• Tidak ada hasil yang ditemukan

Fungsi Dan Makna Teks Dendang Lebah Masyarakat Melayu Tamiang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Fungsi Dan Makna Teks Dendang Lebah Masyarakat Melayu Tamiang"

Copied!
72
0
0

Teks penuh

(1)

1

FUNGSI DAN MAKNA TEKS DENDANG LEBAH

MASYARAKAT

MELAYU TAMIANG

SKRIPSI SARJANA

DIKERJAKAN OLEH

NAMA : LISNA MAHARA

NIM :110702007

PROGRAM STUDI BAHASA DAN SASTRA MELAYU

DEPARTEMEN SASTRA DAERAH

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

2 SKRIPSI SARJANA

FUNGSI DAN MAKNA TEKS DENDANG LEBAH MASYARAKAT

MELAYU TAMIANG

Dikerjakan Oleh

Nama : Lisna Mahara

Nim :110702007

Diketahui

Pembimbing I, Pembimbing II,

Drs. Yos Rizal MSP Dr. Rozanna Mulyani, M.A

Nip 196606171992031003 Nip196006091986122001

Disetujui Oleh,

Departemen Sastra Daerah FIB USU Ketua

(3)

3 PENGESAHAN

Diterima oleh :

Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara untuk

melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Sastra dalam bidang Ilmu Bahasa

dan Sastra pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan

Pada :

Tanggal :

Hari :

Fakultas Ilmu Budaya USU

Dekan

Dr. Syahron Lubis, M. A. NIP :195110131976031001

Panitia Ujian :

No Nama Tanda Tangan

1. Drs. Warisman Sinaga, M.Hum ...

2. Dra. Herlina Ginting, M.Hum ...

3. Drs. Yos Rizal, MSP ...

4. Dr. Rozanna Mulyani, M.A ...

(4)

4 DISETUJUI OLEH :

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU BUDAYA

DEPARTEMEN SASTRA DAERAH

MEDAN

2015

Medan, Juli 2015

Ketua Departemen Sastra Daerah

(5)

i ABSTRAK

Lisna Mahara, 2015. Judul Skripsi: Fungsi dan Makna Teks Dendang Lebah Masyarakat Melayu Tamiang. Terdiri dari 5 bab.

Dalam penelitian ini penulis membahas tentang Struktur, fungsi dan makna Teks Dendang Lebah bagi Masyarakat Melayu Tamiang. Pertanyaan-pertanyaan dalam penelitian ini adalah bagaimana proses pengambilan madu lebah pada masyarakat Melayu Tamiang; bagaimana struktur teks dendang lebah masyarakat Melayu Tamiang; apa fungsi teks dendang lebah pada masyarakat Melayu Tamiang; apa makna teks dendang lebah masyarakat Melayu Tamiang. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan pertanyaan-pertanyaan penelitian tersebut.

Metode yang digunakan dalam menganalisis masalah dalam penelitian ini adalah deskriptif. Metode deskriptif dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan obyek atau subyek penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat, dan lain-lain) pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak sebagaimana adanya), yakni untuk memaparkan segala sesuatu yang berkaitan dengan dendang lebah. Hasil penelitian ini mendeskripsikan bahwa mantra atau dendang terdiri dari struktur fisik (diksi, imajinasi, kata konkrit dan gaya bahasa) struktur batin (tema, nada, perasaan dan amanat) , fungsi dan makna tersendiri bagi penuturnya.

(6)

ii

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT berkat petunjuk, rahmat, dan hidayah-Nya, penulis bisa sampai kepada tahap penulisan skripsi ini. Sholawat dan salam penulis ucapankan kepada junjungan nabi besar Muhammad SAW, selaku pembawa rahmat dan petunjuk serta menuntun umat manusia kejalan yang benar.

Skripsi ini berjudul Fungsi dan Makna Teks Dendang Lebah Masyrakat Melayu Tamiang. Untuk memahami skripsi ini penulis membaginya menjadi lima bab. Bab yang pertama pendahuluan, bab kedua kajian pustaka, bab ketiga metode penelitian, bab keempat pembahasan, bab kelima kesimpulan dan saran. Skripsi ini diselesaikan lebih kurang dalam waktu 6 bulan. Dalam penulisan skripsi ini, penulis memperoleh banyak bantuan dari berbagi pihak. Penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang membatu dalam menyelesaikan pskripsi ini.

Diharapkan skripsi ini dapat memberikan informasi kepada kita semua tentang mantra Dendang Lebah. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu penulis harapkan demi kesempurnaan skripsi ini.

Medan, Juli 2015 Penulis

(7)

iii

UCAPAN TERIMA KASIH

Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir dengan judul “ Fungsi Dan Makna Teks Dendang Lebah Masyarakat Melayu Tamiang”. Skripsi ini disusun

guna untuk memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar strata satu (S1) pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih jauh dari sempurna. Hal ini disebabkan karena keterbatasan ilmu pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki oleh penulis. Oleh kerena itu, saran dan bimbingan yang bersifat membangun sangat penulis harapkan sehingga tulisan ini akan lebih sempurna seperti apa yang diharapkan.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberi dorongan dan kemudahan baik moril maupun materil yang berarti, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini dengan baik, khususnya penulis mengucapkan terima kasih kepada :

(8)

iv

tidaklah sebanding dengan pengorbanan kalian, namun terimalah ini sebagai hadiah kecil yang aku persembahkan untuk kalian.

2. Bapak Dr.Syahron Lubis M.A selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya Usu

3. Bapak Drs. Warisman Sinaga M.Hum selaku ketua jurusan program studi bahasa dan sastra melayu Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Drs. Yos Rizal. MSP selaku pembimbing I, tanpa bimbingan, waktu, tenaga dan cakrawala dari beliau maka penulisan skripsi ini tidak akan terlaksana sesuai dengan apa yang diharapkan.

5. Ibu Dr. Rozanna Mulyani M.A selaku pembinbing II yang begitu banyak memberikan arahan bimbingan serta masukan yang begitu berarti bagi penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.

6. Seluruh staf pengajar di Jurusan Sastra Daerah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

7. Kepada kak fifi yang sudah banyak membantu proses kelancaran selama masa perkuliahan.

8. Terima kasih buat abang-abang dan kakak-kakak stambuk 2008, 2009, 2010 yang selalu memberi bimbingan dan arahan-arahan yang bermanfaat.

9. Bapak Muntasir, bapak Syarifuddin Ismail bapak M.tahir yang telah memberikan data dan keterangannya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.

(9)

v

susah, terima kasih atas bantuan, dorongan dan semangat dari kalian dari awal duduk di perkuliahan sampai selesai.

11. Buat adik khaira Fitri yang selalu kasih semangat buat mengerjakan skripsi ini. 12. Adik-adik 012, 013, 014 yang masih panjang perjuangannya di sastra daerah tetap

semangat.

13. Serta seluruh sahabat dan teman-teman Ikatan Mahasiswa Sastra Daerah (IMSAD)

Hormat Saya Penulis,

(10)

vi DAFTAR ISI

PENGESAHAN

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

UCAPAN TERIMA KASIH ... iii

DAFTAR ISI ... vi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 5

1.3 Tujuan Penelitian ... 5

1.4 Manfaat Penelitian ... 5

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 7

2.1 Kepustakaan yang Relevan ... 7

2.2 Teori yang Digunakan ... 8

2.2.1 Teori Struktural ... 8

2.2.2 Teori Fungsi ... 16

(11)

vii

BAB III METODE PENELITIAN ... 19

3.1 Metode Dasar ... 19

3.2 Lokasi Penelitian ... 20

3.3 Sumber Data Penelitian ... 20

3.4 Instrumen Penelitian ... 20

3.5 Metode Pengumpulan Data ... 20

3.6 Metode Analisis Data ... 21

BAB IV PEMBAHASAN ... 22

4.1 Letak Geografis dan Lingkungan Alam ... 22

4. 2 Asal-usul Nama Tamiang ... 23

4.3 Pengambilan Lebah pada Masyarakat Melayu Tamiang ... 24

4.4 Struktur Teks Dendang Lebah Masyarakat Melayu Tamiang ... 27

4.4.1 Analisis Struktur fisik ... 27

4.4.1.1 Diksi ... 27

4.4.1.2 Imajinasi ... 35

4.4.1.3 Kata-kata Kongkrit ... 37

4.4.1.4 Gaya Bahasa ... 38

(12)

viii

4.4.2.1 Tema ... 39

4.4.2.2 Nada ... 41

4.4.2.3 Perasaan... 42

4.4.2.4 Amanat ... 43

4.5 Analisis Fungsi Teks Dendang Lebah Masyarakat Melayu Tamiang .... 44

4.6 Analisis Makna Teks Dendang Lebah Masyarakat Melayu Tamiang .... 48

4.6.1 Maksud dan Tujuan Penyelenggaraan Dendang Lebah ... 48

4.6.2 Waktu dan Tempat Penyelenggaraan Dendang Lebah ... 49

4.6.3 Persiapan dalam Mengambil Madu Lebah ... 50

4.6.4 Perlengkapan dan Makna Simbolik dalam Mengambil Madu Lebah ... 50

4.6.5 Pelaksanaan Pengambilan Madu Lebah ... 51

4.6.6 Makna Budaya Dalam Mengambil Madu Lebah ... 53

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 55

5.1 Kesimpulan ... 55

5.2 Saran ... 57

DAFTAR PUSTAKA ... 58

(13)

i ABSTRAK

Lisna Mahara, 2015. Judul Skripsi: Fungsi dan Makna Teks Dendang Lebah Masyarakat Melayu Tamiang. Terdiri dari 5 bab.

Dalam penelitian ini penulis membahas tentang Struktur, fungsi dan makna Teks Dendang Lebah bagi Masyarakat Melayu Tamiang. Pertanyaan-pertanyaan dalam penelitian ini adalah bagaimana proses pengambilan madu lebah pada masyarakat Melayu Tamiang; bagaimana struktur teks dendang lebah masyarakat Melayu Tamiang; apa fungsi teks dendang lebah pada masyarakat Melayu Tamiang; apa makna teks dendang lebah masyarakat Melayu Tamiang. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan pertanyaan-pertanyaan penelitian tersebut.

Metode yang digunakan dalam menganalisis masalah dalam penelitian ini adalah deskriptif. Metode deskriptif dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan obyek atau subyek penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat, dan lain-lain) pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak sebagaimana adanya), yakni untuk memaparkan segala sesuatu yang berkaitan dengan dendang lebah. Hasil penelitian ini mendeskripsikan bahwa mantra atau dendang terdiri dari struktur fisik (diksi, imajinasi, kata konkrit dan gaya bahasa) struktur batin (tema, nada, perasaan dan amanat) , fungsi dan makna tersendiri bagi penuturnya.

(14)

1 BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Berbicara tentang budaya, kita harus mau membuka pikiran untuk menerima banyak hal baru. Budaya bersifat kompleks, luas dan abstrak. Dalam kehidupan sehari-hari orang begitu sering membicarakan kebudayaan. Dalam kehidupan seseorang tidak bisa terlepas dari budaya. Budaya terbentuk dan berkembang sesuai dengan kebutuhan, situasi dan kondisi di suatu tempat.

Budaya merupakan kata majemuk yang terdiri dari dua suku kata, yaitu budi dan daya, yang berarti cipta, rasa dan karsa. Sedangkan kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yaitu “Buddhayah” yang merupakan bentuk jamak dari kata Buddhi yang berarti budi dan akal ( Koentjaraningrat, 1990).

(15)

2

Sastra tidak dapat dipisahkan dari budaya, kerena sastra merupakan salah satu unsur dari kebudayaan . Di samping itu sastra memiliki peran yang sangat penting karena sastra menggunakan bahasa, bahasa sendiri merupakan sarana berlangsungnya suatu interaksi di dalam sastra. Sastra merupakan ungkapan dari apa yang dilihat orang dalam kehidupan, apa yang dialami orang tentang kehidupan, apa yang telah direnungkan dan dirasakan orang mengenai segi-segi kehidupan yang menarik minat secara langsung. Pada hakikatnya karya sastra adalah ungkapan kehidupan. Sastra adalah pengungkapan dari fakta artistik dan imajinatif sebagai manifestasi kehidupan manusia, melalui bahasa sebagai medium dan memiliki efek yang positif terhadap kehidupan manusia ( Esten, 1978 : 9).

Sastra dibagi menjadi tiga yaitu prosa, puisi dan drama. Prosa adalah karya sastra yang tidak terikat sedangkan Puisi adalah karya sastra yang terikat dengan kaidah dan aturan tertentu. Drama adalah karya sastra yang menggambarkan kehidupan manusia dengan gerak dan dialog yang dipentaskan. Sastra diwariskan dengan dua cara, yaitu dengan tradisi tulis dan tradisi lisan.

(16)

3

Puisi merupakan karya sastra yang paling tua. Puisi adalah karya sastra yang menggunakan kata-kata, irama dan rima sebagai media penyampaian untuk mengekspresikan perasaan dan pemikiran penyair, menciptakan ilusi dan imajinasi serta dapat diubah dalam bentuk bahasa yang memiliki kesan yang mendalam. Kandungan puisi tidak hanya kata-kata yang indah, namun juga kesatuan bentuk pemikiran atau struktur makna yang hendak diucapkan oleh penyairnya. Puisi dibangun oleh unsur fisik dan unsur batin, kedua unsur itu merupakan kesatuan yang saling terjalin secara fungsional. Pada bagian ini akan dijelaskan bentuk tradisi lisan berupa puisi dalam bentuk mantra.

Mantra merupakan bentuk puisi lama dan paling tua bentuknya. Mantra adalah kata-kata atau ucapan yang digubah dalam bentuk bahasa berirama dan menggunakan kata-kata pilihan yang dianggap sakti yang mengandung hikmah dan kekuatan gaib untuk memohon sesuatu kepada Tuhan. Mantra ini dibacakan oleh orang-orang tertentu atau disebut juga dengan sebutan pawang atau dukun.

(17)

4

Keberadaan mantra dalam masyarakat Melayu pada mulanya bukan sebagai karya sastra, melainkan lebih banyak berkaitan dengan adat kepercayaan.

Pada etnis Melayu dikenal berbagai jenis mantra seperti mantra untuk bertani, mantra berburu, mantra pengobatan, mantra pengasih dan lain-lain. Keberadaan mantra pada masyarakat tidak banyak diketahui atau keberadaannya sangat tersembunyi karena mantra dianggap sebagai hal yang tabu dan hanya orang-orang tertentu yang dapat menggunakannya.

Masyarakat Melayu Tamiang yang merupakan salah satu etnis Melayu yang masih menggunakan mantra. Mantra berupa kata-kata pujaan yang merupakan media bagi pawang. Mantra merupakan kata-kata pujaan yang bertujuan untuk menaklukkan atau membuat tertarik yang mendengarnya. Menurut masyarakat Melayu Tamiang pemujaan ini dilakukan untuk memuja arwah nenek moyang, supaya mereka terhindar dari musibah yang mungkin saja terjadi.

(18)

5

1.2Rumusan Masalah

Berdasarkan penjelasan dan uraian di atas, maka yang menjadi rumusan masalah adalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah proses pengambilan madu lebah pada masyarakat Melayu Tamiang?

2. Bagaimana struktur teks dendang lebah masyarakat Melayu Tamiang? 3. Apa fungsi teks dendang lebah pada masyarakat Melayu Tamiang? 4. Apa makna teks dendang lebah pada masyarakat Melayu Tamiang?

1.3Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui proses upacara pengambilan madu lebah pada masyarakat Melayu Tamiang.

2. Mengetahui struktur teks dendang lebah pada masyarakat Melayu Tamiang.

3. Mengetahui fungsi teks dendang lebah pada masyarakat Melayu Tamiang.

4. Mengetahui makna teks dendang lebah pada masyarakat Melayu

Tamiang.

1.4Manfaat Penelitian

(19)

6

1. Menambah wawasan pembaca mengenai fungsi dan makna teks dendang lebah masyarakat Melayu Tamiang.

2. Menambah pengetahuan semua kalangan tentang mantra.

3. Menjadi sumber informasi tentang kebudayaan Melayu dan menggali lebih dalam tentang mantra melayu yang belum terungkap.

4. Memunculkan rasa kepemilikan bagi masyarakat Melayu terhadap budaya tersebut.

(20)

7

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1Kepustakaan yang Relevan

Dalam penulisan penelitian ini tidak terlepas dari buku-buku dan skripsi pendukung yang relevan dengan judul penelitian ini. Sesuai dengan judul penelitian Fungsi dan Makna Teks Dendang Lebah Masyarakat Melayu Tamiang, maka dari hasil penelusuran yang telah dilakukan ditemukan beberapa skripsi yang membahas tentang mantra. Adapun skripsi-skripsi tersebut adalah skripsi Tedy (2003) dengan judul Analisis Struktur dan Makna Mantra Dekut Dalam Masyarakat Melayu

Serdang. Dalam penelitiannya, beliau menyebutkan bahwa mantra dapat digunakan

sebagai sarana pengungkap tata nilai sosial budaya dan sekaligus juga disebut tata kehidupan daerah yang sedang berkembang. Mantra yang beliau kaji adalah mantra yang digunakan pada saat akan melakukan perburuan terhadap burung-burung. Penelitiannya dikaji dari struktur dan makna mantra itu saja.

Kedua skripsi Maslinda (2000) dengan judul Analisis Struktur dan

Nilai-nilai Psikologi Dalam Mantra Pekasih Masyarakat Melayu Aras. Mantra pekasih

(21)

8

mempengaruhi seseorang. Beliau mengkaji mantra ditinjau dari teori strukturalismenya serta teori psikologi.

Adapun penelitian ini berbeda dengan penelitian-penelitian yang telah disebutkan di atas. Dalam hal ini, peneliti mengkaji mantra Dendang Lebah masyarakat Melayu Tamiang dari segi struktur, fungsi dan makna, yang membuat mantra Dendang Lebah ini berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya adalah penulis mengkaji dari segi fungsi mantra itu sendiri bagi kehiduapan masyarakat Melayu Tamiang.

2.2 Teori yang Digunakan

Teori merupakan landasan fundamental sebagai argumentasi dasar untuk menjelaskan atau memberi jawaban terhadap masalah yang digarap, dengan landasan teori ini maka segala masalah yang timbul dalam penelitian ini akan terjawab (Fakhri 2013:13). Berdasarkan judul penelitian ini, maka ada tiga teori yang penulis gunakan untuk mengkaji teks Dendang Lebah atau Mantra Lebah, yaitu teori Struktural, teori fungsi dan teori makna. Berikut akan dijelaskan mengenai ketiga teori tersebut.

2.2.1 Teori Struktural

(22)

9

memiliki bagian-bagian yang kompleks, sehingga pemaknaan harus diarahkan ke dalam hubungan antar unsur-unsur secara keseluruhan. Keseluruhan akan lebih berarti dibandingkan bagian atau fragmen struktur (Endraswara, 2008:49)

Karya sastra merupakan struktur. Struktur disini dalam arti bahwa karya sastra merupakan susunan dari unsur yang bersistem, yang antara unsur-unsurnya terjadi hubungan tibal balik saling menentukan. Jadi, kesatuan unsur-unsur dalam sastra bukan hanya berupa kumpulan atau tumpukan hal-hal atau benda-benda yang berdiri sendiri, melainkan hal-hal itu saling terikat, saling berkaitan dan saling bergantung satu sama lain seperti sebuah ikat yang tidak dapat dipisahkan

( Pradopo, 1999:118)

Teori struktur pada dasarnya merupakan cara berpikir tentang dunia yang terutama berhubungan dengan tanggapan dan deskripsi struktur. Berdasarkan alur pikirannya maka teori ini lebih merupakan sususan suatu hubungan daripada susunan benda-benda. Oleh kerena itu kodrat tiap unsur dalam struktur itu tidak mempunyai makna dengan sendirinya, melainkan maknanya ditentukan oleh hubungannya dengan semua unsur lainnya yang terkandung dalam struktur itu (Pradopo, 1999:119)

Berdasarkan penjelasan di atas puisi dapat dikaji struktur dan unsur-unsurnya, baik itu struktur fisik maupun struktur batinnya. Struktur fisik meliputi diksi,

imajinasi, kata-kata kongkrit, gaya bahasa. Sedangkan struktur batin meliputi tema,

nada, perasaan dan amanat. Kemudian mengingat bahwa puisi terdiri dari struktur

(23)

10

yang paling tua adalah mantra (Waluyo, 1991:5) yang berisikan kekuatan magis sehingga nemimbulkan keyakinan diri bagi si pengguna dan pendengarnya.

Struktur fisik puisi sebagai metode pengucapan puisi meliputi:

1. Diksi (pilihan kata)

Diksi adalah pilihan kata-kata yang dilakukan oleh penyair dalam puisinya. Pemilihan kata-kata dalam puisi berhubungan erat dengan makna, keselarasan bunyi dalam rima dan irama, kedudukan kata itu di tengah konteks kata lainnya, dan kedudukan kata dalam keseluruhan puisi itu. Oleh sebab itu, di samping memilih kata yang tepat, penyair juga mempertimbangkan urutan katanya dan kekeatan atau daya magis dari kata-kata tersebut. Kata-kata diberi makna baru yang tidak bermakna diberi makna menurut kehendak penyair.

Karena pemilihan kata-kata mempertimbangkan berbagai aspek estetis, maka kata-kata yang sudah dipilih oleh penyair untuk puisinya bersifat absolut dan tidak bisa diganti dengan padan katanya, sekalipun maknanya tidak berbeda. Bahkan sekalipun unsur bunyinya hampir mirip dan maknanya sama, kata yang sudah dipilih itu tidak dapat diganti.

(24)

11

Dalam pemilihan kata, penyair mempertimbangkan daya sugesti kata-kata itu. Sugesti itu ditimbulkan oleh makna kata-kata yang yang dipandang dangat tepat mewakili perasaan penyair. Karena ketepatan pilihan dan ketepatan penempatannya, maka katakata itu seolah memancarkan daya gaib yang mampu memberikan sugesti kepada pembaca untuk ikut sedih, terharu, bersemangat, marah, dan sebagainya (Waluyo,1991:77)

2. Imajinasi

Pengimajinasian adalah kata atau susunan kata-kata yang dapat mengungkapkan pengalaman sensoris, seperti penglihatan, pendengaran, dan perasaan (Waluyo,1991:78). Pengimajian dalam sajak dapat dijelaskan sebagai usaha penyair untuk menciptakan atau menggugah timbulnya imaji dalam diri pembacanya, sehingga pembaca tergugah untuk menggunakan mata hati untuk melihat benda-benda, warna, dengan telinga mendengar bunyi-bunyian, dan dengan perasaan hati kita menyentuh kesejukan dan keindahan benda dan warna Effendi (dalam Waluyo, 1991: 81).

Imajinasi dapat diambil pengertiannya sebagai intuisi, angan, daya khayal. Sifatnya abstrak sehingga hanya dapat diketahui wujud kongkretnya oleh orang-orang yang memahaminya.

Ada delapan macam pencitraan yang terdapat dalam imajinasi, yaitu (dalam maslinda, 1991)

(25)

12

2. Imajinasi pendengaran (auditory), yakni imajinasi yang menyebabkan pembaca seperti mendengar sendiri apa yang dikemukakan penyair.

3. Imajinasi articulatory, yakni imajinasi yang menyebabkan pembaca seperti mendengar bunyi-bunyi dengan artikulasi-artikulasi tertentu pada bagian mulut waktu kita membaca sajak itu seakan-akan kita melihat gerakan-gerakan mulut membunyikannya, sehingga ikut bagian-bagian mulut kita dengan sendirinya. 4. Imajinasi penciuman (olfatory), dengan membaca atau mendengar kata-kata

tertentu kita seperti mencium bau sesuatu.

5. Imajinasi pencicipan (gustatory), dengan membaca atau mendengar kata-kata atau kalimat-kalimat tertentu kita seperti mencicipi suatu benda yang menimbulkan rasa asin, pahit, asam dan sebagainya.

6. Imajinasi rasa kulit (tachtual),yang menyebabkan kita seperti merasakan di bagian kulit badan kita.

7. Imajinas gerakan tubuh (kinaestetik), dengan membaca atau mendengar kata-kata atau kalimat-kalimat dalam puisi melalui gerakan tubh atau otot menyebabkan kita merasakan atau melihat gerakan badan atau otot-otot tubuh itu.

8. Imajinasi organik, yakni imajinasi badan yang menyebabkan kita seperti melihat atau

merasakan badan yang capai, lesu, loyo, ngantuk, lapar, lemas, mual, pusing dan sebagainya Sayuti dan Situmorang (dalam Maslinda, 2000: 15-16).

3. Kata Konkrit

(26)

13

4. Gaya Bahasa (bahasa kiasan)

Bahasa figuratif menyebabkan puisi menjadi prismatis, artinya memancarkan banyak makna atau kaya akan makna. Bahasa figuratif ialah bahasa yang digunakan penyair untuk mengatakan sesuatu dengan cara yang tidak biasa, yakni secara langsung mengungkapkan makna. Kata atau bahasanya bermakna kias atau makna lambang.

Pengiasan disebut juga simile atau persamaan, karena membandingkan atau menyamakan sesuatu hal dengan hal lain. Dalam pelambangan sesuatu hal diganti atau dilambangkan dengan hal lain. Tujuan pengunaan kiasan ialah untuk menciptakan efek lebih kaya , lebih efektif, lebih sugesti dalam bahasa puisi. Gaya bahasa atau majas merupakan komponen yang sangat penting bagi seorang penyair untuk mewujudkan maksud dari puisinya, sehingga gaya bahasa mampu nenambah daya ungkap atau daya pikat dari puisi tersebut.

Ada beberapa macam gaya bahasa (bahasa kiasan)

1. Metafora yaitu kiasa langsung dimana benda yang dikiaskan itu tidak disebutkan. Jadi ungakapan itu langsung berupa kiasan.

2. Perbandingan yaitu kiasan yang tidak langsung disebut perbandingan atau simile, karena benda yang dikiaskan kedua-duanya ada bersama pengiasannya dan digunakan kata-kata perbandingan yaitu membandingkan sesuatu dengan yang lain.

3. Personifikasi adalah keadaan atau peristiwa alam sering dikiaskan sebagai keadaan atau peristiwa yang dialami oleh manusia. Dalam hal ini benda mati dianggap dianggap sebagai manusia atau persona, atau di “personofikasi”kan. Hal ini digunakan untuk memperjelas pengga,baran peristiwa dalam keadaan itu.

4. Hiperbola adalah kiasan yang yang berlebih-lebihan. Penyair merasa perlu melebih-lebihkan hal yang dibandingkan itu agar mendapat perhatian yang lebih seksama dari pembaca.

(27)

14

6. Ironi adalah kata-kata yang bersifat berlawanan untuk memberikan sindiran . ironi dapat berubah menjadi sinisme dan sarkasme, yakni penggunakan kata-kata yang keras dan kasar untuk menyindir dan mengkritik. Jika ironi harus mengatakan kebalikan dari apa yang hendak dikatakan, maka sinisme dan sarkasme sebaliknya. Tetap ketiganya mempunyai maksud yang sama, yakni memberikan kritik atau sindiran (Waluyo, 1991: 84-86).

Struktur batin puisi yang meliputi:

1. Tema

Tema adalah gagasan pokok atau subject-metter yang dikemukakan oleh penyair. Pokok pikiran atau pokok persoalan itu begitu kuat dan mendesak dalam jiwa penyair, sehingga menjadi landasan utama pengucapannya. Dalam penulisan puisi, seorang penyair harus memiliki landasan pokok atau landasan utama dalam membuat puisi. Tema adalah ide dasar dari suatu puisi yang menjadi inti dari keseluruhan dalam suatu puisi (Aminuddin, 1987:151).

Tema adalah gagasan, pandangan hidup pengarang yang melatar belakangi ciptaannya. Karena sastra merupakan refleksi kehidupan masyarakat, maka tema yang diungkapkan sangat beragam (Fananie, 2000:84). Tema bisa berupa persoalan moral, etika, agama, sosial budaya , teknologi, tradisi yang terkait erat dengan masalah kehidupan.

(28)

15

Dengan latar belakang pengetahuan yang sama, penafsir-penafsir puisi, akan memberikan tafsiran tema yang sama bagi sebuah puisi, karena tema puisi bersifat lugas, obyektif, dan khusus. Tema puisi harus dihubungkan dengan penyairnya, dengan konsep-konsepnya yang terimajinasikan. Oleh sebab itu, tema bersifat khusus (penyair), tetapi objektif (bagi semua penafsir), dan lugas (tidak dibuat-buat).

Namun mencari tema tidak semudah yang dibayangkan, karena puisi memiliki bagian-bagian kata yang terkadang tidak saling berhubungan dan kata-kata terpisah dibagian lain mempunyai makna lain lagi dalam kata-kata sebelumnya, sehingga sulit untuk mencari makna seluruhnya.

2. Nada dan Suasana

Nada puisi adalah sikap penyair yang ingin diungkapkan kepada pembaca. Sikap tersebut seperti menggurui, manasehati, mengejek, menyindir, atau bersikap lugas hanya menceritakan sesuatu kepada pembaca. Suasana adalah keadaan kejiwaan pembaca setelah membaca puisi itu atau akibat psikologis yang ditimbulkan puisi itu terhadap pembaca. Nada dan suasana puisi saling berhubungan kerena nada puisi menimbulkan suasana terhadap pembacanya.

3. Perasaan

(29)

16

sama dilukiskan dengan persaan yang berbeda akan menghasilkan puisi yang berbeda pula.

4. Amanat

Amanat adalah maksud yang hendak disampaikan oleh penyair kepada pembaca di dalam puisinya. Amanat merupakan hal yang mendorong penyair untuk menciptakan puisi. Amanat dapat dipahami setelah pembaca memahai tema, rasa dan nada puisi. Amanat tersirat di samping kata-kata yang disusun, dan juga berada dibalik tema yang di ungkapkan. Amanat yang hendak disampaikan oleh penyair mungkin secara sadar berada dalam pikiran penyair, namun lebih banyak penyair tidak sadar akan amanat yang disampaikan.

2.2.2 Teori Fungsi

Fungsi menurut Bascom (dalam Danandjaja, 1984: 19) ada empat yaitu: 1. Sebagai sistem proyeksi, yakni sebagai alat pencerminan angan-angan

suatu kolektif.

2. Sebagai alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga kebudayaan. 3. Sebagai alat pendidikan anak.

4. Sebagai alat pemaksa dan pengawasan agar norma-norma masyarakat agar selalu dipatuhi oleh anggota kolektifnya.

(30)

17

sebagai wadah pemelihar pertahan

2.2.3 Teori Makna

Makna mengacu pada arti teks dalam kaitannya dengan suatu konteks yang lebih besar. Konteks itu antara lain adalah pikiran lain, zaman lain, materi pokok yang lain,dan sistem nilai lain. Dengan kata lain makna adalah arti teks yang dihubungkan dengan suatu konteks (Sugihastuti, 2002: 24).

Makna dalam pemakaian sehari-hari digunakan dalam berbagai bidang maupun konteks pemakaian, sehingga makna juga disejajarkan pengertiannya dengan arti, gagasan, konsep pernyataan, pesan, informasi, maksud, isi, dan pikiran. Dari sekian banyak pengertian yang diberikan itu, hanya arti yang paling dekat pengertiannya dengan makna. Namun bukan berarti keduanya sinonim mutlak, disebut demikian karena arti adalah kata yang telah mencakup makna dan pengertian (Kridalaksana dalam Tedy, 2003: 17) Dari pengertian fungsi di atas peneliti mengambil kesimpulan bahwa makna adalah arti atau maksud yang tekandung dalam suatu kata dimana makna itu akan terealisasikan sesuai dengan konteks dimana kata itu digunakan.

(31)

18

(32)

19 BAB III

METODE PENELITIAN

Pada bab ini berisikan metode penelitian sebagai acuan dalam penelitian ini. Metode penelitian merupakan cara berpikir untuk memperoleh data atau proses pengumpulan data yang terstruktur dan sistematis. Metode penelitian ini mencakup metode dasar, lokasi penelitian, sumber data, instrumen penelitian, metode pengumpulan data, metode analisis data.

3.1 Metode Dasar

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif yang bersifat deskriptif. Metode kualitatif deskriptif adalah prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan objek atau subjek penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat dan lain-lain) pada saat sekarang berdasarkan fakta yang tampak atau sebagaimana adanya (Nawawi, 1987: 63).

(33)

20 3.2Lokasi Penelitian

Pada penelitian ini, peneliti memilih Kecamatan Karang Baru sebagai tempat lokasi penelitian. Kecamatan tersebut adalah salah satu dari 8 kecamatan yang ada di wilayah Tamiang.

3.3 Sumber Data Penelitian

Sumber data dalam penelitian ini diperoleh secara lisan, diambil langsung ke lapangan, yang diperoleh dari keterangan informan, yang bekerja sebagai pawang Dendang Lebah.

3.4Instrumen Penelitian

Alat atau instrument yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa alat perekem, kemera digital, alat tulis, buku catatan, dan kamera handphone.

3.5Metode Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode dan teknik pengumpulan data sebagai berikut:

(34)

21

2. Metode wawancara (interview), yaitu melakukan wawancara terhadap informan yang dianggap dapat memberikan informasi atau data-data tentang objek yang diteliti. Dengan menggunakan teknik:

a. Teknik rekam, yaitu merekam informasi atau data-data yang diberikan informan menggunakan alat perekam.

b. Teknik catat, yaitu mencatan semua keterangan mengenai data-data yang diperoleh dari informan.

3. Metode kepustakaan, yaitu mencari bahan-bahan referensi yang berkaitan dengan pokok penelitian sebagai data skunder penulis untuk melengkapi data primer dari lapangan.

3.6 Metode Analisis Data

Menganalis data merupakan suatu langkah yang sangat kritis dalam penelitian. Penganalisisan data dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:

1. Menulis data yang diperoleh dari lapangan

2. Data yang diperoleh akan diterjemahkan ke bahasa Indonesia

3. Setelah diterjemahkan kemudian diklasifikasikan sesuai objek pengkajian 4. Setelah diklasifikasikan, data-data dianalisis sesuai dengan kajian yang

telah diterapkan

(35)

22 BAB IV

PEMBAHASAN

4.1 Letak Geografis dan Lingkungan Alam

Wilayah Tamiang merupakan salah satu bagian dari Kabupaten Aceh Timur yang terletak di ujung paling timur dari Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, dalam perjalanan sejarahnya telah menduduki status sebagai “Kewedanan Tamiang”. Pada tanggal 11 Maret 2002 Wilayah Tamiang telah disyahkan oleh DPR R.I. menjadi “Kabupaten Aceh Tamiang” melalui U.U.No.4 tahun 2002 tentang pemekaran Kabupaten Aceh Tamiang.

Wilayah Tamiang juga merupakan perbatasan antara Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dengan Provinsi Sumatera Utara yang memiliki 1672,61 km2 (± 20 % dari luas Kabupaten Aceh Timur 8242,73 km2). Dari segi Geografisnya, Wilayah Tamiang terletak pada posisi 03º53’ 18,81”-04º 14’ 51,89 LU dan 97º43’ 41,51”-14’ BT (Muntasir, 2003:1)

Secara geografis batas-batas administrasi wilayah Kabupaten Aceh Tamiang adalah sebagai berikut :

- Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Langsa Timur Kota Langsa dan Selat Malaka.

(36)

23

- Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Serbajadi dan Kecamatan Birem Bayeun Kabupaten Aceh Timur.

- Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara dan Selat Malaka.

Wilayah Tamiang berada pada ketinggian 0-25 meter dari permukaan laut. Pada kondisi normal musim kemarau belangsung dari bulan Meret sampai Agustus dengan suhu berkisar 28º C, dan musim hujan berlangsung pada bulan September samapi Februari dengan suhu 25ºC-29ºC, kelembaban udara rata-rata 55%-70%.

Wilayah Tamiang terbagi atas delapan kecamatan yaitu:

1. Kecamatan Tamiang Hulu dengan pusat pemerintahan di Pulau Tiga. 2. Kecamatan Kejuruan Muda dengan pusat pemerintahan di Sungai Liput. 3. Kecamatan Kota Kuala Simpang dengan pusat pemerintahan di Kota Kuala

Simpang.

4. Kecamatan Seruway dengan pusat pemerintahan di Seruway. 5. Kecamatan Bendahara dengan pusat pemerintahan di Sungai Iyu. 6. Kecamatan Karang Baru dengan pusat pemerintahan di Karang Baru. 7. Kecamatan Rantau dengan pusat pemerintahan di Rantau.

8. Kecamatan Manyak Payed dengan pusat pemerintahan di Talang Cut (Muntasir, 2003:2)

4.2 Asal-Usul Nama Tamiang

(37)

24

bambu, hal ini berdasarkan cerita sejarah tentang raja Tamiang yang bernama Pucook Sulooh, ketika masih bayi ditemui dalam rumpun bambu (dalam bahasa Tamiang buloh betong) dan oleh raja ketika itu bernama Tan Penok mengambil bayi tersebut dan setelah dewasa dinobatlan menjadi raja Tamiang dengan gelar “Pucook Sulooh Raja Te-Miyang” yang berarti raja yang berada dalam rumpun rebong tetapi tidak kena gatal atau kebal gatal. Sampai sekarang nama Te-Miyang lebih dipercayai oleh masyarakat Tamiang sebagai asal mulanya kata Tamiang (Muntasir, 2003:2).

4.3 Pengambilan Madu Lebah pada Masyarakat Melayu Tamiang

Mantra terdapat di dalam kesusastraan daerah di seluruh Indonesia. Mantra berhubungan erat dengan sikap religius manusia. Untuk memohon sesuatu dari Tuhan diperlukan kata-kata pilihan yang berkekuatan gaib, yang oleh penciptanya dipandang mempermudah kontak dengan tuhan. Dengan cara demikian, apa yang diminta (dimohon) oleh pengucap mantra itu dapat dipenuhi oleh Tuhan. Karena sifat sakralnya mantra sering kali tidak boleh diucapkan oleh sembarang orang (Waluyo, 1991: 6)

Dalam masyarakat Melayu Tamiang, mantra atau dikenal juga sebagai deden (berdeden/ berdendang) adalah jenis pengucapan yang terdengar seperti puisi yang mengandung unsur sihir dan ditujukan untuk mempengaruhi atau mengontrol sesuatu hal untuk memenuhi keinginan penuturnya. Mantra merupakan pilihan kata-kata yang dibaca untuk melalukan sesuatu secara kebatinan.

(38)

25

digunakan untuk mengambil madu lebah di pohon kayu Tualang. Ada 2 (dua) dendang yang terdapat dalam prosesi pengambilan madu pada masyarakat Melayu Tamiang, yaitu mantra untuk pohon kayu tualang dan mantra untuk mengambil madu.

Keberadaan hutan alam bagi masyarakat Melayu Tamiang sangat penting. Sebagian dari mereka menggantungkan hidup dari hasil mengambil madu dari atas pohon Tualang. Pohon Tualang yaitu pohon yang tinggi besar dan tempat yang disenangi lebah hutan untuk bersarang dibandingkan dengan pohon-pohon yang lain. Di Tamiang pengambilan madu lebah dapat dilakukan setahun sekali, yaitu pada bulan april. Pengambilan madu dilakukan pada malam hari disaat bulan gelap. Prosesnya pun dilakukan menggunakan peralatan tradisional. Dengan syarat tidak boleh ada api dan nampak bayangan, mereka meyakini jika nampak bayangan maka pemanjat bisa jatuh.

Peralatan yang digunakan:

1. Timba/ ember berfungsi untuk menampung dan menurunkan madu.

2. Patin secukupnya (bambu yang telah diruncingkan ujungnya sebesar jari telunjuk panjangnya ± 10 cm di tancapkan di pohon tualang menyerupai anak tangga) berfungsi untuk tempat memijak kaki.

3. Tunam (batang sirih hutan yang diikat dan dibakar untuk mendapatkan bara api) berfungsi untuk mengusir lebah

(39)

26

Proses mengambil madu lebah ini dipimpin oleh Pawang Tuhe (pawang tua/ kepala pawang) dan dibantu oleh juru panjat lainnya disebut juga pawang mude. Proses pengambilan madu lebah sebagai berikut:

Tahap pertama, pembacaan mantra dilakukan oleh Pawang Tuhe sambil menancapkan patin pada pohon tualang, patin ini di tancapkan hanya dengan tiga kali ketukan. Tiga patin pertama ditancapkan oleh Pawang Tuhe,Selanjutnya, jika sudah tinggi dan tidak bisa lagi di jangkau oleh Pawang Tuhe, Pawang Mude mulai memanjat dan melanjutkan menancapkan patin sampai batas yang diperlukan untuk memanjat. Pawang Muda memanjat sambil membawa tunam yang sudah diberi api. Selain membawa tunam mereka juga selakigus membawa timba dan tali. Sesudah sampai di atas atau di dahan yang pertama, pawang muda berhenti sejenak kemudian membacakan dendang untuk menyapu lebah tersebut.

Menyapu lebah ini adalah pekerjaan dimana madu lebah itu akan diambil dari sarangnya. Tunam yang sudah diberi api selanjutnya dikibas-kibaskan atau di hentakkan di sekitar dahan tempat lebah itu bersarang. Hentakan itu akan menimbulkan bunga api (si biring kuning) yang berjatuhan ke tanah. Karena gelapnya malam bunga api itupun sangat indah. Bersama dengan jatuhnya bunga api itu, lebah-lebah pun berterbangan ke bawah mengikuti api tunam. Waktu itulah pekerjaan bagi Pawang Muda untuk mengambil madu lebah dari sarangnya.

(40)

27

untuk berjaga-jaga dari bahaya. Jika sarang lebah di kayu tualang itu banyak dan tidak bisa diselesaikan dalam satu malam sampai menjelang subuh, maka pekerjaan itupun dilanjutkan ke malam berikutnya.

Masyarakat Melayu Tamiang percaya bahwa di pohon tualang selalu dihuni oleh makhluk-makhluk halus. Maka untuk setiap tahapan pemanjat selalu diiringi dengan mantera atau dendang/deden.

4.4 Struktur Teks dendang lebah masyarakat Melayu Tamiang

4.4.1 Analisis Struktur Fisik

4.4.1.1Diksi

Pada bab sebelumnya sudah dijelaskan pengertian diksi, bahwa diksi adalah pemilihan kata yang dilakukan penyair untuk menuangkan ide-idenya di dalam puisi, pemilihan kata berfungsi juga untuk menghaluskan kata dan kalimat agar terasa lebih indah, selain itu juga diperlukan untuk memperoleh kesan yang mendalam dalam puisi agar para pembaca dan penikmat puisi itu tertarik dan kagum dengan puisinya.

Begitu juga dengan mantra, karena mantra bagian dari puisi, maka mantra juga menggunakan kata-kata pilihan agar kekuatan mantra itu timbul serta maksud dan tujuan dari si pengguna mantra itu dapat tercapai.

(41)

28

kubal, jemambang, jenango, dan lain-lain. Hal tersebut dapat dilihat dari kutipan

mantra untuk pohon tualang masyarakat Melayu Tamiang berikut:

• Mantra untuk pohon Tualang

Kayu betuah lagi bebahagie

Kayu tumboh ditepi kulam, kulamnye berayer ijo Tempek le mandi si puteri ijo

Batangnye puteh kulitnye ijo Cabangnye rampak gilang gemilo Kulit bename sipari-pari

Kubal bename sigenggam tegoh

Akarnye lampe bename sabo berendam Akar tunggal bename pasak le bumi Banir bename sikumbol emeh Serempak bename batil sireh suase

Cabang jemambang bename raje unjor-unjoran Cabang jenanggo bename tungkek tuan taali Ranting bename jarom jemarom

(42)

29

Semua kata-kata pada dendang tersebut di atas merupakan kata-kata pilihan, seperti kayu betuah lagi bebahagie, kenapa harus memakai kayu betuah lagi bebahagie tidak kata-kata yang lain. Ini karena kata betuah dan bebahagie bukanlah sebatas pengertiannya sebagai yang bertuah atau yang mendatangkan keuntungan atau yang sedang dalam kebahagiaan, tetapi kata-kata tersebut memiliki kekuatan dan makna di mana hanya pawanglah yang mengerti maknanya, sehingga kata-kata tersebut tidak dapat diganti dengan kata-kata yang lain. Begitu juga dengan kata-kata

tempek le mandi si puteri ijo, kenapa harus tempat mandi si putri hijau, karena puteri

hijau dianggap sebagai puteri yang cantik jelita sekaligus sebagai perlambang dewi yang dianggap sakral bagi masyarakat Melayu Tamiang. Oleh karena itu pencipta dendang ini menggunakan kata-kata tersebut di dalam dendangnya agar menambahkan daya magisnya. Gilang gemilo, memiliki arti bercahaya terang atau terang sekali. Akar tunggal bename pasak le bumi, pasak bumi artinya pohon kayu yang akarnya dapat dijadikan obat penambah tenaga. Batil sireh suase adalah tempat sirih yang terbuat dari logam campuran emas dan tembaga, yang memiliki arti bernilai dan berharga. Namun sebenarnya kata-kata seperti di atas, tidak bisa diartikan secara harfiah begitu saja, karena kata demi kata mempunyai hubungan yang sangat erat, yang akhirnya akan melahirkan makna yang sangat mendalam.

(43)

30

dan maksud dari kata-kata di atas adalah bagaimana si pengguna dendang tersebut memuja kayu dengan kata-kata yang indah. Semua bagian kayu di kiaskan dalam bentuk yang indah dan bermakna, pada bagian tersebut juga memiliki arti betapa beruntungnya lebah bersarang di pohan kayu yang bertuah tersebut. Selain itu, kayu tualang yang saat ini sudah sangat jarang tumbuh, dianggap sebagai pohon yang memiliki tuah dan dipercayai oleh masyarakat Melayu Tamiang sebagai pohon yang ada “penunggunya” berupa jin atau jembalang pohon. Oleh karena itu, bagi para pengambil madu, biasanya mereka menyanyikan dendang ini agar para penunggu pohon tersebut sekaligus pohon itu juga memberikan izin bagi mereka untuk naik ke atas pohon tersebut untuk mengambil madu yang terdapat di pohon tersebut. Nyanyian atau dendang tersebut ditujukan sebagai rayuan atau bujukan kepada pohon tualang dan penunggunya sekaligus juga sebagai perintah untuk mentaati apa yang diminta oleh pawang tuhe, seperti yang terlihat pada kutipan berikut:

- Sebagai rayuan atau bujukan:

Kayu betuah lagi bebahagie

Kayu tumboh ditepi kulam, kulamnye berayer ijo Tempek le mandi si puteri ijo

Batangnye puteh kulitnye ijo

- Sebagai perintah:

(44)

31 Mayoh le hati bunge kuayun

Dayang nak naik, oi...

Kosa kata yang digunakan dalam mantra Dendang Lebah ini adalah kosa kata bahasa Melayu Tamiang. Ada beberapa kata yang ditemukan sudah jarang sekali dipakai oleh masyarakat Melayu Tamiang itu sendiri, seperti kata-kata: paok,

siakong, sior, sijenjen, manih dan lain-lain. Hal tersebut dapat dilihat dari kutipan

mantra Dendang Lebah masyarakat Melayu Tamiang berikut:

• Mantra untuk menyapu lebah

Dari le paok sampe ke pematang Tetak le cengal kudado kemudi

Dari jaoh si bujang pawang nan datang Dari tamiang sampai kemari

Balerong bale mu raje Ketige bale mu menteri

Adel-adel le hukom mu he raje Karne raje le punye negeri

(45)

32 Dayangku boleh ke singkek ke baju

Sibujang pawang oi... ndak menyapu

Paku rundok paku ku rendang Panggang kerapu dibawah cabang Turun le tundok lebah tualang

Malamne kusapu isok ko buleh pulang

Dayangku jangan bejaje bawang Bawang dijaje bawang rupie

Dayangku jangan terbang te lawang-lawang Takut marah pawang raje mude sedie

Sirakup silela dandi dayangku Pande memangku sibiring kuning Jangan le takut kemane nak lalu Laot ngelambang sior kuliling

Dayangku jangan bepaok padi Kalo le bidok beserempu juge Dayangku jangan bejaoh hati Dilaen musem kite besue juge

(46)

33

Pada bagian kedua yakni mantra dendang lebah yang ditujukan untuk mengusir lebah agar meninggalkan sarang, penyair juga menggunakan kata-kata pilihan karena dalam puisi pilihan kata sangat penting sekali. Hal ini disebabkan pilihan kata dalam puisi apalagi mantra dapat mencerminkan ruang, waktu, falsafah, amanah, efek, dan nada puisi dengan tepat. Makna yang terkandung dalam puisi atau mantra juga terdiri dari makna denotatif dan makna konotatif (Siswanto, 2013:104). Dalam mantra Dendang Lebah ini lebih banyak menggunakan makna denotatif karena dalam kebanyakan mantra pilihan katanya selalu merujuk ke makna sebenarnya. Hal ini agar makna tersebut tidak menimbulkan bias atau kesalahan pemahaman. Hal ini disebabkan Mantra Dendang Lebah ini apabila dibacakan sesuai dengan urutannya maka daya magis dan kekuatan mantra itu akan sampai pada tujuannya, seperti terlihat pada kutipan berikut ini:

Siakong begumbak mirah Kene le jerat sirajewali Kami begantong mu Allah Serte bertungkek ku Nabi Sijenjen jaek ke baju

Guntung anak siraje melayu

Dayangku boleh ke singkek ke baju Sibujang pawang oi... ndak menyapu

(47)

34

terlihat dari penggunaan kata Allah dan Nabi sehingga lebah dapat menuruti segala permintaan pawang tuhe. Oleh karena itu, maka lebah harus menuruti perintah dari pawang tuhe seperti terlihat pada kutipan berikut ini:

Paku rundok paku ku rendang Panggang kerapu dibawah cabang Turun le tundok lebah tualang

Malamne kusapu isok ko buleh pulang

Mantra ini disampaikan dalam bentuk berupa pantun, pada baris pertama dan kedua merupakan sampiran, baris ketiga dan ke empat merupakan isi atau penjelas dari apa yang hendak disampaikan oleh pengguna dendang tersebut, seperti terlihat pada kutipan berikut:

Dari le paok sampe ke pematang Tetak le cengal kudado kemudi

Dari jaoh si bujang pawang nan datang Dari tamiang sampai kemari

Balerong bale mu raje Ketige bale mu menteri

Adel-adel le hukom mu he raje Karne raje le punye negeri

(48)

35 Panggang kerapu dibawah cabang

Turun le tundok lebah tualang

Malamne kusapu isok ko buleh pulang

Dayangku jangan bepaok padi Kalo le bidok beserempu juge Dayangku jangan bejaoh hati Dilaen musem kite besue juge

Pucuk adel daonnye adel Rotan pangkek dibelah due Isi manih kedalam batel Ucapke bismillah baru disedue

4.4.1.2Imajinasi

(49)

36

Dalam teks Dendang Lebah ditemukan beberapa imajinasi atau citraan antara lain imajinasi penglihatan (visual) dapat dilihat pada kutipan dendang berikut:

Kayu tumboh ditepi kulam, kulamnye berayer ijo, Tempel le mandi si puteri

ijo,batangnye puteh kulitnye ijo, cabangnye rampak gilang gemilo, kulit bename

sipari-pari, kubal bename sigenggam tegoh, akarnye lampe bename sabo berendam,

akar tunggal bename pasak le bumi, banir bename sikumbol emeh, serempak bename

batil sireh suase, cabang jemambang bename raje unjor-unjoran, cabang jenanggo

bename tungkek tuan tali, rating bename jarom jemarom, daonnye bename sikali

membang, pucok bename payong tekembang, putik bename bintang temabor, dan

buah bename bintang berayun. Semua kata-kata tersebut seolah-olah kita dapat

melihat dan membayangkan kayu yang sangat indah untuk tempat lebah itu bersarang.

Selain imaji visual (penglihatan), dalam mantra Dendang Lebah ini terdapat juga imaji taktil (perlakuan). Imaji tersebut dapat kita lihat pada bait yang menggambarkan bagaimana seharusnya raja bersikap selaku pemilik negeri (kerajaan), seperti terlihat pada kutipan berikut ini:

Balerong bale mu raje Ketige bale mu menteri

Adel-adel le hukom mu he raje Karne raje le punye negeri

(50)

37

harus pergi, besok baru kembali ke sarang, Hal ini terlihat pada kutipan dari bait mantra Dendang Lebah berikut ini:

Paku rundok paku ku rendang Panggang kerapu dibawah cabang Turun le tundok lebah tualang

Malamne kusapu isok ko buleh pulang

4.4.1.3Kata-kata konkrit

Dalam kata-kata kongkrit penyair harus mampu mengkonkritkan kata-kata, sehingga pembaca seolah-olah mendengar, melihat, atau merasakan apa yang dilukiskan oleh penyair. Dengan demikian pembaca terlibat penuh secara batin ke dalam puisinya. Contoh dari kata-kata konkrit di dalam dendang lebah ini yaitu:

Kayu betuah lagi bebahagie,

kayu tumboh ditepi kulam, kulamnye berayer ijo, tempek le madi si puteri ijo.

Semua kata-kata di atas digunakan penyair untuk mengkongkritkan gambaran dari kayu tualang tersebut. Pada mantra untuk kayu tualang terdapat kata-kata seperti:

Kami begantong ku Allah Serte betungkek ku Nabi ...

(51)

38

Berdasarkan kata-kata di atas, penyair mengkongkritkan suasana religius dengan kata begantong ku Allah, betungkek ku Nabi, ucapke bismillah baru disedue. Ini berarti penyair memulai sesuatu pekerjaan dan mengakhirinya selalu meminta izin dari Allah SWT dan menyerahkan segala usahanya kepada Allah.

4.4.1.4 Gaya Bahasa

Gaya bahasa atau dengan kata lain disebut majas merupakan komponen yang penting dalam puisi. Penggunaan gaya bahasa menyebabkan puisi menjasi prismastis artinya memancarkan banyak makna atau kaya akan makna, ini karena gaya bahasa adalah bahasa yang digunakan penyair untuk mengatakan sesuatu dengan cara yang tidak biasa, yakni secara tidak langsung mengungkapkan makna, kata atau bahasanya bermakna kias atau makna lambang.

Di dalam teks mantra atau dendang lebah ini gaya bahasa yang digunakan dapat kita lihat sebagai berikut:

1. Gaya bahasa personifikasi, terlihat pada kalimat

Kayu betuah lagi bebahagie

Kayu tumboh ditepi kulam, kulamnye berayer ijo Tempel le mandi si puteri ijo

Batangnye puteh kulitnye ijo Cabangnye rampak gilang gemilo Kulit bename sipari-pari

Kubal bename sigenggam tegoh

(52)

39 Akar tunggal bename pasak le bumi Banir bename sikumbol emeh Serempak bename batil sireh suase

Cabang jemambang bename raje unjor-unjoran Cabang jenanggo bename tungkek tuan taali

Rating bename jarom jemarom

Daonnye bename sikali membang

Pucok bename payong tekembang Putik bename bintang temabor Buah bename bintang berayun

Kata kayu betuah disini berarti kayu yang memiliki keberuntungan atau beruntung, dan bebahagia mempunyai arti dalam keadaan bahagia atau sedang menikmati kebahagiaan. Dengan begitu penyair seolah mengkiaskan keadaan si kayu itu seperti peristiwa atau keadaan yang ada pada diri manusia. Begitu juga dengan kalimat-kalimat selanjutnya, penyair menggambarkan keadaan pada kayu seperti keadaan atau peristiwa yang dialami oleh manusia, hal itu digunakan untuk memperjelas penggambaran peristiwa dan keadaan itu juga untuk menambah keyakinan pembaca pada mantra atau dendang tersebut.

4.4.2 Analisis Struktur Batin

4.4.2.1 Tema

(53)

40

utama pengucapannya. Jika isi dendang tersebut kuat terhadap ketuhanan maka tema mantra tersebut tentang ketuhanan dan apabila mantra tersebut lebih mengarah pada kemanusiaan maka tema tersebut adalah tentang kemanusiaan.

Setelah penulis membaca dan mengkaji berulang-ulang, bahwa tema dari

Dendang Lebah masyarakat Melayu Tamiang adalah Saling menghormati antara

sesama makhluk ciptaan Allah. Ini didasarkan pada sikap pawang tuhe yang

menghormati keberadaan penunggu pohon tualang dan lebah sebagai pemilik madu. Begitu pula dengan pohon dan lebah yang menghormati keberadaan pawang tuhe sehingga kerjasama yang terjalin di antara mereka akan menghasilkan sesuatu yang baik pula.

Hal ini dapat dilihat pada bagian dendang yang berbunyi Kayu betuah lagi

bebahagie,Kayu tumboh ditepi kulam, kulamnye berayer ijo, tempel le mandi si

puteri ijo, batangnye puteh kulitnye ijo, cabangnye rampak gilang gemilo, ..., buah

bename bintang berayun. Berdasarkan dendang di atas jelaslah bahwa penyair begitu

sangat memuliakan dan memuja kayu tempat lebah itu bergantung.

Siakong begumbak miarah Kene le jerat sirajewali Kami begantong ku Allah serte betungkek ku Nabi sijenjen jaek ke baju gunting anak siraje melayu

(54)

41

Dari kata-kata diatas penyair menamkan rasa percayaan dirinya untuk melindungi, menjaga dan menyerahkan rizki yang didapat kepada Allah SWT dapat dilihat pada kata Kami begantong ku Allah serte betungkek ku Nabi.

4.4.2.2Nada

Nada adalah sikap penyair terhadap pembacanya, dan suasana keadaan jiwa pembaca setelah membaca puisi tersebut. Nada dan suasana saling berhubungan, karena nada puisi menimbulkan suasana terhadap pembacanya. Nada bertujuan agar terjadi sinkronisasi terhadap mantra atau dendang lebah, suasana tercipta jika pembacaan dendang dilakukan dengan nada-nada yang telah biasa diucapkan oleh penyairnya.

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan penulis, pengucapan dendang dilakukan dengan nada yang rendah dan beralun-alun dengan nada yang seperti itu maka akan membuat suasana tenang dan lebah pun merasa disanjung-sanjung, seperti kutipan bait berikut ini:

Sirakup silela dandi dayangku Pande memangku sibiring kuning Jangan le takut kemane nak lalu Laot ngelambang sior kuliling

(55)

42 Dayangku jangan bejaoh hati

Dilaen musem kite besue juge

Selain nada menyanjung atau merayu, mantra juga mengandung nada memerintah agar si lebah mau menuruti kemauan dari pawang tuhe, seperti kutipan dari bait berikut ini:

Kene le jerat sirajewali Kami begantong mu Allah Serte bertungkek ku Nabi Sijenjen jaek ke baju

Guntung anak siraje melayu

Dayangku boleh ke singkek ke baju Sibujang pawang oi... ndak menyapu

4.4.2.3Perasaan

(56)

43

4.4.2.4Amanat

Amanat adalah tujuan yang mendorong kebiasaan ini dilaksanakan. Amanat dendang disampaikan oleh orang yang melakukan tradisi ini. Amanat yang terdapat pada Dendang Lebah Masyarakat Melayu Tamiang ini adalah bagaimana si pengguna dendang ini mengharapkan agar lebah dapat meninggalkan sarangnya agar dapat mengambil madu lebah tersebut, kalau tidak pawang tuhe akan marah, seperti kutipan bait berikut ini:

Kene le jerat sirajewali Kami begantong mu Allah Serte bertungkek ku Nabi Sijenjen jaek ke baju

Guntung anak siraje melayu

Dayangku boleh ke singkek ke baju Sibujang pawang oi... ndak menyapu

Paku rundok paku ku rendang Panggang kerapu dibawah cabang Turun le tundok lebah tualang

Malamne kusapu isok ko buleh pulang

(57)

44 Dayangku jangan terbang te lawang-lawang Takut marah pawang raje mude sedie

4.5 Analisis Fungsi Teks dendang lebah masyarakat Melayu Tamiang

Mantra adalah gubahan bahasa yang diyakini memiliki kekuatan magis, diucapkan oleh orang tertentu, dan pada konteks tertentu pula. Dalam konteks mengambil madu lebah, mantra/ dendang lebah memiliki fungsi:

a. Sebagai Doa

Berdoa berarti memohon dan meminta sesuatu kepada Allah SWT yang disertai kerendahan hati untuk mendapat kebaikan. Berdoa senantiasa dipanjatkan baik dalam keadaan senang maupun dalam keadaan susah, dalam penderitaan maupun dalam kebahagiaan, dalam kesulitan maupun dalam kelapangan.

Dalam mengambil madu lebah, doa yang diucapkan pawang adalah berupa mantra/dendang sebagai bentuk permohonan kepada Allah SWT atas pekerjaan yang akan dilakukan yaitu mengambil madu lebah di atas pohon tualang, tujuan dari pembacaan mantra/dendang disini adalah sebagai permohonan kepada Allah agar apa yang di minta dapat dikabulkan oleh Allah serta kelancaran atas pekerjaan itu.

(58)

45

dari gangguan makhluk gaib seperti penunggu pohon tualang, alam, dan gangguan dari hewan-hewan lain.

Mantra/dendang sebagai doa terdapat pada kalimat berikut:

Kami begantong ku Allah

Serte betungkek ku Nabi

Hal tersebut menjelaskan bahwa segalanya yang terjadi diserahkan kepada Allah SWT, karena Allah-lah yang berkehendak atas segala sesuatu atas apa yang ada dilangit dan dibumi. Doa merupakan penghancuran nilai-nilai egoisme kemanusiaan yang selalu identik dengan kesombongan, keangkuhan dan merasa bahwa setiap keberhasilan adalah jerih payah sendiri tanpa menganggab adanya campur tangan Allah SWT sebagai Zat Pengatur.

b. Sebagai Media Komunikasi

Selain sebagai doa, mantra/ dendang juga berfungsi sebagai media berkomunikasi antara pawang, dengan makhluk gaib penunggu pohon tualang dan lebah. Seperti dendang pertama untuk kayu tualang ini merupakan mantra yang berfungsi sebagai media bagi pawang untuk dapat berkomunikasi dengan makhluk lain penunggu pohon tualang itu, seperti tergambar pada kutipan dari bait berikut:

(59)

46 Dayang nak naik, oi...

Selain itu, mantra Dendang Lebah ini juga sebagai media komunikasi antara pawang dan lebah mantra yang digunakan adalah mantra yang kedua untuk mengusir lebah dan mengambil madunya, seperti terlihat pada kutipan dari bait berikut ini:

Paku rundok paku ku rendang Panggang kerapu dibawah cabang Turun le tundok lebah tualang

Malamne kusapu isok ko buleh pulang

Dayangku jangan bepaok padi Kalo le bidok beserempu juge Dayangku jangan bejaoh hati Dilaen musem kite besue juge

c. Sebagai Alat pendidikan

Mantra sebagai alat pendidikan merupakan suatu proses pengubahan sikap dan prilaku seseorang atau kelompok dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Mantra/ dendang sebagai media pendidikan di sini mengacu kepada tujuan penutur dan bahasa yang digunakan dalam menuturkan mantra.

Mantra/ dendang sebagai Alat Pendidikan Terdapat pada kutipan berikut:

(60)

47 Kayu tumboh ditepi kulam, kulamnye berayer ijo Tempek le mandi si puteri ijo

... ... Dayang nak pulang, oi...

Mantra/ dendang di atas dibacakan untuk kayu tualang bertujuan bebagai penghormatan kepada penunggu kayu tualang dan kata yang di ucapkan berupa pujaan.

Sijenjen jaek ke baju

Guntung anak siraje melayu

Dayangku boleh ke singkek ke baju Sibujang pawang oi... ndak menyapu Paku rundok paku ku rendang

Panggang kerapu dibawah cabang Turun le tundok lebah tualang

Malamne kusapu isok ko buleh pulang

Kata-kata di atas dibacakan untuk lebah, berfungsi agar lebah meninggalkan sarangnya, lebah disuruh pergi dengan menggunakan kata-kata yang lembut dan penuh dengan kasih sayang layaknya seperti perlakuan orang tua kepada anaknya.

(61)

48

semacam pamitan sebagai bentuk kasih sayang dan penghormatan kepada lebah dan penunggu pohon tualang. Bentuk kata-kata tersebut sebagai berikut:

Pucuk adel daonnye adel Rotan pangkek dibelah due Isi manih kedalam batel Ucapke bismillah baru disedue

Keseluruhan perbuatan dalam hal membaca mantra tersebut yang di sebutkan diatas, mengajarkan pada kita agar dalam hidup butuh tata krama, sopan santun, saling menghormati, kasih sayang. Kepada hewan dan tumbuhan saja harus membutuhkan perlakuan yang baik, apalagi sesama manusia yang memiliki hati dan perasaan.

4.6 Analisis Makna Teks Dendang Lebah Masyarakat Melayu Tamiang

4.6.1 Maksud dan Tujuan penyelenggaraan Dendang Lebah

(62)

49

demikian, melalui dendang yang digununakan ini maka dapat menjamin tingkat keberhasilan si penyair terhadap lebah dan kayu tualang guna untuk mengambil madunya. Setidaknya dengan atau melalui dendang ini dapat membawa sugesti terhadap keyakinan diri si pembaca dendang atau pawang terhadap kemampuan yang dimilikinya.

4.6.2 Waktu dan Tempat Penyelenggaraan Dendang Lebah

Dendang lebah dibacakan seketika itu juga pada saat akan mengambil madu lebah dari atas pohon tualang, sesuai dengan guna dendang itu yaitu untuk memuja pohon tualang dan merayu si lebah tersebut. Pelaksanaa pengambilan madu lebah dari atas kayu tualang pada masyarakat perkauman Tamiang dilakukan setahun sekali, tanpa menentukan hari. Sedangkan untuk bulan pelaksanaannya biasanya pada bulan april, karena menurut masyarakat Melayu Tamiang pada bulan april waktu yang tepat untuk memanen madu karena pada saat itu madu masih segar dan belum menjadi benih.

(63)

50

4.6.3 Persiapan dalam Mengambil Madu Lebah

Sebelum pengambilan madu lebah, terlebih dahulu diadakan persiapan-persiapan. Jauh sebelum madu lebah di panen, persiapan pertama adalah mensurvei atau meninjau, pawang beserta anggotanya berjalan ke hutan untuk mencari pohon kayu tualang yang telah dihinggapi lebah. Jika pawang telah menemukan kayu tualang yang akan di panennya beberapa bulan lagi, maka pawang akan menandai kayu atau mensyarati kayu tualang itu agar tidak lagi bisa diambil oleh pawang-pawang lebah yang lain yang akan memanen madu juga. Peninjauan ini biasa dilakukan pada bulan februari karena pada bulan tersebut pohon-pohon mulai berbunga.

Selanjutnya jika telah tiba waktu untuk memanen madu lebah, barulah mempersiapan alat-alat yang dibawa untuk keperluan memanen madu, alat-alat tersebut sudah dijelaskan pada sub bab di atas. Setelah waktu memanen tiba dan peralatan sudah lengkap, maka barulah pawang dan anggotanya menuju ke hutan untuk memulai pekerjaannya.

4.6.4 Perlengkapan dalam Mengambil Madu Lebah

Dendang Lebah dalam pelaksanaannya didukung oleh perlengkapan-perlengkapan. Perlengkapan dalam hal mengambil madu ini sangat penting. Adapun perlengkapan tersebut antara lain:

(64)

51

madu lebah tersebut disesuaikan dengan zamannya. Yang terpenting timba/ ember tersebut tidak terdapat besi.

2. Patin (bambu yang telah diruncingkan ujungnya sebesar jari telunjuk panjangnya ± 10 cm di tancapkan di pohon tualang menyerupai anak tangga) berfungsi untuk tempat memijak kaki.

3. Tunam (batang sirih hutan yang diikat dan dibakar untuk mendapatkan bara api) berfungsi untuk mengusir lebah.

4. Lampu kecil atau teplok berfungsi untuk penerangan di bawah. 5. Tali panjang berfungsi untuk mengikat timba yang berisi madu.

4.6.5 Pelaksanaan Pengambilan Madu Lebah

(65)

52

Menyapu lebah ini adalah pekerjaan dimana madu lebah itu akan diambil dari sarangnya. Tunam yang sudah diberi api selanjutnya dikibas-kibaskan atau di hentakkan di sekitar dahan tempat lebah itu bersarang. Hentakan itu akan menimbulkan bunga api (si biring kuning) yang berjatuhan ke tanah. Bersama dengan jatuhnya bunga api itu, lebah-lebah pun berterbangan ke bawah mengikuti api tunam. Waktu itulah pekerjaan bagi pawang muda untuk mengambil madu lebah dari sarangnya.

Bagian sarang lebah yang berisi madu disebut “kepala lebah”, kemudian madu itu dimasukkan ke dalam timba dan tirurunkan ke bawah menggunakan tali panjang. Di bawah timba itu akan diterima oleh tukang sambut. Pekerjaan itu dilakukan berulang kali sampai selesai. Sementara pawang tuhe bertugas di bawah untuk berjaga-jaga dari bahaya. Jika sarang lebah di kayu tualang itu banyak dan tidak bisa diselesaikan dalam satu malam sampai menjelang subuh, maka pekerjaan itupun dilanjutkan ke malam berikutnya.

(66)

53

dilemparkan sedikit kebawah untuk Raja Hutan tersebut. Masyarakat Melayu Tamiang percaya bahwa di pohon tualang selalu dihuni oleh makhluk-makhluk halus. Maka untuk setiap tahapan pemanjat selalu diiringi dengan mantera atau dendang/deden.

4.6.6 Makna Budaya Dalam Mengambil Madu Lebah

Mengambil madu lebah merupakan salah satu bentuk ungkapan budaya yang banyak mengandung nilai-nilai atau makna yang dapat diteladani oleh generasi penerus. Pada hakekatnya sistem nilai merupakan posisi sentral dan struktur budaya suatu masyarakat, sistem nilai merupakan fenomena dan masalah dasar kehidupan manusia, karena sistem nilai merupakan perangkat struktur dalam kehidupan manusia baik secara individu maupun secara sosial (Griya dalam teddy, 2003: 46)

Demikian pula nilai-nilai makna yang terkandung dalam proses pengambilan madu lebah masyarakat Melayu Tamiang. Merupakan suatu fenomena dan problematika dasar dalam kehidupan masyarakat pendukungnya, seperti mengambil madu ini senantiasa dilaksanakan oleh masyarakat Melayu pendukungnya dan bagi mereka yang melakukan tradisi ini menganggap bahwa itu mempunyai makna bagi dirinya. Berikut beberapa makna budaya yang dapat dilihat dari tradisi mengambil madu yang baik untuk diteladani.

4.6.6.1Kebersamaan dan Kerukunan

(67)

54

mensurvei kayu tualang kemudian menyiapkan peralatan hingga proses memanen dan pembagian hasilpun bersama-sama. Ini menunjukkan kebersamaan dan kerukunan mereka tercermin dari kerjasama yang mereka lakukan dalam memanen madu lebah. Selain itu rasa kebersamaan dan kerukunan merupakan ciri khas dan kebiasaan masyarakat melayu.

4.6.6.2Penghormatan Terhadap Leluhur

Berdendang dalam mengambil madu lebah ini bertujuan untuk memuja dan menghormati leluhur atau nenek moyang masyarakat Melayu Tamiang. Penghormatan ini dapat terlihat ketika pawang memberikan madu untuk Raja Hutan. Ini menandakan bahwa masyarakat sangat menghormati leluhur atau nenek moyangnya memalui persembahan yang diberikan. Dengan harapan agar direstui dalam mengambil madu dan supaya terhindar dari hal-hal buruk yang mungkin saja terjadi.

4.6.6.3kepatuhan

(68)

55 BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Setelah penulis menguraikan, menjabarkan, dan menganalisis dari sudut pandang strukturalisme, fungsi dan makna yang terdapat dalam Dendang Lebah Masyarakat Melayu Tamiang dapat ditarik suatu kesimpulan sebagai berikut:

1. Diksi adalah pilihan kata yang digunakan penyair untuk menuangkan ide-idenya ke dalam sebuah puisi, maka semua kata yang terdapat pada Dendang Lebah mempunyai diksi yang telah ditentukan sendiri oleh penyair, dan kata-kata yang ada tidak dapat diubah susunannya. Ditakutkan hilang daya magisnya.

2. Imajinasi yang digunakan di dalam Dendang Lebah ini adalah imajinasi penglihatan (visual), imajinasi dan imajinasi taktil (perlakuan).

3. Kata konkrit adalah kata-kata yang membuat pembaca seolah-olah melihat, mendengar, atau merasakan apa yang dilukiskan oleh penyair. Seperti pada kata Kayu betuah lagi bebahagie, kayu tumboh ditepi kulam, kulamnye berayer ijo, tempek le madi si puteri ijo, Kami begantong ku Allah, Serte betungkek ku Nabi,....,Ucapke bismillah baru disedue.

4. Gaya bahasa yang digunakan pada Dendang Lebah adalah gaya bahasa personifikasi.

5. Tema pada Dendang Lebah adalah Saling menghormati antara sesama makhluk

(69)

56

6. Nada pada Dendang Lebah adalah nada rendah dan beralun-alun dengan nada yang seperti itu maka akan membuat suasana tenang dan lebah pun merasa disanjung-sanjung

7. Amanat yang terdapat pada Dendang Lebah Masyarakat Melayu Tamiang ini adalah bagaimana si pengguna dendang ini mengharapkan agar lebah dapat meninggalkan sarangnya agar dapat mengambil madu lebah tersebut.

8. Dendang Lebah memiliki fungsi sebagai doa, sebagai media komunikasi, dan sebagai alat pendidikan.

9. Dendang Lebah dilaksanakan dengan tujuan untuk mengambil madu lebah dari atas pohon tualang.

10. Dengan melaksanakan pengambilan madu dari atas pohon tualang akan tercermin sikap kebersamaan dan kerukunan semakin mantap dan juga semakin erat pada masyarakat pendukungnya.

(70)

57

5.2 Saran

Adapun beberapa saran dari penulis adalah sebagai berikut:

1. Kepada pihak yang memiliki wewenang agar memelihara budaya lokal ini dari pengikisan budaya asing.

2. Bagi masyarakat setempat hendak adanya rasa kepemilikan bagi budaya lokal ini.

3. Perlunya pelestarian dan pewarisan budaya kepada generasi-generasi selanjutnya agar budaya ini tetap terjaga.

Referensi

Dokumen terkait

Larik puisi ini menggunakan kata ganti anak, yang secara khusus juga berlaku bagi bayi yang sedang diberi namanya pada tradisi penabalan nama masyarakat Melayu Binjai Timur.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dua aspek dari Dendang Siti Fatimah, nyanyian tradisi Melayu yang digunakan pada upacara mengayunkan anak, yaitu: (a) struktur melodi;

Hasil penelitian ini adalah struktur yang terdapat dalam Hasehawaka Manu Kakae mencakup diksi atau pilihan kata, larik atau baris, bait atau kuplet, bunyi yang terdiri dari

Diksi menurut Sayuti (2002:43), merupakan salah satu unsur yang ikut membangun keberadaan puisi berarti pemilihan kata yang dilakukan oleh penyair untuk mengekspresikan

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dua aspek dari Dendang Siti Fatimah, nyanyian tradisi Melayu yang digunakan pada upacara mengayunkan anak, yaitu: (a) struktur melodi;

Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah struktur melodi Dendang Siti fatimah menggunakan tujuh nada, dengan bentuk melodi yang diulang-ulang dan masuk ke dalam musik yang

Diksi merupakan kata yang tepat wujud dan tepat untuk makna dalam puisi tersebut,diksi merupakan pilihan kata yang menjadi dasar bagi pengarang dalam menciptakan karya

Kategori fungsi tari yang bersifat sekunder menurut Narawati dan Soedarsono sama halnya dengan fungsi tari sebagai pekerjaan atau mata pencaharian menurut Kurath,