(Rattus norvegicus) Bunting atau Menyusui terhadap Kinerja Reproduksi Anak Jantan. Dibimbing oleh NASTITI KUSUMORINI dan ARYANI SISMIN SATYANINGTIJAS.
Susu kedelai fermentasi merupakan produk olahan kedelai yang mengandung sejumlah fitoestrogen. Penelitian dilakukan untuk menganalisa pengaruh pemberian susu kedelai fermentasi terhadap kinerja reproduksi anak jantan dengan menggunakan tikus sebagai hewan percobaan. Sebanyak 12 ekor tikus betina bunting dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu kelompok kontrol (K), kelompok yang diberi susu kedelai fermentasi 4.99 gr/kg BB/ hari dalam volume 4 ml pada usia kebuntingan 2 sampai dengan 11 hari (A), 12 sampai dengan 21 hari (B), dan masa laktasi 2 sampai dengan 11 hari (C). Parameter yang diukur adalah lama kebuntingan induk, jumlah anak sekelahiran, rataan bobot badan lahir anak, celah anogenital, bobot badan, bobot testis, kadar testosteron, dan jumlah sperma. Data dianalisis dengan menggunakan metode analisa sidik ragam (ANOVA) dan dilanjutkan dengan uji Duncan dengan selang kepercayaan 95% (α=0.05). Hasil penelitian pemberian susu kedelai fermentasi pada usia kebuntingan 2 sampai dengan 11 hari, 12 sampai dengan 21 hari, atau masa laktasi 2 sampai dengan 11 hari menunjukkan bobot testis dan kadar testosteron lebih rendah dibandingkan dengan kelompok yang tidak mendapatkan perlakuan apapun pada anak jantan usia 42 hari.
Lactation White Rat (Rattus norvegicus) on Male Offspring Reproductive Performance. Under direction of NASTITI KUSUMORINI dan ARYANI SISMIN SATYANINGTIJAS.
Fermented soy milk are the product of soybean which contain phytoestrogen. This study aims to analyses the effect of fermented soy milk on male offspring reproductive performance using rats as experimental animals. Twelve pregnant female rats were divided into four treatment groups: control (K), the groups was treated by fermented soy milk 4.99 gr/kg BW/day in volume 4 ml at 2nd until 11th day of pregnancy (A), 12th until 21st day of pregnancy (B), and 2nd until 11th day of lactation (C). Parameters observed were pregnant duration, number of pups, anogenital distance, body weight, testicular weight, testosteron level, and total sperm. Data were analyzed by Analysis of Variance (ANOVA) and continued by Duncan test with 95% (α=0.05) confidence interval. The result of this study indicated that the treatment of fermented soy milk at 2nd until 11th day of pregnancy, 12th until 21st day of pregnancy, or 2nd until 11th day of lactation showed lower testicular weight and testosteron level than non treatment group at 42th day old male offspring.
TERHADAP KINERJA REPRODUKSI ANAK JANTAN
OKTIPA SARI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul Pemberian Susu
Kedelai Fermentasi pada Tikus Putih (Rattus norvegicus) Bunting atau Menyusui
terhadap Kinerja Reproduksi Anak Jantan adalah karya saya dengan arahan dari
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi
manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Agustus 2012
(Rattus norvegicus) Bunting atau Menyusui terhadap Kinerja Reproduksi Anak Jantan. Dibimbing oleh NASTITI KUSUMORINI dan ARYANI SISMIN SATYANINGTIJAS.
Susu kedelai fermentasi merupakan produk olahan kedelai yang mengandung sejumlah fitoestrogen. Penelitian dilakukan untuk menganalisa pengaruh pemberian susu kedelai fermentasi terhadap kinerja reproduksi anak jantan dengan menggunakan tikus sebagai hewan percobaan. Sebanyak 12 ekor tikus betina bunting dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu kelompok kontrol (K), kelompok yang diberi susu kedelai fermentasi 4.99 gr/kg BB/ hari dalam volume 4 ml pada usia kebuntingan 2 sampai dengan 11 hari (A), 12 sampai dengan 21 hari (B), dan masa laktasi 2 sampai dengan 11 hari (C). Parameter yang diukur adalah lama kebuntingan induk, jumlah anak sekelahiran, rataan bobot badan lahir anak, celah anogenital, bobot badan, bobot testis, kadar testosteron, dan jumlah sperma. Data dianalisis dengan menggunakan metode analisa sidik ragam (ANOVA) dan dilanjutkan dengan uji Duncan dengan selang kepercayaan 95% (α=0.05). Hasil penelitian pemberian susu kedelai fermentasi pada usia kebuntingan 2 sampai dengan 11 hari, 12 sampai dengan 21 hari, atau masa laktasi 2 sampai dengan 11 hari menunjukkan bobot testis dan kadar testosteron lebih rendah dibandingkan dengan kelompok yang tidak mendapatkan perlakuan apapun pada anak jantan usia 42 hari.
Lactation White Rat (Rattus norvegicus) on Male Offspring Reproductive Performance. Under direction of NASTITI KUSUMORINI dan ARYANI SISMIN SATYANINGTIJAS.
Fermented soy milk are the product of soybean which contain phytoestrogen. This study aims to analyses the effect of fermented soy milk on male offspring reproductive performance using rats as experimental animals. Twelve pregnant female rats were divided into four treatment groups: control (K), the groups was treated by fermented soy milk 4.99 gr/kg BW/day in volume 4 ml at 2nd until 11th day of pregnancy (A), 12th until 21st day of pregnancy (B), and 2nd until 11th day of lactation (C). Parameters observed were pregnant duration, number of pups, anogenital distance, body weight, testicular weight, testosteron level, and total sperm. Data were analyzed by Analysis of Variance (ANOVA) and continued by Duncan test with 95% (α=0.05) confidence interval. The result of this study indicated that the treatment of fermented soy milk at 2nd until 11th day of pregnancy, 12th until 21st day of pregnancy, or 2nd until 11th day of lactation showed lower testicular weight and testosteron level than non treatment group at 42th day old male offspring.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
TERHADAP KINERJA REPRODUKSI ANAK JANTAN
OKTIPA SARI
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada
Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Nama : Oktipa Sari
NIM : B04080010
Disetujui
Pembimbing 1 Pembimbing 2
Dr. Nastiti Kusumorini Dr. drh. Aryani S. Satyaningtijas, M.Sc. NIP. 19621205 198703 2 001 NIP. 19600914 198603 2 001
Diketahui
Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor
drh. Agus Setiyono, M.S., Ph.D., APVet. NIP. 19630810 198803 1 004
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala
rahmat dan karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Skripsi ini
berjudul Pemberian Susu Kedelai Fermentasi pada Tikus Putih (Rattus
norvegicus) Bunting atau Menyusui terhadap Kinerja Reproduksi Anak Jantan.
Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk meraih gelar Sarjana
Kedokteran Hewan di Fakultas Kedokteran Hewan-Institut Pertanian Bogor.
Selama proses penyusunan skripsi ini tidak lepas dari bantuan dan dukungan
berbagai pihak. Dengan rasa hormat dan setulus hati, penulis mengucapkan terima
kasih kepada:
1. Mama, Ayah, Ayuk Lusi, Dodo Ana, Abang Idho, dan nenek sebagai
keluarga yang penulis cintai, terima kasih atas kasih sayang, doa,
motivasi, dan nasihat yang telah diberikan selama ini.
2. Dr. Nastiti Kusumorini dan Dr. drh. Aryani S. Satyaningtijas, M.Sc.
sebagai dosen pembimbing yang dengan penuh kesabaran memberikan
bimbingan, waktu, dan pemikiran selama proses penelitian dan
penyusunan skripsi ini.
3. Teman sepenelitian Rida Tiffarent atas bantuan, kerjasama, dukungan,
dan saran selama penelitian dan penyusunan skripsi ini.
4. Dr. drh. Fadjar Satrija,M.Sc. sebagai dosen pembimbing akademik,
terima kasih atas bimbingan dan nasihatnya selama penulis berada di
FKH.
5. drh. Wandi Himawan atas kesabaran, perhatian, doa, motivasi, dan
bantuan yang diberikan kepada penulis hingga penulis dapat tetap
semangat menyelesaikan penulisan skripsi ini.
6. Staf Laboratorium Fisiologi FKH IPB, Ibu Sri, Ibu Ida, dan Bapak Edi
atas bantuan dan kerja sama selama penelitian.
7. Sahabat-sahabat penulis Faradisyah, Merista, Melinda, Sumayanti, dan
RR Dewi atas motivasi dan dukungan selama penelitian dan penyusunan
ii belajar mengajar di Fakultas Kedokteran Hewan.
9. Semua pihak yang telah banyak membantu yang tidak bisa disebutkan
satu persatu, terima kasih banyak atas bantuan dan doanya selama ini.
Penulis menyadari penyusunan skripsi ini tidak luput dari kekurangan, oleh
karena itu penulis berterima kasih atas kritik dan saran-saran yang bersifat
membangun dari semua pihak demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini
dapat bermanfaat.
Bogor, Agustus 2012
Oktipa Sari
Penulis dilahirkan di Manna pada tanggal 28 Oktober 1990 dari ayah Arsam
dan ibu Rahijah. Penulis merupakan putri kedua dari empat bersaudara. Tahun
2008 penulis lulus dari SMA Negeri 2 Bengkulu Selatan dan pada tahun yang
sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB dan
diterima di Kedokteran Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan. Selama mengikuti
perkuliahan, penulis menerima beasiswa dari Bank Indonesia (2010-2012).
Penulis juga aktif di organisasi Ikatan Mahasiswa Bumi Rafflesia (IMBR),
Gentra Kaheman (2009), Koperasi Mahasiswa IPB (2008-2009) sebagai anggota,
dan di Himpunan Minat Profesi (HIMPRO) Ruminansia sebagai kepala divisi
DAFTAR TABEL ... vi
DAFTAR GAMBAR ... vii
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Tujuan ... 2
1.3 Manfaat ... 2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Susu Kedelai ... 3
2.2 Fitoestrogen ... 5
2.3 Klasifikasi Fitoestrogen ... 5
2.4 Struktur Kimia Fitoestrogen ... 7
2.5 Fungsi Fitoestrogen ... 8
2.6 Metabolisme Fitoestrogen ... 8
2.7 Biologi Umum Tikus Putih ... 10
2.8 Reproduksi Tikus Jantan ... 13
2.9 Hormon-Hormon yang Berperan pada Masa Bunting dan Laktasi ... 15
BAB 3 MATERI DAN METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ... 17
3.2 Alat dan Bahan ... 17
3.3 Persiapan Penelitian ... 17
3.3.1 Hewan Coba ... 17
3.3.2 Fitoestrogen ... 18
3.4. Metode Penelitian ... 18
3.4.1 Pengelompokkan Hewan Coba ... 18
3.4.2 Pelaksanaan ... 19
3.5 Parameter yang Diambil dan Teknik Pengukurannya ... 20
Kinerja Induk ... 20
Kinerja Reproduksi Anak Jantan ... 20
v Kinerja Induk ... 22
4.2 Pengaruh Pemberian Susu Kedelai Fermentasi terhadap
Kinerja Reproduksi Anak Jantan ... 23
BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan ... 29
5.2 Saran ... 29
DAFTAR TABEL
Halaman 1 Komposisi gizi susu kedelai cair dan susu sapi ... 3
2 Komposisi asam amino susu kedelai ... 4
3 Kandungan fitoestrogen dalam kedelai dan produk olahannya ... 5
4 Kandungan isoflavon, lignan, dan coumestan pada kedelai dan produk olahannya ... 7
5 Rataan lama kebuntingan, jumlah anak sekelahiran dan bobot badan
lahir anak ... 22
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1 Klasifikasi fitoestrogen ... 6
2 Perbedaan struktur kimia estrogen (17β estradiol) dengan kelompok
fitoestrogen ... 7
3 Absorpsi, metabolisme dan ekskresi isoflavon ... 9
4 Celah anogenital anak jantan dan betina usia 2 minggu dan 6 minggu 13
5 Struktur anatomi alat reproduksi jantan ... 14
6 Diagram bagan penelitian ... 21
1.1. Latar belakang
Konsumsi kedelai atau produk-produk olahannya seperti susu kedelai
semakin banyak digemari oleh masyarakat. Susu kedelai selain memiliki
rasa yang enak juga memiliki banyak manfaat untuk kesehatan. Hasil-hasil
penelitian di berbagai bidang kesehatan telah membuktikan bahwa
mengonsumsi kedelai atau produk-produk olahannya seperti susu kedelai
mampu menurunkan risiko terkena penyakit degeneratif. Ini disebabkan
adanya senyawa fitoestrogen yang terkandung dalam kedelai ataupun
produk olahan kedelai. Fitoestrogen merupakan suatu substrat dari
tumbuhan yang struktur dan fungsinya mirip dengan estrogen dan banyak
ditemukan di dalam makanan (Rishi 2002). Penelitian mengenai manfaat
senyawa fitoestrogen yang terkandung dalam kedelai telah dibuktikan para
ahli antara lain berkhasiat dalam menurunkan kadar kolesterol,
meningkatkan kekebalan tubuh, menghambat pertumbuhan kanker
payudara, prostat, usus, mencegah osteoporosis, dan menghambat
pengikisan dan keretakan pada tulang (Heinnermen 2003). Selain itu juga,
fitoestrogen diketahui memiliki manfaat sebagai anti inflamasi, anti alergi,
dan berperan pada kesehatan jantung (Pawiroharsono 2001).
Fitoestrogen mempunyai struktur kimia menyerupai estrogen,
sehingga membuat fitoestrogen juga berpengaruh pada organ-organ
reproduksi dengan cara menduduki reseptor estrogen. Hal ini tentu
memberikan dampak yang positif dan dampak yang negatif. Mengonsumsi
susu kedelai yang mengandung fitoestrogen memiliki beberapa dampak
positif seperti yang telah disebutkan di atas. Namun demikian, beberapa
penelitian menyebutkan mengonsumsi fitoestrogen terlalu banyak
mempunyai efek buruk pada jantan yaitu mengurangi kualitas sperma,
menyebabkan testis tidak turun (Sheehan 1998), terbentuknya kista di testis,
lesio di testis, dan terhambatnya perkembangan vesika seminalis (Santii et
konsumsi coumestan (kelompok fitoestrogen) pada anak tikus menyebabkan
supresi testosteron di testis sehingga menyebabkan gangguan perilaku
seksual saat dewasa. Penelitian lain juga menyebutkan bahwa dampak
negatif pemberian fitoestrogen (genestein) dapat menyebabkan
uterocarcinoma pada tikus pada masa neonatal (Newbold et al. 2001).
Adanya dampak negatif yang bisa ditimbulkan akibat mengonsumsi
kedelai atau produk olahannya harus menjadi perhatian bagi konsumen
terutama bagi wanita hamil yang gemar memakan atau meminum produk
olahan kedelai. Menurut Hernawati (2007), konsumsi kedelai dan produk
olahannya selama kebuntingan diduga dapat terjadi pemaparan fitoestrogen
pada fetus dan dapat menyebabkan gangguan pada fetus. Adanya gangguan
reproduksi ini mengakibatkan rendahnya efisiensi reproduksi, yang
selanjutnya akan berpengaruh negatif pada peningkatan jumlah populasi.
Oleh karena itu, perlu dilakukan studi tentang pemberian bahan yang
mengandung fitoestrogen seperti susu kedelai fermentasi pada induk
bunting atau menyusui terhadap kinerja reproduksi anak jantan.
1.2. Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian susu
kedelai fermentasi yang mengandung fitoestrogen pada induk tikus bunting
atau menyusui terhadap bobot badan, bobot testis, kadar testosteron, jumlah
sperma, dan celah anogenital anak jantan.
1.3. Manfaat
Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah memberikan
gambaran pengaruh mengonsumsi kedelai bagi individu yang sedang hamil
2.1. Susu Kedelai
Susu kedelai adalah minuman padat gizi yang diperoleh dari biji
kedelai berkualitas yang dibudidayakan secara alami tanpa rekayasa genetik.
Sejak abad ke-2 sebelum masehi Cina sudah membuat susu yang berbahan
kedelai. Indonesia mulai mengenal susu kedelai setelah perang dunia ke-II
(Uransyah 2011). Pembuatan susu kedelai dan konsumsinya setiap tahunnya
semakin meningkat. Hal ini dikarenakan banyaknya kandungan yang ada
pada susu kedelai yang sangat bermanfaat bagi kesehatan tubuh. Kandungan
gizi yang terdapat pada susu kedelai ini tidak kalah dengan kandungan gizi
yang terdapat pada susu sapi, seperti terlihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Komposisi gizi susu kedelai cair dan susu sapi (dalam 100 gram)
Sumber: Budirmawanti (2004)
Kandungan susu kedelai memberikan manfaat yang besar untuk tubuh
kita. Protein berguna untuk pertumbuhan, perbaikan jaringan, penambah
imunitas tubuh. Protein pada susu kedelai tersusun oleh sejumlah asam
amino, yaitu arginin, lisin, glisin, leusin, isoleusin, treonin, triptofan,
fenilalanin, metionin, sistin, valin, histidin, dan alanin. Kandungan asam
amino tersebut bisa dilihat pada Tabel 2. Protein yang terkandung dalam
kedelai diketahui kaya akan asam amino arginin dan glisin yang merupakan
komponen penyusun hormon insulin dan glukagon yang disekresi oleh
kelenjar pankreas dalam tubuh kita (Efendi 2008).
Komponen Susu Kedelai Susu Sapi
Kalori (Kkal) 41.00 61.00
Protein (g) 3.50 3.20
Lemak (g) 2.50 3.50
Karbohidrat (g) 5.00 4.30
Kalsium (mg) 50.00 143.00
Fosfor (g) 45.00 60.00
Besi (g) 0.70 1.70
Vitamin A (SI) 200.00 130.00
Vitamin B1 (mg) 0.08 0.03
Tabel 2 Komposisi asam amino susu kedelai
Asam Amino Susu Kedelai (mg)
Nitrogen
Kandungan nutrisi susu kedelai yang sangat bermanfaat selain protein
adalah karbohidrat yang digunakan sebagai sumber energi, serat yang
berguna untuk sistem pencernaan, dan lemak yang berfungsi sebagai sumber
energi, pelumas, dan pemberi rasa kenyang (Almatsier 2009). Susu kedelai
juga mengandung vitamin A, B1, dan E. Vitamin A berfungsi membantu
kelancaran fungsi organ penglihatan, meningkatkan sistem kekebalan tubuh,
berperan dalam pertumbuhan, perkembangan, dan reproduksi. Vitamin B1
berperan sebagai koenzim berbagai reaksi metabolisme, dan vitamin E
berperan sebagai antioksidan, melancarkan proses reproduksi dan proses
menstruasi, mencegah impotensi, keguguran, penyakit jantung,
meningkatkan produksi air susu, dan membantu memperpanjang usia
(Efendi 2008). Selain itu, susu kedelai juga mengandung mineral-mineral
(Ca, P, dan Fe). Mineral-mineral ini berfungsi dalam proses pembentukan
tulang, menambah kekuatan struktur tulang, gigi dan kuku, serta dapat
menambah daya tahan tubuh terhadap gangguan penyakit (Almatsier 2009).
Selain kandungan di atas yang paling menarik dari susu kedelai adalah
kandungan fitoestrogennya. Kadar fitoestrogen dalam kedelai atau
produk-produk olahannya dapat dilihat pada Tabel 3. Fitoestrogen diketahui
kanker, anti alergi, anti kolesterol, dan mencegah osteoporosis
(Pawiroharsono 2001).
Tabel 3 Kandungan fitoestrogen dalam kedelai dan produk olahannya
Sumber (100 g) Fitoestrogen (µg)
Kacang kedelai 103920.0
Fitoestrogen merupakan suatu substrat dari tumbuhan yang struktur
dan fungsinya mirip dengan estrogen dan banyak ditemukan di dalam
makanan (Rishi 2002). Fitoestrogen memiliki rumus kimia yang berbeda
dengan estrogen. Sifat estrogenik pada fitoestrogen dikarenakan fitoestrogen
juga memiliki 2 gugus –OH/ hidroksil yang berjarak 11.0-11.5 A0 pada
intinya yang sama dengan estrogen. Para peneliti sepakat jarak 11 A0 dan
gugus –OH inilah yang menjadi struktur pokok suatu substrat agar
mempunyai efek estrogenik sehingga fitoestrogen dapat berikatan dengan
reseptor estrogen pada organ target (Achadiat 2007).
Target utama fitoestrogen pada jaringan tubuh yang pertama adalah
sistem reproduksi karena pada organ tersebut jumlah estrogen reseptor
cukup tinggi. Beberapa fungsi tubuh yang dipengaruhi oleh fitoestrogen di
antaranya siklus estrus, pertumbuhan, diferensiasi dan aktivitas fisiologis
saluran reproduksi betina, pituitary, kelenjar susu dan beberapa organ dan
jaringan reproduksi lainnya (Whitten & Patisaul 2001).
2.3. Klasifikasi Fitoestrogen
Fitoestrogen diklasifikasikan ke dalam tiga kelompok yaitu isoflavon,
lignan dan coumestan (Rishi 2002). Klasifikasi fitoestrogen ini dapat dilihat
pada Gambar 1.
Gambar 1 Klasifikasi fitoestrogen (Rishi 2002).
Senyawa isoflavon merupakan senyawa metabolit sekunder yang
banyak disintesa oleh tanaman. Kandungan isoflavon banyak terdapat pada
tanaman kedelai, kentang, buah-buahan, sayuran, dan minuman beralkohol
(Whitten & Patisaul 2001). Kandungan isoflavon yang lebih tinggi terdapat
pada tanaman Leguminoceae, khusunya pada tanaman kedelai terutama
pada bagian biji, khususnya pada bagian hipoktil (germ) yang akan tumbuh
menjadi tanaman. Sebagian lagi terdapat pada biji kotiledon yang akan
menjadi daun pertama dari tanaman (Pawiroharsono 2001). Konsentrasi
isoflavon pada produk kedelai sangat beraneka ragam tapi semua makanan
kedelai tradisional seperti susu kedelai, tempe dan tahu merupakan sumber
isoflavon yang baik (Pawiroharsono 2001).
Coumestan merupakan kelompok fitoestrogen yang banyak terdapat
pada biji bunga matahari, kecambah toge, dan sedikit pada kedelai.
Coumestan banyak digunakan untuk terapi herbal pada berbagai negara.
Masyarakat Amerika Utara menggunakan coumestan sebagai antivenom,
sedangkan masyarakat Cina menggunakanya untuk terapi shock septik.
Selain itu, senyawa ini juga digunakan sebagai anti kanker dan obat
gangguan jantung (Kaushik-Basu et al. 2008).
Lignan merupakan fitoestrogen yang tersebar di banyak bagian
tumbuhan. Lignan terdapat di vaskular tumbuhan pada beberapa bagian
tumbuhan yaitu bagian akar, rhizoma, bagian kayu, daun, biji, dan buah.
Minyak biji tepung sereal (gandum, oat) legum, sayuran, dan buah
merupakan bagian yang banyak mengandung lignan (Lampe 2003). Lignan
diduga mampu menekan risiko penyakit jantung koroner dan telah terbukti
Kandungan isoflavon, lignan, dan coumestan pada kedelai dan
produk-produk olahannya memiliki jumlah kandungan yang berbeda-beda.
Hal ini dapat dilihat pada Tabel 4 di bawah ini.
Tabel 4 Kandungan isoflavon, lignan, dan coumestan pada kedelai dan produk olahannya
Sumber (100 g) Isoflavon (µg) Lignan (µg) Coumestan (µg)
Kacang kedelai 103649.3 269.2 1.5
Susu kedelai 2944.2 12.3 0.6
Toge 787.5 2.2 0
Saus kedelai 135.0 14.3 0.4
Yogurt kedelai 10227.8 46.6 0.5
Tempe 18277.7 29.6 0.6
Tahu 27118.5 30.9 0.7
Sumber: Thompson et al. (2006)
2.4. Struktur Kimia Fitoestrogen
Fitoestrogen memiliki struktur kimia yang mirip dengan struktur
kimia estrogen. Fitoestrogen memiliki struktur kimia mirip 17β estradiol yang dapat dilihat pada Gambar 2. Kemiripan ini menyebabkan fitoestrogen
dapat berikatan dengan kedua reseptor estrogen ERα dan ERβ. Afinitas
ikatan fitoestrogen pada kedua reseptor tidak sama, afinitas fitoestrogen
lebih besar terhadap ERβ dibanding ERα (Staar et al. 2005).
2.5. Fungsi Fitoestrogen
Fitoestrogen dapat berikatan dengan reseptor estrogen di organ-organ,
seperti prostat, ovarium, paru-paru, vesika urinaria, ginjal, uterus dan testis,
dan menimbulkan efek estrogenik, walaupun efek fitoestrogen pada
organ-orang tersebut memang kurang poten dibandingakan 17β estradiol, namun dengan kadar yang tinggi dan berulang dapat menimbulkan efek yang
potensial. Hal ini disebabkan karena reseptor estrogen akan diduduki oleh
fitoestrogen dan tidak dapat diduduki oleh estrogen. Fitoestrogen setelah
berikatan dengan reseptor estrogen, akan menyebabkan timbulnya aktivitas
estrogenik yang relatif lemah (Tsourounis 2001). Dengan kata lain,
fitoestrogen dapat menggantikan fungsi estrogen. Fungsi estrogen
diantaranya adalah mempengaruhi ukuran uterus dan organ kelamin wanita.
Ovarium, tuba fallopii, uterus dan vagina semuanya akan bertambah besar
atas pengaruh estrogen. Pembesaran juga terjadi pada genitalia eksterna
akibat meningkatnya deposisi lemak. Estrogen juga mengubah epitel vagina
yang semula epitel pipih selapis menjadi kuboid bertingkat. Pada tuba
fallopii estrogen menyebabkan bertambah banyaknya sel silia yang
membatasi tuba fallopii. Estrogen menyebabkan perubahan nyata pada
endometrium dan kelenjarnya akibatnya ukuran uterus bertambah dua
sampai tiga kali lipat dibandingkan sebelum pubertas. Selain itu, estrogen
juga menyebabkan perkembangan jaringan stroma payudara, pertumbuhan
duktus yang luas dan deposisi lemak pada payudara (Guyton & Hall 1997).
2.6. Metabolisme Fitoestrogen
Fitoestrogen yang terdiri dari tiga kelompok, yaitu isoflavon, lignan,
dan coumestan masing-masing memiliki metabolisme tersendiri. Isoflavon
memiliki dua glikosida utama yaitu: genestein dan daidzein yang terdapat
dalam bentuk tak terkonjugasi (aglikon) yang didapatkan setelah proses
hidrolisis dan bentuk terkonjugasi (beta glokosida) (Rishi 2002). Aktifitas
biologis tiap-tiap glikosida ini tidak banyak diketahui, namun aktifitasnya
tidak seperti estrogen aktif. Glikosida dihidrolisis menjadi bentuk aglikon
mikroflora intestinum. Glikosida lain yang juga terdapat pada isoflavon
(jumlahnya tidak signifikan) adalah Biochanin A dan Fermononetin (Ososki
& Kennelly 2003). Baik Biochanin A maupun Fermononentin akan
dihidrolisis oleh mikroflora intestinum menjadi genestein dan daidzein
(aglikon). Genistein dimetabolisme lebih lanjut di usus menjadi bentuk
senyawa inaktif p-etilfenol, sedangkan daidzein diubah menjadi equol,
dihidrodaidzein, dan O-desmetilangolensin. Selanjutnya isoflavon akan
diabsorpsi oleh usus, kemudian akan masuk ke pembuluh darah. Isoflavon
akan mengalami metabolisme lebih lanjut berupa konjugasi aglikon dengan
asam glukoronik dan asam sulfur (dalam jumlah sedikit) di hati. Senyawa
isoflavon kemudian akan diekskresikan melalui urin (Rishi 2002).
Gambaran keseluruhan proses ini dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3 Absorpsi, metabolisme dan ekskresi isoflavon (Rishi 2002).
glicitin
Konjugasi di hati Sirkulasi enterohepatik
Pada kelompok lignan, fitoestrogen akan diabsorbsi sebagai metabolit
prekursor dalam bentuk secoisolariciresinol dan matairesinol yang terdapat
pada lapisan aleuronik yang letaknya dekat dengan lapisan fiber pada biji.
Kedua prekursor ini akan berubah bentuk menjadi bentuk difenol yaitu
enterodiol dan enterolacton setelah mengalami proses fermentasi oleh
mikroflora di kolon. Enterodiol dan enterolacton memiliki struktur yang
mirip dengan estradiol. Senyawa ini akan diekskresikan melalui urin setelah
mengalami proses absorbsi sebelumnya (Rishi 2002). Senyawa coumestan
akan mengalami proses metabolisme di hati menjadi senyawa yang lebih
aktif melalui proses demetilasi. Senyawa ini juga akan didegradasi menjadi
senyawa yang bersifat asam sederhana dan fenil (Kaushik-Basu et al. 2008).
2.7. Biologi Umum Tikus Putih
Hewan percobaan atau hewan laboratorium adalah semua jenis hewan
dengan persyaratan tertentu untuk dipergunakan sebagai salah satu sarana
dalam berbagai percobaan penelitian dan kedokteran (Sulaksono et al.
1986). Menurut Smith dan Mangkoewidjojo (1988), hewan percobaan ialah
setiap hewan yang dipelihara secara intensif di laboratorium. Hewan
percobaan harus memenuhi persyaratan genetik atau keturunan dan
lingkungan yang memadai dalam pengelolaan, serta memperlihatkan reaksi
biologis sesuai yang dikehendaki (Subahagio et al. 1997).
Tikus putih merupakan salah satu hewan percobaan yang paling
banyak digunakan dalam penelitian. Berikut adalah klasifikasi taksonomi
tikus putih (Rattus norvegicus) menurut Suckow et al.(2006):
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Subfilum : Vertebrata
Kelas : Mamalia
Ordo : Rodentia
Subordo : Myomorpha
Family : Muridae
Subfamiliy : Murinae
Genus : Rattus
Spesies : Rattus norvegicus
Tikus putih atau tikus laboratorium merupakan hewan yang semarga
dengan tikus liar. Nama ilmiah tikus laboratorium ialah Rattus norvegicus,
sedangkan nama ilmiah tikus liar adalah Rattus rattus. Secara umum, tikus
laboratorium (Rattus norvegicus) termasuk ke dalam tikus yang memiliki
ukuran tubuh medium, memiliki rambut yang tidak terlalu banyak dan
memiliki ekor bersisik yang panjangnya lebih pendek dibandingkan panjang
badannya. Rambut hewan ini sedikit kasar dan berwarna abu-abu di bagian
dorsal serta berwarna putih kekuningan di bagian ventral (Schwartz &
Reeder 2001). Tikus ini memiliki moncong yang panjang, memiliki mata
yang kecil, telinga dan ekor yang tak berambut. Tikus ini memiliki 4 jari
yang berkuku dan ukurannya tidak terlalu besar (Verts & Carraway 1998).
Menurut Malole dan Pramono (1989), terdapat beberapa galur atau
varietas tikus yang memiliki kekhususan tertentu antara lain galur Sprague
Dawley, Wistar dan galur Long Evans. Tikus galur Sprague Dawley
memiliki ciri-ciri albino putih, berkepala kecil dengan ekor yang lebih
panjang daripada badannya. Tikus galur Wistar memiliki ciri-ciri bentuk
kepala lebih besar dengan ekor yang lebih pendek sedangkan galur Long
Evans memiliki ciri badan berukuran lebih kecil dari tikus putih, berwarna
hitam pada bagian kepala dan tubuh bagian depan. Tikus putih (Rattus
norvegicus) galur Sprague Dawley merupakan tikus yang paling sering
digunakan untuk percobaan. Tikus ini memiliki temperamen yang tenang
sehingga mudah dalam penanganan. Rata-rata ukuran berat badan tikus
Sprague Dawley adalah 10.5 gram. Berat badan dewasa adalah 250-300
gram untuk betina, dan 450-520 gram untuk jantan. Tikus ini jarang hidup
lebih dari 3 tahun (Smith & Mangkoewidjojo 1988).
Tingkah laku tikus sangat dipengaruhi oleh ukuran dan tipe kandang
serta kondisi lingkungan sekitar. Tikus mempunyai kebiasaan berlari,
berdiri dengan kedua kaki belakang, melompat serta memanjat. Tikus jantan
mempertahankan diri dari serangan musuh. Tikus juga dapat memakan
segala macam makanan (omnivora) dan beraktivitas pada malam hari
(nokturnal) serta melakukan perkawinan sepanjang tahun (Wagner &
Harkness 1989). Menurut Hrapkiewicz dan Medina (1998), tikus dapat
tumbuh dan berkembang biak dengan baik melalui pemberian pakan standar
komersial yang mengandung setidaknya 20-25% protein dan 4% lemak.
Pertumbuhan dan perkembangan tubuh tergantung pada efisiensi makanan
yang diberikan dan juga sangat dipengaruhi oleh metabolisme basal tubuh
tikus.
Tikus memasuki masa pubertas pada 50-60 hari setelah kelahiran.
Usia pubertas pada hewan betina ditandai dengan pembukaan liang vagina
(vaginal opening) dan pada hewan jantan ditandai dengan adanya penurunan
testis dari abdominal ke skrotum (Smith & Mangkoewidjojo 1988). Tikus
memasuki usia dewasa kelamin dan siap untuk dikawinkan pada usia
65-110 hari. Tikus betina memiliki masa produktifitas reproduksi antara 2.5-3
tahun dengan bobot badan antara 250-300 gram, sedangkan tikus jantan
masa produktifitasnya antara 2.5-3.5 tahun dengan bobot badan 450-520
gram. Tikus merupakan hewan poliestrus yang memiliki siklus estrus yang
lebih dari dua kali dalam setahun. Siklus estrus tikus pendek yaitu 4-5 hari
dengan lama estrus 9-12 jam. Tikus betina yang sedang estrus memiliki sifat
yang lebih agresif dan cenderung ingin kawin. Perkawinan antara tikus yang
terjadi dalam waktu 24 jam dapat diketahui dengan melakukan ulas vagina
dan dilakukan pengamatan di bawah mikroskop dengan adanya sekresi
cairan dari vagina dan adanya spermatozoa dalam usapan vagina tersebut
(Malole & Pramono 1989). Masa kebuntingan tikus berkisar antara 21-23
hari dengan jumlah anak pada setiap kelahiran 6-12 ekor anak (Hrapkiewicz
& Medina 1998).
Anak tikus yang baru lahir memiliki bobot antara 5-6 gram. Anak
tikus yang baru dilahirkan memiliki penampilan tanpa rambut, buta, kaki
yang belum berkembang, ekor yang pendek serta lubang telinga masih
tertutup. Anak tikus mulai memiliki rambut pada usia 7-10 hari, mata
2002). Penentuan jenis kelamin anak tikus dilakukan melalui perbandingan
celah anogenital dan ukuran tonjolan genital. Celah anogenital didapat
dengan melakukan pengukuran jarak antara alat genital dengan anus. Celah
anogenital yang lebih panjang dan tonjolan genital yang lebih besar
merupakan ciri tikus jantan (Gambar 4). Menurut Fox (2002), anak tikus
mulai memakan makanan padat pada usia 2 minggu. Usia penyapihan tikus
biasanya 21 hari.
Gambar 4 Celah anogenital anak jantan (kiri) dan betina (kanan) usia 2 minggu (A) dan 6 minggu (B) (Suckow et al. 2006).
2.8. Reproduksi Tikus Jantan
Sistem reproduksi jantan terdiri atas banyak organ-organ individual
yang bekerja sama memproduksi spermatozoa dan menyampaikannya ke
traktus reproduksi betina. Pada tikus jantan, organ reproduksi meliputi
testis, epididimis, duktus deferent, kelenjar aksesoris (ampula, vesica
semininalis, prostat, dan bulbouretralis), penis, skrotum, dan preputium
(Gambar 5). Organ reproduksi ini memiliki peran masing-masing dalam
menjalankan fungsinya sebagai organ reproduksi. Testis berfungsi
memproduksi spermatozoa dan hormon testosteron. Epididimis (caput,
corpus dan cauda) berperan sebagai tempat pematangan sperma, kapasitasi,
dan penyimpanan sperma yang sudah matang. Duktus deferent berfungsi
menyalurkan spermatozoa ke uretra. Kelenjar aksesoris menghasilkan
semen yang berfungsi memberi makan spermatozoa dan menetralisir
masuk ke organ reproduksi betina. Skrotum melapisi testis, dan preputium
melapisi penis (Cunningham 1997).
Gambar 5 Struktur anatomi alat reproduksi jantan (Moore 2000).
Testis adalah organ utama dalam sistem reproduksi jantan. Testis
terletak di dalam sebuah kantung yang dinamakan skrotum dan
menggantung di bawah tubuh hewan. Testis bertanggung jawab atas
steroidogenesis, terutama androgens, dan juga pengadaan sel-sel germinal
haploid melalui spermatogenesis. Kedua fungsi ini terjadi pada sel-sel
Leydig dan pada tubuli semeniferi (Cunningham 1997). Tubuli semeniferi
adalah tempat spermatozoa dibentuk. Proses pembentukan spermatozoa ini
dikenal dengan spermatogenesis. Dalam proses spermatogenesis terdapat
dua tahapan, yaitu: spermatositogenesis (spermatogenium, spermatosit
primer, spermatosit sekunder, spermatid awal, spermatid akhir) dan
spermoigenesis (perubahan struktural spermatid menjadi spermatozoa).
Proses spermatositogenesis ini pada hewan jantan mulai terjadi beberapa
saat sebelum masa pubertas dimana sel benih primordial berkembang
menjadi spermatogonia yang selanjutnya akan berdiferensiasi menjadi
spermatosit primer. Setelah terjadinya penggandaan DNA, spermatosit
primer mulai memasuki tahap profase pembelahan miosis pertama.
Spermatosit primer berkembang menjadi dua spermatosit sekunder, dan
mulai memasuki tahap pembelahan meiosis kedua dan akan dihasilkan
empat spermatid yang bersifat haploid (Ganong 1995). Pada tahapan
Perubahan utama meliputi kondensasi kromatin inti, pembentukan ekor
sperma dan perkembangan tudung akrosom. Setelah terbentuk sempurna,
spermatozoa memasuki rongga tubuli seminiferi dan selanjutnya masuk ke
cauda epididimis. Pada tikus jantan, sperma mulai ada di cauda epididimis
pada usia 45-46 hari dan puncak produksinya pada usia 75 hari (Fox 2002).
Selain menghasilkan sperma, testis juga berfungsi menghasilkan
hormon testosteron. Peranan dan hadirnya hormon ini di dalam tubuh
dipengaruhi oleh beberapa hormon lain, yaitu hormon GnRH, FSH, dan LH.
Pada hewan jantan, gonadotrophin releasing hormone (GnRH) disekresikan
dari hipothalamus untuk menstimulasi pelepasan lutenising hormone (LH) dan
follicle stimulating hormone (FSH) dari pituitari anterior. LH and FSH
mengatur aktivitas testis. LH merangsang sel-sel Leydig untuk memproduksi
testosteron dan FSH akan menstimulasi sel-sel Sertoli untuk proses
pembentukan sel-sel germinal pada spermatogenesis. FSH dan testosteron
merangsang sel-sel spermatogenik untuk melakukan meiosis dan
berdiferensiasi menjadi sperma (Hernawati 2007). Pada masa pubertas kinerja
hormon ini terutama testosteron semakin meningkat. Kurangnya kadar
testosteron dapat menyebabkan berbagai macam gangguan reproduksi
jantan, seperti kriptorchid, hipospadia, pseudohermafroditsme (Heffner &
Schust 2008), dan gangguan kesuburan (Martono & Joewana 2006).
2.9. Homon-Hormon yang Berperan pada Masa Bunting dan Laktasi
Hormon adalah agen kimia yang disekresikan oleh sel endokrin
langsung ke dalam aliran darah dan ditransportasikan pada target
(Cunningham 1997). Hormon-hormon yang mempengaruhi kebuntingan dan
berperan setelah postpartus adalah estrogen, progesteron, relaxin, oxitosin,
dan prolaktin. Estrogen berpengaruh pada masa kebuntingan terutama saat
proses organogenesis. Peran estrogen pada saat kebuntingan adalah ikut
membantu dalam mempersiapkan uterus untuk implantasi. Uterus akan
mengalami hiperplasi dan hipertropi akibat estrogen dengan tujuan
mempersiapkan kebuntingan. Estrogen bertanggung jawab terhadap
aliran darah ke uterus. Estrogen juga memegang peranan penting terhadap
perkembangan fetus selama kebuntingan (Sherwood 2001).
Proses diferensiasi organ reproduksi fetus selama di kandungan juga
dipengaruhi oleh adanya paparan agen estrogenik. Paparan yang berlebihan
pada fetus jantan dapat menyebabkan kegagalan diferensiasi sex,
menyebabkan komplikasi lain seperti epididymal cyst, meatal stenosis,
hypospadia, cryptorchidsm dan microphallus (Vicenzo et al. 2005).
Frekuensi dari terjadinya abnormalitas sangat tergantung pada kadar dan
waktu terjadinya paparan. Hewan jantan yang mendapat paparan estrogen
pada periode akhir kebuntingan memiliki risiko lebih rendah terjadinya
abnormalitas ini jika dibandingkan dengan yang mendapat paparan pada
awal kebuntingan (Vicenzo et al. 2005). Kadar paparan estrogenik yang
tinggi selama kebuntingan dapat menekan perkembangan saluran tikus
jantan sehingga kinerja reproduksinya kurang maksimal (Santii et al. 1998).
Selain itu, paparan estrogen yang tinggi pada fetus dan neonatus ditakutkan
akan menyebabkan efek yang menyimpang seperti infertilitas, kornifikasi
vagina persisten, hemoragi folikel ovarium, dan premature vaginal opening
(Hughes et al. 2004).
Hormon progesteron memiliki fungsi memelihara kebuntingan,
menghambat kontraksi uterus, membentuk kelenjar endometrium, dan
pemicu pertumbuhan alveolar pada kelenjar susu. Hormon prolaktin
berperan merangsang pertumbuhan kelenjar susu dan hormon oksitosin
merangsang pengeluran air susu. Hormon relaxin berperan sebagai relaksasi
ligament pelvis (Isnaeni 2006). Hormon-hormon ini sangat dibutuhkan oleh
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Bagian Fisiologi, Departemen Anatomi,
Fisiologi, dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian
Bogor pada bulan April sampai dengan November 2011.
3.2. Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian adalah kandang tikus
berpenutup kawat kasa, timbangan Triple Beam Balance, gelas objek, cover
glass, cotton bud, mikroskop, syringe 24 G, spoid 1 ml, sonde lambung,
penggaris, kamar hitung Neubauer, hand tally counter, cawan porselin, pipet
leukosit, tabung reaksi, tabung eppendorf, mesin sentrifuse, pipet, freezer,
timbangan analitik, kertas saring, peralatan bedah (alas, pisau, pinset,
gunting), tisu, dan kertas label. Bahan yang digunakan dalam penelitian
adalah susu kedelai fermentasi, larutan NaCl fisiologis (0,9%), akuades,
larutan eter, dan kit testosteron.
3.3. Persiapan Penelitian 3.3.1. Hewan Coba
Hewan percobaan yang digunakan dalam penelitian adalah tikus
putih (Rattus norvegicus) galur Sprague Dawley betina berusia 16 minggu
pada awal penelitian dan tikus jantan berusia 16 minggu untuk mengawini
betina. Selama penelitian tikus dipelihara di Fasilitas Hewan Coba, Fakultas
Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Kandang yang digunakan
dalam penelitian berbahan dasar plastik, berukuran 30 x 20 x 12 cm,
berpenutup kawat kasa pada bagian atasnya, dan diberi alas sekam yang
diganti secara periodik. Pakan dan air minum tikus diberikan ad libitum.
Tikus bunting didapatkan dengan perkawinan yang dilakukan secara
alamiah dengan mencampurkan tikus jantan dan betina dalam satu kandang
tersebut dilakukan ulas vagina untuk mendeteksi adanya perkawinan.
Indikator terjadi perkawinan adalah ditemukannya sperma pada preparat
ulas vagina. Bila pada preparat ulas vagina yang diamati tersebut ditemukan
sperma, pada umumnya tikus betina dinyatakan bunting (H1). Tikus betina
yang telah dinyatakan bunting dikandangkan secara individu.
3.3.2. Fitoestrogen
Fitoestrogen yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari olahan
kacang kedelai yaitu susu kedelai yang telah difermentasi menggunakan
Lactobacilus plantarum dan didapat dari Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI). Setiap 100 gram susu kedelai fermentasi mengandung
kadar isoflavon sebanyak 70.61 mg yang terdiri dari 66.81 mg daidzein dan
3.80 mg genestein (hasil analisis Laboratorium Pengujian-Balai Besar
Penelitian dan Pengembangan Pasca Panen Pertanian-Kementrian
Pertanian).
3.4. Metode Penelitian
3.4.1. Pengelompokan Hewan Coba
Sebanyak 12 ekor tikus betina bunting dibagi ke dalam empat
kelompok percobaan yang masing-masing kelompok terdiri dari tiga ekor
tikus betina. Kelompok-kelompok tersebut terdiri dari:
1. Kelompok K yang tidak diberi susu kedelai fermentasi selama
kebuntingan dan menyusui atau sebagai kontrol.
2. Kelompok A yang diberi susu kedelai fermentasi pada usia awal
kebuntingan (H2-H11).
3. Kelompok B yang diberi susu kedelai fermentasi pada akhir
kebuntingan sampai dengan partus (H12-H21).
4. Kelompok C yang diberi susu kedelai fermentasi pada masa laktasi
(P2-P11).
Pemberian susu kedelai fermentasi dilakukan secara peroral dengan
dosis sebanyak 4.99 gr/kg BB/hari dalam volume 4 ml dan dilakukan setiap
melahirkan secara alami. Anak tikus tersebut dibiarkan menyusu pada
induknya sampai usia 21 hari. Anak tikus yang dilahirkan inilah merupakan
subjek penelitian.
3.4.2. Pelaksanaan
Tikus-tikus betina dihitung lama kebuntingannya dan dibiarkan
melahirkan secara alami. Pada hari pertama kelahiran dilakukan
penghitungan jumlah anak sekelahiran. Penghitungan rataan bobot badan
anak dilakukan pada hari kedua setelah kelahiran. Pengamatan jarak celah
anogenital dilakukan untuk menentukan jenis kelamin tikus. Tikus betina
memiliki jarak celah anogenital yang lebih pendek dibandingkan dengan
tikus jantan (Suckow et al. 2006). Setelah diketahui jenis kelamin anak,
anak yang berjenis kelamin jantan diambil sebagai objek penelitian. Anak
tikus jantan yang telah berusia 15 dan 21 hari dari masing-masing kelompok
dilakukan pengukuran celah anogenital. Anak tikus jantan dipisahkan
dengan induk pada hari ke-28 dan dikandangkan sesuai dengan
kelompoknya masing-masing. Pada usia 28 hari (prapubertas) dan usia 42
hari (menjelang pubertas) satu anak tikus jantan dari setiap kelompok
perlakuan dinekropsi untuk diambil data tampilan reproduksi. Data yang
diambil berupa bobot badan, bobot organ reproduksi (testis), dan jumlah
sperma. Selain itu, sampel darah juga diambil untuk menentukan kadar
hormon hewan jantan (testosteron). Segera setelah pembiusan dengan
menggunakan eter, sebanyak 1 ml darah diambil dari jantung dengan
menggunakan jarum suntik tuberculin. Darah ditempatkan dalam tabung
darah dan dibiarkan selama kira-kira 1 jam, disentrifuse dengan kecepatan
2500 rpm selama 15 menit. Serum yang terbentuk dimasukkan ke dalam
tabung eppendorf dan disimpan di dalam freezer sampai pengujian. Diagram
3.5. Parameter yang Diambil dan Teknik Pengukurannya
Kinerja Induk 1. Lama Kebuntingan
Lama kebuntingan didapatkan dengan cara menghitung masa
kebuntingan induk dari hari pertama sampai dengan partus.
2. Jumlah Anak Sekelahiran dan Rataan Bobot Badan Lahir Anak
Jumlah anak sekelahiran dihitung melalui jumlah total anak pada
hari pertama kelahiran setiap induk. Rataan bobot lahir anak diperoleh
pada saat anak berusia dua hari. Data ini didapat dengan cara menimbang
bobot badan total seluruh anak dari setiap induk dan dibagi dengan
jumlah anak.
Kinerja Reproduksi Anak Jantan
1. Jarak Celah anogenital Usia 15 dan 21 Hari
Celah anogenital pada anak didapatkan dengan mengukur jarak celah
yang dibentuk oleh anus dan alat genital menggunakan penggaris. Data
didapat dalam skala centimeter.
2. Bobot Badan Anak Usia 28 dan 42 Hari
Bobot badan anak masing-masing diukur dengan menggunakan
timbangan Triple Beam Balance. Hasil pengukuran dinyatakan dalam
satuan gram.
3. Bobot Testis dan Jumlah Sperma Usia 28 dan 42 Hari
Bobot testis diukur dengan menggunakan timbangan analitik yang
merupakan bobot basah organ. Organ testis didapatkan melalui
euthanasia tikus percobaan menggunakan larutan eter dan pembedahan.
Bobot yang didapat dinyatakan dalam satuan gram. Jumlah sperma
didapat dengan mengencerkan semen yang ada pada cauda epididimis
dengan larutan NaCl fisiologis hangat. Kemudian cairan ini dihisap
dengan menggunakan pipet leukosit sampai dengan angka 11 dan
dibuang beberapa tetes lalu diletakkan pada kamar hitung Neubauer guna
dihitung jumlah sperma yang ada. Sperma dihitung dengan menggunakan
4. Kadar Hormon Testosteron
Kadar hormon testosteron diukur pada anak jantan usia 28 hari dan 42
hari. Pengukuran kadar testosteron ini dilakukan dengan menggunakan
teknik RIA memakai kit komersial. Konsentrasi hormon testosteron yang
terkandung dalam serum akan dibaca dengan menggunakan gamma
counter. Hasil pengukuran dinyatakan dalam satuan ng/ml.
3.6. Analisis Statistik
Hasil parameter yang telah diukur dinyatakan dalam rataan ±
simpangan baku. Perbedaan antar kelompok perlakuan diuji secara
statistika melalui analisa sidik ragam (ANOVA) dengan pola rancangan
acak lengkap, dilanjutkan dengan uji Duncan dengan selang kepercayaan
95% (α=0.05) (Steel & Torrie 1991).
Kelompok A Kelompok B Kelompok C
Keterangan: : Pemberian susu kedelai fermentasi pada induk.
4.1. Pengaruh Pemberian Susu Kedelai Fermentasi terhadap Kinerja Induk Parameter yang digunakan untuk mengamati pengaruh pemberian
susu kedelai fermentasi terhadap kinerja induk adalah lama kebuntingan,
dan tingkat produksi anak yang meliputi jumlah anak sekelahiran dan rataan
bobot badan lahir. Hasil penelitian dapat dilihat pada Tabel 5 di bawah ini.
Tabel 5 Rataan (±SD) lama kebuntingan, jumlah anak sekelahiran dan rataan bobot badan lahir anak
Parameter
K adalah kelompok hewan yang tidak diberi susu kedelai fermentasi selama kebuntingan dan menyusui, A adalah kelompok hewan yang diberi susu kedelai fermentasi 4.99 gr/kg BB/hari saat awal kebuntingan (usia 2-11 hari), B adalah kelompok hewan yang diberi susu kedelai fermentasi 4.99 gr/kg BB/hari saat akhir kebuntingan (usia 12-21 hari), dan C adalah kelompok hewan yang diberi susu kedelai fermentasi 4.99 gr/kg BB/hari saat laktasi (usia 2-11 hari); tn=tidak nyata.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian susu kedelai
fermentasi yang mengandung fitoestrogen tidak memiliki pengaruh terhadap
lamanya kebuntingan. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 5 dimana setiap
kelompok baik yang diberi perlakuan maupun tidak diberi perlakuan tidak
memiliki perbedaan yang nyata atau memiliki lama kebuntingan yang sama.
Menurut Hrapkiewicz dan Medina (1998), masa kebuntingan normal tikus
berkisar 21-23 hari. Lama kebuntingan dipengaruhi oleh faktor induk, fetus,
genetik dan lingkungan. Induk yang berumur muda akan memiliki masa
Jumlah fetus yang banyak juga akan membuat kelahiran fetus semakin cepat
(Hafez & Hafez 2000). Selain itu, genetik dan lingkungan juga akan
mempengaruhi lamanya kebuntingan. Lingkungan yang memiliki
temperatur yang hangat akan membuat waktu kelahiran semakin cepat
(Noakes et al. 2005).
Pemberian fitoestrogen juga tidak mempengaruhi jumlah anak yang
dilahirkan dan bobot anak sekelahiran. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 5
dimana kelompok yang diberi perlakuan maupun tidak diberi perlakuan
tidak berbeda nyata. Seluruh kelompok memiliki jumlah anak dan bobot
sekelahiran dalam rentang yang normal. Jumlah anak tikus yang dilahirkan
setiap kelahiran biasanya 6-12 ekor anak (Hrapkiewcz & Medina 1998)
dengan bobot badan antara 5-6 gram (Fox 2002). Faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi bobot badan lahir anak diantaranya adalah ras, bobot induk,
jenis kelamin, cuaca dan iklim, dan nutrisi induk (Noakes et al. 2005).
4.2. Pengaruh Pemberian Susu Kedelai Fermentasi terhadap Kinerja Reproduksi Anak Jantan
Pengamatan pengaruh pemberian susu kedelai fermentasi terhadap
kinerja reproduksi anak jantan meliputi jarak celah anogenital, bobot badan,
bobot testis, kadar testosteron dan jumlah sperma. Pengukuran celah
anogenital dilakukan sebelum usia pubertas yaitu pada usia 15 dan 21 hari,
sedangkan pengukuran bobot badan, bobot testis, kadar testosteron dan
jumlah sperma dilakukan pada usia 28 hari (sebelum pubertas) dan 42 hari
(menjelang pubertas). Hasil pengamatan dapat dilihat pada Tabel 6 di bawah
Tabel 6 Rataan (±SD) celah anogenital, bobot badan, bobot testis, kadar testosteron dan jumlah sperma
Keterangan:
K adalah kelompok hewan yang tidak diberi susu kedelai fermentasi selama kebuntingan dan menyusui, A adalah kelompok hewan yang diberi susu kedelai fermentasi 4.99 gr/kg BB/hari saat awal kebuntingan (usia 2-11 hari), B adalah kelompok hewan yang diberi susu kedelai fermentasi 4.99 gr/kg BB/hari saat akhir kebuntingan (usia 12-21 hari), dan C adalah kelompok hewan yang diberi susu kedelai fermentasi 4.99 gr/kg BB/hari saat laktasi (usia 2-11 hari); Huruf superscript yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan bahwa hasil berbeda nyata (P<0.05); tn=tidak nyata.
Celah anogenital merupakan jarak antara alat genital dengan anus.
Celah anogenital yang lebih panjang merupakan ciri dari tikus jantan. Data
pada Tabel 6 diatas menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang nyata
dari celah anogenital yang diukur pada masing-masing kelompok baik usia
15 hari maupun 21 hari. Hasil ini menunjukkan bahwa pemaparan
(gram) 29.98±2.57 24.40±4.28 34.03±10.51 30.10±11.39 tn
Bobot Testis
(gram) 51.93±18.36 52.08±7.30 44.96±13.36 45.62±14.04 tn
fitoestrogen pada masa kebuntingan awal, akhir, maupun laktasi tidak
mempengaruhi jarak celah anogenital. Namun demikian, bila dilihat lebih
lanjut, jarak celah anogenital usia 21 hari pada kelompok yang mendapat
perlakuan pemberian fitoestrogen terlihat lebih pendek dibandingkan
dengan kontrol. Hal ini diduga sebagai akibat pemberian fitoestrogen
(nonsteroid bersifat estrogen like) yang berasal dari susu kedelai fermentasi.
Pemberian senyawa nonsteroid yang bersifat estrogen seperti DES
(diethylstilbesterol) dapat menyebabkan celah anogenital pada jantan
menjadi lebih pendek (Shelby 2010). Pemberian fitoestrogen (genistein)
selama kebuntingan dapat ditransfer dari induk ke fetus melalui plasenta
(Doerge et al. 2001). Selain itu Lewis et al. (2003) juga menyebutkan
bahwa fitoestrogen dapat ditransfer melalui air susu. Oleh sebab itu,
hadirnya sejumlah fitoetrogen yang bersifat estrogen like pada anak inilah
yang diduga dapat memperpendek celah anogeital pada anak jantan.
Bobot badan anak baik usia 28 dan 42 hari tidak memberikan nilai
yang berbeda nyata. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian fitoestrogen
pada induk di awal kebuntingan, akhir kebuntingan, maupun laktasi tidak
mempengaruhi bobot badan anak. Hal ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Kang et al. (2002), dimana pemberian genestein dosis tinggi
selama kebuntingan dan laktasi dengan dosis 0.4 dan 4 mg/kg BB/hari tidak
menunjukkan perbedaan yang signifikan terhadap bobot anak dan jenis
kelamin anak.
Hasil pengamatan bobot testis dan kadar testosteron pada usia 28 hari
tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Hal ini menunjukkan bahwa
hadirnya fitoestrogen pada masa embrio, fetus, dan awal kelahiran tidak
memberikan pengaruh terhadap kinerja reproduksi anak jantan usia 28 hari.
Hal ini dikarenakan pada usia 28 hari tikus belum memasuki masa pubertas.
Sebelum memasuki masa pubertas sekresi hormon steroid seks (testosteron)
dalam jumlah yang sedikit sudah mempunyai efek penghambat yang kuat
terhadap sekresi GnRH oleh hipothalamus (Guyton & Hall 1997). GnRH
sendiri berfungsi menstimulasi pelepasan LH dan FSH. Adanya hambatan
tidak ada rangsangan kepada sel-sel Leydig untuk memproduksi testosteron
atau dengan kata lain pada masa sebelum pubertas sel-sel Leydig yang
mensekresi testosteron dalam testis menjadi tenang (Ganong 1995). Oleh
karena itulah, pemberian fitoestrogen tidak terlihat mempengaruhi kinerja
reproduksi anak sebelum pubertas. Hal ini juga telah dibuktikan oleh
Kembara (2009), dimana pemberian tepung kedelai yang mengandung
fitoestrogen pada induk bunting atau menyusui tidak memberikan pengaruh
terhadap bobot testis anak usia 4 minggu.
Berbeda dengan usia 28 hari, pada usia 42 hari bobot testis dan kadar
testosteron menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0.05). Tikus yang
induknya diberi susu kedelai fermentasi menunjukkan bobot testis dan kadar
hormon testosteron yang lebih rendah bila dibandingkan dengan tikus yang
tidak diberi perlakuan apapun. Hadirnya sejumlah fitoestrogen pada fetus
atau anak yang bisa ditransfer dari induk melalui plasenta atau air susu
memberikan pengaruh terhadap bobot testis dan kadar testosteron pada usia
42 hari, tetapi tidak pada usia 28 hari karena tikus belum memasuki usia
pubertas sehingga hormon reproduksinya belum aktif. Pada usia 42 hari,
tikus menjelang pubertas sehingga hormon-hormon reproduksinya diduga
sudah mulai bekerja, sehingga hadirnya fitoestrogen menyebabkan fungsi
testosteron terganggu, akibatnya perkembangan traktus reproduksi anak
jantan (testis) pada usia ini juga terganggu.
Testis terdiri dari tubulus seminiferus yang di dalamnya terdapat
sel-sel Sertoli dan sel-sel-sel-sel Leydig yang terletak diantara tubulus seminiferus.
Penurunan bobot testis dan penurunan kadar testosteron yang ditunjukkan
pada hasil pengamatan usia 42 hari dalam Tabel 6 diduga karena hadirnya
fitoestrogen mengakibatkan terhambatnya perkembangan sel Leydig atau
berkurangnya jumlah sel Leydig yang disebabkan oleh sekresi LH yang
terhambat akibat efek antiandrogenik dari fitoestrogen. Penurunan jumlah
sel Leydig ini akan menyebabkan penurunan bobot testis, karena sekitar
20% massa testis terdiri atas sel-sel Leydig (Guyton & Hall 1997).
Penurunan jumlah sel Leydig juga akan menyebabkan kadar testosteron
proses steroidogenesis yang menghasilkan testosteron (Guyton & Hall
1997). Rendahnya kadar testosteron akan berpengaruh pada diameter
tubulus seminiferus seperti yang telah dilakukan oleh Wahyuni (2012),
dimana terjadi penurunan diamater tubulus seminiferus yang diduga karena
kurangnya hormon testosteron akibat pemberian isoflavon yang
menyebabkan atropi-atropi tubulus seminiferus. Adanya atropi-atropi
tubulus seminiferi ini dapat menyebabkan penurunan bobot testis. Hal ini
dikarenakan sekitar 80% massa testis terdiri dari tubulus seminiferus
(Sherwood 2001).
Hasil penelitian ini sejalan dengan pernyataan Casanova et al. (1999)
yang menyatakan bahwa efek pemberian atau pemaparan fitoestrogen
(genestein) pada masa kebuntingan atau laktasi terhadap perkembangan
reproduksi tikus (bobot testis) membuat perkembangan alat reproduksi
menjadi terganggu sehingga bobot testis menjadi lebih rendah. Hal serupa
juga diungkapkan oleh Astuti (2009) yang menyatakan bahwa pemberian
tepung kedelai kaya isoflavon rendah lemak pada dosis 4.5 mg/kg BB/hari
dilaporkan menyebabkan perubahan pada bobot testis, berkurangnya
volume lumen pada tubului seminiferi, dan terganggunya spermatogenesis.
Penelitian lain pada tikus jantan Spraguey Dawley juga menyebutkan
bahwa pemberian diet kaya fitoestrogen dalam jangka pendek dapat
menurunkan kadar testosteron dan androgen, serta penurunan bobot prostat
secara signifikan (Karahalil 2006). Hal ini juga dibuktikan oleh Wahyuni
(2012), dimana hasil penelitiannya menyebutkan adanya penurunan bobot
testis dan kadar hormon testosteron pada kelompok yang diberi isoflavon.
Terjadinya penurunan kadar hormon testosteron disebabkan oleh
isoflavon yang bersifat estrogen like dan juga bersifat antiandrogenik.
Isoflavon mengawali kerjanya dengan cara meniru kerja estrogen, sehingga
mampu berikatan dengan reseptor estrogen. Reseptor estrogen yaitu Erα dan
Erβ tersebar diseluruh tubuh termasuk kelenjar pituitary dan hipothalamus
(Shupnik et al. 1998). Hadirnya isoflavon yang sifatnya mirip dengan
estrogen ini akan berikatan dengan reseptor estrogen yang ada pada hipofise
di hipofise anterior diduga menghambat sekresi FSH dan LH. Begitu juga
dengan efek ikatan reseptor estrogen dengan fitoestrogen yang ada di
hipothalamus, diduga menyebabkan sekresi GnRH menjadi lebih sedikit,
akibatnya pelepasan FSH dan LH yang dirangsang oleh GnRH menjadi
sedikit. Jika sekresi LH terhambat atau sedikit, maka pertumbuhan dan
pematangan sel Leydig serta kemungkinan jumlah sel Leydig berkurang
sehingga hormon testosteron akan berkurang. Hal ini disebabkan karena sel
Leydig merupakan tempat terjadinya proses steroidogenesis yang
menghasilkan testosteron (Guyton & Hall 1997).
Pemberian fitoestrogen pada masa kebuntingan atau laktasi tidak
memberikan pengaruh terhadap jumlah sperma baik pada usia 28 hari
maupun 42 hari. Hal ini dikarenakan tikus belum memasuki usia pubertas
atau dewasa kelamin. Tikus yang belum memasuki masa pubertas akan
menghasilkan hormon FSH yang rendah akibat sekresi GnRH yang tidak
cukup. Keadaan ini akan membuat sel-sel Sertoli untuk proses pembentukan
sel-sel germinal pada spermatogenesis juga akan rendah, akibatnya jumlah
sperma tidak ditemukan pada usia sebelum pubertas. Proses pembentukan
sperma atau spermatogenesis dipengaruhi oleh beberapa hormon
diantaranya: hormon testosteron yang penting bagi pertumbuhan dan
pembagian sel-sel germinativum dalam membentuk sperma, hormon lutein
yang merangsang sel-sel Leydig untuk menyekresi testosteron, hormon
perangsang folikel yang penting dalam proses spermiogenesis (pengubahan
spermatid menjadi sperma), dan hormon pertumbuhan yang secara khusus
meningkatkan pembelahan awal spermatogonia sehingga spermatogenesis
pun meningkat (Guyton & Hall 1997).
Menurut Fox (2002), sperma mulai ada di cauda epididimis pada usia
45-46 hari dan puncak produksinya pada usia 75 hari. Pada usia 75 hari,
tikus jantan telah mengalami dewasa kelamin, sehingga alat reproduksinya
telah bekerja secara optimal termasuk testis. Testis yang merupakan organ
utama dalam sistem reproduksi jantan pada usia dewasa kelamin telah
mampu menghasilkan sperma dan mampu mengawini betina (Cunningham
5.1. Simpulan
Pemberian susu kedelai fermentasi sebanyak 4.99 gr/kg BB/hari pada
induk di awal kebuntingan, akhir kebuntingan atau laktasi memberikan
pengaruh terhadap kinerja reproduksi anak jantan usia 42 hari berupa
penurunan bobot testis dan kadar testosteron.
5.2. Saran
Saran yang dapat diberikan pada penelitian ini, yaitu:
1. Perlu adanya jumlah ulangan yang lebih banyak agar didapatkan
standar deviasi yang lebih kecil.
2. Perlu dilakukan penelitian dengan dosis yang bertingkat untuk melihat
seberapa besar dosis yang benar-benar dapat mempengaruhi kinerja
reproduksi anak jantan.
3. Perlu dilakukan pengamatan lanjutan sampai anak usia dewasa
kelamin dan mampu mengawini betina sehingga dapat diketahui
secara pasti pengaruh pemberian fitoestrogen terhadap kinerja
http://www.kesrepro.info/?q=node/32 [8 November 2011].
Almatsier S. 2009. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia.
Astuti S. 2009. Kualitas spermatozoa tikus jantan yang diberi tepung kedelai kaya isoflavon. Lampung: Fakultas Pertanian, Universitas Lampung.
Budirmawanti C. 2004. Komposisi dan nutrisi pada susu kedelai. [terhubung berkala]. http://www.indomedia.com/intisari/diet html [27 Februari 2012].
Casanova et al. 1999. Developmental effects of dietary phytoestrogens in Sprague–Dawley rats and interactions of genistein and daidzein with rat estrogen receptors alpha and beta in vitro. Toxicol Sci 51:236–244.
Cunningham JG. 1997. Textbook of Veterinary Physiology 2nd. Philadelphia: WB Saunders.
Doerge DR, Churchwell MI, Chang HC, Newbold RR, Delclos KB. 2001. Placental transfer of the soy isoflavone genistein following dietary and gavage administration to Sprague Dawley rats. Reproductive Toxicol 15:105–110.
Efendi. 2008. Manfaat mengkonsumsi susu kedelai. [terhubung berkala]. http://efendi.blogspot.com/2008/01/manfaat mengkonsumsi susu kedelai.html [27 Februari 2012].
Fox JG. 2002. Laboratory Animal Medicine 2nd. New York: Academic pr.
Ganong WF. 1995. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Andrianto P, penerjemah; Oswari J, editor. Jakarta: ECG. Terjemahan dari: Review of Medical Physiology.
Guyton AC, Hall JE. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Ed ke-9. Setiawan I, Tengadi KA, Santoso A, penerjemah; Setiawan I, editor. Jakarta: ECG. Terjemahan dari: Textbook of Medical Physiology 9th Ed.
Hafez B, Hafez ESE. 2000. Reproduction Farm Animal 7th Ed. USA: Williams & Wilkins.
Heffner LJ, Schust DJ. 2008. At a Glance Sistem Reproduksi Ed ke-2. Di dalam: Safitri A, editor. Jakarta: Erlangga.