• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 3 MATERI DAN METODE PENELITIAN

3.6 Analisis Statistik

Hasil parameter yang telah diukur dinyatakan dalam rataan ± simpangan baku. Perbedaan antar kelompok perlakuan diuji secara statistika melalui analisa sidik ragam (ANOVA) dengan pola rancangan acak lengkap, dilanjutkan dengan uji Duncan dengan selang kepercayaan 95% (α=0.05) (Steel & Torrie 1991).

Kelompok A Kelompok B Kelompok C

Keterangan: : Pemberian susu kedelai fermentasi pada induk.

Gambar 6 Diagram bagan penelitian Partus Anak Tikus Jantan

Induk

Tikus Betina Tikus Jantan

Tikus Betina Bunting

1 2 1112 2 11 15 21 28 42 (hari)

Jumlah anak lahir

BB

Anak Celah Anogenital

Sampling : a. BB anak b. Bobot Testis c. Kadar Testosteron d. Jumlah Sperma

4.1. Pengaruh Pemberian Susu Kedelai Fermentasi terhadap Kinerja Induk Parameter yang digunakan untuk mengamati pengaruh pemberian susu kedelai fermentasi terhadap kinerja induk adalah lama kebuntingan, dan tingkat produksi anak yang meliputi jumlah anak sekelahiran dan rataan bobot badan lahir. Hasil penelitian dapat dilihat pada Tabel 5 di bawah ini. Tabel 5 Rataan (±SD) lama kebuntingan, jumlah anak sekelahiran dan

rataan bobot badan lahir anak Parameter Kelompok P K A B C Lama Kebuntingan (hari) 21.0±0.00 21.0±0.00 21.00±0.00 21.00±0.00 tn Jumlah Anak Sekelahiran (ekor) 7.7±1.2 10.0±1.0 6.3±2.5 7.7±1.2 tn Rataan BB Lahir Anak (gram) 5.66±0.79 5.72±0.31 6.59±0.74 6.00±1.19 tn Keterangan:

K adalah kelompok hewan yang tidak diberi susu kedelai fermentasi selama kebuntingan dan menyusui, A adalah kelompok hewan yang diberi susu kedelai fermentasi 4.99 gr/kg BB/hari saat awal kebuntingan (usia 2-11 hari), B adalah kelompok hewan yang diberi susu kedelai fermentasi 4.99 gr/kg BB/hari saat akhir kebuntingan (usia 12-21 hari), dan C adalah kelompok hewan yang diberi susu kedelai fermentasi 4.99 gr/kg BB/hari saat laktasi (usia 2-11 hari); tn=tidak nyata.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian susu kedelai fermentasi yang mengandung fitoestrogen tidak memiliki pengaruh terhadap lamanya kebuntingan. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 5 dimana setiap kelompok baik yang diberi perlakuan maupun tidak diberi perlakuan tidak memiliki perbedaan yang nyata atau memiliki lama kebuntingan yang sama. Menurut Hrapkiewicz dan Medina (1998), masa kebuntingan normal tikus berkisar 21-23 hari. Lama kebuntingan dipengaruhi oleh faktor induk, fetus, genetik dan lingkungan. Induk yang berumur muda akan memiliki masa kebuntingan yang lebih cepat dibandingkan dengan yang berumur tua.

Jumlah fetus yang banyak juga akan membuat kelahiran fetus semakin cepat (Hafez & Hafez 2000). Selain itu, genetik dan lingkungan juga akan mempengaruhi lamanya kebuntingan. Lingkungan yang memiliki temperatur yang hangat akan membuat waktu kelahiran semakin cepat (Noakes et al. 2005).

Pemberian fitoestrogen juga tidak mempengaruhi jumlah anak yang dilahirkan dan bobot anak sekelahiran. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 5 dimana kelompok yang diberi perlakuan maupun tidak diberi perlakuan tidak berbeda nyata. Seluruh kelompok memiliki jumlah anak dan bobot sekelahiran dalam rentang yang normal. Jumlah anak tikus yang dilahirkan setiap kelahiran biasanya 6-12 ekor anak (Hrapkiewcz & Medina 1998) dengan bobot badan antara 5-6 gram (Fox 2002). Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi bobot badan lahir anak diantaranya adalah ras, bobot induk, jenis kelamin, cuaca dan iklim, dan nutrisi induk (Noakes et al. 2005).

4.2. Pengaruh Pemberian Susu Kedelai Fermentasi terhadap Kinerja Reproduksi Anak Jantan

Pengamatan pengaruh pemberian susu kedelai fermentasi terhadap kinerja reproduksi anak jantan meliputi jarak celah anogenital, bobot badan, bobot testis, kadar testosteron dan jumlah sperma. Pengukuran celah anogenital dilakukan sebelum usia pubertas yaitu pada usia 15 dan 21 hari, sedangkan pengukuran bobot badan, bobot testis, kadar testosteron dan jumlah sperma dilakukan pada usia 28 hari (sebelum pubertas) dan 42 hari (menjelang pubertas). Hasil pengamatan dapat dilihat pada Tabel 6 di bawah ini.

Tabel 6 Rataan (±SD) celah anogenital, bobot badan, bobot testis, kadar testosteron dan jumlah sperma

Keterangan:

K adalah kelompok hewan yang tidak diberi susu kedelai fermentasi selama kebuntingan dan menyusui, A adalah kelompok hewan yang diberi susu kedelai fermentasi 4.99 gr/kg BB/hari saat awal kebuntingan (usia 2-11 hari), B adalah kelompok hewan yang diberi susu kedelai fermentasi 4.99 gr/kg BB/hari saat akhir kebuntingan (usia 12-21 hari), dan C adalah kelompok hewan yang diberi susu kedelai fermentasi 4.99 gr/kg BB/hari saat laktasi (usia 2-11 hari); Huruf superscript yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan bahwa hasil berbeda nyata (P<0.05); tn=tidak nyata.

Celah anogenital merupakan jarak antara alat genital dengan anus. Celah anogenital yang lebih panjang merupakan ciri dari tikus jantan. Data pada Tabel 6 diatas menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang nyata dari celah anogenital yang diukur pada masing-masing kelompok baik usia 15 hari maupun 21 hari. Hasil ini menunjukkan bahwa pemaparan

Parameter Kelompok P K A B C Celah Anogenital 15 hari (cm) 1.03±0.02 0.96±0.09 0.95±0.27 1.14±0.11 tn Celah Anogenital 21 hari (cm) 1.44±0.24 1.15±0.14 1.22±0.51 1.24±0.27 tn Usia 28 hari Bobot Badan (gram) 29.98±2.57 24.40±4.28 34.03±10.51 30.10±11.39 tn Bobot Testis (gram) 0.20±0.01 0.17±0.04 0.21±0.11 0.20±0.08 tn Kadar Testosteron (ng/ml) 2.76±1.78 2.29±0.99 2.32±0.62 2.69±0.92 tn Jumlah sperma (sel sperma) 0 0 0 0 tn Usia 42 hari Bobot Badan (gram) 51.93±18.36 52.08±7.30 44.96±13.36 45.62±14.04 tn Bobot Testis (gram) 0.52a±0.04 0.38b±0.03 0.38b±0.10 0.39b±0.03 0.0359 Kadar Testosteron (ng/ml) 3.10a±0.68 1.27b±0.51 0.91b±0.32 0.93b±0.22 0.0012 Jumlah Sperma (sel sperma) 0 0 0 0 tn

fitoestrogen pada masa kebuntingan awal, akhir, maupun laktasi tidak mempengaruhi jarak celah anogenital. Namun demikian, bila dilihat lebih lanjut, jarak celah anogenital usia 21 hari pada kelompok yang mendapat perlakuan pemberian fitoestrogen terlihat lebih pendek dibandingkan dengan kontrol. Hal ini diduga sebagai akibat pemberian fitoestrogen (nonsteroid bersifat estrogen like) yang berasal dari susu kedelai fermentasi. Pemberian senyawa nonsteroid yang bersifat estrogen seperti DES (diethylstilbesterol) dapat menyebabkan celah anogenital pada jantan menjadi lebih pendek (Shelby 2010). Pemberian fitoestrogen (genistein) selama kebuntingan dapat ditransfer dari induk ke fetus melalui plasenta (Doerge et al. 2001). Selain itu Lewis et al. (2003) juga menyebutkan bahwa fitoestrogen dapat ditransfer melalui air susu. Oleh sebab itu, hadirnya sejumlah fitoetrogen yang bersifat estrogen like pada anak inilah yang diduga dapat memperpendek celah anogeital pada anak jantan.

Bobot badan anak baik usia 28 dan 42 hari tidak memberikan nilai yang berbeda nyata. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian fitoestrogen pada induk di awal kebuntingan, akhir kebuntingan, maupun laktasi tidak mempengaruhi bobot badan anak. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Kang et al. (2002), dimana pemberian genestein dosis tinggi selama kebuntingan dan laktasi dengan dosis 0.4 dan 4 mg/kg BB/hari tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan terhadap bobot anak dan jenis kelamin anak.

Hasil pengamatan bobot testis dan kadar testosteron pada usia 28 hari tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Hal ini menunjukkan bahwa hadirnya fitoestrogen pada masa embrio, fetus, dan awal kelahiran tidak memberikan pengaruh terhadap kinerja reproduksi anak jantan usia 28 hari. Hal ini dikarenakan pada usia 28 hari tikus belum memasuki masa pubertas. Sebelum memasuki masa pubertas sekresi hormon steroid seks (testosteron) dalam jumlah yang sedikit sudah mempunyai efek penghambat yang kuat terhadap sekresi GnRH oleh hipothalamus (Guyton & Hall 1997). GnRH sendiri berfungsi menstimulasi pelepasan LH dan FSH. Adanya hambatan sekresi GnRH ini menyebabkan LH dan FSH tidak disekresikan, akibatnya

tidak ada rangsangan kepada sel-sel Leydig untuk memproduksi testosteron atau dengan kata lain pada masa sebelum pubertas sel-sel Leydig yang mensekresi testosteron dalam testis menjadi tenang (Ganong 1995). Oleh karena itulah, pemberian fitoestrogen tidak terlihat mempengaruhi kinerja reproduksi anak sebelum pubertas. Hal ini juga telah dibuktikan oleh Kembara (2009), dimana pemberian tepung kedelai yang mengandung fitoestrogen pada induk bunting atau menyusui tidak memberikan pengaruh terhadap bobot testis anak usia 4 minggu.

Berbeda dengan usia 28 hari, pada usia 42 hari bobot testis dan kadar testosteron menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0.05). Tikus yang induknya diberi susu kedelai fermentasi menunjukkan bobot testis dan kadar hormon testosteron yang lebih rendah bila dibandingkan dengan tikus yang tidak diberi perlakuan apapun. Hadirnya sejumlah fitoestrogen pada fetus atau anak yang bisa ditransfer dari induk melalui plasenta atau air susu memberikan pengaruh terhadap bobot testis dan kadar testosteron pada usia 42 hari, tetapi tidak pada usia 28 hari karena tikus belum memasuki usia pubertas sehingga hormon reproduksinya belum aktif. Pada usia 42 hari, tikus menjelang pubertas sehingga hormon-hormon reproduksinya diduga sudah mulai bekerja, sehingga hadirnya fitoestrogen menyebabkan fungsi testosteron terganggu, akibatnya perkembangan traktus reproduksi anak jantan (testis) pada usia ini juga terganggu.

Testis terdiri dari tubulus seminiferus yang di dalamnya terdapat sel-sel Sertoli dan sel-sel-sel-sel Leydig yang terletak diantara tubulus seminiferus. Penurunan bobot testis dan penurunan kadar testosteron yang ditunjukkan pada hasil pengamatan usia 42 hari dalam Tabel 6 diduga karena hadirnya fitoestrogen mengakibatkan terhambatnya perkembangan sel Leydig atau berkurangnya jumlah sel Leydig yang disebabkan oleh sekresi LH yang terhambat akibat efek antiandrogenik dari fitoestrogen. Penurunan jumlah sel Leydig ini akan menyebabkan penurunan bobot testis, karena sekitar 20% massa testis terdiri atas sel-sel Leydig (Guyton & Hall 1997). Penurunan jumlah sel Leydig juga akan menyebabkan kadar testosteron menurun, hal ini dikarenakan sel Leydig merupakan tempat terjadinya

proses steroidogenesis yang menghasilkan testosteron (Guyton & Hall 1997). Rendahnya kadar testosteron akan berpengaruh pada diameter tubulus seminiferus seperti yang telah dilakukan oleh Wahyuni (2012), dimana terjadi penurunan diamater tubulus seminiferus yang diduga karena kurangnya hormon testosteron akibat pemberian isoflavon yang menyebabkan atropi-atropi tubulus seminiferus. Adanya atropi-atropi tubulus seminiferi ini dapat menyebabkan penurunan bobot testis. Hal ini dikarenakan sekitar 80% massa testis terdiri dari tubulus seminiferus (Sherwood 2001).

Hasil penelitian ini sejalan dengan pernyataan Casanova et al. (1999) yang menyatakan bahwa efek pemberian atau pemaparan fitoestrogen (genestein) pada masa kebuntingan atau laktasi terhadap perkembangan reproduksi tikus (bobot testis) membuat perkembangan alat reproduksi menjadi terganggu sehingga bobot testis menjadi lebih rendah. Hal serupa juga diungkapkan oleh Astuti (2009) yang menyatakan bahwa pemberian tepung kedelai kaya isoflavon rendah lemak pada dosis 4.5 mg/kg BB/hari dilaporkan menyebabkan perubahan pada bobot testis, berkurangnya volume lumen pada tubului seminiferi, dan terganggunya spermatogenesis. Penelitian lain pada tikus jantan Spraguey Dawley juga menyebutkan bahwa pemberian diet kaya fitoestrogen dalam jangka pendek dapat menurunkan kadar testosteron dan androgen, serta penurunan bobot prostat secara signifikan (Karahalil 2006). Hal ini juga dibuktikan oleh Wahyuni (2012), dimana hasil penelitiannya menyebutkan adanya penurunan bobot testis dan kadar hormon testosteron pada kelompok yang diberi isoflavon.

Terjadinya penurunan kadar hormon testosteron disebabkan oleh isoflavon yang bersifat estrogen like dan juga bersifat antiandrogenik. Isoflavon mengawali kerjanya dengan cara meniru kerja estrogen, sehingga mampu berikatan dengan reseptor estrogen. Reseptor estrogen yaitu Erα dan Erβ tersebar diseluruh tubuh termasuk kelenjar pituitary dan hipothalamus (Shupnik et al. 1998). Hadirnya isoflavon yang sifatnya mirip dengan estrogen ini akan berikatan dengan reseptor estrogen yang ada pada hipofise anterior dan hipothalmus. Efek ikatan reseptor estrogen dengan fitoestrogen

di hipofise anterior diduga menghambat sekresi FSH dan LH. Begitu juga dengan efek ikatan reseptor estrogen dengan fitoestrogen yang ada di hipothalamus, diduga menyebabkan sekresi GnRH menjadi lebih sedikit, akibatnya pelepasan FSH dan LH yang dirangsang oleh GnRH menjadi sedikit. Jika sekresi LH terhambat atau sedikit, maka pertumbuhan dan pematangan sel Leydig serta kemungkinan jumlah sel Leydig berkurang sehingga hormon testosteron akan berkurang. Hal ini disebabkan karena sel Leydig merupakan tempat terjadinya proses steroidogenesis yang menghasilkan testosteron (Guyton & Hall 1997).

Pemberian fitoestrogen pada masa kebuntingan atau laktasi tidak memberikan pengaruh terhadap jumlah sperma baik pada usia 28 hari maupun 42 hari. Hal ini dikarenakan tikus belum memasuki usia pubertas atau dewasa kelamin. Tikus yang belum memasuki masa pubertas akan menghasilkan hormon FSH yang rendah akibat sekresi GnRH yang tidak cukup. Keadaan ini akan membuat sel-sel Sertoli untuk proses pembentukan sel-sel germinal pada spermatogenesis juga akan rendah, akibatnya jumlah sperma tidak ditemukan pada usia sebelum pubertas. Proses pembentukan sperma atau spermatogenesis dipengaruhi oleh beberapa hormon diantaranya: hormon testosteron yang penting bagi pertumbuhan dan pembagian sel-sel germinativum dalam membentuk sperma, hormon lutein yang merangsang sel-sel Leydig untuk menyekresi testosteron, hormon perangsang folikel yang penting dalam proses spermiogenesis (pengubahan spermatid menjadi sperma), dan hormon pertumbuhan yang secara khusus meningkatkan pembelahan awal spermatogonia sehingga spermatogenesis pun meningkat (Guyton & Hall 1997).

Menurut Fox (2002), sperma mulai ada di cauda epididimis pada usia 45-46 hari dan puncak produksinya pada usia 75 hari. Pada usia 75 hari, tikus jantan telah mengalami dewasa kelamin, sehingga alat reproduksinya telah bekerja secara optimal termasuk testis. Testis yang merupakan organ utama dalam sistem reproduksi jantan pada usia dewasa kelamin telah mampu menghasilkan sperma dan mampu mengawini betina (Cunningham 1997).

5.1. Simpulan

Pemberian susu kedelai fermentasi sebanyak 4.99 gr/kg BB/hari pada induk di awal kebuntingan, akhir kebuntingan atau laktasi memberikan pengaruh terhadap kinerja reproduksi anak jantan usia 42 hari berupa penurunan bobot testis dan kadar testosteron.

5.2. Saran

Saran yang dapat diberikan pada penelitian ini, yaitu:

1. Perlu adanya jumlah ulangan yang lebih banyak agar didapatkan standar deviasi yang lebih kecil.

2. Perlu dilakukan penelitian dengan dosis yang bertingkat untuk melihat seberapa besar dosis yang benar-benar dapat mempengaruhi kinerja reproduksi anak jantan.

3. Perlu dilakukan pengamatan lanjutan sampai anak usia dewasa kelamin dan mampu mengawini betina sehingga dapat diketahui secara pasti pengaruh pemberian fitoestrogen terhadap kinerja reproduksi anak jantan.

http://www.kesrepro.info/?q=node/32 [8 November 2011]. Almatsier S. 2009. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia.

Astuti S. 2009. Kualitas spermatozoa tikus jantan yang diberi tepung kedelai kaya isoflavon. Lampung: Fakultas Pertanian, Universitas Lampung.

Budirmawanti C. 2004. Komposisi dan nutrisi pada susu kedelai. [terhubung berkala]. http://www.indomedia.com/intisari/diet html [27 Februari 2012]. Casanova et al. 1999. Developmental effects of dietary phytoestrogens in

Sprague–Dawley rats and interactions of genistein and daidzein with rat estrogen receptors alpha and beta in vitro. Toxicol Sci 51:236–244.

Cunningham JG. 1997. Textbook of Veterinary Physiology 2nd. Philadelphia: WB Saunders.

Doerge DR, Churchwell MI, Chang HC, Newbold RR, Delclos KB. 2001. Placental transfer of the soy isoflavone genistein following dietary and gavage administration to Sprague Dawley rats. Reproductive Toxicol 15:105–110.

Efendi. 2008. Manfaat mengkonsumsi susu kedelai. [terhubung berkala]. http://efendi.blogspot.com/2008/01/manfaat mengkonsumsi susu kedelai.html [27 Februari 2012].

Fox JG. 2002. Laboratory Animal Medicine 2nd. New York: Academic pr.

Ganong WF. 1995. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Andrianto P, penerjemah; Oswari J, editor. Jakarta: ECG. Terjemahan dari: Review of Medical Physiology.

Guyton AC, Hall JE. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Ed ke-9. Setiawan I, Tengadi KA, Santoso A, penerjemah; Setiawan I, editor. Jakarta: ECG. Terjemahan dari: Textbook of Medical Physiology 9th Ed.

Hafez B, Hafez ESE. 2000. Reproduction Farm Animal 7th Ed. USA: Williams & Wilkins.

Heffner LJ, Schust DJ. 2008. At a Glance Sistem Reproduksi Ed ke-2. Di dalam: Safitri A, editor. Jakarta: Erlangga.

Hernawati. 2007. Perbaikan kinerja reproduksi akibat pemberian isoflavon dari

tanaman kedelai. [terhubung berkala].

http://file.upi.edu/Direktori/FPMIPA/JUR._PEND._ BIOLOGI/1970 03311997022-HERNAWATI/FILE_12.pdf [9 November 2011].

Hrapkiewicz K, Medina L. 1998. Clinical Laboratory Animal Medicine: An Introduction. State Avenue: Iowa State University Pr.

Hughes CL, Liu G, Beall S, Foster WG, Davise V. 2004. Effect of genistein or soy milk during late gestation and lactation on adult uterine organization in the rat. Exp Biol Med 229:108-117.

Isnaeni W. 2006. Fisiologi Hewan. Yogyakarta: Kanisius.

Kang KS, Che JH, Lee YS. 2002. Lack of adverse effect in the F1 offspring maternally exposed to genestein at human intake dose level. Food Chem Toxicol 40:43-51.

Karahalil B. 2006. Benefits and risk of Phytoestrogens. Di dalam: Yildiz F, editor. Phytoestrogen in functional foods. Florida: CRC Pr. hlm 33-210. Kaushik-Basu et al. 2008. Identification and characterization of coumestans as

novel HCV NS5B polymerase inhibitors. Nucleic Acids Res 36(5):1482-1496.

Kembara KD. 2009. Efektifitas pemberian tepung kedelai pada tikus putih bunting atau menyusui terhadap pertumbuhan dan bobot testis anak [skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Lampe JW. 2003. Isoflavonoid and lignan phytoestrogens as dietary biomarkers. The American Society for Nutritional Sciences J Nutr. 133:956-964. Lewis et al. 2003. The effects of the phytoestrogen genistein on the postnatal

development in the rat. Toxicol Sci 71:74-83.

Malole MB, Pramono CS. 1989. Penggunaan Hewan Percobaan di Laboratorium. Bogor: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universtitas Bioteknologi IPB. Hal. 104-112.

Martono LH, Joewana S. 2006. 16 Modul Latihan Pemulihan Pecandu Narkoba Berbasis Masyarakat. Jakarta: Balai Pustaka.

Moore DM. 2000. Laboratory Animal Medicine and Science Series II. USA: University of Washington.

Murkies AL, Wilcox G, Davis SR. 1998. Phytoestrogens. J Clin Endocrinol Metabolism 2:297-303.

Newbold RR, Banks EP, Jefferson WN. 2001. Cancer. Cancer Res 61:4325-4328. Noakes D, Parkinson T, Englan G. 2005. Arthurs Veterinary Reproduction and

Obstetrics 8thEd. Philadelphia: Elsevier saundres.

Ososki AL, Kennelly EJ. 2003. Phytoestrogens: a review of the present state of research. Phytother. Res 17:845-869.

Pawiroharsono S. 2001. Prospek dan manfaat isoflavon untuk kesehatan. [terhubung berkala]. http://www.tempo.co.id/medika/arsip/042001/pus-2.htm [22 April 2011].

Rishi RK. 2002. Phytoestrogens in health and illnes. Indian J Pharmacology 34:311-320.

Rizki. 2010. Fitoestrogen untuk kesehatan. [terhubung berkala]. http://rizkigibug.blogspot.com/2010/fitoestrogen untuk kesehatan.html [27 Februari 2012].

Santii R, Makela S, Straus L, Korkman J, Kostian ML. 1998. Phytoestrogen: potential endocrine disruptors in males. Toxicol Ind Health 14:223-237. Schwartz CW, Reeder E. 2001. The Wild Mammals of Missouri I. Columbia:

University of Missouri Pr.

Sheehan DM. 1998. Herbal medicines, phytoestrogens and toxicity; risk and benefit considerations. Proc Soc Exp Biol Med 217:379-385.

Shelby M. 2010. Potential Human Reproductive and Development Effects of Bisphenol A. United State: Diane Publishing.

Sherwood L. 2001. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Brahm, penerjemah; Santoso BI, editor. Jakarta: EGC. Terjemahan dari: Human Physiology: from cells to systems.

Shupnik et al. 1998. Selective expression of estrogen receptor alpha and beta isoforms in human pituitary tumors. J Clin Endocrinol Metabolism 83:3965-3972.

Smith JB, Mangkoewidjojo S. 1988. Pemeliharaan, Pembiakan dan Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Australia: International Development Program of Australia Universities and Collage.

Staar S, Richter DU, Makovitzky J, Briese V, Bergemann C. 2005. Stimulation of endometrial glandular cells with genistein and daidzein and their effects on ER·- and ER‚-mRNA and protein expresion. Anticancer Res 25:1713-1718.

Steel RGD, Torrie JH. 1991. Prinsip dan Prosedur Statistika Suatu Pendekatan Biometrik. Jakarta: Gramedia.

Subahagio, Rahman I, Sani I, Sutardji, Sulaksono ME. 1997. Pengaruh faktor keturuan dan lingkungan terhadap sifat biologis yang terlihat pada hewan percobaan. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Jakarta: Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. VII. I.

Suckow MA, Weisbroth SH, Franklin CL. 2006. The Laboratory Rat. California: Elseiver Inc.

Sulaksono ME, Pudjoprajitno, Yuwono SS, Patra K. 1986. Keadaan dan Masalah Hewan Percobaan di Indonesia. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Jakarta: Buletin Penelitian Kesehatan. 14.3

Thompson LU, Boucher BA, Liu Z, Cotterchio M, Kreiger N. 2006. Phytoestrogen content of food consumed in Canada, including isoflavon, lignan, and coumestan. Nutrition and Cancer 54(2):184-201.

Tsourounis C. 2001. Clinical effects of phytoestrogens. Clin Obstet Genycol 44:836-842.

Uransyah MP. 2011. Susu kedelai. [terhubung berkala].

http://www.deptan.go.id/bpsdm/bbppbinuang/index.php?option=com_cont ent&task=view&id=95&Itemid=1 [27 Februari 2012].

Verts BJ, Carraway LN. 1998. Land Mammals of Oregon. Canada: University California Pr.

Vicenzo R, Bruno M, Matteo F, Elena V, Cesare C. 2005. Estrogen and male

reproduction. [terhubung berkala].

http://www.endotext.org/male/male17/male17.html [7 November 2011]. Whitten PL, Naftolin F. 1992. Effects of a phytoestrogen diet on estrogen

dependent reproductive processes in immature female rats. Steroids

57:56–61.

Whitten PL, Patisaul HB. 2001. Cross-species and interassay comparisons of phytoestrogen action. Environmental Health Perspectives 109:5-20. Wagner JE, Harkness JE. 1989. The Biology and Medicine of Rabbits and

Rodents. Philadelphia: Lea and Febiger.

Wahyuni RS. 2012. Pengaruh isoflavon kedelai terhadap kadar hormon testosteron berat testis diameter tubulus seminiferus dan spermatogenesis tikus putih jantan (Rattus norvegicus) [tesis]. Padang: Program Pascasarjana, Universitas Andalas.

1.1. Latar belakang

Konsumsi kedelai atau produk-produk olahannya seperti susu kedelai semakin banyak digemari oleh masyarakat. Susu kedelai selain memiliki rasa yang enak juga memiliki banyak manfaat untuk kesehatan. Hasil-hasil penelitian di berbagai bidang kesehatan telah membuktikan bahwa mengonsumsi kedelai atau produk-produk olahannya seperti susu kedelai mampu menurunkan risiko terkena penyakit degeneratif. Ini disebabkan adanya senyawa fitoestrogen yang terkandung dalam kedelai ataupun produk olahan kedelai. Fitoestrogen merupakan suatu substrat dari tumbuhan yang struktur dan fungsinya mirip dengan estrogen dan banyak ditemukan di dalam makanan (Rishi 2002). Penelitian mengenai manfaat senyawa fitoestrogen yang terkandung dalam kedelai telah dibuktikan para ahli antara lain berkhasiat dalam menurunkan kadar kolesterol, meningkatkan kekebalan tubuh, menghambat pertumbuhan kanker payudara, prostat, usus, mencegah osteoporosis, dan menghambat pengikisan dan keretakan pada tulang (Heinnermen 2003). Selain itu juga, fitoestrogen diketahui memiliki manfaat sebagai anti inflamasi, anti alergi, dan berperan pada kesehatan jantung (Pawiroharsono 2001).

Fitoestrogen mempunyai struktur kimia menyerupai estrogen, sehingga membuat fitoestrogen juga berpengaruh pada organ-organ reproduksi dengan cara menduduki reseptor estrogen. Hal ini tentu memberikan dampak yang positif dan dampak yang negatif. Mengonsumsi susu kedelai yang mengandung fitoestrogen memiliki beberapa dampak positif seperti yang telah disebutkan di atas. Namun demikian, beberapa penelitian menyebutkan mengonsumsi fitoestrogen terlalu banyak mempunyai efek buruk pada jantan yaitu mengurangi kualitas sperma, menyebabkan testis tidak turun (Sheehan 1998), terbentuknya kista di testis, lesio di testis, dan terhambatnya perkembangan vesika seminalis (Santii et

Dokumen terkait