Analisis Statistik dan Ekonomi ... 36
4.3.1. Gross Domestic Product ... 38
4.3.2. Konsumsi ... 38
4.3.3. Nilai Tukar ... 40
4.3.4. Dummy Krisis ... 41
V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 43
5.1. Kesimpulan ... 43
5.2. Saran ... 44
DAFTAR PUSTAKA ... 46
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1.1. Target dan Realisasi Cukai Hasil Tembakau ... 3
1.2. Persentase Penerimaan Cukai Tembakau terhadap Penerimaan Dalam Negeri ... 4
1.3. Persentase Penerimaan Cukai Tembakau terhadap Penerimaan Cukai 4
2.1. Struktur Tarif Cukai dan HJE Minimum Rokok di Indonesia ... ... 14
4.1. Total Produksi dan Nilai Industri Rokok ... 32
4.2. Hasil Uji Multikolinearitas ... 35
4.3. Hasil Uji Autokorelasi ... 35
4.4. Hasil Uji Heteroskedastisitas ... 36
4.5. Hasil Analisis Regresi Penerimaan Pemerintah dari Cukai Hasil
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Penerimaan Cukai Tahun 2000-2005 ... 2
2. Perpotongan Permintaan dan Penawaran ... 19
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Data Penelitian ... 42
2. Data Variabel Penelitian ... 42
3. Hasil Analisis Regresi ... 43
4. Uji Multikolinearitas ... 43
5. Uji Autokorelasi ... ... 43
6. Uji Heteroskedastisitas ... 43
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Proses pemulihan ekonomi terutama setelah masa krisis harus terus
berlangsung. Hampir seluruh sektor yang akan dikembangkan memerlukan
dukungan dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dalam
APBN, pendapatan negara berasal dari pendapatan dalam negeri dan hibah.
Proporsi pendapatan negara yang paling besar adalah berasal dari pendapatan
dalam negeri yaitu sekitar 99 persen. Perkembangan pendapatan negara dari tahun
2001 sampai 2003 menunjukkan kinerja yang cukup baik. Membaiknya kinerja
pendapatan negara didominasi dari sektor perpajakan. Namun, sebagai rasio
terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB), pendapatan negara cenderung
mengalami penurunan yang disebabkan karena semakin menurunnya rasio
penerimaan negara bukan pajak.
Setiap pemerintahan baik dari pusat sampai ke daerah menggunakan pajak
untuk meningkatkan pemasukan dalam negeri untuk membiayai berbagai fasilitas
publik seperti sarana transportasi, jalan raya, polisi dan jasa pertahanan nasional.
Semua ini tidak akan terwujud jika pemerintah tidak memiliki dana dan untuk
memperoleh dana itulah pemerintah menggunakan pajak. Oleh karena itu, pajak
merupakan instrumen kebijakan yang penting dalam pembangunan perekonomian
suatu negara.
Dalam rangka mempercepat perkembangan pendapatan negara pada sektor
langkah-langkah ekstensifikasi penerimaan perpajakan, penyempurnaan peraturan
perpajakan, modernisasi sistem administrasi perpajakan, pemberantasan peredaran
rokok polos dan pita palsu.
Penerimaan perpajakan terdiri dari penerimaan pajak dalam negeri dan
pajak atas perdagangan internasional. Penerimaan pemerintah dari sektor cukai
termasuk ke dalam penerimaan pajak dalam negeri. Sebagai salah satu sumber
penerimaan negara, cukai mempunyai kontribusi yang sangat penting terhadap
pembangunan yang tercermin dalam APBN yang selalu meningkat dari tahun ke
tahun, seperti yang terlihat pada Gambar 1.
34
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006*
tahun
Penerimaan Cukai (Rp triliun)
Kenaikan (%)
Sumber: Direktorat Jenderal Industri Agro dan Kimia, Departemen Perindustrian, 2005 *) Target Penerimaan Cukai
Gambar 1. Penerimaan Cukai Tahun 2000-2005
Dari tahun 2001 sampai 2005, penerimaan pemerintah dari sektor cukai
terus mengalami peningkatan, walaupun secara persentase terjadi penurunan pada
penerimaan cukai. Perkembangan penerimaan cukai tersebut dapat dipengaruhi
cukai terhadap semua barang kena cukai, peningkatan pengawasan atas peredaran
barang kena cukai, dan pemantauan secara intensif terhadap HJE barang kena
cukai di peredaran. Tahun 2006, pemerintah mengajukan kenaikan target
penerimaan cukai sebesar Rp. 34 triliun. Hal ini sehubungan dengan kepentingan
pemerintah untuk mendapat tambahan pendapatan APBN untuk menutupi defisit
anggaran pemerintah yang disebabkan salah satunya dari kenaikan subsidi Bahan
Bakar Minyak (BBM).
Di Indonesia, terdapat tiga jenis barang kena cukai, yaitu etil alkohol,
minuman yang mengadung etil alkohol, dan hasil tembakau. Penerimaan
pemerintah dari sektor cukai didominasi oleh cukai hasil tembakau. Sebagai salah
satu andalan penerimaan pemerintah, cukai hasil tembakau menunjukkan kinerja
yang baik, seperti yang terlihat pada Tabel 1.1.
Tabel 1.1. Target dan Realisasi Cukai Hasil Tembakau
Tahun Target
2000 10.271,8 13.768,5 134,04 2001 17.600,6 18.266,3 103,78 2002 22.469 23.084 102,73
2003 27,945,6 26.400 94,45
Sumber: Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, 2003
Pada umumnya target penerimaan cukai hasil tembakau selalu dapat
dipenuhi, dan jika tidak tecapai maka kekurangan pencapaiannya tidak begitu
signifikan. Pencapaian target penerimaan cukai hasil tembakau pada tahun 2000
Penerimaan pemerintah dari cukai hasil tembakau terhadap penerimaan
dalam negeri mengalami kenaikan yang cukup signifikan dari tahun ke tahun,
seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1.2.
Tabel 1.2. Persentase Penerimaan Cukai Tembakau Terhadap Penerimaan Dalam Negeri
Tahun Cukai Tembakau (miliar Rp)
Sumber: Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, 2003
Peningkatan pendapatan dari cukai hasil tembakau tersebut dapat
dilakukan melalui kenaikan HJE, yaitu kenaikan harga jenis hasil tembakau yang
ditetapkan pemerintah sebagai harga jual minimum dari produk rokok dan
peningkatan tarif cukai rokok, yaitu peningkatan pajak yang dikenakan kepada
jenis hasil tembakau sebesar persentase tertentu terhadap harga jual ecerannya.
Perbandingan penerimaan cukai hasil tembakau dengan penerimaan cukai
lainnya hampir mencapai tingkat rata-rata 94 persen per tahun pada periode 1990
sampai 2000. Pada tahun 2003, pemerintah berhasil mencapai target penerimaan
cukai rokok dan minuman keras sebesar Rp. 27,9 triliun (1,4 persen dari PDB), di
mana sekitar 98 persen berasal dari industri rokok. Persentase penerimaan cukai
Tabel 1.3. Persentase Penerimaan Cukai Tembakau Terhadap Total Penerimaan Cukai
Tahun Cukai Tembakau (Rp miliar)
Sumber: Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, 2002
Untuk meningkatkan penerimaan negara guna menjaga keseimbangan
anggaran, salah satu sumber potensialnya adalah dari industri rokok.
Perkembangan kondisi industri rokok di Indonesia dapat dilihat dari sisi jumlah
perusahaan, produksi rokok, dan tenaga kerja. Pada tahun 1981 sampai 2002,
jumlah perusahaan secara total pada industri rokok menunjukkan kondisi yang
cukup dinamis. Pertumbuhan jumlah perusahaan rokok secara total tumbuh
sebesar rata-rata 3,2 persen per tahun.
Total produksi rokok secara keseluruhan mencapai puncaknya pada tahun
1998 dengan total produksi sebanyak 269,85 miliar batang dengan nilai sebesar
Rp 22,09 triliun. Perkembangan produksi industri rokok secara rata-rata dari tahun
1981 sampai 2002 sebesar 5,48 persen.
Dilihat dari pertumbuhan penyerapan tenaga kerja per tahun, industri
rokok tumbuh sebesar 2,69 persen dari tahun 1981 sampai 2002. Secara
keseluruhan, kondisi industri rokok, baik dilihat dari sisi jumlah perusahaan,
produksi, dan penyerapan tenaga kerja menunjukkan suatu kondisi yang cukup
Industri rokok memberikan kontribusi yang penting bagi pemerintah.
Cukai rokok yang dikenakan oleh pemerintah menjadi salah satu sumber
penerimaan negara untuk pembiayaan pembangunan. Selama rentang waktu dari
tahun anggaran 1995/1996 hingga semester I tahun anggaran 2003, penerimaan
pemerintah cukai hasil tembakau telah meningkat sekitar 7,6 kali, yaitu dari Rp.
3.667,60 miliar menjadi Rp. 26.300 smiliar. Mengingat begitu besarnya peranan
cukai hasil tembakau terhadap penerimaan negara sebagai sumber dana
pembangunan, maka penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian dengan
judul “Analisis Faktor-Faktor Makro yang Mempengaruhi Penerimaan Pemerintah dari Cukai Hasil Tembakau”.
1.2. Permasalahan
Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang
Cukai menggantikan beberapa perundang-undangan produk kolonial Belanda,
sektor cukai mendapatkan perhatian yang cukup besar dari masyarakat luas,
khususnya dari para pakar, pengusaha barang kena cukai dan para pejabat
eksekutif maupun legislatif. Salah satu faktor penting yang menjadi daya tarik
mengapa cukai sering dibicarakan oleh berbagai kalangan masyarakat adalah
peranannya terhadap pembangunan dalam bentuk sumbangannya kepada
penerimaan negara yang tercermin pada APBN khususnya dalam kelompok
penerimaan dalam negeri yang selalu meningkat dari tahun ke tahun.
Sejalan dengan semakin meningkatnya kebutuhan dana untuk kegiatan
pemerintahan di satu pihak, semakin berfluktuasinya penerimaan negara dari
diperlukan upaya peningkatan dana yang berasal dari dalam negeri termasuk
penerimaan cukai. Disamping itu, masih rendahnya rasio antara penerimaan cukai
terhadap PDB di Indonesia yaitu baru sekitar 0,75 persen, sementara di
negara-negara lain telah mencapai rata-rata diatas 2 persen, mengindikasikan bahwa
penerimaan cukai masih mungkin untuk terus ditingkatkan. Begitu juga dengan
penerimaan pemerintah dari cukai hasil tembakau yang menunjukkan tren yang
selalu meningkat dari tahun ke tahun. Asumsi makro yang digunakan dalam
memperkirakan penerimaan pemerintah dari cukai hasil tembakau pada penelitian
ini adalah Gross Domestic Product (GDP), nilai tukar, konsumsi, dan dummy
krisis (Isdijoso, 2004). Oleh karena itu, permasalahan yang dibahas oleh penulis
dalam penelitian ini adalah bagaimana faktor-faktor dari sisi makro dapat
mempengaruhi penerimaan pemerintah dari cukai hasil tembakau.
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah
menganalisis faktor-faktor makro yang mempengaruhi penerimaan pemerintah
dari cukai hasil tembakau.
1.4. Ruang Lingkup
Dalam tulisan ini penulis membatasi ruang lingkup pembahasan pada
faktor-faktor secara makro yang mempengaruhi penerimaan pemerintah dari cukai
hasil tembakau dari tahun 1992 sampai 2005. Adapun faktor-faktor tersebut antara
1. Gross Domestic Product (GDP)
2. Nilai tukar
3. Konsumsi
4. Dummy krisis.
Menurut Nusantoro (2004), penerimaan pemerintah dari cukai hasil
tembakau sebagian besar, sekitar 98 persen berasal dari industri rokok. Oleh
karena itu, pengertian cukai hasil tembakau dalam tulisan ini lebih ditekankan
kepada cukai rokok untuk semua jenis, yaitu Sigaret Kretek Mesin (SKM), Sigaret
Kretek Tangan (SKT), dan Sigaret Putih Mesin (SPM).
1.5. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, yaitu:
1. Bagi penulis, sebagai sarana untuk dapat lebih memahami mengenai
faktor-faktor makro yang mempengaruhi penerimaan pemerintah dari
cukai hasil tembakau.
2. Bagi pembaca, sebagai salah satu sumber informasi untuk dijadikan
literatur mengenai faktor-faktor makro yang mempengaruhi penerimaan
pemerintah dari cukai hasil tembakau.
3. Bagi pemerintah, sebagai saran dan bahan masukan dalam membuat
langkah-langkah strategis untuk meningkatkan penerimaan pemerintah
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1. Pajak
Pajak adalah pungutan yang merupakan hak prerogatif pemerintah,
pemungutan berdasarkan undang-undang, pemungutannya dapat dipaksakan
kepada subjek pajak untuk mana tidak ada balas jasa yang dapat langsung
ditunjukkan penggunaannya (Mangkoesoebroto, 1995). Pajak dapat dibagi dua,
yaitu pajak langsung dan pajak tidak langsung. Pajak langsung adalah pajak yang
bebannya diderita oleh wajib pajak atau orang yang dimaksud dalam
undang-undang, contohnya Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB),
pajak kekayaan, dan lain-lain. Sedangkan yang dimaksud dengan pajak tidak
langsung adalah pajak yang bebannya diharapkan akan ditanggung konsumen,
contohnya pajak penjualan, Pajak Pertambahan Nilai (PPN), cukai, dan lain-lain.
2.2. Cukai
Cukai adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang
tertentu yang mempunyai sifat dan karakteristik tertentu atau pungutan negara
terhadap Barang Kena Cukai (BKC). Sedangkan yang dimaksud dengan BKC
adalah barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik yang
ditetapkan dalam UU Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai. Barang kena cukai
terdiri dari tiga jenis yaitu:
1. Etil Alkohol atau etanol, dengan tidak mengindahkan bahan yang
jernih, dengan rumus kimia C2H5OH yang diperoleh baik secara peragian
dan/atau penyulingan maupun sintesa kimiawi
2. Minuman yang mengandung etil alkohol (MMEA) dalam kadar berapa
pun, dengan tidak mengindahkan bahan yang digunakan dan proses
pembuatannya, termasuk konsentrat yang mengandung etil alkohol;
sabagai contoh bir, shandy, anggur, dan lain-lain. MMEA adalah semua
barang cair yang lazim disebut minuman dan mengandung etil alkohol,
sedangkan konsentrat yang mengandung etil alkohol adalah bahan yang
mengandung etil alkohol yang digunakan sebagai bahan baku atau bahan
penolong dalam pembuatan minuman yang mengandung etil alkohol
3. Hasil tembakau, yang meliputi sigaret, cerutu, rokok daun, tembakau iris,
dan hasil pengolahan tembakau lainnya, dengan tidak mengindahkan
digunakan atau tidak bahan pengganti atau bahan pembantu dalam
pembuatannya.
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) merencanakan untuk
memperluas obyek barang kena cukai, berkaitan dengan semakin berat beban
anggaran dan pendapatan negara untuk mendukung penyelenggaraan
pemerintahan dalam rangka kesinambungan pembangunan. Sehubungan dengan
rencana perluasan obyek cukai tersebut DJBC telah mengadakan kajian atas dua
belas obyek yang dianggap layak dikenakan cukai yaitu minuman ringan, semen,
sabun, detergen, air mineral, sodium cyclamate dan sacharine, gas alam,
Tujuan kebijakan pemerintah di bidang cukai adalah menjamin keamanan
penerimaan cukai, mengontrol dan membatasi tingkat konsumsi serta menciptakan
keadilan, dan iklim usaha yang sehat. Sasaran kebijakan cukai adalah berupaya
menghasilkan penerimaan cukai secara optimal dan mencapai target, menciptakan
dan mempertahankan kesempatan kerja, menciptakan dan membina iklim
persaingan yang sehat dan kepastian berusaha serta melindungi dan membina
industri khususnya berskala kecil dalam negeri (Surjono, 2004).
Besarnya tarif cukai yang ditentukan oleh pemerintah ditetapkan dengan
dua cara, yaitu:
1. Tarif ad valorem, dimana cukai dikenakan dengan cara menetapkan
besaran prosentase tarif terhadap harga jual barang kena cukai.
2. Tarif nominal, dimana cukai dikenakan dengan menetapkan besaran rupiah
terhadap satuan volume barang kena cukai, seperti Rp/batang dan Rp/liter.
Besarnya tarif cukai yang telah ditetapkan berdasarkan tarif prosentase
atau tarif nominal akan menentukan besarnya penerimaan cukai bagi pemerintah.
Pada sistem ad varolem, proyeksi pendapatan pemerintah dari cukai sangat
tergantung pada ketepatan dalam memproyeksikan Harga Jual Eceran (HJE) dan
besarnya volume penjualan. Dari dua variabel yang diproyeksikan tersebut, maka
dapat diperkirakan besarnya penerimaan negara dari cukai yaitu perkalian antara
prosentase tarif cukai dengan HJE dan besarnya volume penjualan. Sedangkan
pada sistem tarif nominal, proyeksi pendapatan pemerintah dari cukai hanya
ditentukan dari ketepatan dalam memperkirakan besarnya volume penjualan.
diperhitungkan besarnya dengan cara mengalikan tarif cukai untuk setiap satuan
barang kena cukai dengan besarnya volume penjualan barang kena cukai
(Tjahjaprijadi dan Indarto, 2003).
2.2.1. Cukai Hasil Tembakau
Cukai hasil tembakau adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap
barang-barang hasil tembakau yang meliputi sigaret, cerutu, rokok daun,
tembakau iris, dan hasil pengolahan tembakau lainnya. Kebijakan cukai hasil
tembakau di Indonesia dimulai sejak tahun 1932 di mana pemerintah masih
menggunakan kebijaksanaan induk warisan pemerintah Hindia Belanda sebagai
landasan hukum pungutan yaitu Ordonansi Cukai Tembakau 1932. Pada saat itu,
cukai tembakau sama untuk semua jenis hasil tembakau yaitu sebesar 20 persen.
Namun, sejak tahun 1936 tarif cukai hasil tembakau mulai dibedakan berdasarkan
jenis produknya, yaitu:
1. 30 persen untuk semua sigaret yang dibuat dengan mesin dan tembakau
iris
2. 20 persen untuk sigaret yang dibuat dengan tangan
3. 30 persen untuk tembakau iris rajangan
4. 20 persen untuk cerutu, klembak menyan dan hasil tembakau lainnya.
Kebijakan cukai yang menarik saat itu yakni melarang pemasukan hasil
tembakau buatan luar negeri yang dimasukkan ke dalam daerah pabean
Indonesia dalam upaya mengamankan dan meningkatkan produksi hasil-hasil
tembakau dalam negeri kecuali untuk para anggota perwakilan negara asing untuk
kemudian tahun 1968, hasil tembakau buatan luar negeri diperbolehkan masuk
asalkan membayar cukai serta pajak lainnya dan ini berlangsung hingga sekarang.
2.2.2. Penetapan Tarif Cukai Hasil Tembakau
Tarif cukai rokok digolongkan berdasarkan produksi tahunan dan jenis
rokok yang diproduksi. Terdapat tiga macam jenis rokok di Indonesia, yaitu
Sigaret Kretek Mesin (SKM) atau rokok kretek yang menggunakan filter, Sigaret
Kretek Tangan (SKT) atau rokok kretek tanpa filter, dan Sigaret Putih Mesin
(SPM) atau rokok putih. Sedangkan, produksi rokok tahunan dihitung berdasarkan
pemesanan pita cukai rokok, yang terbagi dalam tiga golongan, yaitu:
1. Golongan I atau produsen berskala besar adalah produsen yang memiliki
produksi tahunan lebih dari dua miliar batang per tahun.
2. Golongan II atau produsen skala medium adalah untuk produsen yang
memiliki produksi tahunan 500 juta batang hingga dua miliar batang per
tahun.
3. Golongan III atau produsen berskala kecil adalah produsen yang
memproduksi kurang dari 500 juta batang per tahun.
Sesuai dengan golongan produksi tahunan yang dimiliki, tarif cukai rokok
yang diberlakukan juga berbeda. Sebagai contoh pada tahun 2003 untuk golongan
I jenis SKM dan SPM, masing-masing dikenai cukai sebesar 40 persen. Adapun
untuk golongan II jenis yang sama dikenai tarif cukai sebesar 36 persen. Untuk
SKT dikenai tarif cukai yang lebih rendah, di mana untuk golongan I sebesar 22
Menurut Tjahjaprijadi dan Indarto (2003), tarif cukai rokok yang
ditetapkan oleh pemerintah bersifat majemuk, artinya besarnya tarif cukai
dibedakan berdasarkan tiga hal, yaitu:
1. Proses produksi; dalam proses produksi, besarnya tarif cukai ditentukan
berdasarkan jenis hasil tembakau dan karakteristik produksinya
2. Besar kecilnya volume penjualan (strata volume); kemampuan produksi
maupun strategi usaha pada tiap industri rokok akan menentukan
banyaknya jumlah rokok yang akan diproduksi
3. Harga jual eceran (strata harga); penetapan harga jual eceran ditentukan
berdasarkan jenis hasil tembakau dan pengelompokan besar kecilnya
industri rokok.
2.2.3. Penetapan Harga Jual Eceran (HJE)
Harga jual eceran merupakan angka yang menunjukkan batas maksimal
dan minimal yang dihasilkan oleh suatu industri rokok yang dapat dijual ke
masyarakat, yang ditentukan berdasarkan jenis hasil tembakau dan
pengelompokan besar kecilnya industri rokok (Tjahjaprijadi dan Indarto, 2003).
Harga jual eceran juga mencakup harga pokok serta keuntungan produsen,
distributor, dan penjual eceran, sebagai tambahan pada cukai dan PPN.
Pemerintah juga menetapkan HJE minimum berdasarkan jenis rokok serta
golongan produsen rokok. Berdasarkan jenis rokok yang diproduksi, tarif cukai
rokok SKT adalah yang paling rendah dibandingkan dengan jenis rokok SKM dan
Tabel 2.1. Struktur Tarif Cukai dan HJE Minimum Rokok di Indonesia
Sumber: Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, 2003
Besarnya tarif cukai dan harga jual eceran minimum akan semakin kecil
seiring dengan semakin kecilnya skala usaha produksi rokok. Industri rokok
dengan skala produksi lebih besar diberi beban pengenaan cukai lebih besar
dibanding industri rokok yang lebih kecil. Contohnya untuk SKM golongan pada
skala perusahaan besar, tarif cukai yang dikenakan sebesar 40 persen, pada skala
perusahaan sedang, tarif cukai yang dikenakan sebesar 36 persen, dan tarif yang
ditetapkan semakin kecil pada skala perusahaan kecil yaitu sebesar 26 persen.
Adalah sangat relevan bahwa kemampuan untuk menghasilkan rokok yang lebih
besar harus diikuti dengan pengenaan tarif cukai yang lebih tinggi agar
penerimaan cukai bagi negara juga dapat lebih besar.
2.3. Faktor-Faktor Makro Yang Mempengaruhi Penerimaan Pemerintah dari Cukai Hasil Tembakau
Bidang ekonomi secara tradisional dibagi dalam dua sub bidang luas, yaitu
ekonomi mikro dan ekonomi makro. Ekonomi mikro mengkaji bagaimana rumah
tangga dan perusahaan membuat keputusan dan bagaimana mereka berinteraksi di
pasar, sedangkan ekonomi makro mengkaji fenomena perekonomian secara luas,
seperti inflasi, pengangguran, GDP, nilai tukar, dan pertumbuhan ekonomi.
makro maupun sisi mikro. Faktor mikro yang dapat mempengaruhi penerimaan
pemerintah dari cukai hasil tembakau misalnya adalah faktor produksi rokok
seperti jumlah bahan baku, pemakaian tenaga kerja, upah buruh rokok dan harga
jual eceran rokok, sedangkan asumsi makro yang digunakan dalam
memperkirakan penerimaan pemerintah dari cukai hasil tembakau adalah Gross
Domestic Product (GDP), nilai tukar, konsumsi, dan dummy krisis.
2.3.1. Gross Domestic Product (GDP)
GDP adalah ukuran keluaran total yang mencerminkan jumlah semua nilai
tambah yang ada dalam suatu sistem ekonomi. Besarannya merupakan ukuran
semua keluaran akhir yang diproduksi oleh semua aktivitas produktif di dalam
sistem ekonomi tersebut (Lipsey, Courant, Purvis, dan Steiner, 1995). GDP dapat
dihitung melalui dua pendekatan yaitu pendekatan pengeluaran dan pendekatan
pendapatan. GDP pada sisi pengeluaran merupakan suatu jenis perhitungan GDP
yang dilakukan dengan menjumlahkan pengeluaran total setiap komponen utama
keluaran final. Pengeluaran total pada keluaran final merupakan jumlah dari
empat kategori pengeluaran yaitu konsumsi, investasi, pengeluaran pemerintah,
dan ekspor netto. GDP dari sisi pendapatan adalah jumlah berbagai pendapatan
faktor yang dihasilkan pada proses memproduksi keluaran akhir ditambah pajak
tidak langsung netto subsidi ditambah dengan penyusutan (Lipsey et al, 1995).
Besarnya GDP dapat digambarkan sebagai ukuran total output yang
diproduksi oleh semua aktifitas ekonomi, maka perubahan GDP dapat
mempengaruhi penerimaan pemerintah. Ketika jumlah produksi secara toal
tembakau juga akan berubah. Besarnya produksi rokok tahunan dapat dihitung
berdasarkan pemesanan pita cukai. Jika produksi rokok meningkat, maka
pemesanan pita cukai juga akan meningkat dan akhirnya akan meningkatkan
penerimaan pemerintah dari cukai rokok.
2.3.2. Nilai Tukar
Nilai tukar atau kurs dapat dibedakan menjadi dua yaitu, kurs nominal dan
kurs riil. Kurs nominal adalah harga relatif dari mata uang dua negara, sedangkan
yang dimaksud dengan kurs riil adalah harga relatif dari barang-barang kedua
negara (Mankiw, 2000). Sistem pokok nilai valuta asing dapat dibedakan menjadi
dua, yaitu sistem nilai tukar tetap dan sistem nilai tukar mengambang. Pembedaan
ini berdasarkan besar cadangan devisa dan intervensi bank sentral yang diperlukan
untuk mempertahankan kurs pada sistem tersebut.
Sebelum krisis ekonomi yang diawali dengan krisis nilai tukar, Indonesia
menganut sistem nilai tukar mengambang terkendali. Ketika sistem ini semakin
sulit dipertahankan, otoritas moneter mengubah sistem nilai tukar menjadi sistem
nilai tukar mengambang bebas.
Nilai tukar yang terapresiasi atau terdepresiasi dapat mempengaruhi
penerimaan pemerintah dari cukai rokok. Perubahan dalam nilai tukar tersebut
akan menyebabkan perubahan harga-harga. Karena perubahan harga-harga
tersebut maka biaya produksi dan jumlah konsumsi juga berubah. Hal ini akan
menyebabkan kapasitas produksi dari perusahaan rokok juga akan berubah dan
2.3.3. Konsumsi
Konsumsi terdiri dari barang dan jasa yang dibeli rumah tangga. Konsumsi
dibagi menjadi tiga subkelompok yaitu, barang tidak tahan lama, barang tahan
lama, dan jasa (Mankiw, 2000). Produk hasil tembakau khususnya rokok
termasuk barang tidak tahan lama karena rokok merupakan barang yang habis
dipakai dalam waktu pendek.
Menurut WHO, Indonesia merupakan konsumen rokok tertinggi kelima di
dunia dengan jumlah rokok yang dikonsumsi pada tahun 2002 sebanyak 182
miliar batang rokok setiap tahun setelah Cina (1.697 miliar batang), Amerika
Serikat (480 miliar batang), Jepang (230 miliar batang), dan Rusia (230 miliar
batang). Jumlah uang yang dibelanjakan penduduk Indonesia untuk tembakau 2,5
kali lipat dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan untuk pendidikan dan 3,2
kali lipat dari biaya kesehatan. Diperkirakan 4 persen rata-rata pendapatan per
kapita rakyat Indonesia dihabiskan untuk konsumsi rokok.
Rata-rata pengeluaran sebulan untuk konsumsi rokok cenderung
meningkat lebih besar terjadi di daerah perkotaan dari pada di pedesaan. Hal ini
tentunya tidak lepas dari lebih besarnya tingkat pendapatan yang dapat
mendorong kenaikan konsumsi rokok di daerah perkotaan. Meskipun rata-rata
pengeluaran untuk konsumsi rokok di daerah pedesaan lebih kecil dibanding
daerah perkotaan, namun tetap menunjukkan bahwa desa memiliki rata-rata
pengeluaran terhadap konsumsi rokok yang terus meningkat setiap tahunnya.
WHO menyatakan masyarakat miskin adalah kelompok masyarakat yang
membeli rokok yang justru membahayakan kesehatan. Bahkan di negara maju,
jumlah perokok terbanyak berasal dari kelompok masyarakat miskin.
Besarnya proporsi pengeluaran untuk konsumsi rokok akan mempengaruhi
besarnya penerimaan pemerintah dari cukai hasil tembakau. Ketika terjadi
peningkatan proporsi pengeluaran untuk konsumsi rokok yang mengindikasikan
terjadinya peningkatan permintaan rokok, maka pabrik rokok akan meningkatkan
jumlah produksi yang artinya tingkat penawaran rokok meningkat dan akhirnya
penerimaan cukai hasil tembakau juga akan meningkat. Sesuai dengan hukum
penawaran dengan menganggap faktor lain konstan, kuantitas barang yang
ditawarkan akan meningkat ketika harga barang meningkat karena adanya
peningkatan permintaan barang. Hal ini juga didukung oleh teori Marshall
mengenai keseimbangan permintan dan penawaran di pasar yang dapat dijelaskan
pada Gambar 2 di bawah ini.
Harga (P)
Penawaran
P*
Permintaan
Q1 Q2 Kuantitas (Q)
Gambar 2. Perpotongan Permintaan dan Penawaran
Sebagai langkah awal, diasumsikan bahwa harga-harga ditentukan oleh
permintaan-penawaran ini terbentuk keseimbangan harga (P*) pada tingkat dimana
permintaan sama dengan penawaran (Nicholson, 2002).
2.3.4. Variabel Dummy
Menurut Gujarati (2003), variabel dummy merupakan variabel penjelas
yang bersifat kualitatif dalam analisis regresi. Variabel dummy disebut juga
variabel biner atau variabel dikotomi karena hanya terdiri dari dua nilai. Dalam
penelitian ini, variabel dummy yang digunakan adalah variabel dummy untuk
kondisi perekonomian Indonesia, yaitu sebelum dan sesudah krisis ekonomi.
Krisis ekonomi menyebabkan terjadinya ketidakstabilan kondisi
perekonomian secara makro. Hal ini dapat menyebabkan kepercayaan pasar dalam
negeri dan juga kondisi industri-industri tidak stabil, termasuk kondisi industri
rokok. Ketidakstabilan kondisi industri rokok ini dapat menyebabkan penerimaan
pemerintah dari cukai hasil tembakau juga tidak stabil.
2.4. Penelitian Terdahulu
Roy (2004) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi
rokok kretek di Indonesia dengan menggunakan analisis regresi berganda. Metode
analisis yang digunakan adalah Ordinary Least Square (OLS) dengan
menggunakan program Minitab for Windows. Hasil analisis menunjukkan selama
periode 1984 sampai 2003, tingkat konsumsi rokok kretek nasional memiliki
kecederungan meningkat. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat
konsumsi rokok kretek antara lain produksi rokok kretek, harga rokok kretek,
kebijakan tarif cukai, dan peubah dummy peraturan pemerintah. Dari hasil analisis
dan arahnya positif dengan tingkat konsumsi. Keadaan ini membuat perusahaan
rokok kretek Indonesia tidak merasa khawatir untuk memproduksi rokok karena
konsumsi yang terus dilakukan seiring dengan adanya produksi. Sedangkan
peubah harga rokok kretek dan tarif cukai tidak berpengaruh secara nyata dan
arahnya adalah negatif. Pada dasarnya bila tarif cukai dinaikkan akan berimplikasi
pada kenaikan harga rokok, karena tarif cukai merupakan pajak yang dibebankan
pada konsumen yang dimasukkan pada harga jual eceran rokok. Untuk peubah
dummy peraturan pemerintah tidak mengindikasikan adanya perbedaan antara
tahun-tahun dikeluarkannya peraturan tersebut. Hal ini terjadi karena belum
tersosialisasinya peraturan pemerintah tersebut kepada berbagai pihak dan
perusahaan rokok belum merasa siap untuk melaksanakannya.
Hasil analisis Putri (2004) tentang struktur, perilaku, dan kinerja industri
rokok kretek di Indonesia menunjukkan bahwa jumlah pangsa pasar terbesar pada
industri rokok kretek di Indonesia pada tahun 2003 diperoleh nilai rasio
konsentrasi (CR4) sebesar 75,8 persen, yang berarti industri rokok kretek
digolongkan ke dalam stuktur pasar oligapoli. Dalam analisis kinerja industri
rokok kretek, perkembangan tingkat keuntungan (PCM) setiap tahunnya
cenderung fluktuatif pada tahun tertentu, sedangkan perkembangan tingkat
efisiensi internalnya (X-eff) cenderung tinggi setiap tahun, dan perkembangan
tingkat utilitas kapasitas produksi (CU) setiap tahun cenderung stabil.
Hasil analisis hubungan struktur dan kinerja industri rokok kretek di
Indonesia, variabel bebas yang memiliki pengaruh terhadap tingkat keuntungan
memiliki pengaruh nyata. Dari ketiga varibel yang mempengaruhi PCM, efisiensi
internal memiliki pengaruh nyata dan nilai koefisien yang paling besar. Hal ini
menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan rokok kretek memiliki efisiensi
internal yang berperan besar dalam mempengaruhi tingkat keuntungan.
2.5. Kerangka Pemikiran
Masalah-masalah ekonomi yang terjadi di Indonesia menuntut pemerintah
agar lebih cermat lagi dalam menentukan langkah-langkah apa yang harus diambil
untuk memulihkan perekonomian. Untuk mengatasi masalah-masalah ekonomi,
dibuat penyesuaian-penyesuaian alat kebijakan agar dapat digunakan secara tepat,
bermanfaat, dan mencapai sasarannya. Salah satu upaya yang dilakukan
pemerintah untuk memulihkan dan menstabilkan perekonomian adalah melalui
peranan kebijakan fiskal. Salah satu instrumen kebijakan fiskal adalah pajak.
Penerimaan pemerintah dari sektor pajak terdiri dari pajak dalam negeri dan pajak
perdagangan internasional.
Penerimaan pemerintah dari sektor cukai termasuk ke dalam penerimaan
pajak dalam negeri. Ada tiga jenis barang kena cukai, yaitu etil alkohol, minuman
yang mengandung etil alkohol, dan hasil tembakau. Dari ketiga barang kena cukai
tersebut yang paling besar peranannya dalam penerimaan pemerintah adalah cukai
hasil tembakau yang terdiri dari Sigaret Kretek Mesin (SKM), Sigaret Kretek
Tangan (SKT), dan Sigaret Putih Mesin (SPM) yaitu sekitar 95 persen. Asumsi
makro yang digunakan dalam memperkirakan penerimaan pemerintah dari cukai
Pajak
Rumusan jawaban sementara mengenai permasalahan dari tulisan ini
berdasarkan teori dan konsep adalah:
1. GDP, diduga berpengaruh positif terhadap penerimaan pemerintah dari
cukai hasil tembakau.
2. Nilai tukar, diduga berpengaruh negatif terhadap penerimaan pemerintah
dari cukai hasil tembakau.
3. Konsumsi, diduga berpengaruh positif terhadap penerimaan pemerintah
dari cukai hasil tembakau.
4. Variabel dummy kondisi perekonomian Indonesia, sebelum dan sesudah
krisis, diduga berpengaruh negatif terhadap penerimaan pemerintah dari
III. METODE PENELITIAN
3.1. Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang
berupa gabungan dari data runtun waktu (time series) tahunan dari tahun
1992-2005. Data yang dikumpulkan diperoleh dari berbagai sumber yaitu Biro Pusat
Statistik (BPS), Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), International
Finansial Statistic (IFS), dan beberapa jurnal serta literatur lain yang relevan
berhubungan dengan penelitian ini.
3.2. Metode Pengolahan dan Analisis Data
Metode analisis yang digunakan untuk mengolah data dalam penelitian ini
adalah metode Ordinary Least Square (OLS) dengan menggunakan program
Eviews 4.1. Menurut Gujarati (2003) terdapat beberapa asumsi yang digunakan
dalam metode OLS, yaitu:
1. Nilai rata-rata bersyarat dari ui, tergantung pada Xi tertentu adalah nol.
2. Varian bersyarat dari ui adalah konstan (homoskedastisitas).
3. Tidak ada korelasi berurutan (autokorelasi).
4. Variabel yang menjelaskan adalah nonstokastik yaitu, tetap dalam
penyampelan berulang.
5. Tidak ada linier sempurna antara variabel independen (multikolinieritas).
6. u didistribusikan secara normal dengan rata-rata dan varian yang diberikan
Jika asumsi di atas dipertahankan maka penduga kuadrat terkecilnya merupakan
penduga linier tak bias terbaik atau Best Linier Unbiassed Estimator (BLUE).
Dalam penelitian ini metode OLS digunakan untuk menganalisis
faktor-faktor makro yang mempengaruhi penerimaan pemerintah dari cukai hasil
tembakau, yaitu:
1. Gross Domestic Product (miliar rupiah)
2. Konsumsi, diproksi dari proporsi pengeluaran untuk konsumsi rokok
(persen)
3. Nilai tukar Rp/$ (rupiah)
4. Dummy krisis
Secara matematis hubungan antara penerimaan pemerintah dari cukai hasil
tembakau dengan faktor-faktor yang mempengaruhi tersebut dapat dituliskan
sebagai berikut:
KR = Proporsi pengeluaran untuk konsumsi rokok sebagai proksi dari
konsumsi (persen)
LER = Nilai tukar Rp/$
DK = Dummy krisis, dimana
DK = 0, sebelum krisis
bo = intersep
b1,..., b4 = koesisien kemiringan parsial
u = unsur gangguan stokastik
t = observasi ke-t
Setelah menspesifikasikan model, maka yang selanjutnya dilakukan adalah
mengestimasi model persamaan tersebut untuk mendapatkan hasil yang seakurat
mungkin. Oleh karena itu, dilakukan beberapa kriteria pengujian terhadap model
persamaan tersebut, yaitu pengujian statistik, ekonometrik, dan ekonomi.
3.3. Pengujian Statistik
Pengujian statistik meliputi uji koefisien determinasi (R2), uji koefisien
regresi secara serentak (uji F), dan uji koefisien regresi secara parsial (uji t).
3.3.1. Uji Koefisien Determinasi (R2)
Uji R2 digunakan untuk melihat sejauh mana variabel bebas mampu
menjelaskan variabel terikat. R2 merupakan besaran non negatif dan besarannya
adalah 0≤R2≤1. Jika R2 bernilai satu berarti variabel dependen bisa dijelaskan
secara sempurna oleh variabel independen, sedangkan jika R2 bernilai nol berarti
varibel dependen tidak bisa dijelaskan oleh variabel independen. R2 dapat dihitung
dengan menggunakan rumus di bawah ini.
JKT JKR R2 =
dimana:
R2 = koefisien determinasi
JKT = jumlah kuadrat total
3.3.2. Uji F-Statistik
Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui apakah variabel independen
secara keseluruhan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap variabel
dependen. Langkah-langkah pengujian meliputi:
Hipotesis:
H0: bi = 0
H1: minimal ada salah satu bi≠ 0
Kriteria uji:
Probabilitas F-statistik < taraf nyata, maka tolak H0
Probabilitas F-statistik > taraf nyata, maka terima H0
Jika H0 ditolak berarti minimal ada satu variabel independen yang berpengaruh
signifikan terhadap variabel dependen dan sebaliknya jika H0 diterima berarti
tidak ada satu pun variabel independen yang berpengaruh nyata terhadap variabel
dependen.
3.3.3. Uji t-Statistik
Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui apakah variabel independen
secara individu memiliki pengaruh yang signifikan terhadap variabel dependen.
Langkah-langkah pengujian meliputi:
Hipotesis:
H0: bi = 0 i = 1, 2, 3,...., k
Kriteria uji:
Probabilitas t-statistik < taraf nyata, maka tolak H0
Probabilitas t-statistik > taraf nyata, maka terima H0
Jika H0 ditolak berarti variabel independen berpengaruh signifikan terhadap
variabel dependen dan sebaliknya jika H0 diterima berarti variabel independen
tidak berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen.
3.4. Pengujian Ekonometrik
Pengujian ekonometrik digunakan untuk melihat ada atau tidaknya
pelanggaran terhadap asumsi klasik pada penggunaan metode OLS. Pengujian
ekonometrik meliputi uji multikolinearitas, uji autokorelasi, uji
heteroskedastisitas, dan uji normalitas. Apabila terjadi pelanggaran maka
diperoleh hasil estimasi yang tidak valid.
3.4.1. Multikolinearitas
Uji multikolinearitas adalah pengujian yang dilakukan untuk melihat
apakah terdapat hubungan linier diantara beberapa atau semua variabel bebas dari
model regresi. Adanya multikolinear dalam model regresi akan menyebabkan
penduga koefisien regresi menjadi tidak signifikan meskipun nilai koefisien
determinasi sangat tinggi. Nilai-nilai dugaan koefisien regresi menjadi tidak dapat
ditaksir dengan metode kuadrat terkecil dan penduga koefisien regresi mempunyai
simpangan baku yang sangat besar. Salah satu cara untuk mendeteksi ada
3.4.2. Autokorelasi
Autokorelasi merupakan gejala adanya korelasi antara anggota
serangkaian observasi yang diurutkan melalui deret waktu. Adanya gejala
autokorelasi dalam suatu persamaan akan menyebabkan suatu persamaan akan
memiliki selang kepercayaan yang semakin besar dan pengujian menjadi kurang
akurat, mengakibatkan hasil uji t, uji F menjadi tidak sah dan penaksiran regresi
akan menjadi sensitif terhadap fluktuasi penyampelan. Uji yang sering digunakan
untuk mendeteksi ada atau tidaknya autokorelasi adalah uji Durbin Watson
Statistic atau Breusch-Godfrey Serial LM Test. Uji Durbin Watson Statistic
digunakan untuk data dengan jumlah pengamatan yang kecil. Pengujian dengan
Breusch-Godfrey Serial LM Test dilihat dari nilai probabilitas Obs*R-squared.
Apabila nilai probabilitas Obs*R-squared lebih besar dari taraf nyata tertentu
maka persamaan tidak memiliki autokorelasi. Sebaliknya, jika nilai probabilitas
Obs*R-squared kurang dari taraf nyata tertentu, maka persamaan memiliki
autokorelasi
3.4.3. Heteroskedastisitas
Salah satu asumsi pokok dalam model regresi adalah bahwa varian setiap
disturbance term yang dibatasi oleh nilai tertentu mengenai varibel-variabel bebas
adalah berbentuk suatu nilai konstan. Inilah yang disebut dengan asumsi
homoscedasticity atau varian yang sama.
Cara untuk mendeteksi ada atau tidaknya gejala heteroskedastisitas dapat
dilakukan dengan menggunakan White Heteroscedasticity Test. Pengujian dilihat
besar dari taraf nyata tertentu, maka persamaan tidak memiliki heteroskedastisitas.
Begitu juga sebaliknya, jika nilai probabilitas Obs*R-squared kurang dari taraf
nyata tertentu, maka dapat disimpulkan bahwa persamaan tersebut mengalami
gejala heteroskedastisitas.
3.4.4. Uji Normalitas
Uji normalitas digunakan karena jumlah data yang digunakan kurang dari
30. Uji ini digunakan untuk melihat apakah error term mendekati distribusi
normal. Pada software Eviews, uji normalitas dilakukan dengan menggunakan
Descriptive Statistic Test. Jika nilai probabilitas Jarque-Bera lebih besar dari taraf
nyata yang digunakan maka model persamaan tidak mempunyai masalah
normalitas atau error term terdistribusi secara normal.
3.5. Pengujian Ekonomi
Dalam pengujian ekonomi, hasil pendugaan dalam persamaan disesuaikan
dengan teori ekonomi. Pada uji ekonomi yang dilihat adalah tanda serta nilai dari
koefisien masing-masing variabel independen dari hasil analisis regresi. Jika tanda
dari koefisien varibel independen positif, maka hubungan antara variabel
dependen dengan variabel independen adalah positip dan sebaliknya jika tanda
dari koefisien variabel independen adalah negatif maka hubungan antara variabel
dependen dengan variabel independen adalah negatif. Besar dari hubungan antara
variabel independen dengan variabel dependen dilihat dari nilai masing-masing
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Perkembangan Industri Rokok
Industri rokok di Indonesia telah menjadi kisah panjang tentang jatuh
bangun usaha sekelompok manusia dalam memanfaatkan tanaman tembakau.
Popularitas rokok di wilayah Kudus yang pada awalnya beredar di kalangan
masyarakat bawah pada akhirnya berkembang pesat menjadi satu jaringan industri
besar yang mampu menyerap ratusan ribu tenaga kerja untuk memproduksi rokok,
dan bahkan dewasa ini peranan industri rokok sangat berpengaruh dalam
menunjang perekonomian negara (Subangun dan Tanuwidjojo, 1993).
Industri rokok merupakan salah satu industri pengolahan tembakau.
Industri pengolahan tembakau mencakup usaha pengeringan daun tembakau,
pembuatan rokok yang mengandung cengkeh (bunga cengkeh, daun cengkeh, dan
aroma cengkeh), rokok putih, cerutu, rokok kelembak menyan, dan rokok klobot.
Berdasarkan data Statistik Industri Besar dan Sedang dari Biro Pusat statistik
(BPS), pada tahun 1981 industri rokok hanya dikelompokan menjadi dua bagian,
yaitu industri rokok kretek dan industri rokok putih. Mulai tahun 1990, industri
rokok kretek dirinci lebih spesifik lagi menjadi dua bagian, yaitu industri rokok
kretek yang terdiri dari Sigaret Kretek Tangan (SKT) dan Sigaret Kretek Mesin
(SKM), serta industri rokok lainnya yang terdiri dari rokok kelembak menyan,
rokok klobot, dan cerutu.
Industri rokok di Indonesia memiliki lembaga asosiasi, yaitu Gappri
(Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia). Industri rokok kretek menguasai 87
persen dari total produksi industri rokok. Pembuatan rokok kretek menggunakan
tembakau rakyat yang dicampur dengan cengkeh, saus, dan bumbu rokok lainnya.
Industri rokok putih memiliki pangsa pasar sebasar 13 persen yang dibuat dengan
menggunakan tembakau Virginia tanpa menggunakan cengkeh. Pembuatan rokok
putih menggunakan mesin dan disebut dengan Sigaret Putih Mesin (SPM).
Dilihat dari jumlah perusahaan secara total, pada periode tahun 1981
sampai 2002 industri rokok cukup dinamis. Hal ini ditunjukkan oleh jumlah
perusahaan yang bergerak pada industri rokok kurun waktu tersebut telah
mencapai 201 perusahaan. Perkembangan produksi industri rokok pada kurun
waktu tersebut cenderung mengalami kenaikan setiap tahun. Secara rata-rata
berdasarkan jenis hasil tembakau yang paling tinggi adalah SKM, yaitu sebesar
11,08 persen. Pertumbuhan tertinggi berikutnya adalah SPM, yaitu sebesar 6,7
persen dan diikuti oleh SKT sebesar 4,19 persen. Secara keseluruhan, produksi
rokok untuk semua jenis dapat dilihat pada Tabel 4.1.
Tabel 4.1. Total Produksi dan Nilai Industri Rokok
Tahun SKM SKT SPM 1995 109.529 67.313 38.768 216.236 11.344.870 1996 117.734 68.690 45.597 232.663 13.279.731 1997 133.917 58.273 27.204 220.033 14.908.541 1998 135.488 68.960 64.922 269.848 22.087.077 1999 128.823 65.106 59.602 254.168 30.321.613 2000 116.597 77.880 46.727 241.920 33.019.811 2001 111.224 65.024 48.103 224.965 54.768.481 2002 102.649 60.010 44.394 207.621 51.901.026
Tahun 1997 total produksi rokok mengalami penurunan, karena pada saat
itu merupakan awal krisis ekonomi melanda Indonesia. Karenanya,
perusahaan-perusahaan rokok menurunkan kapasitas produksinya. Industri rokok mulai
melakukan penyesuaian akibat dampak dari awal krisis ekonomi pada tahun 1997.
Kemudian pada tahun 1998, total produksi rokok kembali meningkat dengan total
produksi sebanyak 269,85 miliar dengan nilai sebesar Rp. 22,09 triliun. Industri
rokok melakukan efisiensi produksi dengan berkonsentrasi pada produksi rokok
SKM dan SPM yang padat modal daripada produksi rokok jenis SKT yang padat
karya.
Industri rokok memberikan kontribusi yang penting bagi perekonomian
dari sisi cukai, tenaga kerja, pertanian, maupun pajak-pajak lainnya. Namun,
keberadaan rokok ilegal yang semakin marak belakangan ini jelas sangat
merugikan negara, konsumen, industri rokok, pekerja rokok, bahkan hingga petani
tembakau dan industri pendukung lainnya seperti kertas, cengkeh, dan percetakan.
Keberadaan rokok ilegal dapat mengganggu eksistensi industri rokok legal yang
sudah ada, baik berskala kecil, menengah, maupun besar. Keberadaan rokok ilegal
juga mengancam kelangsungan hidup tenaga kerja pabrik rokok dan berdampak
pada penurunan produksi rokok legal. Ada tiga jenis rokok yang disebut ilegal.
Pertama, rokok yang tidak menggunakan pita cukai. Kedua, rokok yang
menggunakan cukai palsu, dan ketiga rokok yang menggunakan pita cukai bukan
peruntukannya. Pemerintah merupakan pihak yang paling dirugikan dengan
beredarnya rokok ilegal karena seharusnya pemerintah mendapat tambahan dana
sangat sulit untuk diprediksi. Menurut perkiraan, jumlah pabrik rokok ilegal
mencapai 5 sampai 10 persen dari industri rokok legal. Ada juga yang
memperkirakan jumlah rokok ilegal mencapai dua kali lipat dari jumlah pabrik
rokok legal. Menurut Departemen Perindustrian, terdapat sekitar 2600 industri
rokok legal yang terdaftar. Aspek legal industri rokok diatur dalam Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok bagi
Kesehatan. Penyelenggaraan pengamanan rokok bagi kesehatan dilaksanakan
dengan pengaturan, kandungan kadar nikoton dan tar, persyaratan produksi dan
penjualan rokok, persyaratan iklan dan promosi rokok, dan penetapan kawasan
tanpa rokok.
Sejak tahun 2005, World Health Organization (WHO) atau Organisasi
Kesehatan Dunia menerapkan konvensi Framework Convention on Tobacco
Control (FCTC) menjadi hokum internasional. Di ASEAN, Indonesia adalah
negara yang satu-satunya belum meratifikasi FCTC. Oleh karena itu, Indonesia
menjadi sasaran investasi industri rokok. Tujuan dari FCTC adalah untuk
melindungi generasi sekarang dan mendatang terhadap gangguan kesehatan,
konsekuensi sosial, lingkungan, dan ekonomi akibat konsumsi tembakau dan
paparan asapnya. FCTC menyediakan kerangka upaya pengendalian tembakau
untuk dilaksanakan semua pihak di tingkat nasional, regional, dan internasional
dengan tujuan mengurangi konsumsi tembakau. Salah satu caranya adalah melalui
peningkatan tarif cukai rokok dan larangan iklan di media massa.
Berdasarkan UU Nomor 11 Tahun 1997 tentang Cukai, batas tarif tertinggi
tarif cukai rokok yang terjadi di pasar masih sebesar 40 persen. Sementara isi
rekomendasi FCTC menerapkan tarif cukai minimum sebesar 2/3 atau 65 persen
dari harga jual eceran rokok. Tarif cukai rokok yang berlaku di Indonesia
merupakan yang paling rendah di dunia setelah Kamboja. Di Thailand, tarif cukai
rokok mencapai 60 persen, India 70 persen, sementara Nepal, Maldives, dan
Myanmar 75 persen. Dalam jangka panjang, langkah yang ditempuh untuk
mengurangi konsumsi tembakau adalah melalui larangan iklan rokok. Pada tahun
2008, semua produk rokok tidak diizinkan beriklan dalam bentuk apapun.
4.2. Hasil Pengujian Ekonometrik
Kriteria uji ekonometrika berdasarkan hasil estimasi ditunjukkan bahwa
pada uji multikolinearitas (korelasi yang kuat antar variabel bebas), persamaan
penerimaan pemerintah dari cukai hasil tembakau tidak mengalami
multikolinearitas. Uji Klein menyatakan bahwa apabila nilai dari koefisien
multikolinieritas tersebut tidak lebih besar dari nilai R2, maka multikolinearitas
dapat diabaikan. Hasil dari uji multikolinearitas dapat dilihat pada Tabel 4.2 di
bawah ini.
Tabel 4.2. Hasil Uji Multikolinearitas
LGDP KR LER DK
LGDP 1,000000 0,756556 0,945265 0,863464
KR 0,756556 1,000000 0,704986 0,678364
LER 0,945265 0,704986 1,000000 0,958546 DK 0,863464 0,678364 0,958546 1,000000
Pada Tabel 4.2, korelasi yang paling tinggi terdapat di antara variabel ER