• Tidak ada hasil yang ditemukan

Struktur Melodi Dan Makna Teks Dendang Siti Fatimah Dalam Upacara Mengayunkan Anak Pada Kebudayaan Melayu Di Desa Bintang Meriah Kecamatan Batang Kuis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Struktur Melodi Dan Makna Teks Dendang Siti Fatimah Dalam Upacara Mengayunkan Anak Pada Kebudayaan Melayu Di Desa Bintang Meriah Kecamatan Batang Kuis"

Copied!
100
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR INFORMAN

1. Nama : Aisyah Mudatsir

Umur : 44 Tahun

Alamat : Jalan Ampera No.211 Desa Bintang Meriah

Kecamatan Batang Kuis

Pekerjaan : Ibu rumah tangga

2. Nama : Faridah Umur : 66 Tahun

Alamat : Jalan Ampera No.209 Desa Bintang Meriah Kecamatan Batang Kuis

Pekerjaan :Ibu rumah tangga

3. Nama : Drs. Fadlin, M.A Umur : 49 Tahun

Pekerjaan : Dosen Etnomusikologi FIB USU

4. Nama : Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D Umur : 65 Tahun

(2)

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia. 2011. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Keempat. Jakarta: P.T. Gramedia Pustaka Utama.

Girsang Berliana. 1994 Ilah pada Kebudayaan Etnis Simalungun, di Desa Dolog Huluan Kecamatan Raya: Suatu Kajian Tekstual dan Musikologis.

Skripsi sarjana Etnomusikologi di Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara

Joyopuspito, Sunaryo, 2007. Ilmu Bentuk Musik. Jakarta: Bina Musik Remaja. Koentjaraningrat. 1973. Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta:

Gramedia.

Koentjaraningrat 1980. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan

Koentjaraningrat . 1981. Pengantar Antropologi, Jakarta : Balai Pustaka

Koentjaraningrat. 1985. Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia.

Malm, William P. 1977. Music Culture Of Pacific Music The Near East and Asia, New Jersey : Prentice Hall, Inc. England Wood Cliffs.

Maleong , Lexi J. 1988. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja Pokakarya

Mardalis.2003. Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal. Jakarta : Bumi Aksara.

Merriam, Alan P. 1964. The Anthropology of Music. Chicago, Northwestern University Press.

Nettl, Bruno. 1964. Theory and Method in Etnomusicology. The Free Press of Glencoe. New York

Riffaterre Semiotics of Poetry (1978)

Siahaan, Yudistira .2012. Kajian Musikal dan Fungsi Pertunjukan Barongsai pada Perayaan Cap Go Meh Masyarakat Tionghoa di Maha Vihara Maitreya, Komplek Perumahan Cemara Asri. Skripsi Etnomusikologi USU.Medan

(3)

Sinar Luckman T. 1996. Pengantar Etnomusikologi dan Tarian Malayu. Medan, Perwira. 2007. Pengantar Etnomusikologi dan Tarian Malayu. Yayasan Kesultanan Serdang. Medan.

Aini Syarifah, 2013 Tari Inai dalam Konteks Upacara Adat Perkawinan Melayu di Batang Kuis: Deskripsi Gerak, Musik Iringan, dan Fungsi Skripsi sarjana Etnomusikologi di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas

Sumatera Utara.

Takari, Muhammad. Frida Deliana, Fadlin, Torang Naiborhu, Arifni Netriroza, dan Heristina Dewi. 2008. Masyarakat Kesenian di Indonesia. Medan: Studi Kultura, Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara.

(4)

BAB III

DESKRIPSI UPACARA MENGAYUN ANAK

3.1 Sejarah Upacara Mengayun Anak

Dendang Siti Fatimah merupakan sebuah nyanyian vokal yang selalu

dinyanyikan pada saat upacara mengayunkan anak pada kebudayaan Melayu. Biasanya para penyanyinya adalah kaum perempuan yang mahir atau dengan kata lain menyanyi Dendang Siti Fatimah menjadi salah satu bahagian dari pendapatan hidupnya. Walau demikian, mereka tidak menggantungkan pendapatan utamanya dari kegiatan ini. Mereka sering dipanggil untuk pertunjukan di dalam setiap upacara mengayunkan anak yang dilakukan di daerah Kecamatan Batang Kuis, Kabupaten Deli Serdang, khususnya di Desa Bintang Meriah.

Awalnya Dendang Siti Fatimah merupakan nyanyian yang didendangkan orang tua ketika hendak menidurkan anaknya. Nyanyian ini biasanya menceritakan tentang nilai-nilai agama Islam, agar kelak anaknya dapat mewarisi sifat-sifat yang baik berdasarkan ajaran agamanya. Umumnya nyanyian ini dinyanyikan oleh ayah terhadap anaknya karena ayah merupakan pemimpin dalam keluarga dan merupakan sosok pekerja keras.

(5)

oleh ibu. Ternyata lambat laun kebiasaan ini sudah jarang dilakukan orang tua terhadap anaknya karena kesibukan orang tuanya.

Melihat pentingnya kebiasaan ini ada sebuah pemikiran yang dikemukakan oleh bapak O.K. Syarifulah (gurunya Ibu Aisyah, bapak ini telah meninggal dunia 2005) melalui penjelasan Aisyah (informan kunci) yang merupakan salah satu tokoh masyarakat Melayu di Desa Bintang Meriah, menyatakan bahwa nyanyian menidurkan anak ini bukan sekedar nyanyian yang semata-mata hanya untuk menidurkan anak.

Beliau beranggapan dengan menyanyikan lagu yang berisikan tentang kisah agama pada anak beliau menyakini anak tersebut akan tumbuh dewasa dengan pribadi yang taat agama. Untuk itu O.K. Syarifulah ini membuat suatu grup vokal. Lirik yang dinyanyikan sudah dibakukan oleh bapak O.K. Syarifulah yang berisikan tengtang kisah agama dan Nabi Muhammad kemudian dikenal hingga saat ini dengan nama Dendang Siti Fatimah dengan bentuk penyajian yang baru.

Berikut bentuk penyajian Dendang Siti Fatimah yang dilaksanakan di Desa Bintang Meriah: 1. pembacaan doa-doa dan menceritakan kisah Nabi Muhammad (Barzanji), 2. marhaban, 3. pemotongan rambut si anak 4. menggendong si anak lalu dimandikan, dan 5. lalu anak diayun. Pada saat anak dipotong rambutnya, dimandikan, digendong, dan diayun inilah dinyanyikan Dendang Siti Fatimah.

(6)

Penyajian Dendang Siti Fatimah ini diiringi oleh ensambel marwas yang terdiri dari empat rebana atau lebih dan satu tamborin.

3.2 Tahapan Upacara

Adapun tahapan-tahapan upacara mengayun anak yakni: mencukur rambut anak, memandikan anak, dan mengayunkan anak. Pada saat mengayunkan anak inilah dinyanyikan Dendang Siti Fatimah.

3.2.1 Mencukur Rambut Anak

(7)

Gambar 3.1:

Tahapan Mencukur Rambut

Sumber: dokumentasi Daniel Rizky Sianturi, 2014

Gambar 3.2:

(8)

3.2.2 Memandikan Anak

Proses selanjutnya yakni memandikan anak dengan cara memandikan anak yang dilakasanakan setelah rambut si anak dicukur, adapun maksudnya ialah intuk membersihkan diri atau menyucikan diri untuk menghadapi kehidupan selanjutnya.Kemudian setelah si anak di mandikan si anak diberdirikan di atas tanah dengan maksud agar si anak mengetahui bumi yang dia pijak kelak

Gambar 3.3:

Tahapan Memandikan Anak

(9)

Gambar 3.4:

Tahapan Mendirikan Anak ke Tanah dan Sajian Dendang Siti Fatimah

Sumber: dokumentasi Daniel Rizky Sianturi, 2014

3.2.3 Mengayunkan Anak

Setelah memandikan anak proses selanjutnya adalah si anak di letakkan didalam ayunan dan kemudian si anak di ayun sambil mendendangkan Dendang Siti Fatimah itu tujuan proses ini dilaksanakan dengan maksud kiranya si anak di

masa depan menjadi anak yang baik dan berguna bagi orang tua dan masyarakat sesuai dengan doa-doa yang terdapat didalam teks dendang siti fatimah.

(10)

Gambar 3.5:

Tahapan Mengayunkan Anak Sambil Menyajikan Dendang Siti Fatimah

Sumber: dokumentasi Daniel Rizky Sianturi, 2014

3.3 Perlengkapan Upacara

Berikut adalah perlengkapan upacara yang digunakan untuk mengayun anak pada masyarakat melayu, yakni :

3.3.1 Kelapa Muda

(11)

si anak dapat tumbuh dewasa dan menggapai cita-cita yang tinggi didalam hidupnya.

Gambar 3.6:

Kelapa Muda

(12)

3.3.2 Beras Kuning

Beras kuning merupakan salah satu perlengkapan atau benda-benda upacara dalam upacara mengayunkan anak ini. Beras kuning adalah beras yang diberi warna kuning dengan memanfaatkan zat-zat yang dapat mengeluarkan warna kuning pada kunyit. Beras ini dicampur dengan kunyit yang telah ditumbuk halus, kemudian dikeringkan, sehingga berwarna kuning. Pada upacara ini beras kuning disediakan sebagai simbol obat.

Gambar 3.7:

Beras Kuning

(13)

3.3.3 Beras Putih

Selain itu, sebagai benda-benda perlengkapan upacara lainnya adalah beras biasa (putih), yang merupakan hasil dari padi yang telah ditumbuk atau digiling dan dipisahkan dengan kulitnya. Warnanya biasanya adalah putih. Pada upacara ini beras putih disediakan sebagai benda perlengkapan upacara. Putih adalah simbol dari bersih, kejernihan hati, keikhlasan, dan keterusterangan.

Gambar 3.8: Beras Putih

(14)

3.3.4 Bertih

Benda perlengkapan upacara lainnya adalah apa yang disebut masyarakat Melayu dengan bertih. Bertih ialah campuran padi dan pulut yang digongseng, sampai warnanya putih, dan berbentuk seperti kerupuk kecil. Bertih ini dalam kebudayan Melayu adalah melambangkan rendah hati. Lambang ini juga sesuai dengan harapan kelak anak tersebut akan menjadi anak dan manusia yang rendah hati, menolong sesama, memiliki kepedulian sosial, tidak sombong, dan menjadi rahmat kepada semua makhluk ciptaan Tuhan.

Gambar 3.9: Bertih

(15)

3.3.5 Bunga Rampai

Benda-benda perlengkapan upacara mengayunkan anak ini lainnya adalah bunga rampai, yaitu gabungan antara beberapa bunga, biasanya tujuh jenis bunga, seperti mawar, melati, kenanga, bunga raya, dan lain-lainnya. Dalam kebudayaan Melayu bunga rampai adalah simbol keharuman. Dalam upacara mengayunkan anak ini, diharapkan agar kelak ia menjadi manusia yang harum namanya, karena prilaku dan manfaatnya untuk masyarakat luas. Ini juga sesuai dengan pepatah Melayu, harimau mati meningglkan belang, manusia mati meningglkan nama. Artinya nama manusia itu harum berkat budi dan jasanya di dunia ini.

Gambar 3.10: Bunga Rampai

(16)

3.3.6 Air Tepung Tawar

Benda perlengkapan upacara lainnya adalah air. Air ini biasanya dicampur dengan ramuan-ramuan tepung tawar. Dalam kebudayaan Melayu air yang kemudian dicampur dengan ramuan tepung tawar melambangkan pintu kehidupan atau awal dari kehidupan si anak. Jadi air inilah pembuka kehidupannya di dunia.

Gambar 3.11: Air Tepung Tawar

(17)

3.3.7 Jeruk Purut

Benda upacara lainnya dalam upacara mengayunkan anak ini adalah jeruk purut. Pada upacara ini jerut purut digunakan sebagai lambang penolak bala. Fungsi lainnya adalah untuk obat. Berbagai penyakit dapat diobati melalui media jeruk purut ini, dalam konsep perobatan Melayu tradisional.

Gambar 3.12: Jeruk purut

(18)

3.3.8 Daun Jenjunhang

Benda upacara lainnya adalah daun jenjunhang, seperti gambar di bawah. Pada upacara mengayunkan anak ini daun jenjunhang digunakan sebagai lambang agar si anak memiliki cita-cita yang tinggi seperti pohon jenjunhang yang tinggi, namun tetap rendah hati. Ini sesuai dengan pepatah Melayu: gantungkanlah cita-citamu setinggi langit.

Gambar 3.13: Daun Jenjunhang

(19)

3.3.9 Daun Sipenoh

Benda upacara lainnya adalah daun sipenoh (sepenuh). Pada uapacara ini daun sipenoh digunakan sebagai simbol pembukus. Secara budaya dimaksudkan agar kiranya kelak si anak dapat melindungi keluarganya, dari gangguan dan rintangan sosial maupun budaya. Keluarga harus disayangi, diarahkan, dan menuju kepada kebaikan selalu, yaitu amal makruf nahi mungkar, mengarahkan kepada kebenaran dan menjauhi kejahatan.

Gambar 3.14: Satu Helai Daun Sipenoh

(20)

Gambar 3.14:

Daun Sipenoh Membungkus Berbagai Daun Lainnya

(21)

3.3.10 Daun Sidingin

Benda upacara lainnya untuk mengayunkan anak ini adalah daun sidingin. Pada uapacara ini daun sidingin digunakan sebagai simbol supaya kelak pikiran si anak tetap dingin dan tenang dalam menghadapi masalah dikehidupannya kelak. Hal ini sesuai dengan pepatah: kepala boleh panas, namun hati tetap harus dingin. Bagaimanapun marahnya, redamlah amarah itu dengan kebijaksanaan.

(22)

3.3.11 Daun Sambau

Peralatan upacara mengayunkan anak lainnya adalah daun sambau. Pada upacara ini daun sambau digunakan sebagai simbol kekuatan.dengan maksud agar kelak si anak dapat menjadi anak yang kuat dan sehat.

Gambar 3.16 Daun Sambau

(23)

3.3.12 daun Jejerun

Benda upacara lainnya adalah daun jejerun. Pada upacara ini daun jejerun digunakan sebagai lambang untuk menyegarkan diri

Gambar 3.17: Daun jejerun

(24)

3.3.13 Bedak Dingin

Benda upacara lainnya adalah bedak dingin. Pada upacara ini bedak dingin digunakan sebagai perlambangan agar kehidupan si anak sejuk dalam menjalani kehidupan kelak

Gambar 3.18 Bedak dingin

(25)

3.3.14 Alat Cukur dan Gunting

Pada upacara ini alat cukur dan gunting digunakan untuk mencukur (memotong) rambut si anak.

Gambar 3.19 Gunting, Sisir, dan Cukur

(26)

3.3.15 Ayunan

Pada upacara ini ayunan digunakan untuk tempat mengayunkan si anak Gambar 20:

Ayunan

(27)

3.3.16 Pulut Kuning

Pada uapacara ini pulut kuning digunakan sebagai lambang kebesaran melayu dengan maksud agar kelak sianak dapat tumbuh dan menjadi orang yang sukses.

Gambar 3.21: Pulut Kuning

(28)

BAB IV

STRUKTUR MELODI

4.1 Kajian Musikal

Kajian musikal ini bertujuan untuk keperluan analisis, sehingga dalam proses ini penulis dapat mempelajari aspek-aspek musikal yang terdapat dalam nyanyian dendang siti fatimah dalam kegiatan mengayun anak pada masyarakat Batang Kuis. Sebelum melakukan pentranskripsian, penulis terlebih dahulu mendengarkan rekaman dendang siti fatimah secara berulang-ulang dengan seksama serta mencoba menirukannya, menentukan bagian strukturnya dan menulis notasi dengan suatu pola tertentu, menetapkan nada-nada yang dihasilkan dan menuliskannya secara teliti, setelah pentranskripsian selesai penulis melakukan pengecekan kembali.

Penulisan notasi dalam transkripsi ini penulis berorientasi kepada sistem penulisan not balok (notasi balok Barat) karena sampai saat belum ditemukan notasi yang tepat dalam menuliskan musik Melayu. Di sisi lain notasi barat sudah lazim dikenal di kalangan dunia musik maka secara umum telah dikenal masyarakat luas. Alasan lain penulis memakai sistem notasi ini karena dalam penganalisaan penulis memperoleh kemudahan seperti penulisan gerak melodi (kontur) baik naik ataupun menurun penulis dapat melihat dengan jelas, begitu juga penganalisaan yang lain seperti nada-nada modal, interval, dan frase.

(29)

apa yang kita dengar, (2) kita dapat menulis diatas kertas apa yang kita dengar lalu mendeskripsikan apa yang kita lihat. Sebagai kebutuhan analisis pentranskripsian, penulis menggunakan pendekatan deskriptif, yaitu bagaiamana suatu pertunjukan tersebut disajikan dari apa yang kita dengar yang kemudian kita transkripsikan. Untuk mentranskripsikan musik vokal dendang siti fatimah penulis mengacu penulisan dalam bentuk notasi barat kedalam garis paranada. Penggunaan notasi ini akan mempermudah dalam kerja analisis, sehingga dapat menentukan tinggi rendahnya nada-nada yang dihasilkan. Garis paranada tersebut mempunyai lima garis dan empat spasi serta satu garis pembantu dengan cleff (kunci) yang disebut kunci G, seperti berikut ini :

Sebagai bentuk tanda istrahat yang tertera dibawah ini menandakan tidak ada nada/melodi yang terdengar. Lamanya tanda istrahat sama nilainya dengan nada musik barat.

(30)

Transkripsi

Transkripsi dan analisis musik penting dilakukan untuk mendeskripsikan apa yang penulis dengar dan menuliskannya ke dalam bentuk visual (tulisan), dan kemudian menganilisis peristiwa musik yang terjadi ketika pertunjukan sedang berlangsung. Nettl (1964:98) menyatakan bahwa transkripsi adalah proses penotasian bunyi, mengalihkan bunyi menjadi simbol visual. Pentranskripsian bunyi adalah suatu usaha mendeskripsikan musik.

Dalam pentranskripsian musik, penulis tidak mentranskripsikan keseluruhan repertoar musik, namun membatasi hanya pada beberapa bagian saja. Sistem pentranskripsian ini menggunakan notasi Barat, karena penulis ingin tahu pasti aspek-aspek musikal seperti ritme dan tanda jeda. Metode yang digunakan adalah metode preskriptif.

(31)
(32)
(33)

4.2 Struktur Melodi Lagu

Untuk mengkaji sebuah musik vokal, ada beberapa teori yang dapat kita terapkan. Dalam skripsi ini, penulis menggunakan teori analisis melodi oleh William P Malm yang meliputi 8 unsur. Adapun kedelapan unsur melodi yang akan dianalisis meliputi:

(a) tangga nada

(b) nada pusat atau nada dasar; (c) wilayah nada,

(d) jumlah nada-nada, (e) interval yang digunakan; (f) pola-pola kadensa; (g) formula melodi ,dan (h) kontur

Dengan berdasar kepada teori weighted scale, yang diaplikasikan untuk menganalisis Dendang Siti Fatimah dalam upacara mengayun anak, maka hasil yang diperoleh adalah sebagai berikut.

4.2.1 Tangga Nada

(34)

Batang Kuis, namun teori ini dapat mendeskripsikan secara umum keberadaan struktur melodi Dendang Siti Fatimah terutama bagi para pemula yang dilatarbelakangi pendidikan musik Barat yang selanjutnya lebih dapat menelusuri konsep dan struktur sebenarnya Dendang Siti Fatimah ini.

Dari hasil transkripsi tersebut, maka struktur tangga nada yang digunakan oleh Dendang Siti Fatimah tersebut adalah sebagai berikut tersebut adalah seperti berikut ini.

do – re – mi – fa – sol – la – si (“mendekati” tangga nada diatonis)

4.2.2 Nada Pusat atau Nada Dasar

Dalam menentukan nada dasar, penulis mempergunakan kriteria-kriteria generalisasi yang ditawarkan oleh Bruno Nettl dalam bukunya yang berjudul Theory and Method in Ethnomusicology (1984:164). Menurutnya ada tujuh

kriteria yang ditawarkannya untuk menentukan nada dasar suatu lagu, yaitu sebagai berikut.

(1) Patokan yang paling umum adalah melihat nada mana yang paling sering dipakai, dan mana yang paling jarang dipakai dalam sebuah komposisi musik;

(35)

(3) Nada yang dipakai pada awal atau akhir komposisi maupun pada bahagian tengah komposisi musik dianggap mempunyai fungsi penting dalam menentukan tonalitas komposisi musik tersebut.

(4) Nada yang berada pada posisi paling rendah atau posisi tengah dianggap penting.

(5) Interval-interval yang terdapat di antara nada , kadang-kadang dapat dipakai sebagai patokan. Umpamanya kalau ada satu nada dalam tangga nada pada sebuah komposisi musik yangdigunakan bersama oktafnya.

(6) Adanya tekanan ritmis pada sebuah nada juga dapat dipakai sebagai patokan tonalitas.

(7) Harus diingat bahwa barangkali terdapat gaya-gaya musik yang mempunyai sistem tonalitas yang tidak dapat dideskripsikan dengan keenam patokan di atas. Untuk mendeskripsikan sistem tonalitas seperti itu, cara terbaik adalah berdasar kepada pengalaman akrab dengan gaya musik tersebut (terjemahan Marc Perlman 1990).

(8) 1990).

Dengan mempergunakan ketujuh kriteria di atas, maka nada dasar Dendang Siti Fatimah ini dapat diuraikan sebagai berikut ini.

(1) Nada yang paling sering dipakai adalah nada F

(36)

(5) Nada yang dipakai sebagai duplikasi oktaf A (6) Tekanan ritmik pada umumnya terjadi pada nada G

[image:36.595.109.518.305.586.2]

(7) Menurut pengalaman musikal penulis dalam bidang musik, kemungkinan paling besar sebagai nada dasar Dendang Siti Fatimah ini adalah nada F.

Tabel 4.1

Nada Dasar yang Dipergunakan pada Dendang Siti Fatimah

No Kriteria Nada

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. K1 K2 K31 K32 K4 K5 K6 K7 F (54) G F F F A G F Keterangan:

K1 = nada yang paling sering dipakai

K2 = nada yang memiliki nilai ritmis terbesar K31 = nada awal yang paling sering dipakai

(37)

K4 = nada yang menduduki posisi paling rendah K5 = nada dengan penggunaan duplikasi oktaf K6 = nada yang mendapat tekanan ritmis

K7 = nada dasar sebagai ciri khas musik Melayu

4.2.3 Wilayah Nada

Dari tangga nada yang telah didapatkan pada melodi ahoi di atas, maka selanjutnya dapat ditentukan wilayah nada (ambitus) melodi lagunya. Dengan berpedoman pada nada terendah dan nada yang tertinggi frekuensinya dan jarak atau interval yang dihasilkan antara keduanya. Dengan demikian maka wilayah nada lagu ini adalah nada F sampai ke nada A’.

4.2.4 Jumlah Nada

(38)

jumlah nada dalan Dendang Siti Fatimah ini ini adalah berjumlah 195 nada. Unuk setiap nada jumlahnya adalah sebagai berikut.

4.2.5 Penggunaan Interval

Interval yang penulis maksudkan dalam tulisan ini adalah jarak antara satu nada dengan nada lain yang dipergunakan di dalam sebuah komposisi musik. Ukuran interval ini dapat menggunakan laras atau langkah dan sent.

Setelah memperhatikan interval-interval yang dipergunakan dalam lagu ini, maka interval yang digunakan dalam komposisi Dendang Siti Fatimah ini adalah sebagai berikut. Selengkapnya jumlah penggunaan interval-interval juga dapat dilihat sebagai berikut.

Tabel. 4.1:

Distribusi Pernggunaan Interval

Interval Murni Mayor Minor Gambar Prime Murni 30

(39)

Terst 9 16

Kwart 9

4.2.6 Pola-pola Kadensa

(40)
(41)
(42)

4.2.7 Formula Melodi

Formula melodi yang dimaksud dalam skripsi ini adalah susunan melodi berdasarkan blok-blok atau kesatuan-kesatuannya. Dalam hal ini ditentukan tiga jenis blok secara umum dari yang terbesar sampai yang terkecil, yaitu: (a) bentuk, (b) frase, dan (c) motif melodi.

Bentuk melodi adalah bagian melodi terbesar yang menjadi dasar perulangan bagi bentuk-bentuk berikutnya. Satu bentuk melodi terdiri dari dua frase melodi atau lebih. Yang dimaksud dengan frase melodi adalah seuntai melodi yang terdiri dari dua frase atau lebih, yang merupakan satu ide melodi yang utuh. Sedangkan motif melodi adalah bahagian melodi terkecil yang menjadi karakter perulangan seluruh komposisi (lihat Nettl 1964).

Bentuk, frase, dan motif melodi ahoi (lagu mengirik padi) adalah seperti pada analisis berikut ini.

a) Bentuk

[image:42.595.115.510.494.724.2]
(43)

b) Frase

Ada 3 buah frase dalam melodi nyanyian Dendang Siti Fatimah ini, yaitu : A-A-A

C) Motif melodi

Menurut Malm (1964 :8) ada beberapa formula melodi yaitu (1) repetitif yaitu bentuk nyanyian yang di ulang-ulang, (2) interactive yaitu bentuk nyanyian yang memakai formula melodi yang kecil yang kecenderungan pengulangan-pengulangan keseluruhan nyanyian, (3) reverting yaitu bentuk nyanyian yang terjadi pengulangan pada frase pertama setelah terjadi penyimpangan-penyimpangan melodi, (4) strophic yaitu bentuk nyanyian yang terus berubah dengan menggunakan materi melodi yang sama, (5) progresif yaitu bentuk nyanyian yang terus berubah dengan menggunakan

(44)

4.2.8 Kontur

Kontur adalah garis lintasan melodi yang terdapat pada sebuah nyanyian. Jenis-jenis atau nama kontur dibedakan atas gerakan melodi:

(a) Bila gerakan melodi naik maka disebut dengan asending;

(b) Bila gerak melodi tersebut turun maka disebut konturnya dengan disending;

(c) Jika melengkung seperti lintasan jarum jam maka disebut dengan pendulum atau pendulous;

(d) Bila susunannya berjenjang disebut dengan terraced;

(e) Bila gerak melodi terbatas gerak intervalnya, maka kontur melodi ini disebut dengan statis (Malm 1977:17).

Melodi nyanyian Dendang Siti Fatimah memiliki berbagai jenis kontur melodi. Selengkapnya dapat dilihat pada contoh berikut ini.

1. Pada bar 4 asending (menaik)

2. Pada bar 4 ke 5 desending (menurun)

(45)

4. Pada bar 11 ke 12 pendulum (melengkung)

5. Pada bar 2 statis (sejajar)

4.2.8.1 Hiasan Melodi berupa Gerenek, Cengkok, dan Patah Lagu

Di dalam kebudayaan musik Melayu Sumatera Utara, dikenal berbagai jenis garapan melodi, yang tujuannya adalah untuk memperindah melodi pokok atau melodi utama. Antara istilah-istilah Melayu yang lazim dipakai dalam menggarap melodi ini adalah: gerenek, cengkok, dan patah lagu.

Gerenek adalah hiasan melodi dengan menggunakan nada-nada yang relatif rapat densitasnya, baik menuju ke atas, ke bawah, atau melengkung. Sementara yang dimaksud dengan cengkok adalah “mengayunkan nada” dari satu nada ke nada berikutnya, menurut nilai-nilai estetis penyanyinya, boleh disamakan dengan teknik legato dalam musikologi Barat. Di sisi lain yang dimaksud dengan patah lagu, adalah nada-nada yang diberi tekanan dan penegasan. Aksentuasi memberikan coraknya tersendiri di dalam patah lagu ini (wawancara dengan Aisyah, 8 Februari 2014).

(46)
(47)
(48)

BAB V MAKNA TEKS

5.1 Logogenik dalam Dendang Siti Fatimah

Dendang Siti Fatimah termasuk ke dalam kelompok musik yang logogenik. Artinya adalah bahwa dendang (lagu) ini mengutamakan penyampaian teks (lirik) yang bersifat verbal, melalui baaris, kata, morfem, fonem, dan sejenisnya. Dendang Siti Fatimah yang seperti ini, sangat tepat untuk dianalisis dengan menggunakan teori semiotik, terutama semiotik untuk nyanyian (puisi).

Teks nyanyian Dendang Siti Fatimah adalah diciptakan oleh seniman Melayu di Batang Kuis, yaitu O.K. Syarifullah di era 1970-an. Teks lagu ini menjadi sarana pembelajaran dari satu generasi ke generasi berikutnya. Walaupun kebudayaan Melayu, umumnya disampaiakn secara lisan, namun khusus untuk Dendang Siti Fatimah ini biasanya disampaikan secara tulisan. Tulisan itu berupa tulisan huruf Latin, bukan huruf Melayu Arab (Jawi). Ini merupakan ciri khas dari pembelajaran Dendang Siti Fatimah.

5.2 Teks dan Upacara

(49)

Dalam upacara mengayunkan anak, bisa saja ketiga puluh bait teks tadi disajikan sampai habis. Jika waktu upacara masih terus berlangsung, maka para pendendang akan mengulang-ulanginya bisa dari bahagian pertengahan, awal, atau bagian mana pun sesuai dengan kehendak para pendendang. Dengan demikian panjang atau pendeknya teks tergantung dengan masa upacara.

Dalam penelitian ini, adapaun teks yang penulis transkripsikan hanya tiga bait saja di bahagian awal. Kertiga bait ini juga dapat disajikan secara berulang-ulang. Namun yang paling sering adalah disajikan ketiga puluh teks tadi.

Beeikut ini adalah tiga bait teks Dendang Siti Fatimah yang akan dianalisis dengan pendekatan teori semiotik Riffatere.

1. a. Kur semangat putramu tuan,

b. Jangan tergantung dalam buaian,

c. Kami dipanggil berkawan-kawan,

d. Ibu bapamu minta ayunkan

2. e. Tatkala sudah diperanakkannya,

f. Sakit dan demam dipeliharakannya,

g. Tidur duduk tak sentosanya,

(50)

3. i. Jadam dan obat setiap malam,

j. Tidur pun tidak dapat di tilam,

k. Seketika lalai setengah malam,

l. Sakit memang ku di dalam kelam.

5.3 Analisis Semiotik

Ketiga bait teks Dendang Siti Fatimah di atas memiliki makna-makna yang tersembuyi (implisit) dan juga terang (eksplisit). Makna-makna ini hanya dapat dikaji melalui latar belakang budaya Melayu di Batang Kuis. Makna tersebut dapat ditafsir atau diinterpretasikan. Dalam konteks ini, sesuai saran teori semiotik ada 4 tahapan: a. Ketidaklangsungan ekspresi, b. Pembacaan heuristik (unsur dalam teks nyanyian), dan hermeneutik (unsur luar yang berkaitan dengan teks nyanyian), c. Matriks dan model, berupa abtraksi dari struktur nyanyian tersebut, dan d. Prinsip intertekstual.

5.3.1 Ketidaklangsungan Ekspresi

(51)

Demikian pula frase kata-kata jadam dan obat setiap malam. Maksudnya kedua orang tua bukan meminum jadam dan obat agar orang tua tersebut sehat selalu. Jadam dan obat di sini maksudnya adalah kewajiban orang tua seperti orang sakit meminum obat, agar kemudian sehat. Orang tua terutama pada malam hari bersusah-payah menjaga anaknya. Tidur pun tidak dapat lagi di tilam, maknanya tidak dapat tidur nyenyak menjaga si buah hati. Demikian kira-kira tafsiran penulis terhadap teks Dendang Siti fatimah di atas yang memiliki bagian-bagian ekspresi tidak langsung.

5.3.2 Pembacaan Heuristik dan Hermeneutik

(52)

diwakili kata-kata malam, tilam, malam, dan kelam; ada dua kali perulangan kata malam).

Bagian dalam teks Dendang Siti Fatimah ini, terdiri dari kata-kata dasar: berimbuhan, kata depan, kata kerja, kata sifat, partikel, dan lain-lainnya. Kesemua unsur internal ini menyatu dari satu bagian ke bagian lain, dan sambung-menyambung maknanya.

Kemudia secara hermeneutik, maka teks ini memiliki makna yang mencerminkan kebudayaan Melayu. Dalam bait pertama yaitu:

1. a. Kur semangat putramu tuan,

b. Jangan tergantung dalam buaian,

c. Kami dipanggil berkawan-kawan,

d. Ibu bapamu minta ayunkan

Bait kur semangat putramu tuan, memiliki arti yang luas. Dalam kebudayaan Melayu kata kur semangat memiliki makna agar semua orang di dunia ini memiliki semangat untuk hidup. Dalam diri setiap makhluk pun sebenarnya ada semangat yang dapat diartikan sebagai roh. Roh ini melekat dalam tubuh seseorang yang masih hidup, termasuk bayi yang diayunkan. Kemudian sesudah manusia tersebut meninggal, jasad dan semangatnya akan berpisah.

(53)

oleh pihak orang tua si bayi untuk menyajikan Dendang Siti fatimah di depan si bayi. Mereka ini para pendendang dipanggil oleh ayah si bayi sekali gus untuk mengadakan upacara mengayunkan bayi. Makna ini adalah eksplisit, jelas, dan tegas.

Selanjutnya pada bait kedua, secara hermeneutik juga mengandung makna-makna kebudayaan. Selengkapnya bait kedua ini adalah sebagai berikut.

1. e. Tatkala sudah diperanakkannya,

f. Sakit dan demam dipeliharakannya,

g. Tidur duduk tak sentosanya,

h. Selagi belum besar tubuhnya

Maksud dari tatkala sudah diperanakkannya, maknanya adalah ketika bayi tersebut lahir dan disambut dengan suka cita oleh ayah dan ibunya, maka inilah yang dimaksud dengan diperanakkannya. Anak ini dalam budaya Melayu adalah titipan Tuhan di dunia. Ia dapat menjadikan ayah dan ibunya menuju surga atau sebaliknya. Diperanakkannya juga dapat bermaksud bayi tersebut dipanggil anak oleh ayah dan ibunya.

(54)

Selanjutnya kata selagi belum besar tubuhnya, artinya ketika anak masih bayi, segala waktu, perhatian, bimbingan, dan lainnya penuh ditumpahkan unk si bayi oleh kedua orang tuanya. Keduanya wajib menjaga apapun yang dapat menghambat pertumbuhan mental dan spiritual bayi yang akan menuju menjadi rermaja, dan dewasa kelak.

Bait ketiga, juga masih mendeskripsikan mengenai kedua orang tua si bayi yang sepenuh perhatiannya dicurahkan semata-mata untuk si bayi seorang. Selengkapnya berbunyi sebagai berikut.

4. i. Jadam dan obat setiap malam,

j. Tidur pun tidak dapat di tilam,

k. Seketika lalai setengah malam,

l. Sakit memang ku di dalam kelam.

Pada larik jadam dan obat setiap malam, ini bukanlah berarti bahwa kedua orang tua bayi meminum jadam (obat yang pahit rasanya) dan obat setiap malam. Tetapi itu adalah indeks dari kedua orang tua si bayi sudah merasakan menjaganya seperti meminum obat. Artinya penjagaan dan pengasuhan bayi ini adalah kewajiban kedua orang tuanya. Dalam budaya Melayu yang paling baik adalah bayi dijaga oleh kedua orang tuanya, bukan oleh pembantu.

(55)

pulasnya. Demikian kira-kira tafsiran penulis secara hermeneutik (semiotik) terhadap karya ketiga bait Dendang Siti Fatimah ini.

5.3.3 Matriks dan Model

Dendang Siti Fatimah yang diciptakan oleh O.K. Syarifullah tersebut di atas memiliki matriks (susunan) dan modelnya sendiri yang membedakannya dengan teks-teks sejens, seperti syair, gurindam, nazam, dan sebagainya. Adapun matriks dan model penciptaan dendang ini adalah mengikuti norma-norma puisi Melayu sebagai berikut:

1. Temanya adalah tentang hubungan bayi dan orang tuanya menurut ajaran agama Islam,

2. Ditulis dalam bait demi bait yang saling berkait, 3. Dalam satu bait terdiri dari empat baris,

4. Setiap baris umumnya menggunakan empat kata (bisa lebih dan kurang), 5. Bersajak rata (a-a-a-a),

6. Makna yang diutarakan bisa kononatif (makna lain) dan juga bisa denotatif (makna sesungguhnya).

(56)
(57)

5.3.4 Prinsip Intertekstual

Dalam melihat hubungan intertekstual antara Dendang Siti Fatimah ini dengan berbagai nyanyian atau karya satra Melayu lainnya di dalam kebudayan masyarakat Melayu batang Kuis, maka dapat dikatakan bahwa Dednang Siti Fatimah ini memiliki identitas yang khas secara struktural dan temanya. Adapun temanya adalah mengenai hubungan antara ibu, ayah dengan anak bayinya. Karya-karya nyanyian lain juga memiliki kekhasannya misalnya Barzanji tentang riwayat Nabi Muhammad. Kemudian marhaban adalah ucapan selamat kepada orang dalam sebuah pesta. Kemudian syair adalah untuk menceritakan kisah-kisah atau cerita rakyat, dan seterusnya.

Namun demikian sebagaimana lazimnya sastra Melayu, Dendang Siti Fatimah memiliki ciri-ciri umum yang menjadi identitas sastra Melayu. Ciri itu terdapat pada sbahagian besar karya-karya sastra Melayu. Ciri tersebut antara lain dapat digeneralisasi sebagai berikut.

1. Karya ini disusun bait demi bait.

2. Setiap bait empat baris (seperti juga pantun, syair, dan nazam), 3. Memiliki tema utama,

4. Karya ini difungsikan dalam kegiatan sosial dan budaya Melayu. 5. Karya ini dilagukan dengan menggunakan unsur melodi dan ritme.

(58)

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Setelah diuraikan secara terperinci dari bab satu sampai empat, maka pada Bab VI ini, penulis akan menyimpulkan dan memberikan saran terhadap penelitian ini. Adapun kesimpulan yang akan penulis buat mengenai Dendang Siti Fatimah ini adalah sebagai berikut.

Dendang Siti Fatimah merupakan sebuah nyanyian vokal yang selalu

dinyanyikan pada saat upacara mengayunkan anak pada kebudayaan Melayu. Biasanya para penyanyinya adalah kaum perempuan yang mahir atau dengan kata lain menyanyi Dendang Siti Fatimah sudah menjadi pekerjaan sambilan.

Dendang Siti Fatimah merupakan nyanyian untuk menidurkan anak. Nyanyian menidurkan anak ini bukan sekedar nyanyian yang semata-mata hanya untuk menidurkan anak. O.K. Syarifulah beranggapan dengan menyanyikan lagu yang berisikan tentang kisah agama pada anak beliau menyakini anak tersebut akan tumbuh dewasa dengan pribadi yang taat agama. Lirik yang dinyanyikan sudah dibakukan oleh bapak O.K. Syarifulah yang berisikan tengtang kisah agama dan Nabi.

(59)

(a) Struktur melodi yang digunakan dalam membangun nyanyian Dendang Siti fatimah menggunakan tujuh nada dalam bentuk tangga nada mayor (yang dekat dengan tangga nada diatonis Barat). Dendang Siti Fatimah ini dalam lantunannya menggunakan estetika musik Melayu seperti gerenek, cengkok, dan patah lagu.

(b) Makna teksnya ada yang dikemukakan secara tersamar, dan ada pula yang dikemukakan secara teggas dan langsung. Tema teks adalah komunikasi hubungan antara kedua orang tua bayi dengan anak bayinya.

6.2 Saran

Melayu adalah salah satu suku yang ada di nusantara yang sejak dahulu kaya dengan aktifitas budayanya. Aktifitas tersebut dapat dilihat mulai dari siklus hidup, mata pencaharian, dan lain-lain. Akan tetapi, dengan adanya pengaruh dari budaya barat atau masuknya teknologi menyebabkan sebagian nilai-nilai budaya tersebut hilang.

Dalam tulisan ini penulis mempunyai beberapa saran kepada pembaca baik dari etnis Melayu maupun dari luar etnis Melayu, agar Dendang Siti Fatimah ini dapat dipertahankan eksistensinya meskipun upacara Dendang Siti Fatimah ini sudah jarang dilakukan lagi

(60)
(61)

BAB II

GAMBARAN UMUM

MASYARAKAT MELAYU BATANG KUIS

2.1 Identifikasi

Kecamatan Batang Kuis, termasuk di dalamnya Desa Bintang Meriah, merupakan sebuah kecamatan yang termasuk ke dalam bagian Kabupaten Deli Serdang, Desa, dan 72 Dusun. Mayoritas penduduk di kecamatan ini adalah etnis Melayu.

Menurut Tengku Lukman Sinar dalam bukunya Pengantar Etnomusikologi dan Tari Melayu mengatakan bahwa kebudayaan Melayu secara historis telah

(62)

Berdasarkan administrasi pemerintahan, Kecamtana Batang Kuis mempunyai luas wilayah 40,34 km² dengan batas-batas wilayah sebagai berikut:

1. Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Pantai Labu,

2. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Tanjung Morawa,

3. Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Beringin dan Pantai Labu,

4. Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Percut Sei Tuan.

(63)
[image:63.595.108.497.179.543.2]

Tabel 2.1

Nama-nama Desa, Luas, Jumlah Rumah Tangga, dan Penduduk Kecamatan Batang Kuis, Kabupaten Deli Serdang

NO NAMA DESA

LUAS DESA ( KM2 )

JUMLAH R.TANGG

A

JUMLAH PENDUDUK

1. TANJUNG SARI 7,34 2.027 12.596

2. BATANG KUIS PEKAN

0,75 1.115 5.779

3. SENA 6,40 1.593 7.079

4. BARU 4,32 1.001 6.047

5. TUMPATAN NIBUNG

3,70 1.100 6.898

6. PAYA GAMBAR 3,03 432 3.138

7. BINTANG MERIAH 0,65 899 6.073

8. MESJID 2,67 328 1.292

9. SIDODADI 9,50 850 3.822

10. SUGIHARJO 1,53 1.040 4.644

11. BAKARAN BATU 0,45 487 2.757

Sumber: Kantor Kepala Desa Bintang Meriah, 2014

(64)

Fokus penelitian penulis adalah Desa Bintang Meriah, yang luas desanya adalah 0,65 kilometer persegi, dengan jumlah rumah tangga sebanyak 899, dan jumlah penduduknya 6.073 jiwa. Di desa inilah terdapat kelompok Dendang Siti Fatimah, yang pusat latihannya berada di rumah Ibu Aisyah.

2.2 Mata Pencarian

Penduduk Kecamatan Batang Kuis kebanyakan hidup dari pekerjaan bertani, pegawai negeri, pegawai perusahaan, nelayan, dan juga wiraswasta. Di Desa Bintang meriah mayoritas penduduknya adalah petani, khususnya petani sawah dan ladang, yang bercocok tanam padi dan palawija.

Daerah Kecamatan Batang Kuis pada umumnya adalah dataran rendah yang subur. Tanahnya banyak mengandung zat-zat hara yang dibutuhkan oleh tumbuh-tumbuhan yang khas dataran rendah seperti pohon kelapa, kelapa sawit, bakau, padi, dan lain-lain. Oleh karena itu, daerah ini sangat cocok dijadikan lahan pertanian (perkebunan). Oleh sebab itu, di Kecamatan Batang Kuis ini banyak dijumpai perkebunan yang bergerak di bidang agroindustri sawit dan coklat.

2.3 Agama

Masyarakat Melayu pada awalnya menganut kepercayaan animisme dan dinamisme. Kemudian setelah masuknya kepercayaan monotheisme (agama Islam dan Kristen) maka sebagian besar anggota masyarakat sudah memeluk agama Islam.

(65)

dan Konghuchu. Selain itu religi yang dikategorikan pemerintah Indonesia sebagai aliran kepercayaan contohnya adalah: Parmalim, Sipelebegu, Kejawen, dan lain-lain.

Mayoritas pemeluk agama di Batang Kuis merupakan agama pemeluk agama Islam, yakni kira-kira 80% dari jumlah penduduknya, sedangkan pemeluk agama Kristen, Hindu dan Budha berkisar lebih kurang 20% dari jumlah penduduk di Batang Kuis.

Masuknya agama Islam merupakan lebih dahulu dari agama lainnya yaitu sewaktu pedagang-pedagang Gujarat dan Semenanjung Malaysia datang ke Pesisir Sumatera bagian Timur. Demikian juga karena Sultan sebagai kepala pemerintahan di Batang Kuis memeluk agama Islam turut menambah cepatnya perkembangan agama Islam sampai ke pelosok-pelosok desa.

2.4 Upacara-upacara Tradisional

Dalam kebudayaan Etnis Melayu di Batang Kuis terdapat berbagai upacara tradisional. Dalam pelaksanaannya masih terdapat perbedaan-perbedaan antara satu tempat dengan tempat lainnya pada upacara yang sejenis. Upacara tersebut masih ada yang dilaksanakan sampai saat ini dan konsep dasarnya telah disesuaikan dengan ajaran-ajaran agama Islam. Hal itu berlangsung dalam masyarakat karena upacara dari tradisi lama itu merupakan salah satu identitas kebudayaan mereka dan dapat disesuaikan konsep dasarnya dengan ajaran agama Islam dan dipergunakan untuk kemajuan kebudayaan mereka.

(66)

2.4.1 Upacara Kelahiran

Semasa seorang hamil tujuh bulan dilakukan satu upacara yang disebut upacara kebo. Upacara ini adalah suatu pertanda syukur kepada Allah. Pelaksanaan

upacara ini telah disesuaikan dengan agama Islam dengan membaca ayat-ayat Al-Qur’an. Setelah 40 hari bayi lahir maka diadakanlah upacara turun ke sawah. Pelaksanaannya tergantung pula kepada kemampuan orang tua. Jika belum mampu waktunya dapat diundurkan.

Kemudian barulah dilanjutkan dengan upacara penabalan anak dan menidurkan anak. Upacara ini juga sudah disesuaikan dengan agama Islam. Anak yang mau ditidurkan dengan cara diayun diiringi dengan nyanyian berupa nasyid yang isinya adalah nasehat-nasehat dan petuah dan juga ayat-ayat Al-Qur’an oleh ibunya. Pelaksanaannya tetap bergantung kepada kemampuan orang tua.

Berikut ini dideskripsikan secara umum beberapa upacara tradisional melayu di Batang Kuis yang tetap dilakukan hingga sekarang ini. Deskripsi upacara ini, merupakan informasi yang diberikan oleh para informan kunci.

2.4.2 Upacara Perkawinan

Setiap perkawinan yang dilaksanakan dengan baik akan terikat oleh janji tentang jumlah biaya yang ditanggung oleh pihak laki-laki. Sesuai dengan adat yang berlaku, biaya perkawinan tersebut disampaikan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan, yang sering disebut dengan istilah mas kawin. Selain mas kawin ini, masih ada lagi apa yang disebut dengan: uang hangus, ikat tanda, pakaian, uang buka kipas, dan sebagainya. Besarnya mas kawin itu tergantung pada kemampuan

(67)

perkawinan yang membutuhkan biaya seperti di atas sudah semakin jarang terjadi, pelaksanaan perkawinan sudah semakin bebas dari ikatan biaya yang mahal. Kebiasaan perkawinan antar turuna bangsawan-bangsawan tidak begitu berlaku lagi, karena dasar utama perkawinan sekarang ini adalah saling mencintai dan suka sama suka.

2.4.3 Upacara Turun ke Sawah atau Ladang

Upacara ini dilaksanakan untuk menjamu sawah atau ladang sebagai ucapan permintaan kepada Tuhan agar hasil panen padi tetap membaik. Kegiatan ini juga adalah pertanda syukur atas panen padi pada musim tanam sebelumnya yang berbuah baik.

Upacara dilakukan saat akan memulai musim tanam di atas lahan yang akan ditanam. Upacara ini dimulai dengan tepung tawar, yaitu merinjis-rinjiskan beras kunyit, dan daun-daunan di atas tanah itu.

2.4.4 Upacara Menjamu Laut

Biasanya upacara ini berlangsung dan dilaksanakan oleh anggota masyarakat yang bertempat tinggal di tepi laut. Upacara menjamu laut ini biasanya diadakan sekali setahun. Bahan-bahan yang diperlukan untuk upacara ini adalah: pulut kuning, bertih, beras, tepung tawar (yang terdiri dari sedingin, pulut-pulut, dan buah-buahan). Semua bahan-bahan tersebut dimasukkan ke dalam sebuah wadah yang disebut talam. Bahan-bahan inilah yang dibawa oleh pawang ke tepi laut atau kuala.

(68)

yang berbunyi sebagai berikut: ”Mambang diajid datuk setinggi yang menguasai laut, lindungilah kami anak-anak nelayan dari segala marabahaya.” Sehabis mengucapkan mantera di atas, maka ditaburkanlah bahan-bahan upacara tadi ke laut.

Sehabis upacara tersebut maka seluruh anggota masyarakat desa pantai selama tiga hari tidak boleh turun ke laut. Sehabis upacara menaburkan bahan-bahan tadi maka sang dukun atau seorang pawang segera melepas sampan kecil ke lepas pantai lalu sampan tersebut bergerak ditiup angin. Bila acara menjamu laut itu berlangsung di lepas pantai, maka altar tempat talam tadi didirikan di atas sampan. Sampan itu diiringi oleh sampan lainnya yang berisi anggota masyarakat dibawah pimpinan datuk atau pawang. Pada puncak acara, datuk penghulu segera menaburkan bahan-bahan upacara tadi ke laut.

(69)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Permasalahan

Seni merupakan sebuah hasil karya manusia yang diciptakan sebagai pemenuhan kebutuhan manusia terhadap keindahan dan hiburan. Setiap etnis yang ada di Indonesia memiliki kesenian tersendiri yang disajikan dalam berbagai konteks kebudayaan etnis tersebut. Salah satunya adalah kesenian Dendang Siti Fatimah (Dedang Fatimah) yang disajikan dalam konteks upacara mengayunkan anak pada kebudayaan Melayu daerah Batang Kuis, Kabupaten Deli Serdang, Provinsi Sumatera Utara. Kawasan ini masuk ke dalam wilayah budaya Melayu Serdang, yang pada masa pemerintahan kesultanan, mereka berada di dalam wilayah kekuasaan Kesultanan Melayu Serdang.

Dendang Siti Fatimah merupakan sebuah nyanyian vokal yang selalu

dinyanyikan pada saat upacara mengayunkan anak pada kebudayaan Melayu. Biasanya para penyanyinya adalah kaum perempuan yang mahir, namun walau dikatakan mahir mereka menyanyi Dendang Siti Fatimah hanyalah sebagai “pekerjaan sambilan.” Artinya mereka mendapatkan bayaran dari kemahirannya ini, tetapi bukan yang utama dalam pekerjaannya. Mereka sering dipanggil untuk pertunjukan di dalam setiap upacara mengayunkan anak yang dilakukan di daerah Kecamatan Batang Kuis, Kabupaten Deli Serdang, khususnya di Desa Bintang Meriah.

(70)

baik berdasarkan ajaran agamanya. Umumnya nyanyian ini dinyanyikan oleh ayah terhadap anaknya, karena ayah merupakan pemimpin dalam keluarga dan merupakan sosok pekerja keras. Dengan berkembangnya zaman, maka dendang ini tidak hanya dinyanyikan oleh seorang ayah lagi, tetapi didendangkan oleh ibunya. Menurut penjelasan para informan hal disebabkan salah satunya adalah faktor ekonomi, di mana ayah sebagai tulang punggung keluarga sibuk dalam rangka mencari nafkah untuk menghidupi keluarganya. Dengan kondisi yang seperti ini ayah jarang di rumah, akibatnya pekerjaan untuk menidurkan anak dilakukan oleh ibu. Ternyata lambat laun kebiasaan ini sudah jarang dilakukan orang tua laki-laki terhadap anaknya karena kesibukan orang tua ini.

Melihat pentingnya kebiasaan ini ada sebuah pemikiran yang dikemukakan oleh Bapak O.K. Syarifulah (gurunya Ibu Aisyah, bapak ini telah meninggal dunia 2005) melalui penjelasan Aisyah (informan kunci) yang merupakan salah satu tokoh masyarakat Melayu di desa Bintang Meriah, menyatakan bahwa nyanyian menidurkan anak ini bukan sekedar nyanyian yang semata-mata hanya untuk menidurkan anak. Nyanyian ini mengandung nilai-nilai budaya dan kearifan lokal.

Beliau beranggapan dengan menyanyikan lagu yang berisikan tentang kisah agama pada anak, maka beliau menyakini anak tersebut akan tumbuh dewasa dengan pribadi yang taat agama. Untuk itu O.K. Syarifulah ini membuat suatu grup vokal. Lirik yang dinyanyikan sudah dibakukan oleh bapak O.K. Syarifulah yang berisikan tengtang kisah agama dan nabi kemudian dikenal hingga saat ini dengan nama Dendang Siti Fatimah dengan bentuk penyajian yang baru.

(71)

4. menggendong si anak lalu dimandikan, dan 5. lalu anak diayun. Dalam tahapan menggendong anak, dimandikan, dan diayun inilah disajikan Dendang Siti Fatimah.

Upacara ini biasanya dilakukan pada saat si anak berusia di atas 40 hari dan dilaksanakan ketika matahari naik sekitar pukul 10 pagi, dengan harapan seiring naiknya matahari maka rezeki si anak kelak juga semakin membaik. Penyajian Dendang Siti Fatimah ini diiringi oleh ensambel marwas yang terdiri dari empat

rebana atau lebih dan satu tamborin.

Secara musikal Dendang Siti Fatimah ini disajikan dengan menggunakan unsur-unsur melodi, seperti tangga nada, wilayah nada, nada dasar, formula-formula, interval-interval, frae, bentuk, dan motif, kontur, dan lain-lainnya. Dendang Siti Fatimah ini juga disajikan dengan menggunakan dimensi yang terikat waktu, yang

terdiri dari aspek-aspek musik seperti: tempo, tanda birama, durasi, aksentuasi, taktus, aksentuasi, dan lain-lainnya. Selain itu, nyanyian ini menggunakan syair (teks) dalam penyajiannya. Nyanyian ini pun secara etnomusikologis dapat digolongkan sebagai musik logogenik,1

1

Yang dimaksud logogenik adalah satu kebudayaan musik etnik atau musik dunia, yang ciri khas utamanya adalah menggunakan dan menumpukan teks yang dikomunikasikan secara verbal. Biasanya menggunakan salah satu atau perpaduan unsur-unsur ritme, melodi, atau harmoni. Dalam kebudayaan musik logogenik ini, unsur sastra dan folklor mendapat peranan penting. Namun agak berbeda dengan bahasa sehari-hari, teks dipertunjukan melalui lagu bukan bahasa sehari-hari. Dengan demikian nyanyian jenis ini selalu menggunakan bahasa yang digayakan dan mengandung unsur-unsur perlambangan. Ada kalanya bersifat rahasia seperti pada mantra. Seterusnya, jika sebuah kebudayaan musik mengutamakan aspek melodi atau ritme saja, bukan menekankan kepada teks, maka musik seperti ini dapat dikategorikan sebagai budaya musik melogenik.Musik seperti ini, lebih menumpukan

(72)

Fatimah dengan genre nyanyian Melayu lainnya, seperti barzanji, marhaban, syair,

sinandong, didong, dadong, dan seterusnya.

Melihat keberadaan Dendang Siti Fatimah tersebut di atas, serta belum pernah dilakukannya penelitian terhadapnya, maka penulis tertarik untuk meneliti dan mengkajinya berdasarkan perspektif etnomusikologi. Ilmu ini menjadi bahagian dari kehidupan penulis selama beberapa tahun belakangan.

Seperti diketahui etnomusikologi sebagai sebuah disiplin ilmu pengetahuan, dengan terang-terangan dinobatkan oleh para ilmuwannya berada dalam dua kelompok disiplin, yaitu ilmu humaniora dan ilmu sosial sekali gus. Etnomusikologi memberikan kontribusi keunikannya dalam hubungannya bersama aspek-aspek ilmu pengetahuan sosial dan aspek-aspek ilmu humaniora, dalam caranya untuk melengkapi satu dengan lainnya, mengisi penuh kedua pengetahuan itu. Keduanya akan dianggap sebagai hasil akhir darinya sendiri; keduanya dipertemukan menjadi pengetahuan yang lebih luas (Merriam, 1964).

(73)

sosial. Etnomusikolog seharusnya tidak bisa menghindarkan diri dengan masalah-masalah simbolisme (perlambangan) di dalam musik, pertanyaan tentang hubungan antara berbagai seni, dan semua kesulitan pengetahuan apa itu estetika dan bagaimana strukturnya. Ringkasnya, masalah-masalah etnomusikologi bukan hanya terbatas kepada teknik semata--tetapi juga tentang perilaku manusia. Etnomusikologi juga tidak sebagai sebuah disiplin yang terisolasi, yang memusatkan perhatiannya kepada masalah-masalah esoterisnya saja, yang tidak dapat diketahui oleh orang selain yang melakukan studi etnomusikologi itu sendiri. Tentu saja, etnomusikologi berusaha mengkombinasikan dua jenis studi, untuk mendukung hasil penelitian, untuk memecahkan masalah-masalah spektrum yang lebih luas, yang mencakup baik ilmu humaniora ataupun sosial.

Ilmu pengetahuan humaniora lebih memfokuskan perhatian kepada nilai-nilai kemanusiaan dibandingkan dengan ilmu pengetahuan sosial, dan lebih menaruh perhatian kepada nilai kebebasan dalam mendeskripsikan perilaku manusia. Pernyataan ini, secara umum memang benar, yang kembali mendiskusikan dan menanyakan metode-metode dari menanyakan muatan lapangan studinya. Selain itu juga, penting untuk menyatakan bahwa ilmu pengetahuan humaniora sangat melibatkan nilai-nilai, dan ini menjadi titik kuncinya. Dengan demikian, fokus ilmu-ilmu humaniora dibangun di atas kritik pengujian dan evaluasi dari produk manusia di dalam urusan kebudayaan (seni, musik, sastra, filsafat, dan religi), sedangkan fokus ilmu pengetahuan sosial adalah cara manusia hidup bersama, termasuk aktivitas-aktivitas kreatif mereka.

(74)

sendiri--sedangkan etnologi memandang musik sebagai bahagian dari fungsi kebudayaan manusia dan sebagai suatu bahagian yang menyatu dari suatu dunia yang lebih luas. Secara eksplisit dinyatakan oleh Merriam sebagai berikut.

Ethnomusicology carries within itself the seeds of its own division, for it has always been compounded of two distinct parts, the musicological and the ethnological, and perhaps its major problem is the blending of the two in a unique fashion which emphasizes neither but tidakes into account both. This dual nature of the field is marked by its literature, for where one scholar writes technically upon the structure of music sound as a system in itself, another chooses to treat music as a functioning part of human culture and as an integral part of a wider whole. At approximately the same time, other scholars, influenced in considerable part by American anthropology, which tended to assume an aura of intense reaction against the evolutionary and diffusionist schools, began to study music in its ethnologic context. Here the emphasis was placed not so much upon the structural components of music sound as upon the part music plays in culture and its functions in the wider social and cultural organization of man. It has been tentatively suggested by Nettl (1956:26-39) that it is possible to characterize German and American "schools" of ethnomusicology, but the designations do not seem quite apt. The distinction to be made is not so much one of geography as it is one of theory, method, approach, and emphasis, for many provocative studies were made by early German scholars in problems not at all concerned with music structure, while many American studies heve been devoted to technical analysis of music sound (Merriam, 1964:3-4).

(75)

disiplin tersebut. Sifat dualisme lapangan studi ini, dapat ditandai dari literatur-literatur yang dihasilkannya. Seorang sarjana menulis secara teknis tentang struktur suara musik sebagai suatu sistem tersendiri, sedangkan sarjana lain memilih untuk memperlakukan musik sebagai suatu bahagian dari fungsi kebudayaan manusia, dan sebagai bagian yang integral dari keseluruhan kebudayaan ini. Pada saat yang sama, beberapa sarjana dipengaruhi secara luas oleh pakar antropologi Amerika, yang cenderung untuk mengandaikan kembali suatu aura reaksi terhadap aliran-aliran yang mengajarkan teori-teori evolusioner difusi, dimulai dengan melakukan studi musik dalam konteks etnologisnya. Di sini, penekanan etnologi yang dilakukan oleh para sarjana ini tidak seluas struktur komponen suara musik sebagai suatu bahagian dari permainan musik dalam kebudayaan, dan fungsi-fungsinya dalam organisasi sosial dan kebudayaan manusia yang lebih luas. Dengan demikian meneliti Dendang Siti Fatimah ini, berarti pula ikut mengembangkan disiplin etnomusikologi.

Melihat pentingnya peranan Dendang Siti Fatimah dalam upacara mengayunkan anak ini, penulis merasa tertarik untuk meneliti dan menulis mengenai Dondang Fatimah ini ke dalam skripsi yang berjudul “Struktur Melodi dan Makna Teks Dendang Siti Fatimah Dalam Upacara Mengayunkan Anak Pada Kebudayaan Melayu Di Desa Bintang Meriah, Kecamatan Batang Kuis.“

1.2Pokok Permasalahan

(76)

unsur melodi yang terdapat pada Dendang Siti Fatimah, seperti: tangga nada, wilayah nada, nada dasar, formula melodi, interval, distribusi nada, pola-pola kadensa, kontur, hiasan-hiasan melodi menurut estetika musik Melayu, seperti cengkok, patah lagu, gerenek, garau, garau alang, pekak, gahung, dan sejenisnya.

2. Bagaimana makna yang terkandung di dalam teks Dendang Siti Fatimah?

Pokok masalah ini akan dijawab dengan uraian mengenai makna-makna yang terkandung dalam teks (lirik) lagu Dendang Siti Fatimah. Makna-makna ini mencakup ikon, indeks, simbol, konotatif, denotatif, berdasarkan empat langkah dalam semiotik untuk mengungkap makna teks puisi atau nyanyian, yaitu: (a) ketidaklangsungan ekspresi; (b) pembacaan heuristik (mimesis) dan hermeneutik (hubungan antarkata yang ekuivalen); (c) penentuan matriks dan model, serta (d) hubungan antar teks di dalam kebudayaan, dalam hal ini teks Dendang Siti Fatimah dengan genre-genre dendang dan sastra Melayu lainnya.

1.3Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui dan memahami struktur melodi Dendang Siti Fatimah 2. Untuk mengkaji dan memahami makna yang terkandung di dalam teks

(77)

1.3.2 Manfaat Penelitian

1. Sebagai bahan dokumentasi untuk menambah referensi mengenai Dendang Siti Fatimah di Departemen Etnomusikologi, Fakultas Ilmu

Budaya, Universitas Sumatera Utara.

2. Sebagai bahan masukan dan perbandingan bagi penelitian yang berkaitan selanjutnya.

3. Sebagai suatu upaya untuk memelihara kebudayaan mengayun anak pada kebudayaan Melayu.

1.4 Konsep dan Teori 1.4.1 Konsep

Untuk mendapatkan pengetahuan mendasar tentang objek penelitian dan menghindari penyimpangan, maka diperlukan pengertian atau definisi terhadap terminologi yang menjadi pokok bahasan. Definisi ini akan menjadi kerangka konsep yang mendasari batasan-batasan makna terhadap topik yang menjadi pokok penelitian. Konsep adalah kesatuan pengertian tentang sesuatu hal atau persoalan yang perlu di rumuskan (Mardalis 2003:46).

(78)

baru itu. Sehingga manusia dapat membuat penggambaran tentang tempat-tempat tertentu dimuka bumi ini, bahkan juga di luar bumi ini, padahal ia belum pernah berpengalaman melihat atau mempersepsikan tempat-tempat tadi, itulah konsep (1980:118).

Dalam rangka penelitian terhadap Dendang Siti Fatimah ini, perlu diuraikan konsep-konsep tarkait, yaitu: (1) struktur melodis, (2) musik vokal, (3) makna teks, (4) Dendang Siti Fatimah, dan (5) upacara mengayunkan anak.

(1) Struktur melodis, terdiri dari dua kata yaitu struktur dan melodis. Yang dimaksud dengan struktur meruoakan kata serapan dari bahasa Inggris structure, yang artinya bahagian-bahagian. Suatu melodi,seperti halnya karangan terdiri atas bab, kalimat, anak kalimat, kata, dan seterusnya, maka melodi juga dibagi dalam: Kalimat (verse atau bridge), segmen, dan yang terkecil adalah pola (motif). Pola dari melodi telah ditentukan dulu, kemudian bagaimana pola dirangkaikan menjadi segmen, seterusnya segmen dirangkaikan menjadi kalimat, dst. Setelah itu bagaimana kalimat melodi ini juga dirangkai sehingga menjadi melodi yang utuh (

(2) Musik vokal adalah musik yang dihasilkan oleh suara manusia dimana musik tersebut diiringi alat musik atau tidak dan penyajiannya dapat dinyanyikan oleh satu orang (solo), maupun dengan banyak orang (kelompok). Mengayunkan anak adalah menidurkan anak dengan menggunakan ayunan. Musik vokal mengayunkan anak adalah musik yang dihasilkan oleh manusia dan digunakan untuk pengantar anak tidur.

Joyopuspito, 2007:20).

(79)

the word. A text need not consist of whole words, it may consist nonsense or other syllables (solmization, vocalization) also called lyrics.” Artinya: teks khususnya dalam musik vokal, berarti kata-kata. Sebuah teks tidak hanya terdiri dari kata-kata dalam susunan keseluruhannya, ia dapat saja terdiri dari suku kata yang tidak punya arti atau suku-suku kata lain (seperti solmisasi, vokalisasi), teks juga disebut dengan lirik.

(4) Dendang Siti Fatimah, menurut penjelasan para informan penulis, adalah salah satu jenis nyanyian dalam kebudayaan Melayu yang umumnya digunakan dalam upacara mengayunkan anak. Tujuannya adalah merupakan harapan yang punya hajat, agar anak nanti menjadi saleh, taat beribadah, sesuai dengan ajaran Islam. Nyanyian ini memiliki melodi dan teks yang khas yang membedakannya dengan nyanyian-nyanyian Melayu lainnya. Nyanyian ini mengambil judul Siti Fatimah, yang diambil dari nama ananda perempuan Nabi Muhammad S.A.W. Jadi Siti Fatimah ini merupakan lambang dari penyambutan dan pendidikan terhadaap anak, yang dilahirkan oleh seroang ibu (wawacara dengan Aisyah 7 Januari 2014).

(5) Upacara mengayunkan anak, adalah salah satu upacara menyambut kelahiran anak. Upacara in biasanya disertai juga dengan akikah, yaitu berkorban daging kambing untuk dimakan bersama masyarakat. Mengayunkan anak ini dilakukan dengan cara menggunting dan mencukur rambut si anak, kemudian memandikan dan mengayunkannya, diserta dengan lantunan Dendang Siti Fatimah, dengan sajian nyanyian yang khas Melayu.

(80)

nyanyian dalam etnomusikologi. Merriam (1964:187) mengemukakan tentang salah satu sumber yang paling jelas untuk mempelajari tata tingkah laku manusia dalam salah satu kebudayaan yang berkaitan dengan musik adalah teks nyanyian. Dengan demikian yang dimaksud dengan tekstual adalah suatu lirik atau kata-kata yang di dalamnya mempelajari tentang tata tingkah laku manusia yang berkaitan dengan musik.

Dalam penelitian ini, konsep semiotika yang digunakan adalah konsep yang didasarkan pada pemikiran Saussure yang dikembangkan oleh Riffaterre. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa konsep semiotika yang dikembangkan oleh Riffaterre, penulis anggap tepat untuk diterapkan dalam penelitian ini. Konsep dan teori yang digunakan Riffaterre lebih mengkhusus pada pemaknaan puisi secara semiotika, sehingga lebih memberikan ruang untuk interpretasi makna yang akan dilakukan dalam penelitian ini. Untuk puisi, secara semiotika Riffaterre dalam bukunya Semiotics of Poetry (1978) mengemukakan empat hal pokok sebagai langkah menghasilkan makna.

(81)

kontradiksi, dan nonsens. Penciptaan arti diciptakan melalui enjambement, homologue, dan tipografi.

(2) Hal kedua adalah pembacaan heuristik dan pembacaan hermeneutik. Pembacaan heuristik adalah pembacaan pada taraf mimesis atau pembacaan yang didasarkan konvensi bahasa. Karena bahasa memiliki arti referensial, pembaca harus memiliki kompetensi linguistik agar dapat menangkap arti (meaning). Kompetensi linguistik yang dimiliki oleh pembaca itu berfungsi sebagai sarana untuk memahami beberapa hal yang disebut sebagai ungramatikal (ketidakgramatikalan teks). Pembacaan ini juga disebut dengan pembacaan semiotika pada tataran pertama. Dalam pembacaan pada tataran ini, masih banyak arti yang beraneka ragam, makna yang tidak utuh, dan ketakgramatikalan. Untuk itu, pembacaan pada tataran ini masih perlu dilanjutkan ke pembacaan tahap kedua. Pembacaan tataran kedua yang dimaksud adalah pembacaan hermeneutik. Pada pembacaan ini, akan terlihat hal-hal yang semula tidak gramatikal menjadi himpunan kata-kata yang ekuivalen (Riffaterre,1978:54).

(82)

karya sasta termasuk puisi, tidak lahir dari kekosongan budaya. Dalam keadaan seperti ini, sebuah sajak merupakan respons atau tanggapan terhadap karya-karya sebelumnya. Tanggapan tersebut dapat berupa penyimpangao atau penerusan tradisi. Dalam hal ini, mau tidak mau terjadi proses transformasi teks. Mentransformasikan adalah memindahkan sesuatu dalam bentuk atau wujud lain yang pada hakikatnya sama (Pradopo, 1994:25). Dalam proses tersebut dikenal adanya istilah hipogram. Riffaterre (1978:2) mendefinisikan hipogram adalah teks yang menjadi latar atau dasar penciptaan teks lain. Dalam praktiknya, hipogram dapat dibedakan menjadi dua, yaitu hipogram potensial dan hipogram aktual. Hipograrn potensial yang dapat ditelusuri dalam bahasa bersifat hipotesis, seperti yang terdapat dalam matriks, sedangkan hipogram aktual bersifat nyata atau eksplisit.

Keempat hal pokok tersebut di atas yang dikemukakan oleh Riffaterre sebagai langkah pemroduksian makna, tiga di antaranya akan digunakan sebagai acuan untuk mengungkap makna yang terkandung dalam Dendang Siti Fatimah suku Melayu Batangkuis. Lewat tanda-tanda yang terdapat dalam nyanyian itu, maka proses pemaknaan akan dilakukan.

Untuk menganalisis melodi di dalam lagu Dendang Siti Fatimah ini, penulis menggunakan teori weighted scale oleh William P Malm. Teori weighted scale adalah sebuah teori yang mengkaji keberadaan melodi berdasarkan kepada delapan unsurnya. Kedelapan unsur melodi itu menurut Malm (1977:15), adalah: (1) tangga nada; (2) nada pusat atau nada dasar; (3) wilayah nada); (4) jumlah nada; (5) penggunaan interval; (6) pola kadensa; (7) formula melodi; dan (8) kontur.

(83)

musik dengan teksnya. Apabila setiap nada dipakai untuk setiap silabel atau suku kata, gaya ini disebut silabis. Sebaliknya, bila satu suku kata dinyanyikan dengan beberapa nada disebut melismatik. Studi tentang teks juga memberikan kesempatan untuk menemukanhubungan antara aksen dalam bahasa dengan aksen pada musik, serta sangat membantu melihat reaksi musikal bagi sebuah kata yang dianggap penting dan pewarnaan kata-kata dalam puisi (Malm dalam terjemahan Takari 1993:15)

Teori selanjutnya yang penulis gunakan adalah teori penggunaan dan fungsi musik yang dikemukakan oleh Alan P. Merriam (1964 : 219-222), yang menyatakan tentanng bagaimana sebuah musik digunakan dan apa fungsi musik tersebut digunakan. Merriam menawarkan sepuluh fungsi musik, namun ia tidak membatasinya.

Selain teori yang telah disebutkan di atas, penulis juga menggunakan pendekatan transkripsi yang mengacu pada Nettl yang mengatakan ada dua pendekatan utama untuk mendeskripsikan musik yaitu: (1) Kita dapat menganalisis dan mendeskripsikan apa yang kita dengar, dan (2) Kita dapat dengan cara menuliskan apa yang kita dengar tersebut ke atas kertas lalu mendeskripsikan apa yang kita lihat.

(84)

1.5 Metode Penelitian

Metode disini diartikan sebagai suatu cara atau teknis yang dilakukan dalam proses penelitian. Sedangkan penelitian diartikan sebagai upaya dalam bidang ilmu pengetahuan yang dijalankan untuk memperoleh fakta-fakta dan prinsip-prinsip dengan sabar dan hati-hati serta sistematis untuk mewujudkan kebenaran.

Di dalam melakukan penelitian, penulis menerapkan penelitian kualitatif, yaitu: tahap sebelum ke lapangan (pra lapangan) dengan studi kepustakaan, tahap kerja lapangan dengan observasi dan wawancara, analisis data dengan kerja laboratorium, dan penulisan laporan, (Moleong, 2002:109).

Menurut Curt Sachs dalam Nettl (1962:16) penelitian dalam etnomusikologi dapat di bagi menjadi dua, yaitu: kerja lapangan (field work) dan kerja laboratorium (desk work). Kerja lapangan meliputi pengumpulan dan perekaman data dari aktivitas musikal dalam sebuah kebudayaan manusia, sedangkan kerja laboratorium meliputi pentranskripsian, menganalisis data dan membuat kesimpulan dari keseluruhan data.

1.6 Lokasi Penelitian

(85)

1.7Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan merupakan salah satu landasan dalam melakukan sebuah penelitian, yaitu dengan mengumpulkan literatur atau sumber bacaan untuk mendapatkan pengetahuan dasar tentang objek penelitian. Sumber-sumber bacaan ini dapat berupa buku, ensiklopedi, jurnal, buletin, artikel, laporan penelitian dan lain-lain. Dengan melakukan studi kepustakaan penulis akan mendapat cara yang efektif dalam melakukan penelitian lapangan dan penyusunan skripsi ini.

Studi kepustakaan dilakukan dalam rangka memperoleh pengetahuan dasar tentang apa yang akan diteliti. Penulis melakukan studi kepustakaan terhadap topik-topik lain yang berhubungan dengan penelitian skripsi ini, seperti pengetahuan tentang pendidikan, folklore, antropologi, linguistik, komunikasi, etnograpi, dan musikologi. Selajutnya hasil yang didapat dari penelusuran kepustakaan tersebut akan digunakan sebagai penambahan informasi dalam penulisan skripsi ini.

Selain itu, dalam studi kepustakaan ini, penulis membaca skripsi-skripsi dan tesis yang temanya berdekatan dengan kajian di dalam skripsi ini. Tujuan penulis dalam melakukan studi kepustakaan ini adalah mengetahui sejauh apa aspek yang telah dikaji oleh para ilmuwan tersebut. Kemudian lebih jauh adalah aspek-aspek apa saja yang menjadi fokus penelitiaan penulis dalam skripsi ini. Adapun tulisan-tulisan itu adalah sebagai berikut.

(86)

orang tua atau kerabatnya yang lebih tua dalam kebudayaan Simalungun. Skripsi ini menjadi rujukan penulis dalam mengkaji tradisi Dendang Siti Fatimah di Batang Kuis.

(2) Syarifah Aini, 2013, menulis sebuah skripsi sarjana etnomusikologi di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara. Judul skripsi beliau adalah Tari Inai dalam Konteks Upacara Adat Perkawinan Melayu di Batang Kuis: Deskripsi Gerak, Musik Iringan, dan Fungsi. Di dalam

skripsi ini Syarifah mendeskripsikan jalannya upacar perkawinan adat Melayu di Batng Kuis. Kemudian menganalisis tari Inai, musik iringannya, dan teks lagunya. Pendekatannya adalah etnomusikologi. Skripsi ini menjadi bahan komparatif bagi penulis, karena sama-sama menulis seni tradisi Melayu di Batang Kuis. Namun perbedaan antara Syarifah dengan penulis adalah materi kajian, beliau fokus pada Tari Inai, sedangkan penulis fokus kepada Dendang Siti Fatimah.

(3) Ucok H. Silalahi, 2013, menulis skripsi sarajna pada Program Studi Etnomusikologi, FIB USU. Skripsi ini berjudul Ahoi Mengirik Padi Pada Masyarakat Melayu Daerah Batang Kuis, Kabupaten Deli Serdang,

Provinsi Sumatera Utara: Suatu Kajian Tekstual dan Musikal. Di dalam

(87)

1.8Kerja Lapangan

Penulis melakukan kerja lapangan dengan observasi langsung terhadap daerah penelitian, dan menemukan narasumber dari masyarakat pendukungnya yang sudah diakui oleh masyarakat pendukung dari kebudayaan tersebut kebudayaan.

Penulis juga melakukan wawancara berstuktur antara peneliti dan informan yaitu dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang telah disusun terlebih dahulu agar topik pertanyaan berada dalam jalur penelitian. Namun penulis juga menyadari ada hal-hal di luar topic penelitian yang penting dan sali

Gambar

Gambar 3.2:
Gambar 3.3:
Gambar 3.4:
Gambar 3.5:
+7

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Dalam Penulisan Ilmiah ini, Penulis mencoba untuk menjelaskan Penerapan Metode Peramalan (Least Square), pada Perusahaan Tahu Bapak Romli dalam mengevaluasi penjualan dari

Sehubungan dengan pengadaan Jasa Konstruksi pada Satuan Kerja Kantor SAR Kendari, Pekerjaan Pemagaran Tempat Sandar Kapal dengan ini kami mengundang saudara untuk mengikuti

Berkaitan dengan butir (1) di atas, disampaikan bahwa Pemilihan Langsung dengan Pascakualifikasi untuk pekerjaan Pembangunan Gudang Peralatan Pos SAR Sintete Kantor

Berkaitan dengan butir (1) di atas, disampaikan bahwa Pemilihan Langsung dengan Pascakualifikasi untuk pekerjaan Pembangunan Shelter Rigid inflatable Boat Pos SAR

memiliki izin usaha jasa perencana konstruksi subklasifikasi Jasa Nasihat dan Pra Desain Arsitektural (AR101), Jasa Desain Arsitektural (AR102), Jasa Desain

tanda tangan basah sampai dengan batas waktu tersebut di atas, maka perusahaan saudara dianggap mengundurkan dirilgugur. Demikian disampaikan atas perhatiannya diucapkan

Sanggahan ditujukan kepada Panitia Pengadaan Barang dan Jasa Kantor SAR Kelas A Semarang, d/a.. Kantor SAR Kelas A