• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Struktur Fisik 1 Diks

METODE PENELITIAN

4.2 Asal-Usul Nama Tamiang

4.4.1 Analisis Struktur Fisik 1 Diks

Pada bab sebelumnya sudah dijelaskan pengertian diksi, bahwa diksi adalah pemilihan kata yang dilakukan penyair untuk menuangkan ide-idenya di dalam puisi, pemilihan kata berfungsi juga untuk menghaluskan kata dan kalimat agar terasa lebih indah, selain itu juga diperlukan untuk memperoleh kesan yang mendalam dalam puisi agar para pembaca dan penikmat puisi itu tertarik dan kagum dengan puisinya.

Begitu juga dengan mantra, karena mantra bagian dari puisi, maka mantra juga menggunakan kata-kata pilihan agar kekuatan mantra itu timbul serta maksud dan tujuan dari si pengguna mantra itu dapat tercapai.

Kosa kata yang digunakan dalam mantra Dendang Lebah ini adalah kosa kata bahasa Melayu Tamiang. Ada beberapa kata yang ditemukan sudah jarang sekali dipakai oleh masyarakat Melayu Tamiang itu sendiri, seperti kata-kata: rampak,

28

kubal, jemambang, jenango, dan lain-lain. Hal tersebut dapat dilihat dari kutipan

mantra untuk pohon tualang masyarakat Melayu Tamiang berikut:

• Mantra untuk pohon Tualang

Kayu betuah lagi bebahagie

Kayu tumboh ditepi kulam, kulamnye berayer ijo Tempek le mandi si puteri ijo

Batangnye puteh kulitnye ijo Cabangnye rampak gilang gemilo Kulit bename sipari-pari

Kubal bename sigenggam tegoh

Akarnye lampe bename sabo berendam Akar tunggal bename pasak le bumi Banir bename sikumbol emeh Serempak bename batil sireh suase

Cabang jemambang bename raje unjor-unjoran Cabang jenanggo bename tungkek tuan taali Ranting bename jarom jemarom

Daonnye bename sikali membang Pucok bename payong tekembang Putik bename bintang temabor Buah bename bintang berayun Ayun le ayun buah sentayun selembor betarok mude Mayoh le hati bunge kuayun Dayang nak naik, oi...

29

Semua kata-kata pada dendang tersebut di atas merupakan kata-kata pilihan, seperti kayu betuah lagi bebahagie, kenapa harus memakai kayu betuah lagi bebahagie tidak kata-kata yang lain. Ini karena kata betuah dan bebahagie bukanlah sebatas pengertiannya sebagai yang bertuah atau yang mendatangkan keuntungan atau yang sedang dalam kebahagiaan, tetapi kata-kata tersebut memiliki kekuatan dan makna di mana hanya pawanglah yang mengerti maknanya, sehingga kata-kata tersebut tidak dapat diganti dengan kata-kata yang lain. Begitu juga dengan kata-kata

tempek le mandi si puteri ijo, kenapa harus tempat mandi si putri hijau, karena puteri

hijau dianggap sebagai puteri yang cantik jelita sekaligus sebagai perlambang dewi yang dianggap sakral bagi masyarakat Melayu Tamiang. Oleh karena itu pencipta dendang ini menggunakan kata-kata tersebut di dalam dendangnya agar menambahkan daya magisnya. Gilang gemilo, memiliki arti bercahaya terang atau terang sekali. Akar tunggal bename pasak le bumi, pasak bumi artinya pohon kayu yang akarnya dapat dijadikan obat penambah tenaga. Batil sireh suase adalah tempat sirih yang terbuat dari logam campuran emas dan tembaga, yang memiliki arti bernilai dan berharga. Namun sebenarnya kata-kata seperti di atas, tidak bisa diartikan secara harfiah begitu saja, karena kata demi kata mempunyai hubungan yang sangat erat, yang akhirnya akan melahirkan makna yang sangat mendalam.

Semua kata-kata pada dendang tersebut di atas merupakan kata-kata pilihan. Kata tersebut sudah disusun sedemikian rupa oleh penciptanya dan kedudukan kata- kata itu tidak dapat dipindahkan posisinya begitu saja, karena jika dipindah- pindahkan daya magis dan keindahan bunyinya atau nilai estetikanya akan hilang sekalipun maknanya tidak berubah. Pada dendang pertama untuk kayu tualang arti

30

dan maksud dari kata-kata di atas adalah bagaimana si pengguna dendang tersebut memuja kayu dengan kata-kata yang indah. Semua bagian kayu di kiaskan dalam bentuk yang indah dan bermakna, pada bagian tersebut juga memiliki arti betapa beruntungnya lebah bersarang di pohan kayu yang bertuah tersebut. Selain itu, kayu tualang yang saat ini sudah sangat jarang tumbuh, dianggap sebagai pohon yang memiliki tuah dan dipercayai oleh masyarakat Melayu Tamiang sebagai pohon yang ada “penunggunya” berupa jin atau jembalang pohon. Oleh karena itu, bagi para pengambil madu, biasanya mereka menyanyikan dendang ini agar para penunggu pohon tersebut sekaligus pohon itu juga memberikan izin bagi mereka untuk naik ke atas pohon tersebut untuk mengambil madu yang terdapat di pohon tersebut. Nyanyian atau dendang tersebut ditujukan sebagai rayuan atau bujukan kepada pohon tualang dan penunggunya sekaligus juga sebagai perintah untuk mentaati apa yang diminta oleh pawang tuhe, seperti yang terlihat pada kutipan berikut:

- Sebagai rayuan atau bujukan: Kayu betuah lagi bebahagie

Kayu tumboh ditepi kulam, kulamnye berayer ijo Tempek le mandi si puteri ijo

Batangnye puteh kulitnye ijo

- Sebagai perintah:

Ayun le ayun buah sentayun selembor betarok mude

31 Mayoh le hati bunge kuayun

Dayang nak naik, oi...

Kosa kata yang digunakan dalam mantra Dendang Lebah ini adalah kosa kata bahasa Melayu Tamiang. Ada beberapa kata yang ditemukan sudah jarang sekali dipakai oleh masyarakat Melayu Tamiang itu sendiri, seperti kata-kata: paok,

siakong, sior, sijenjen, manih dan lain-lain. Hal tersebut dapat dilihat dari kutipan

mantra Dendang Lebah masyarakat Melayu Tamiang berikut:

• Mantra untuk menyapu lebah

Dari le paok sampe ke pematang Tetak le cengal kudado kemudi

Dari jaoh si bujang pawang nan datang Dari tamiang sampai kemari

Balerong bale mu raje Ketige bale mu menteri

Adel-adel le hukom mu he raje Karne raje le punye negeri

Siakong begumbak mirah Kene le jerat sirajewali Kami begantong mu Allah Serte bertungkek ku Nabi Sijenjen jaek ke baju Gunting anak siraje melayu

32 Dayangku boleh ke singkek ke baju

Sibujang pawang oi... ndak menyapu

Paku rundok paku ku rendang Panggang kerapu dibawah cabang Turun le tundok lebah tualang

Malamne kusapu isok ko buleh pulang

Dayangku jangan bejaje bawang Bawang dijaje bawang rupie

Dayangku jangan terbang te lawang-lawang Takut marah pawang raje mude sedie Sirakup silela dandi dayangku

Pande memangku sibiring kuning Jangan le takut kemane nak lalu Laot ngelambang sior kuliling

Dayangku jangan bepaok padi Kalo le bidok beserempu juge Dayangku jangan bejaoh hati Dilaen musem kite besue juge

Pucuk adel daonnye adel Rotan pangkek dibelah due Isi manih kedalam batel Ucapke bismillah baru disedue

33

Pada bagian kedua yakni mantra dendang lebah yang ditujukan untuk mengusir lebah agar meninggalkan sarang, penyair juga menggunakan kata-kata pilihan karena dalam puisi pilihan kata sangat penting sekali. Hal ini disebabkan pilihan kata dalam puisi apalagi mantra dapat mencerminkan ruang, waktu, falsafah, amanah, efek, dan nada puisi dengan tepat. Makna yang terkandung dalam puisi atau mantra juga terdiri dari makna denotatif dan makna konotatif (Siswanto, 2013:104). Dalam mantra Dendang Lebah ini lebih banyak menggunakan makna denotatif karena dalam kebanyakan mantra pilihan katanya selalu merujuk ke makna sebenarnya. Hal ini agar makna tersebut tidak menimbulkan bias atau kesalahan pemahaman. Hal ini disebabkan Mantra Dendang Lebah ini apabila dibacakan sesuai dengan urutannya maka daya magis dan kekuatan mantra itu akan sampai pada tujuannya, seperti terlihat pada kutipan berikut ini:

Siakong begumbak mirah Kene le jerat sirajewali Kami begantong mu Allah Serte bertungkek ku Nabi Sijenjen jaek ke baju

Guntung anak siraje melayu

Dayangku boleh ke singkek ke baju Sibujang pawang oi... ndak menyapu

Pada kutipan di atas terlihat bahwa pilihan kata yang digunakan merujuk kepada makna denotatif karena hampir seluruh kata-kata yang digunakan merujuk kepada makna sebenarnya. Daya magis dan kekuatan mantra pada kutipan tersebut

34

terlihat dari penggunaan kata Allah dan Nabi sehingga lebah dapat menuruti segala permintaan pawang tuhe. Oleh karena itu, maka lebah harus menuruti perintah dari pawang tuhe seperti terlihat pada kutipan berikut ini:

Paku rundok paku ku rendang Panggang kerapu dibawah cabang Turun le tundok lebah tualang

Malamne kusapu isok ko buleh pulang

Mantra ini disampaikan dalam bentuk berupa pantun, pada baris pertama dan kedua merupakan sampiran, baris ketiga dan ke empat merupakan isi atau penjelas dari apa yang hendak disampaikan oleh pengguna dendang tersebut, seperti terlihat pada kutipan berikut:

Dari le paok sampe ke pematang Tetak le cengal kudado kemudi

Dari jaoh si bujang pawang nan datang Dari tamiang sampai kemari

Balerong bale mu raje Ketige bale mu menteri

Adel-adel le hukom mu he raje Karne raje le punye negeri

35 Panggang kerapu dibawah cabang

Turun le tundok lebah tualang

Malamne kusapu isok ko buleh pulang

Dayangku jangan bepaok padi Kalo le bidok beserempu juge Dayangku jangan bejaoh hati Dilaen musem kite besue juge

Pucuk adel daonnye adel Rotan pangkek dibelah due Isi manih kedalam batel Ucapke bismillah baru disedue

4.4.1.2Imajinasi

Dalam puisi, untuk memberi gambaran yang jelas, menimbulkan suasana yang khusus, membuat (lebih) hidup gambaran dalam pikiran dan pengindraan dan juga untuk menarik perhatian, penyair juga menggunakan gambaran angan-angan (pikiran) dalam mantra dikenal sebagai imaji atau daya bayang. Gambaran pikiran itu adalah sebuah efek dalam pikiran yang sangat menyerupai (gambaran) yang dihasilkan oleh indra kita terhadap objek yang dapat dilihat oleh mata, saraf penglihatan dan daerah-derah otak yang berhubungan dengan pikiran kita.

36

Dalam teks Dendang Lebah ditemukan beberapa imajinasi atau citraan antara lain imajinasi penglihatan (visual) dapat dilihat pada kutipan dendang berikut:

Kayu tumboh ditepi kulam, kulamnye berayer ijo, Tempel le mandi si puteri

ijo,batangnye puteh kulitnye ijo, cabangnye rampak gilang gemilo, kulit bename

sipari-pari, kubal bename sigenggam tegoh, akarnye lampe bename sabo berendam,

akar tunggal bename pasak le bumi, banir bename sikumbol emeh, serempak bename

batil sireh suase, cabang jemambang bename raje unjor-unjoran, cabang jenanggo

bename tungkek tuan tali, rating bename jarom jemarom, daonnye bename sikali

membang, pucok bename payong tekembang, putik bename bintang temabor, dan

buah bename bintang berayun. Semua kata-kata tersebut seolah-olah kita dapat

melihat dan membayangkan kayu yang sangat indah untuk tempat lebah itu bersarang.

Selain imaji visual (penglihatan), dalam mantra Dendang Lebah ini terdapat juga imaji taktil (perlakuan). Imaji tersebut dapat kita lihat pada bait yang menggambarkan bagaimana seharusnya raja bersikap selaku pemilik negeri (kerajaan), seperti terlihat pada kutipan berikut ini:

Balerong bale mu raje Ketige bale mu menteri

Adel-adel le hukom mu he raje Karne raje le punye negeri

Gambaran pemakaian imaji taktil juga terlihat ketika pengambil madu atau Pawang Tuhe berkata bahwa ia datang malam ini untuk mengambil madu dan lebah

37

harus pergi, besok baru kembali ke sarang, Hal ini terlihat pada kutipan dari bait mantra Dendang Lebah berikut ini:

Paku rundok paku ku rendang Panggang kerapu dibawah cabang Turun le tundok lebah tualang

Malamne kusapu isok ko buleh pulang

4.4.1.3Kata-kata konkrit

Dalam kata-kata kongkrit penyair harus mampu mengkonkritkan kata-kata, sehingga pembaca seolah-olah mendengar, melihat, atau merasakan apa yang dilukiskan oleh penyair. Dengan demikian pembaca terlibat penuh secara batin ke dalam puisinya. Contoh dari kata-kata konkrit di dalam dendang lebah ini yaitu: Kayu betuah lagi bebahagie,

kayu tumboh ditepi kulam, kulamnye berayer ijo, tempek le madi si puteri ijo.

Semua kata-kata di atas digunakan penyair untuk mengkongkritkan gambaran dari kayu tualang tersebut. Pada mantra untuk kayu tualang terdapat kata-kata seperti:

Kami begantong ku Allah Serte betungkek ku Nabi ...

38

Berdasarkan kata-kata di atas, penyair mengkongkritkan suasana religius dengan kata begantong ku Allah, betungkek ku Nabi, ucapke bismillah baru disedue. Ini berarti penyair memulai sesuatu pekerjaan dan mengakhirinya selalu meminta izin dari Allah SWT dan menyerahkan segala usahanya kepada Allah.

4.4.1.4 Gaya Bahasa

Gaya bahasa atau dengan kata lain disebut majas merupakan komponen yang penting dalam puisi. Penggunaan gaya bahasa menyebabkan puisi menjasi prismastis artinya memancarkan banyak makna atau kaya akan makna, ini karena gaya bahasa adalah bahasa yang digunakan penyair untuk mengatakan sesuatu dengan cara yang tidak biasa, yakni secara tidak langsung mengungkapkan makna, kata atau bahasanya bermakna kias atau makna lambang.

Di dalam teks mantra atau dendang lebah ini gaya bahasa yang digunakan dapat kita lihat sebagai berikut:

1. Gaya bahasa personifikasi, terlihat pada kalimat

Kayu betuah lagi bebahagie

Kayu tumboh ditepi kulam, kulamnye berayer ijo Tempel le mandi si puteri ijo

Batangnye puteh kulitnye ijo Cabangnye rampak gilang gemilo Kulit bename sipari-pari

Kubal bename sigenggam tegoh

39 Akar tunggal bename pasak le bumi Banir bename sikumbol emeh Serempak bename batil sireh suase

Cabang jemambang bename raje unjor-unjoran Cabang jenanggo bename tungkek tuan taali

Rating bename jarom jemarom

Daonnye bename sikali membang

Pucok bename payong tekembang Putik bename bintang temabor Buah bename bintang berayun

Kata kayu betuah disini berarti kayu yang memiliki keberuntungan atau beruntung, dan bebahagia mempunyai arti dalam keadaan bahagia atau sedang menikmati kebahagiaan. Dengan begitu penyair seolah mengkiaskan keadaan si kayu itu seperti peristiwa atau keadaan yang ada pada diri manusia. Begitu juga dengan kalimat-kalimat selanjutnya, penyair menggambarkan keadaan pada kayu seperti keadaan atau peristiwa yang dialami oleh manusia, hal itu digunakan untuk memperjelas penggambaran peristiwa dan keadaan itu juga untuk menambah keyakinan pembaca pada mantra atau dendang tersebut.

Dokumen terkait