• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL PENELITIAN

5.2 Analisis Statistik Hasil Pengumpulan Data

Berikut akan dipaparkan data statistik yang berhubungan dengan selisih kadar gula darah operasi antara kelompok IRD dan kelompok GBPT.

Tabel 5.4 Perbandingan kadar gula darah kelompok 1 (Darurat)

Komponen

Kadar gula darah (mg/dL)

Mean SD p*

Setelah induksi – sebelum

operasi 97.21 14.143

0.001 Setelah operasi – sebelum

ekstubasi 151.14 54.619

Selisih GDA 54.64 46.253

*bermakna bila p < 0,05

Berdasarkan hasil pemeriksaan gula darah pada kelompok 1 (IRD) (lihat tabel 5.4) didapatkan adanya perbedaan bermakna pada selisih kadar gula darah setelah induksi – sebelum operasi dengan setelah operasi – sebelum ekstubasi dengan nilai p= 0.001 (p< 0,05).

Tabel 5.5. Perbandingan kadar gula darah kelompok 2 (Elektif)

Komponen

Kadar gula darah (mg/dL)

Mean SD p

Setelah induksi – sebelum

operasi 96.07 14.494

0.000 Setelah operasi – sebelum

ekstubasi 117.07 17.530

Selisih GDA 21.00 8.849

*bermakna bila p < 0,05

Berdasarkan hasil pemeriksaan gula darah pada kelompok 2 (Elektif) (lihat tabel 5.5) didapatkan adanya perbedaan bermakna pada selisih kadar gula darah setelah induksi – sebelum operasi dengan setelah operasi – sebelum ekstubasi dengan nilai p = 0.000 (p< 0,05).

Tabel 5.6. Perbandingan selisih kadar gula darah sebelum operasi dan setelah operasi kelompok 1 (Darurat) dengan kelompok 2 (Elektif)

Selisih kadar gula darah setelah induksi – sebelum operasi dan setelah operasi – sebelum ekstubasi (mg/dL)

Mean SD P Kelompok I (Darurat) 54.64 46.253 0.004 Kelompok II (Elektif) 21.00 8.849 *bermakna bila p < 0,05

Berdasarkan selisih hasil pemeriksaan gula darah sebelum dan setelah operasi pada kelompok 1 (Darurat) dan kelompok 2 (Elektif) (lihat tabel 5.6) didapatkan adanya perbedaan bermakna antara selisih kadar gula setelah induksi – sebelum operasi dan setelah operasi – sebelum ekstubasi kelompok 1 (Darurat) dengan kelompok 2 (Elektif) dengan nilai p = 0.004 ( p < 0,05 ), dengan kata lain didapatkan kenaikan yang lebih bermakna pada kelompok 1 (Darurat) dibandingkan dengan kelompok 2 (Elektif).

Secara total, pasien yang mengalami hiperglikemia (GDA > 126 mg/dL) post-operatif sebanyak 50%. Apabila dipisahkan berdasarkan kelompoknya, pasien operasi darurat yang mengalami hiperglikemia post-operatif sebanyak 57.14% (GDA tertinggi 288 mg/dL) dan 42.86% pada pasien operasi elektif (GDA tertinggi 139 mg/dL).

BAB 6 Pembahasan

Pasien pediatri yang menjalani operasi sangat berisiko mengalami hipo maupun hiperglikemia perioperatif. Insidens hipoglikemia pada pediatri di masa preoperatif dilaporkan mencapai 70%, dimana resiko lebih besar terjadi pada usia dibawah empat tahun (48).

Masalah hipoglikemia perioperatif yang paling banyak dikhawatirkan oleh para klinisi salah satunya disebabkan karena puasa yang merupakan salah satu persiapan rutin untuk operasi. Pasien infant yang menjalani puasa lebih rentan mengalami hipoglikemia karena secara fisiologis laju metabolisme dan penggunaan glukosa mereka lebih tinggi, sementara itu cadangan glikogen yang dimiliki lebih sedikit dibanding dewasa (2)(3)(4)(27).

Namun bukti-bukti menyatakan bahwa hiperglikemia perioperatif ternyata lebih sering terjadi pada infant dibandingkan hipoglikemia. Stres merupakan suatu respon fisiologis dan psikologis yang yang tidak terhindarkan akibat tindakan operasi maupun anestesi (misalnya saat proses intubasi maupun ekstubasi). Kondisi stres merangsang pengeluaran kortisol yang mengaktivasi enzim glukoneogenik sehingga transfer asam amino ke hepar meningkat serta merangsang resistensi hepar terhadap insulin. Keadaan tersebut menyebabkan peningkatan kadar gula darah. Selain menyebabkan peningkatan kortisol, stres juga menyebabkan pengeluaran katekolamin yang merangsang glikogenolisis dan glukoneogenesis di hepar serta penurunan klirens glukosa. Katekolamin yang

berlebih juga dapat menyebabkan resistensi insulin, dengan hasil akhirnya berupa peningkatan kadar gula darah (22)(27)(28). Penggunaan obat-obatan (seperti dexamethasone, sevoflurane) juga bisa menyebabkan kenaikan gula darah (30)(31).

Oleh karena ada banyak faktor yang dapat menyebabkan hiperglikemia pasca operasi, maka perlu dipertimbangkan penyesuaian kandungan dekstrosa dalam cairan rumatan selama operasi (28)(29).

Beberapa penelitian pada pasien elektif yang membandingkan penggunaan cairan rumatan dengan kandungan dekstrosa 5% dan 2,5% menyimpulkan bahwa penggunaan dekstrosa 2,5% tidak menimbulkan hiperglikemia pasca operasi (5)(6)(7). Hasil penelitian tersebut tentunya tidak bisa diekstrapolasi pada pasien darurat, karena perbedaan kadar stres dan persiapan preoperatif pada operasi elektif lebih mudah dikontrol dibandingkan operasi darurat. Pada operasi darurat, seringkali waktu puasa tidak bisa dipenuhi sesuai ketentuan American Society of Anesthesiologist (ASA) karena tingkat kegawatan yang tidak memungkinkan penundaan operasi untuk memenuhi puasa. Secara umum, pengendalian faktor stres (terutama psikologis) lebih sulit dilakukan pada pasien operasi darurat karena singkatnya waktu persiapan.

Pada penelitian ini kami mendapatkan hasil yang konsisten dengan penelitian sebelumnya, dimana kelompok infant yang menjalani bedah darurat rata-rata mengalami kenaikan kadar gula darah dua kali lebih besar dibanding kelompok elektif (54,47% vs 22,14%). Sementara kedua kelompok yang diobservasi sama-sama mengalami peningkatan kadar gula darah pasca operasi secara bermakna (p<0,005) dibandingkan kadar glukosa sesaat setelah induksi.

Berdasaran analisa dari hasil penelitian, faktor penyebab kenaikan kadar glukosa pasca operasi disebabkan oleh lama puasa dan jenis operasi, karenafaktor usia, berat badan, PS ASA, dan lama operasi tidak berbeda bermakna antara kedua kelompok.

Lama puasa kemungkinan dapat menjadi faktor penyebab lebih tingginya kenaikan kadar gula darah pasca operasi pasien darurat, karena rata-rata lama puasa pada pasien darurat ternyata lebih panjang (10 jam vs 4,5 jam) dalam penelitian ini. Puasa yang terlalu lama diketahui dapat menyebabkan peningkatan stres metabolik yang kemudian menyebabkan peningkatan resistensi insulin (28)(29).

Perbedaan jenis operasi juga bisa mempengaruhi profil gula darah, terkait dengan nyeri, kadar stres psikologis, lokasi pembedahan, besarnya trauma pembedahan, jenis dan obat-obatan anestesia, dan jumlah perdarahan merupakan kontributor yang dapat mengakibatkan perbedaan.

Nyeri menyebabkan merangsang keluarnya hormon-hormon stres yang kemudian memberikan pengaruh naiknya kadar gula darah pasca operasi. Pemberian analgesi yang adekwat pada masa perioperatif diharapkan bisa mengurangi efek stres akibat nyeri.

Stres akibat operasi yang ditandai dengan kecemasan dapat dikurangi dengan pemberian premedikasi berupa sedasi. Pemberian midazolam diketahui bisa mengurangi kecemasan akibat stres preoperatif dimana stres preoperatif berpengaruh pada respon seseorang terhadap nyeri pasca operasi. Dengan berkurangnya kecemasan, maka nyeri pasca operasi juga berkurang dan selanjutnya bisa mengurangi ekskresi hormon-hormon stres. Stres bisa juga

disebabkan oleh mual-muntah pasca operatif, oleh karena itu pemberian antiemetik dapat dipertimbangkan untuk mengurangi stres akibat gejala tersebut(45)(46).

Lokasi pembedahan berhubungan dengan resiko infeksi pasca operasi. Lokasi yang dekat dengan daerah “terkontaminasi” seperti usus mempunyai resiko infeksi dibandingkan daerah yang relatif “bersih” seperti mata. Infeksi sendiri berhubungan dengan peningkatan kadar gula darah melalui mekanisme pengelaran hormon kortisol yang menyebabkan resistensi insulin. Dari hasil penelitian ini operasi mata yang dikategorikan bersih banyak dikerjakan secara elektif, sedangkan operasi digestif (“bersih terkontaminasi”) lebih banyak dikerjakan sebagai operasi darurat.

Besarnya trauma pembedahan berhubungan dengan besarnya insisi dan lokasi insisi. Insisi yang lebih besar berkorelasi dengan intensitas nyeri yang lebih tinggi. Lokasi insisi pada regio ekstremitas, toraks dan abdomen bagian atas menyebabkan tingkat nyeri lebih tinggi. Toraks dan abdomen merupakan bagian tubuh yang aktif digunakan selama proses bernafas sehingga operasi di daerah tersebut bisa mengakibatkan nyeri yang hebat. Dengan demikian, operasi obstetri, ortopedi, dan digestif memiliki potensi menyebabkan nyeri pasca operasi yang lebih tinggi dibandingkan operasi lain (47). Pada penelitian ini semua operasi ortopedi dan sebagian besar operasi digestif (60%) dikerjakan pada operasi darurat, yang bisa meningkatkan kemungkinan kenaikan kadar gula darah pasca operasi pada kelompok operasi darurat.

Jumlah perdarahan yang besar yang mengakibatkan hipoperfusi dan anemia akibat hemodilusi yang bisa meningkatkan kadar katekolamin endogen, yang

kemungkinan bisa berpengaruh dengan perubahan kadar gula darah. Kekurangan penelitian ini adalah tidak adanya evaluasi jumlah perdarahan selama operasi dan rasio penggantian cairan kristaloid untuk pengganti perdarahan. Hal ini sekiranya dapat diperbaiki dalam penelitian berikutnya.

Perbedaan kenaikan kadar gula darah antara kedua kelompok ini juga perlu ditindaklanjuti dengan penelitian lanjutan sehubungan dengan pemilihan kadar glukosa cairan rumatan yang tepat yang pada operasi darurat dan elektif. Kenaikan kadar gula darah yang lebih besar pada pasien operasi darurat dibandingkan elektif membuka wawasan kemungkinan diperlukannya cairan rumatan dengan kadar glukosa lebih rendah pada pasien infant yang menjalani operasi darurat dibanding dengan operasi elektif.

BAB 7

Dokumen terkait